Anda di halaman 1dari 114

BAB II

AGAMA ISLAM
1. Arti dan Ruang Lingkup Agama Islam

* Islam berasal dari kata aslama, turunan (derivasi dari kata


assalmu, assalamu, assalamatu, artinya bersih dan selamat dari
kecacatan lahir batin. Dari asal kata ini dapat diartikan bahwa dlm
Islam terkandung makna suci, bersih tanpa cacat atau sempurna.
* Kata Islam juga dapat diambil dari kata assilmu dan assalmu,
artinya perdamaian dan keamanan.
* Dari asal kata ini, Islam mengandung makna perdamaian dan
keselamatan, karena itu kata assalamu’alaikum merupakan tanda
kecintaan seorang muslim kepada orang lain, karena itu ia selalu
menebarkan doa dan kedamaian kepada sesama.
* Dari kata assalamu, assalmu dan assilmu yang berarti
menyerahkan diri, tunduk dan taat. Semua asal kata di atas,
berasal dari tiga huruf, yaitu sin, lam, dan mim (dibaca salima)
yang artinya sejahtera, tidak tercela dan selamat.
* Kesimpulan: Islam mengandung arti berserah diri, tunduk, patuh dan
taat sepenuhnya kepada kehendak Allah. Kepatuhan dan ketundukan
kepada Allah itu melahirkan keselamatan dan kesejahteraan diri serta
kedamaian kepada sesama manusia dan lingkungannya.
* Pengertian Islam secara terminologis diungkapkan Ahmad Abdullah
Almasdoosi (1962) bahwa Islam adalah kaidah hidup yang
diturunkan kepada manusia sejak manusia digelarkan ke muka
bumi, dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna
dalam Al-Qur’an yang suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi-
Nya terakhir, yakni Nabi Muhammad ibn Abdullah, satu kaidah
hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai
aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.
* Dari definisi itu, dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang
diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-rasul-Nya berisi
hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta.
Agama yang diturunkan Allah ke muka bumi sejak Nabi Adam
sampai Nabi Muhammad Saw. adalah agama Islam sebagaimana
diungkapkan oleh Al-Qur’an. “Sesungguhnya agama di sisi Allah
adalah agama Islam” (Ali Imran, 3:19).
* Agama Islam berisi ajaran yang menyangkut seluruh aspek
kehidupan manusia, baik sebagai hamba Allah, individu, anggota
masyarakat, maupun sebagai makhluk dunia.
* Secara garis besar, ruang lingkup agama Islam menyangkut tiga hal
pokok, yaitu:
1. Aspek keyakinan (aqidah), yaitu aspek credial atau keimanan
terhadap Allah dan semua yang difirmankan-nya untuk diyakini.
2. Aspek norma atau hukum (syari’ah), yaitu aturan-aturan Allah yang
mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia, dan
dengan alam semesta.
3. Aspek perilaku (akhlak), yaitu sikap-sikap atau perilaku yang
nampak dari pelaksanaan aqidah dan syari’ah.
Ketiga aspek tsb tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi menyatu
membentuk kepribadian yang utuh pada diri seorang muslim.
“Wahai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata” (Al-Baqarah, 2:208).
Kesimpulan

