Internasional
Pengertian P3B
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di bidang
perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat
perekonomian kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan
dilaksanakan oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
Dengan demikian, inti dari suatu P3B adalah pembagian hak pemajakan antar negara. P3B
tidak menimbulkan jenis pajak baru dan tidak mengatur tarif pajak. P3B hanya akan mengatur
pembagian hak pemajakan sehingga nantinya atas beberapa jenis penghasilan, hak
pemajakan suatu negara akan dibatasi oleh P3B.
Tujuan P3B
a. Tidak terjadi pemajakan berganda yang memberatkan ikim dunia usaha;
b. Peningkatan investasi modal dari luar negeri ke dalam negeri;
c. Peningkatan sumber daya manusia;
d. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;
e. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara.
Selain untuk mencegah pengenaan pajak berganda, P3B juga dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion). Jika tujuan-
tujuan tersebut tercapai tentu saja pada akhirnya P3B dapat menghilangkan hambatan dalam
lalu lintas perdagangan, modal dan investasi antar negara sehingga pada akhirnya dapat
dicapai kesejahteraan suatu negara karena sumber daya dialokasikan secara efisien.
Teori P3B
Persetujuan penghindaran pajak berganda adalah persetujuan antara dua negara yang
berisi kesepakatan membagi hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang
berasal dari suatu negara yang diperoleh penduduk negara lain. Istilah lain yang biasa
digunakan dalam menyebut P3B adalah Tax Treaty, double taxation agreement (DTA), double
taxation convention (DTC), double taxation treaty, atau tax conventions.
Pembagian hak pemajakan tersebut dituangkan dalam suatu persetujuan berisi ketentuan –
ketentuan yang akan mengikat kedua negara. Suatu P3B yang lengkap umumnya memuat
ketentuan mengenai:
1. Ketentuan tentang hal – hal yang menjadi ruang lingkup (scope provisions) dari P3B, yang
terdiri atas:
a. Jenis – jenis pajak yang diatur dalam P3B
b. Subjek pajak yang dapat memanfaatkan P3B
2. Ketentuan yang mengatur tentang definisi dari istilah yang ada dalam P3B (definition
provisions).
3. Ketentuan yang mengatur tentang hak pemajakan suatu negara atas suatu jenis
penghasilan (substanstive provisions).
Teori P3B
4. Ketentuan yang mengatur tentang pemberian fasilitas eliminasi atau keringanan pajak
berganda (provisions for the elimination of double taxation).
5. Ketentuan yang mengatur upaya penghindaran pajak (anti avoidance provisions), yang terdiri
atas:
Ketentuan tentang hubungan istimewa :
a. Ketentuan tentang kerjasama antar otoritas perpajakan (mutual agreement procedure);
b. Ketentuan tentang pertukaran informasi.
6. Ketentuan lainnya (special provisions) seperti ketentuan tentang non diskriminasi, diplomat,
teritorial ekstensi, dan bantuan untuk melakukan pemungutan pajak.
7. Ketentuan tentang saat dimulai dan berakhirnya suatu P3B (final provisons).
Proses Pembentukan P3B
Proses pembentukan P3B:
1. Adanya inisiatif dari salah satu negara untuk mengadakan suatu P3B.
2. Pertukaran draft P3B. Negosiasi akan dilakukan untuk membahas isi pasal-pasal dari draft
P3B masing-masing negara yang menunjukkan perbedaan.
3. Setelah dicapai kesepakatan, para negosiator melakukan penandatanganan draft dan
melanjutkannya ke proses ratifikasi.
4. Ratifikasi dilakukan dengan penerbitan Peraturan Presiden tanpa melalui pembahasan
dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
5. Setelah kedua negara meratifikasi dan melakukan pertukaran ratifikasi, biasanya P3B akan
berlaku pada tanggal 1 Januari tahun berikutnya atau sesuai dengan persetujuan.
Bagan/ Struktur P3B
STRUKTUR P3B - OECD MODEL
Ketentuan-ketentuan di dalam P3B dapat dikelompokkan menjadi:
1. Ruang Lingkup (Scope);
2. Definisi;
3. Substansi (pembagian hak pemajakan atas penghasilan);
4. Anti Penghindaran Pajak;
5. Metode menghilangkan pajak berganda;
6. Lain-lain.
Bagan/ Struktur P3B
STRUKTUR P3B-OECD MODEL
Bagan/ Struktur P3B
Istilah Baku
Istilah baku P3B:
1. DTA : Double Tax Agreement;
2. DTC : Double Tax Convention;
3. Tax Treaty : perjanjian internasional yang disepakati antar negara dan
dibuat sesuai dengan hukum internasional;
4. P3B : Persetujuan antara 2 negara atau lebih dengan membagi hak
untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari suatu
negara yang diperoleh penduduk negara lain(IBFD).
Istilah Penduduk dan Status Rangkap
Istilah "penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan" berarti setiap orang dan
badan, yang menurut perundang-undangan Negara tersebut dapat dikenakan
pajak di Negara itu berdasarkan domisilinya, tempat kediamannya, tempat
terdaftarnya, kedudukan kantor pusatnya, tempat kedudukan manajernya ataupun
atas dasar lainnya yang sifatnya serupa.
Penentuan Domisili (Penduduk)
Penentuan domisili suatu badan usaha menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh berdasarkan kriteria
tempat pendirian residence dengan memberikan ketentuan (Pasal 4 ayat (3) model OECD)
.Tiebreaker Rule. , yaitu dengan merujuk kepada:
(1) tempat pendirian;
(2) manajemen efektif; atau
(3) kesepakatan bersama (mutual agreement procedures). Dengan merujuk kepada ketentuan
solusi tersebut, maka untuk tujuan penerapan P3B tidak terdapat residensi ganda.
Sementara itu, untuk menentukan status penduduk wajib pajak orang pribadi apabila terjadi
dual residences, ditetapkan berdasarkan:
a. Tempat tinggal tetap yang tersedia baginya;
b. Hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (pusat kepentingan-kepentingan
pokok);
c. Tempat kebiasaan berdiam;
d. Kewarganegaraan;
e. Persetujuan bersama pejabat-pejabat yang berwenang.
Surat Keterangan Domisili (SKD)
Antar negara mengadakan perpanjian perpajakan (tax treaty) yang disebut Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan maksud melindungi penduduk suatu negara
supaya tidak menanggung beban pajak dari dua atau lebih otoritas pajak (dalam negeri dan
luar negeri). Dalam hal telah ada perjanjian perpajakan, maka pemungutan pajak berdasarkan
perjanjian perpajakan (kedudukan perjanjian perpajakan lebih tinggi dari undang-undang pajak
nasional suatu negara).
Model Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Dalam Dunia
Perpajakan Internasional
Model P3B dibuat untuk mempermudah negara – negara dalam mebuat P3b. Dalam
mengadakan persetujuan dengan negara lain, biasanya negara – negara di dunia
menggunakan Model P3B sebagai acuan. Model P3B yang paling umum dikenal, yaitu:
1. OECD Model. OECD Model merupakan model P3B yang digunakan sebagai acuan negara –
negara yang tergabung dalam organisasi OECD (organization for economic cooperation and
development). OECD Model menganuta azas domisili, model ini lebih banyak digunakan oleh
negara – negara maju sebagai negara yang mempunyai subjek dari yang mempunyai
penghasilan.
2. UN Model. UN Model merupakan model P3B yang dikembangkan oleh organisasi
perserikatan Bangsa – Bangsa (united nation/UN). UN Model menganut azas sumber, model
ini lebih banyak digunakan oleh negara – negara yang sedang berkembang sebagai negara
yang memounyai sumber penghasilan.
Aspek P3B
Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang
perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah untuk
membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang
diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur
perilaku warga Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Salah satu jenis pajak yang berlaku di Indonesia dan memiliki peranan penting dalam
penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang pertama kali diberlakukan pada
tahun 1984 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983.
Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif di mana jenis pajak ini bisa dikenakan apabila syarat
subjektif dan objektif terpenuhi bagi orang atau badan. Pada umumnya hampir semua orang
atau badan di Indonesia akan memenihi syarat subjektif dan jika orang atau badan ini
memperoleh penghasilan maka syarat objektif juga terpenuhi.
Aspek P3B
Jika subjek pajak yang dikenakan PPh adalah WNI yang penghasilannya berasal dari Indonesia
juga, maka tidak ada aspek pajak internasional dalam kasus ini. Namun demikian, karena
definisi subjek pajak tidak dikaitkan dengan kewarganegaraan maka terdapat kemungkinan
ada warga Negara asing atau badan asing yang dikenakan kewajiban Pajak Penghasilan di
Indonesia. Dalam kasus seperti ini, Pajak Penghasilan sudah menyentuh aspek pajak
internasional.