• Antara aqidah, syari’ah, dan akhlak masing-masing


saling berkaitan.
• Aqidah atau iman merupakan keyakinan yang
mendorong seorang muslim untuk melaksanakan
syari’ah.
• Apabila syari’ah telah dilaksanakan berdasarkan aqidah
akan lahir akhlak.
• Oleh karena itu, iman tidak hanya ada di dalam hati,
tetapi ditampilkan dalam bentuk perbuatan.
• Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aqidah
merupakan landasan bagi tegak berdirinya syari’ah dan
akhlak adalah perilaku nyata pelaksanaan syaria’ah.
2. Klasifikasi Agama dan Agama Islam
• Sejarah mencatat aneka macam agama yang dianut oleh manusia,
baik agama yang berasal dari olah pikir manusia (agama ardi atau
agama budaya), maupun agama yang diturunkan melalui wahyu
(agama samawi) yang diterima Rasul-rasul Tuhan.
• Agama budaya umumnya bersifat politeistik atau mempercayai
beberapa Tuhan, sedangkan agama wahyu bersifat monoteistik
atau meyakini satu Tuhan.
• Agama besar yang dianut umat manusia: agama Yahudi, Nasrani,
Hindu, Budha, Kong Hu Chu, dan Islam.
• Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam dikelompokkan oleh sebagian
para ahli ke dalam kelompok agama Samawi, dan para ahli yang lain
mengelompokkan agama Yahudi dan Nasrani tidak lagi dipandang
agama Samawi murni, karena mereka berpendapat bahwa kitab
suci kedua agama tersebut telah mengalami perubahan, yaitu
terdapatnya intervensi pemikiran manusia ke dalam kitab suci
mereka (Charles Adam dalam Daud Ali: 73).
* Dari sudut ketuhanannya pun kedua agama tersebut ternyata
tidak lagi menganut monoteisme mutlak,
* Misalnya menurut agama Nasrani Tuhan yang satu itu terdiri
dari tiga oknum, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Ruhul
Kudus yang disebut Trinitas.
* Sedangkan konsep ketuhanan dalam Islam adalah tauhid
atau monoteisme mutlak di mana Tuhan ini hanyalah
agama Islam.
* Sedangkan agama Hindu dan Budha dikelompokkan ke
dalam agama budaya yang konsep ketuhanannya
politeistik.
* Agama-agama selain Islam pada umumnya bersifat lokal
untuk masyarakat tertentu, misalnya Yahudi untuk Bani
Israil saja, sedangkan agama Islam ditujukan untuk seluruh
manusia sepanjang zaman.
* Agama Islam adalah agama wahyu yang berdasarkan
tauhid, berbeda dengan monoteisme.
* Tauhid atau keesaan Tuhan diketahui manusia berdasarkan
kabar dari Tuhan sendiri melalui firman yang disampaikan
kepada Rasul-Nya.
* Sedangkan monoteisme lahir dari perkembangan
kepercayaan manusia terhadap Tuhan setelah melalui
proses panjang pengalaman manusia dari dinamisme,
animisme, politeisme dan akhirnya monoteisme.
* Agama Islam adalah agama wahyu satu-satunya yang
memiliki kitab suci yang asli dan autentik, tidak mengalami
perubahan sejak diturunkannya pada abad ke-6 Masehi
sampai akhir zaman. Rasul yang menerima wahyu bernama
Muhammad putra Abdullah yang memiliki silsilah dan
keturunan yg jelas. Beliau lahir di Mekah tahun 571 Masehi
dan mendapat wahyu pertama kali ketika berumur 40 thn.
* Ajaran Islam berlaku universal untuk segala tempat dan bangsa
serta berlaku abadi sepanjang masa sebagaimana diungkapkan
Al-Qur’an: “Tidaklah kami utus engkau (Muhammad) melainkan
untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam”(Al-Ambiya’:107).
* Ayat ini mengisyaratkan bhw ajaran yg diturunkan kpd Nabi
Muhammad ditujukan untuk semua manusia pada semua tempat
dan waktu.
* Dalam ayat lain Allah berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya” (Al-Hijr, 15:9).
* Pemiliharaan Al-Qur’an yang dimaksud dalam ayat di atas adalah
pemeliharaan lafaz dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal
tersebut dibuktikan dengan aktualitas Al-Qur’an sampai hari ini
yang telah berusia lebih dari 1400 tahun sejak diturunkannya.
* Al-Qur’an diturunkan untuk seluruh umat manusia, untuk
membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia guna
mencapai kesejahteraan hidupnya di dunia dan akhirat. Dengan
demikian, jelaslah perbedaan antara agama Islam dengan agama-
agama lain dan semakin jelas pula kesempurnaanya.
3. Salah Paham Terhadap Islam
a. Salah Paham Terhadap Ajaran Islam

* Kesalahpahaman terhadap Islam tidak hanya terdapat di kalangan


orang-orang non-Islam, tetapi juga di kalangan Islam sendiri yang
belum memahami Islam secara menyeluruh.
* Islam sering dipandang secara sempit sebagai agama yang berisi
ibadah ritual semata saja. Padahal ritual dalam Islam hanya
sebagian saja dari ajaran Islam.
* Islam berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia dan
memberikan nilai-nilai esensial bagi seluruh aspek kehidupan.
* Kesalahpahaman itu disebabkan karena pemikiran yang bersifat
dikhotomis; memisahkan antara agama dan kehidupan.
* Agama hanya dipandang sebagai salah satu aspek hidup saja, yaitu
kebutuhan manusia terhadap penyembahan pada Yang Maha
Kuasa. Sedangkan pada aspek-aspek kehidupan lainnya agama
tidak bisa diperankan.
* Pemahaman yang parsial ini melahirkan pandangan
yang sempit terhadap Islam dan menumbuhkan
sekularisasi.
* Islam diturunkan untuk menata kehidupan manusia di
dunia, sedangkan akhirat adalah akibat atau buah dari
kehidupan dunia.
* Islam menunjukkan jalan dan arah yang ditempuh untuk
mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
* Bagi seorang Muslim, Islam menjadi dasar dalam menata
kehidupannya, baik ekonomi, politik maupun budaya
sehingga kehidupannya menjelmakan perilaku yang islami.
Allah berfirman dalam Alqur’an Surat Al-Baqarah, 2:208,
yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam keseluruhannya (secara menyeluruh),
dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.
b. Salah Paham tentang Islam dan Ilmu Pengetahuan

• Agama dan Ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang


sering disalah pahami. Di satu sisi, agama dipandang
sebagai hal yang statis, subyektif dan irrasional dan
ilmu pengetahuan dipandang sebagai dinamis,
obyektif, dan rasional. Keduanya seringkali
ditempatkan pada titik yang berseberangan.
• Agama dan ilmu pengetahuan sampai saat ini masih
dipandang sebagai dua hal yang tidak bisa
dikompromikan. Pandangan ini terus berkembang dan
bahkan memasuki pola berpikir sebagai umat Islam
yang memisahkan secara diametral antara persoalan
agama dan ilmu pengetahuan.
* Agama Islam datang dan diturunkan melalui wahyu
Allah, sedangkan ilmu pengetahuan merupakan hasil
olah pikir dan akal budi manusia ciptaan Allah.
* Karena itu, kebenaran ilmu pengetahuan dan agama
berbeda. Yang satu bersifat apa adanya (given) dari Allah
yang mutlak kebenarannya, sedangkan yang lain diciptakan
dan disusun oleh manusia yang kebenarannya bersifat
relatif. Kendatipun demikian, agama Islam dan ilmu
pengetahuan pada hakekatnya bersumber dari Allah dan
Allah mendorong manusia untuk menguasai ilmu
pengetahuan.
* Dengan demikian, agama Islam tidak menentang atau
menghambat lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi
seperti yang sering disangkakan orang. Bahkan sebaliknya
Islam justru mendorong lajunya ilmu pengetahuan dan
teknologi, karena penguasaan kedua hal tsb mrpkn
perwujudan dr tgs manusia sebagai khalifah di muka bumi.
BAB III
SUMBER AJARAN ISLAM
A. Wahyu Allah Sebagai Sumber Ajaran Islam