Aspek pajak internasional juga akan terjadi bila seorang WNI atau badan Indonesia menerima
atau memperoleh penghasilan dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena Pajak Penghasilan
Indonesia menerapkan prinsip worldwide income sehingga penghasilan dari luar negeri di atas
juga merupakan objek Pajak Penghasilan Indonesia.
Ketentuan-ketentuan Lain
Non-Diskriminasi
Ketentuan mengenai nondiskrimasi dimaksudkan agar warga negara dari suatu negara
pihak pada persetujuan yang melakukan kegiatan di negara pihak lainnya pada persetujuan,
dilindungi dari praktik pembebanan pajak berbeda yang memberatkan salah satu negara
pihak pada persetujuan.
Ketentuan nondiskrimasi berlaku terhadap bentuk usaha tetap milik penduduk dari
suatu negara pihak pada persetujuan yang beroperasi di negara pihak lainnya pada
persetujuan, termasuk perusahaan penanaman modal di negara yang bersangkutan yang
modalnya sebagian atau seluruhnya, dimiliki atau dikuasi baik langsung maupun tidak
langsung oleh penduduk dari negara yang disebutkan pertama. Ketentuan ini juga mengatur
bahwa negara pihak lainnya pada persetujuan tidak diwajibkan untuk memperlakukan
pengenaan pajak khusus, seperti keringanan pajak, potongan atau pun pengurangan
kepada warga negara atau penduduk dari negara yang disebutkan pertama.
Ketentuan-ketentuan Lain
Tata cara persetujuan bersama
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengakomodasi penyimpangan yang muncul dalam
praktik, yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi berkenaan dengan ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam persetujuan yang selanjutnya mengakibatkan pula
pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan jumlah yang seharusnya seperti yang
dimaksudkan dalam P3B.
Ketentuan ini mengatur pula tentang batas waktu penyampaian masalah yang diduga
tidak sesuai dengan P3B, misalnya paling lambat dua tahun sejak pemberitahuan pertama
berkenaan dengan ketidaksesuaian dimaksud. Apabila penyelesaian keberatan tersebut
tidak memuaskan pihak-pihak pada persetujuan, maka masalahnya akan diselesaikan
melalui persetujuan bersama yang dilakukan oleh perjabat yang berwenang dari kedua
negara pihak pada persetujuan.
Ketentuan-ketentuan Lain
Pertukaran Informasi
Ketentuan ini untuk mengakomodasi kerja sama pertukaran informasi di bidang
perpajakan, yang akan memberikan manfaat bagi kedua negara pihak pada persetujuan
yang memungkinkan pihak-pihak pada persetujuan memperoleh informasi yang lengkap
tentang transaksi yang dilakukan oleh penduduk salah satu negara pihak pada
persetujuan. Informasi dimaksud akan sangat berguna dalam rangka pengenaan pajak
yang bersangkutan lebih akurat (jumlah yang benar) dan sekaligus mengamankan
penerimaan negara dari sektor pajak.
Ketentuan-ketentuan Lain
Kegiatan-kegiatan Diplomatik dan Konsuler
Perjanjian ini tidak akan mempengaruhi hak-hak istimewa di bidang fiskal dari anggota-
anggota misi diplomatik dan konsuler berdasarkan peraturan umum dari hukum
internasional maupun berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu persetujuan khusus.
Berlakunya Perjanjian
Perjanjian ini mengharuskan adanya ratifikasi (pengesahan) dan instrumen ratifikasi
tersebut akan dipertukarkan di Washington sesegera mungkin. Perjanjian ini akan mulai
berlaku satu bulan setelah tanggal pertukaran instrumen ratifikasi. Ketentuan-ketentuan
dalam Perjanjian ini untuk pertama kali akan mulai berlaku, terhadap pajak-pajak yang
dipungut di Negara sumbernya sesuai dengan Pasal 11 (Dividen), Pasal 12 (Bunga) dan 13
(Royalti), atas jumlah yang dibayarkan atau dikreditkan pada atau setelah hari pertama dari
bulan kedua setelah hari mulai berlakunya Perjanjian, dan terhadap pajak-pajak lainnya
dalam tahun takwim atau tahun pajak, pada atau setelah 1 Januari pada tahun di mana
Perjanjian ini mulai berlaku.
Ketentuan-ketentuan Lain
Berakhirnya Perjanjian
Perjanjian ini akan tetap berlaku sampai diakhiri oleh salah satu Negara Pihak pada
Perjanjian. Salah satu Negara Pihak pada Perjanjian dapat mengakhiri Perjanjian sewaktu-
waktu setelah masa 5 (lima) tahun sejak tanggal Perjanjian mulai berlaku sepanjang dalam
waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelumnya memberitahukan rencana penghentian
tersebut melalui saluran-saluran diplomatik. Dalam hal demikian, Perjanjian akan tidak
berlaku lagi dan tidak mempunyai pengaruh lagi terhadap penghasilan pada tahun takwim
atau tahun pajak yang dimulai pada atau setelah 1 Januari yang datang setelah
berakhirnya masa 6 (enam) bulan.
Protokol
Protokol adalah etiket berdiplomasi dan urusan negara.
Sebuah protokol adalah sebuah aturan yang membimbing bagaimana sebuah aktivitas
selayaknya dijalankan terutama dalam bidang diplomasi.
Dalam bidang diplomatik dan pemerintahan protokol usaha seringkali garis pembimbing
yang tak tertulis. Protokol membahas kebiasaan yang layak dan diterima-umum dalam masalah
negara dan diplomasi, seperti menunjukkan rasa hormat kepada kepala negara, diplomat
utama dalam urutan kronologikal dalam pengadilan, dan lain-lain.
Dalam hukum internasional dan hubungan internasional, sebuah protokol adalah sebuah
perjanjian atau persetujuan internasional yang menambah perjanjian atau persetujuan
internasional sebelumnya.
Kedudukan P3B atas Undang-undang Domestik
2. Pajak Penghasilan
Dalam pemajakan ini, kita mengenal dua pendekatan kewajiban pajak, antara lain :
a. Kewajiban pajak tidak terbatas, merupakan resultat dari pemajakan berdasarkan pertalian
subjektif yang dapat berupa nasionalitas atau tempat pendirian atau tempat kedudukan.
b. Kewajiban pajak terbatas, merupakan resultat dari pemajakan berdasarkan pertalian objektif
yang dapat berupa lokasi aktivitas ekonomi dan sumber penghasilan .
Sehubungan dengan pajak penghasilan, PBI dapat terjadi karena benturan antarklaim, yaitu :
a. Pemajakan tak terbatas;
b. Pemajakan tak dengan terbatas;
c. Pemajakan terbatas.
Pajak yang Dicakup P3B
Benturan antarklaim pemajakan tak terbatas dapat terjadi antarnegara penganut prinsip :
1. Nasionalitas, pada umumnya terjadi terhadap orang pribadi yang berada di Negara penganut
temapt kelahiran dengan orang tua dari Negara penganut keturunan.
2. Nasionalitas dengan residensi, dapat terjadi baik pada wajib pajak orang pribadi maupun
badan.
3. Residensi, terjadi pda orang pribadi yang mempunyai tempat tinggal di Negara penganut
pemajakan berdasarkan asas domisili namun ia berada dalam waktu yang relative
substansial di Negara penganut prinsip kehadiran substansial (lebih dari 183 hari).
Benturan tersebut terjadi apabila subjek pajak yang bertempat tinggal atau bertempat
kedudukan di Negara penganut pemajakan global memperoleh penghasilan atau menjalankan
aktivitas ekonomi juga memperoleh penghasilan dari Negara penganut klaim pemajakan
terbatas, maka akan timbul Pajak Berganda Indonesia sebagai akibat benturan klaim
pemajakan terbatas.
Prosedur Pemungutan
Sesuai dengan UU PPh, Pemotong/Pemungut Pajak *) wajib untuk memotong atau memungut
pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima/ diperoleh oleh Wajib Pajak Luar Negeri
(WPLN). Namun demikian, dalam hal WPLN berasal dari Negara mitra P3B,
pemotongan/pemungutan pajak juga akan mengikuti ketentuan yang diatur dalam P3B.
1. Pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam P3B, apabila :
a. Penerima Penghasilan bukan Subyek Pajak dalam negeri Indonesia;
b. Persyaratan Administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi;
c. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana telah diatur dalam PER-62/PJ./2009.
2. Apabila syarat2 tersebut diatas (point 1a-1c) tidak terpenuhi maka pemotong/pemungut pajak wajib
memotong/memungut pajak yang terutang sesuai dengan UU PPh.
3. Persyaratan Administratif yang harus dipenuhi (ref point 1b diatas) adalah sbb :
a) Menggunakan formulir Surat Keterangan Domisili (SKD)yang telah ditetapkan Dirjen Pajak (Lampiran II
PER 61 –[Form – DGT I] atau Lampiran III PER 61 [form – DGT II]);
b) (Formulir tsb) telah diisi oleh WPLN dengan lengkap;
c) (Formulir tsb) telah ditandatangani oleh WPLN;
d) (formulir tsb) telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di Negara mitra P3B, dan;
e) Disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya
pajak.