1. Al-Qur’an dan Hubungannya dengan Sunnah dan Ijtihad

* Sumber ajaran Islam adalah Wahyu Allah yang


disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Wahyu Allah
itu diturunkan dalam bahasa Arab dan secara autentik
terhimpun dalam mushaf Al-Qur’an.
* Al-Qur’an adalah kitab suci yang demikian masyhur
sehingga sulit untuk menemukan satu definisi yang
mencakup keseluruhan Al-Qur’an karena itu definisi yang
ada masih bersifat parsial; tergantung kepada jenis kajian
yang dilakukan.
Dr. Dawud al-Attar (1979) menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah
wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
secara lafaz (lisan), makna serta gaya bahasa (uslub)-nya, yang
termaktub dlm mushaf yang dinukil darinya secara mutawatir”.
Definisi di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut:

a. Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Al-Qur’an adalah


wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan
atau pikiran Nabi.
b. Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya
bahasanya. Artinya isi maupun rdksi Al-Qur’an dtng dr Allah sendiri.
c. Al-Qur’an terhimpun dalam mushaf, artinya Al-Qur’an tidak
mencakup wahyu kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-
hukum yang kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri.
d. Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, artinya Al-Qur’an disampaikan
kepada orang lain secara terus menerus oleh sekelompok orang
yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya
jumlah orang dan berbeda-bedanya tempat tinggal mereka.
* Al-Qur’an turun secara beransur-ansur dalam tenggang
waktu lebih kurang 23 tahun, yaitu sejak diangkatnya
Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah hingga beliau wafat.
* Sejarah mencatat kerinduan umat manusia terhadap
datangnya risalah Allah ini. Timbul kerinduan dan keinginan
semangat dan gairah penghapalan Al-Qur’an.
* Gairah itu pun semakin berkembang manakala membaca Al-
Qur’an ditetapkan sebagai bagian ibadah formal (salat).
* Menjadi fenomena kultural kaum muslimin dari waktu ke
waktu.
* Selain dihafal ayat-ayat yang turun juga ditulis oleh sejumlah
sahabat Nabi dan hasil pencatatan mereka serahkan kepada
Rasulullah.
* Rasul menyimpan catatan ayat-ayat Al-Qur’an itu di
rumahnya dan ada pula yang disimpan oleh penulisnya
sendiri.
* Tidak lama setelah Rasul wafat, Khalifah Abu Bakar
membentuk tim untuk mengkodifikasi Al-Qur’an.
* Berdasarkan cek silang antara satu penulis dengan penulis
yang lain serta konfirmasi langsung kepada banyak saksi
hidup dan para penghapal Al-Qur’an, tim berhasil
mengkodifikasi ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam satu mushaf
(kumpulan lembaran tulisan) Al-Qur’an.
* Khalifah Usman juga mebentuk tim untuk menyempurnakan
sistem penulisan Al-Qur’an, terutama berkaitan dengan
tanda-tanda bacanya.
* Mushaf Al-Qur’an inilah yang kemudian menjadi standar
rujukan penerbitan Al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini.
* Sistem penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an hingga
terwujud sebagaimana mushaf sekarang ini benar-benar
berlangsung lurus, benar dan valid, tdk ada penyimpangan.
* Periwayatan Al-Qur’an semacam itu disebut mutawatir, yaitu
selain didukung bukti tertulis yang akurat, jg didukung olh saksi-
saksi hdp yg tak terbilang.
* Secara rasional saksi yang banyak itu mustahil bersepakat
melakukan rekayasa terhadap Al-Qur’an.
* Berbeda dengan Al-Qur’an, informasi tentang Sunnah atau
Hadis tersebar di kalangan para sahabat secara individual.
Rasul sendiri pada saat itu melarang menuliskan sabdanya.
Hal ini mengisyaratkan kekhawatiran beliau akan
kemungkinan bercampur baurnya ayat Al-Qur’an dengan
sabdanya.
* Selain kedua sumber di atas terdapat pula sumber yang lain
yakni ijtihad, yaitu penggunaan akal untuk merumuskan
hukum yang tidak tersurat dalam Al-Qur’an dan Sunnah
dengan cara istimbat kepada dua sumber tersebut.
Posisi dan Bobot Nilai

• Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijtihad memiliki posisi dan


bobot nilai yang satu sama lain berbeda.
• Berdasarkan analisis hakikat dan sistem
periwayatannya, maka Al-Qur’an mengambil posisi
sumber pertama dan utama.
• Kemudian berturut-turut As-Sunnah dan Ijtihad.
• Kebenaran Al-Qur’an bersifat mutlak atau absolut,
• Sementara As-Sunnah bersifat zonni (relatif) karena
perlu pembuktian kebenarannya terlebih dahulu.
• Adapun ijtihad bersifat kondisional dan temporal dan
karenanya sangat terbuka untuk terjadinya perubahan.
2. Kandungan dan Nama Al-Qur’an

• Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, dan 6.236 ayat.


• Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada periode Mekah (ayat
Makiyah) sebanyak 4.780 ayat yang tercakup dalam 86
surat, dan periode Madinah (ayat Madaniyah) sebanyak
1.456 ayat yang tercakup dalam 28 surat.
• Ayat-ayat Makiyah pada umumnya mengandung nuansa
sastra yang kental karena itu ayat-ayatnya pendek-pendek.
• Isinya banyak mengedepankan prinsip-prinsip dasar
kepercayaan dan meletakkan kaidah-kaidah umum syari’ah
(peraturan) dan akhlak.
• Adapun ayat Madaniyah menerangkan aspek syari’ah baik
menyangkut peraturan tentang ibadah maupun muamalah
dan akhlak.
Kata Al-Qur’an sendiri menurut bahasa berarti bacaan atau
yang dibaca.
• Al-Qur’an diturunkan oleh Allah dengan bahasa Arab sebagaimana
firman-Nya dalam Surat Yusuf, 12:2, yang artinya: “Sesungguhnya
Kami menurunkan kepadanya (Muhammad) Qur’an yang berbahasa
Arab supaya kamu sekalian berpikir”.
• Selain Al-Qur’an, wahyu ini diberi nama-nama lain oleh Allah, yaitu:
a. Alkitab, berarti sesuatu yang ditulis (Ad-Dukhan, 44:2).
b. Alkalam, berarti ucapan (At-Taubah, 9:6).
c. Az-Zikra, berarti peringatan (Al-Hijr, 15:9).
d. Alqasas, berarti cerita-cerita (Ali Imran, 3:62).
e. Alhuda, berati petunjuk (At-Taubah, 9:33).
f. Alfurqan, berarti pemisah (Al-Furqan, 25:1).
g. Almauizah, berarti nasihat (Yunus, 10:57).
h. Asy-syifa, berarti obat atau penawar jiwa (Al-Israa, 17:82).
i. An-Nur, berarti cahaya (An-Nisaa, 4:174).
j. Ar-Rahman, berarti karunia/pengasih (An-Naml, 27:77).
Al-Qur’an sbg sumber nilai mengandung pokok-pokok ajaran
sbb:
1. Pokok-pokok kyknn atau keimanan thdp Allah, Malaikat,
Ktb-ktb, Rasul-rasul, dan Hari Akhir. Dari pokok-pokok yg
terkandung dlm Al-Qur’an ini lhr teologi atau ilmu kalam.
2. Pokok-pokok prtrn atau hkm, yaitu garis-garis bsr atrn ttng
hub. dgn Allah, antar manusia, dan hub. manusia dengan
alam yang melahirkan syari’at, hukum atau ilmu fikih.
3. Pokok-pokok aturan tingkah laku atau nilai-nilai dasar
etika tingkah laku.
4. Ptnjk dsr ttng tanda-tanda alam yg mnjkkn eksistensi dan
kbsrn Tuhan sbg pencipta. Petunjuk dasar ini merupakan
isyarat-isyarat ilmiah yang melahirkan ilmu pengetahuan.
5. Kisah-kisah para Nabi dan umat terdahulu.
6. Informasi tentang alam gaib, seperti adanya jin, kiamat,
surga, dan neraka.
3. Al-Qur’an: Mukjizat Nabi Muhammad
• Secara umum Al-Qur’an membawa dua fungsi utama, yaitu
sebagai mukjizat dan pedoman dasar ajaran Islam.
• Mukjizat menurut bahasa berarti melemahkan.
• Al-Qur’an sebagai mukjizat menjadi bukti kebenaran
Muhammad selaku utusan Allah yang membawa misi
universal, risalah akhir, dan syari’ah yang sempurna bagi
manusia.
• Untuk itu, Allah menurunkan Al-Qur’an dengan susunan
bahasa, kandungan makna, hukum dan pengetahuan yang
terkandung di dalamnya unsur-unsur mukjizat. Ia menjadi
dalil atau argumentasi yang mampu melemahkan segala
argumen dan mematahkan segala dalil yang dibuat
manusia untuk mengingkari kebenaran Muhammad selaku
Rasulullah.
* Allah telah memerintahkan Rasul supaya menantang kaum
yang ingkar sehingga tampak jelas kelemahan mereka dan
sempurnalah dalil-dalil yang menundukkan mereka. Dalam
kaitan ini Allah berfirman, yang artinya:
* “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu
surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-
penolongmu selain Allah, jika kamu memang orang-rang yang
benar” (Al-Baqarah, 2:23).
* Tantangan tsbt berlaku sejak diturunkan, sekarang, dan masa yang
akan datang.
* Allah sendiri memberi garansi bahwa siapapun bahkan sekiranya
manusia dan jin berserikat membuat seperti Al-Qur’an niscaya
mereka tidak akan mampu membuatnya. Allah berfirman, yang
artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul
untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini, niscaya mereka
tidak akan mampu membuat yang serupa dengan dia, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (Al-
Israa, 17:88).
* Kemukjizatan Al-Qur’an secara umum meliputi aspek-aspek
sebagai berikut:
a. Aspek Bahasa Al-Qur’an
* Keistimewaan bahasa Al-Qur’an terletak pada gaya
pengungkapannya, antara lain kelembutan dalam jalinan huruf
kata dengan lainnya.
* Susunan huruf-huruf dan kata-kata Al-Qur’an terajut secara teratur
sehingga menjelma menjadi ayat-ayat yang indah untuk dibaca
dan diucapkan.
* Keindahan bahasa Al-Qur’an ini menjadikannya sebagai mukjizat
sehingga apabila ada kata-kata manusia yang disisipkan ke
dalamnya, maka rusaklah keindahannya. Karena itu, upaya-upaya
untuk memalsu ayat-ayat Al-Qur’an tidak pernah terjadi.