4. SKD yang menggunakan [form DGT-1] yang disampaikan kepada pemotong /pemungut pajak setelah
berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat
dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B sejak tanggal SKD tersebut
disahkan oleh pejabat yang berwenang dari Negara mitra perjanjian dan berlaku selama 12 (dua belas)
bulan
Prosedur Pemungutan
Bukti Potong
1. Bukti pemotongan/pemungutan wajib dibuat oleh pemotong pajak/pemungut pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
2. Apabila terdapat penghasilan yang diterima/diperoleh WPLN, tetapi tidak terdapat pajak yang
dipotong/dipungut di Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong/Pemungut Pajak
tetap diwajibkan untuk membuat bukti pemotongan/pemungutan Pajak.
Lain-Lain
1. Pemotong/Pemungut Pajak wajib menyampaikan fotocopi SKD yang diterima dari WPLN sebagai lampiran
SPT Masa;
2. Kepala KPP harus melakukan penelitian kebenaran pelaporan atas jumlah pajak yang dipotong dan
melakukan perekaman SKD dan bukti pemotongan/pemungutan yang dilaporkan oleh pemotong/pemungut
pajak;
3. Kepala KPP harus melakukan penelitian mengenai ada atau tidaknya BUT dari WPLN yang berada di
Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B;
4. Apabila terdapat indikasi bahwa WPLN menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui suatu BUT
dan belum terdaftar sebagai wajib pajak, KPP memberitahukan KPP tempat BUT seharusnya terdaftar
untuk dikirimi Surat Himbauan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
5. Dengan berlakunya PER-62 ini, maka SE-03/PJ.101/1996 dan SE-04/PJ.101/1996 dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Kredit Pajak
Penghasilan yang diperoleh WP Dalam Negeri yang terhutang pajak berasal dari :
Penghasilan dari dalam negeri dan Penghasilan dari Luar Negeri.
Bila Penghasilan dari Luar Negeri telah dikenakan Pajak di Luar Negeri, maka pajak yang telah
dibayar di Luar Negeri tersebut bisa dikreditkan (dikurangkan) terhadap pajak terhutang di
Dalam Negeri.
Pengkreditan pajak yang dibayar di Luar Negeri tersebut diatur dalam KMK No. 640/KMK
04/1994.>>>> KMK No.164/KMK.03/2002 tentang kredit pajak Luar Negeri.
PT. Trimegah pada tahun 2009 dengan peredaran bruto Rp.400.000.000.000,- memperoleh Penghasilan Kena
Pajak sbb :
Di Australia, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 10.000.000.000,- dengan tarif pajak 35 % (Rp.
3.500.000.000,-)
Di Belanda, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 30.000.000.000,- dengan tarif pajak 20 % (Rp.
6.000.000.000,-)
Di Cina, menderita kerugian Rp. 20.000.000.000,-
Di Indonesia, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 40.000.000.000,-
Pertanyaan :
Berapakah jumlah pajak luar negeri yang dapat dikreditkan ?
Berapakah PPh yang disetor di Dalam Negeri untuk tahun pajak 2009 ?
Kredit Pajak
A. Pajak Luar Negeri yang dapat dikreditkan:
1. Penghasilan dari LN :
Laba di Australia Rp. 10.000.000.000,-
Laba di Belanda Rp. 30.000.000.000,-
Rugi di Cina Rp. 0 ,-
Jumlah Penghasilan di LN Rp. 40.000.000.000,-
Pajak yang dibayar di Australia Rp. 3.500.000.000,- maka maximum kredit pajak yang dapat
dikreditkan di Indonesia adalah Rp. 2.800.000.000,- (pilih yang terendah)
Kredit Pajak
― Di Belanda
30.000.000.000 x 22.400.000.000 = Rp. 8.400.000.000,-
80.000.000.000
Pajak yang dibayar di Belanda sebesar Rp. 6.000.000.000, maka maximum kredit pajak yang
dapat dikreditkan Rp. 6.000.000.000,-
― Di Cina
Menderita rugi Rp. 2.000.000.000,-.Kerugian ini tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan
penghasilan kena pajak. Kerugian ini juga tidak dapat dikompensasikan sebagai kredit pajak luar
negeri.
B. PPh yang harus disetor di Dalam Negeri untuk tahun pajak 2009 :
= Rp. 22.400.000.000 – Rp.8.800.000.000
= Rp. 13.600.000.000,-
Restitusi PPh Pasal 26