* Keistimewaan lainnya dari segi bahasa adalah adanya keserasian
bahasa Al-Qur’an dengan akal dan perasaan manusia. Al-Qur’an
menggabungkan kebenaran dan keindahan sehingga menyintuh
akal dan hati manusia sekaligus.
b. Aspek Sejarah
• Kedudukan, peran, proses perjuangan, dan ketabahan para
Rasul Allah mulai dari Adam hingga Isa serta kondisi umat
yang dihadapi mereka dikisahkan Al-Qur’an, Nabi Adam (Al-
Baqarah, 2:30-37), Nabi Idris (Maryam, 19:56), Nabi Nuh
(Hud, 11:25-48), Nabi Hud (Hud, 11:50-58), Nabi Saleh
(Hud, 11:61-63), Nabi Ibrahim (Al-An’aam, 6:74-79) Nabi
Lut (Al-Ankabut, 29:28-33), Nabi Ismail (Ibrahim, 14:37),
Nabi Ishak (As-Safaat, 37:112-113), Nabi Yakub (Al-
Baqarah, 2:133), Nabi Yusuf (Yusuf, 12:1-101), Nabi Ayub
(Saad, 38:41-44), Nabi Zulkifli (Al-Anbiyaa’, 21:85-86), Nabi
Sueb (Al-A’raaf, 7:85-93), Nabi Musa dan Nabi Harun (Al-
Qasas, 28:7-35), Nabi Daud (Al-Baqarah, 2:246-251), Nabi
Sulaeman (Al-Anbiyaa’, 21:81-82), Nabi Ilyas (As-Safaat,
37:123-132), Nabi Ilyasa (Al-An’aam, 6:86), Nabi Yunus
(Yunus, 10:98), Nabi Zakaria (Ali Imran, 3:35-39), Nabi
Yahya (Maryam, 19:12-15), Nabi Isa (Maryam, 19:17-34).
Selain kisah para Rasul Allah, Al-Qur’an juga menceritakan kisah-
kisah beberapa kaum dan perorangan yang menonjol pada pada
masanya guna menjadi pelajaran bagi kaum sesudahnya, seperti:
• Kisah Negeri Saba yang subur makmur (An-Naml, 27:22 dan
Saba’, 34:15), kaum Samud yang membangkang (An-Naml,
27:45, As-Syu’araa’, 26:141, Al-Israa’, 17:59, Fus-Silat, 41:17,
Al-Qamar, 54:23, Al-Haqqah, 69:4, Asy-Syam, 91:11), kaum
Lut yang asusila (Hud, 11:70, Asy-Syu’araa’, 26:160, Al-Qamar,
54:33, Al-A’raaf, 7:80, An-Naml, 27:56, Hud, 11:89), Raja
Firaun yang otoriter dan sombong (Al-A’raaf, 7:103-141, Al-
Anfaal, 8:52-54, Yunus, 10:75-90, Al-Israa, 17:24-101, As-
Syu’araa’, 26:11-44, Al-Mukmin, 40:24-46), dan kisah Maryam
yang salehah (Maryam, 19:16-34, Ali Imran, 3:36-45, An-
Nisaa’, 4:156-171, Al-Mukminun, 23:50, At-Tahrim, 66:12).
c. Isyarat tentang Ilmu Pengetahuan
• Al-Qur’an berbicara mengenai hukum-hukum alam,
diterangkan persoalan-persoalan biologi, farmasi,
astronomi dan geografi. Misalnya tentang kejadian alam
(Al-Anbiyaa’, 21:30), kemungkinan manusia dapat
menembus langit dan bumi (Ar-Rahman, 55:33), gejala
berkurangnya oksigen di langit (Al-An’aam,6:125), sifat
matahari sebagai pelita dan bulan sebagai cahaya (Nuh,
71:15-16), sifat bintang yang menembus (At-Taariq, 86:1-3),
planet-planet yang mengambil posisi di langit terdekat (As-
Saffaat, 37:6) fungsi gunung sebagai pasak bagi
keseimbangan bumi (An-Naba’, 78:6-7), proses turunnya
hujan (Ar-Ra’d, 13:12-13), tentang air (Yaa Siin, 36:34), dan
fungsi sperma dalam kaitan kemungkinan jenis kelamin
janin (An-Najm, 53:45-46).
• Isyarat demi isyarat ditunjukkan Al-Qur’an tentang Sains,
sebagiannya tlh terbukti sahih mnrt penelitian IP yg objektf.
d. Konsistensi Ajaran Selama Proses Penurunan yang Panjang
• Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama kurun waktu
kurang lebih 23 tahun.
• Rentang waktu itu bukanlah waktu yang pendek dan ini
menjadi bukti tersendiri akan kebenaran Muhammad
selaku Rasulullah.
• Dari awal hingga akhir Al-Qur’an membawa nilai-nilai dan
hukum-hukum bagai cerita bersambung. Tidak ada pada Al-
Qur’an nilai-nilai dan hukum yang saling berlawanan,
karena ia datang dari Allah.
• Demikian konsistensi nilai-nilai Al_Qur’an selama proses
penurunannya menjadi dalil yang meneguhkan keberadaan
Muhammad selaku Rasulullah dan kebenaran risalah yang
dibawanya. Dalam kaitan ini Allah berfirman, yang artinya:
“Sekiranya keadaannya (Al-Qur’an datang) dari sisi selain
Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalamnya
perselisihan yang banyak”. (An-Nisaa’, 4:82).
e. Keberadaan Nabi Muhammad yang Ummi
• Muhammad Saw. Adalah seorang dari umumnya
masyarakat di kala itu yang ummi (umi), yaitu tidak pandai
membaca dan menulis.
• Masa remajanya habis dengan menggembala domba dan
masa dewasanya di medan niaga.
• Ia tidak pernah mengenyam pendidikan, tidak sempat
belajar menulis dan membaca, aplg utk menyelami filsafat.
• Namun demikian, ia dikenal oleh masyarakat luas, lantaran
pribadinya yang mulia sehingga menjadi daya tarik yang
amat luar biasa.
• Ia menjadi seorang yang populer dengan kejujurannya, dan
pada sisi lain, juga populer dari segi keumiannya.
Popularitas pribadinya itu setingkat dengan kemashuran
umminya. Itulah Muhammad seorang yang mashur karena
ummi,namun berpribadi menawan hati.
Lanjutan

• Tentang keummian Muhammad digambarkan oleh


Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Ankabut, 29:48, yang
artinya: “Dan kamu tidak pernah membaca
sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu kitabpun dan kamu
tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan mu.
Karena (andaikata kamu pernah membaca dan
menulis) tentulah ragu orang-orang yang mengingkari
mu”.
• Demikianlah Al-Qur’an sebagai mukjizat Allah yang
membuktikan keberadaan Muhammad sebagai
Rasulullah dan kebenaran risalah yang dibawanya.
Lanjutan
• Kebenaran Al-Qur’an yang demikian itu diungkapkan pula
oleh Harry Gaylord Dorman:
“Kitab Al-Qur’an ini adalah benar-benar sabda Tuhan yang
didiktekan oleh Jibril. Sempurna setiap hurufnya. Ia
merupakan suatu mukjizat yang tetap aktual hingga kini
untuk membuktikan kebenarannya dan kebenaran
Muhammad. Mutu keajaiban terletak sebagian pada
gayanya yang begitu sempurna dan agung, sehingga tak
mungkin ada seorang manusia atau setan sekalipun yang
dapat mengarang satu suratpun walau yang terpendek,
dapat menandinginya. Dan sebagian dari keajaibannya lagi
terletak pada isi ajarannya, nubuwat-nya tentang masa
depan, dan keterangan-keterangan yang demikian
tepatnya, sehingga meyakinkan bahwa tak mungkin
Muhammad yang buta huruf itu dapat menulisnya sendiri”.
Lanjutan
• Pujian terhadap Al-Qur’an ditulis pula oleh Dr. John
William Draper:
“Al-Qur’an mengandung sugesti-sugesti dan presep-
presep moral yang cemerlang, yang sangat berlimpah-
limpah; ssusunannya demikian progmenter sehingga
kita tidak dapat membuka satu lembaran tanpa
menemukan ungkapan-ungkapan yang harus diterima
oleh sekalian orang. Susunan progmenter ini
mengemukakan teks-teks, motto dan peraturan-
peraturan yang sempurna sendirinya, sesuai bagi
setiap orang untuk setiap peristiwa dalam hidup”
4. Al-Qur’an Hidayah Sempurna
• Al-Qur’an adalah sumber hidayah dan petunjuk, sumber
syari’ah dan hukum-hukum yang wajib dijadikan pedoman
dan diikuti oleh manusia supaya memperoleh kedamaian,
ketenteraman, dan kebahagiaan hidup di dunia dan
keselamatan di akhirat. Allah berfirman: “Wahai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran
dari Tuhanmu (Muhammad dengan risalahnya) dan telah
Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang”
(An-Nisaa’, 4:174). Kemudian, “Wahai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman” (Yunus, 10:57). Kemudian, “(Al-
Qur’an) ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang meyakini” (Al-Jaasiyah, 45:20).
5. Komitmen Terhadap Al-Qur’an
• Ada empat sikap yang menunjukkan komitmen muslim
terhadap Al-Qur’an:
1. Mengimami Al-Qur’an, yaitu meyakini bahwa Al-Qur’an
adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad.
2. Mempelajari Al-Qur’an, merupakan pengejawantahan
rahmat Allah. Mempelajarinyanya berarti membuka pintu
rahmat Allah.
3. Mengamalkan Al-Qur’an, adalah inti dari komitmen setiap
muslim karena segala yang dikandungnya bukan hanya
ditujukan untuk dipahami, melainkan membentuk mental
dan sikap jiwa qurani.
4. Mendakwahkan Al-Qur’an, yaitu mensosialisasikan nilai-
nilai yg terkandung dlm Al-Qur’an kpd orang lain dr mulai
lingkungan keluarga hingga masyarakat pada umumnya.
B. As-Sunnah sebagai Sumber Ajaran

1. Pengertian As-Sunnah
* Dari segi bahasa, sunnah (sunah) berarti cara, jalan,
kebiasaan, dan tradisi, mencakup yang baik dan buruk.
* Arti sunnah yang populer adalah “at-tariqah al-mu’tadah
hasanah kanat am sayyiah”, yaitu suatu cara yang berlaku,
baik cara itu bersifat terpuji maupun tercela.
* Kata sunnah dalam Al-Quran diulang 16 kali pada 11 surat.
14 kali dalam bentuk mufrad (tunggal), yaitu sunnah dan 2
kali dalam bentuk jamak, yaitu sunan.
* Penyebutan kata sunnah dalam Al-Qur’an pada umumnya
merujuk pada pengertian bahasa, yakni cara atau tradisi.
* Lafaz sunnah dalam hadis Nabi pun mengandung makna
bahasa.
Makna sunnah secara etimologi menurut Muhammad ‘Ajaj Al-
Khatib (1975) identik dengan hadis, yaitu informasi yang
disandarkan kpd Rasulullah Saw, berupa ucapan, perbuatan, atau
keizinan.
• Hal ini ditegaskan pula oleh Asy-Syaukani dalam Al-Irsyad
(t,t).
• Sunnah merupakan salah satu nama dari dalil-dalil hukum.
• Apabila suatu hukum ditetapkan berdasarkan sunnah,
maksudnya adalah dasar dari ketetapan hukum tersebut
ialah keterangan dari Nabi Muhammad, baik berupa
ucapan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’iliyah),
maupun ketetapan atau keizinannya (sunnah taqririyah).
• Istilah sunnah juga dominan dlm bidang fiqh (fikih),
digunakan untuk menunjukkan sifat dari suatu hukum,
misalnya apabila dikatakan bhw ketetapan agama yang
derajat hukumnya sunnah, yaitu “ma yusabu ‘ala fi’lihi wala
yu’aqabu ‘ala tarkihi “ (perbuatan yg diberi pahala bagi yg
mengerjakannya dan tdk disiksa bagi yg meninggalkannya).
2. Kedudukan As-Sunnah
• Allah menetapkan syari’at (peraturan-peraturan) dan
menurunkannya secara bertahap melalui para Nabi-Nya
supaya menjadi pedoman hidup manusia agar selamat
dunia dan akhirat.
• Nabi Muhammad sebagai Rasul diberi tugas untuk
membacakan dan mengajarkan wahyu kepada umat
manusia, menerangkan makna yang tersurat dan tersirat,
menjelaskan hukum-hukum dan memberikan contoh
penerapannya. Sejalan dgn tgs itu, segala keterangan Nabi
yg terbukti sahih mrpkn bagian wahyu itu sendiri.
• As-Sunnah atau hadis sahih itu merupakan pedoman
pengamalan Islam dan merupakan sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an.
Ke-hujjah-an As-Sunnah didukung argumen-argumen sbb:
a. Pengamalan As-Sunnah sebagai konsekuensi iman kpd Rasul.
(Iman kepada kerasulan Muhammad adalah salah satu
bangunan aqidah Islam).
b. Keterangan Al-Qur’an tentang Rasul. (Terdapat ayat-ayat
yang menyatakan keberadaan dan posisi Rasul, sebagai juru
baca Alkitab, hakim pemutus perkara, contoh dan teladan).
c. Pernyataan Rasul mengenai As-Sunnah. (Rasul menerangkn,
mnytkn, mngskn, dan mmrnthkn spy mlksnkn sunnahnya).
d. Ijmak Shbt utk mngmlkn As-Sunnah. (Para shbt mlksnkn dn
mnjdkn Sunnah Rasul sbg pijakan utk mmprlh kjlsn dn
perincian hkm dn dalil-dalil Al-Qur’an yg bersifat umum,
serta menjadikan sunnah sebagai rujukan bg penyelesaian
urusan yang hukumnya tidak tersurat dalam Al-Qur’an.
e. Kbrdaan Al-Qur’an mnghrskn adanya As-Sunnah. (As-Sunnah
brfgsi sbg penjelasan teoritis maupun praktis di Rasulullah).
3. Posisi As-Sunnah dalam Syari’ah Islam
• Dilihat dari hirarchi sumber hukum Islam, As-Sunnah
menempati tempat kedua setelah Al-Qur’an. Penempatan
ini disebabkan karena perbedaan sifat di antara keduanya.
• Dilihat dari segi periwatannya, Al-Qur’an bersifat qati’ al
wurud (kualitas periwatannya bersifat pasti), sementara As-
Sunnah bersifat zanni al wurud (kualitas periwayatannya
bersifat relatif)
• As-Syatibi memberikan argumentasi lain terhadap As-
Sunnah. Beliau menyatakan bahwa kenyataan As-Sunnah
sbg penjelas dan penjabar Al-Qur’an menunjukkan bhw yg
menjelaskan itu lbh rdh kedudukannya dari yg dijelaskan.
Hal itu scr logika dpt dijelaskan bhw “jika tdk ada mubayyan
(yang dijelaskan), maka bayan (penjelasan) mestilah tidak
ada, ttp jika tidak ada bayan, maka mubayyan tidak ada”.
4. Sunnah Tasyry dan Gairu Tasyry
• Sunnah Tasyry adalah sunnah yang membentuk hukum.
• Sunnah Gairu Tasyry adalah sunnah yang tidak membentuk
hukum.
• Semua informasi yang menyangkut Rasul Allah itu, baik
ucapan, perbuatan maupun ketetapannya dikelompokkan
ke dalam beberapa bagian:
a. Bersifat al-hajah al-basyariyah (kebutuhan yang bersifat
kemanusiaan), seperti makan dan minum.
b. Mencerminkan tradisi pribadi dan masyarakat, seperti
urusan pertanian dan pengobatan.
c. Pengaturan urusan tertentu seperti bertempur.
Tiga persoalan di atas bukan tasyry dan tidak juga menjadi
sumber tasyry.
d. Bersifat tasyry membentuk hukum, meliputi tiga hal, yaitu:
1. Merupakan pengejawantahan dari misi kerasulan, seperti
penjabaran Al-Qur’an yang meliputi lafaz mujmal (yang
perlu perincian), pengkhususan atas lafaz ‘am (umum),
pengikatan lafaz mutlaq (yang bermakna lepas), dan
penjelasan aspek ibadah yang meliputi perkara-perkara
yang halal dan haram, aqidah dan akhlak. Jenis ini
merupakan tasyry yang universal.
2. Aturan yg berkaitan dgn imamah (kepemimpinan) dan
tadbir (pengurusan) yang bersifat umum utk kepentingan
jamaah, sprt pengutusan pasukan utk perang, penetapan
arah penggunaan distribusi harta dari baitul mal dan
ganimah (rampasan perang), serta pembuatan akad
perdamaian. Ini termasuk tasyry yang bersifat khusus.
3. Keputusan-keputusan Rasul dlm kedudukan beliau sebagai
hakim atas kasus-kasus yang terjadi pd saat itu. Jenis ini
pun termasuk kategori tasyry yang tidak umum.
5. Fungsi As-Sunnah Terhadap Al-Qur’an
• Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an pada garis besar
terbagi tiga:
a. As-Sunnah sebagai Penguat Al-Qur’an (berfungsi sebagai
penguat pesan-pesan atau peraturan-peraturan yang
tersebut dalam ayat-ayat Al-Qur’an, misalnya Al-Qur’an
menyebutkan suatu kewajiban, lalu Rasul dalam Sunnahnya
menguatkan kewajiban dan larangan tersebut. Dalam
menguatkan pesan-pesan Al-Qur’an, As-Sunnah berperan,
antara lain:
1. menegaskan kedudukan hukum, seperti penyebutan
hukum wajib atau fardu.
2. menerangkan posisi kewajiban kewajiban atau larangan
dalam syariat Allah.
3. menjelaskan sanksi hukum bagi pelanggarnya.
b. As-Sunnah sebagai Penjelas Al-Qur’an
• As-Sunnah memberikan penjelasan terhadap maksud ayat
Al-Qur’an, antara lain:
1. Menjelaskan makna-makna yang rumit dari ayat-ayat Al-
Qur’an.
2. Mengikat makna-makna yang bersifat lepas (taqyid al-
mutlaqah) dari ayat-ayat Al-Qur’an.
3. Mengkhususkan ketetapan yang disebut Al-Qur’an secara
umum (takhsis al ‘am).
4. Menjelaskan ruang lingkup masalah yang terkandung
dalam nas-nas Al-Qur’an.
5. Menjelaskan mekanisme pelaksanaan dari hukum-hukum
yang ditetapkan Al-Qur’an, misalnya tentang tata cara
salat, haji, dan puasa yang menjelaskan bagaimana Rasul
melaksanakannya.
c. As-Sunnah sebagai Pembuat Hukum
• Sunnah menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-
Qur’an. Misalnya Al-Qur’an menyebutkan empat macam
makanan yang haram dalam firmannya, surat Al-Maidah,
5:3, yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas
nama selain Allah, yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh,
yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk
berhala. Dan diharanmkan pula bagimu mengundi nasib
dengan anak panah karena itu sebagai kefasikan”.
• Kemudian As-Sunnah datang dengan ketetapan baru
menambah jumlah barang yang dilarang dimakan sebagai
berikut: Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah melarang
(memakan) setiap binatang buas yang bertaring dan burung
yang berkaki penyambar. (H.R. Muslim dari Ibnu Abbas).
6. Otoritas As-Sunnah sebagai Sumber Hukum
• Al-Siba’i mengatakan bahwa dari ketiga fungsi Sunnah sebagai
diterangkan di atas, dua yang pertama disepakati oleh para ulama,
sementara yang ketiga diperselisihkan.
• Adapun masalah pokok yang diperselisihkan itu apakah As-Sunnah
dapat menetapkan suatu hukum tanpa tergantung kepada Al-
Qur’an, atau apakah penetapan produk hukum baru itu selalu
mempunyai pokok (asl) dalam Al-Qur’an.
• Dalam persoalan tsb, jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat
bahwa Nabi Muhammad mempunyai otoritas untuk membuat
hukum. Dalil yang dimajukan kelompok mayoritas itu antara lain:
a. Selama Nabi diyakini maksum, maka otoritasnya utk melakukan
tasyry adalah suatu hal yang dapat diterima akal.
b. Kenyataan banyak nas Al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya
ittiba’ (mengikuti) Sunnah Rasul tanpa membeda-bedakan apakah
sunnah itu mubayyinah (menjelaskan) atau muakkidah
(menguatkan) atau mustaqillah (memiliki otoritas untuk
menetapkan suatu hukum). Kenyataannya banyak hadis Rasul yg
menunjukkan bhw Al-Qur’an dn Sunnah merpkn rujukan utama.
Kelompok lain berpendapat bahwa ketetapan As-Sunnah selalu
merujuk Al-Qur’an karena As-Sunnah tiada lain adalah penjelas
Al-Qur’an. Kelompokj ini mengemukakan argumen sbb:
a. Kenyataan bahwa tidak dijumpai suatu perkara dalam As-
Sunnah kecuali Al-Qur’an sendiri telah menunjukkan
maknanya baik secara global maupun terurai.
b. Bahwa kewajiban untuk menaati As-Sunnah yang menjadi
argumen jumhur diartikan sebagai ketaatan kepada Rasul
dalam kedudukannya sebagai penjelas.
Jika dianalisis perselihan pndpt di atas, sebenarnya ditemukan
adanya persamaan, yaitu sama-sama menetapkan adanya
hukum-hukum yang terbit dari As-Sunnah. Hanya saja
kelompok jumhur ulama melihat produk hukum dari As-
Sunnah sbg berdiri sendiri. Adapun kelompok kedua mlht
produk hkm sbg sesuatu yg tdk terlepas dari konteks Al-
Qur’an. Disepakati olh para ahli bhw As-Sunnah memiliki
kualitas mutawatir atau hadis-hadis sahih.
C. Ijtihad
1. Ijtihad adalah derivasi dari kata jahada, artinya berusaha
sungguh-sungguh.
2. Dalam pengertian terminologi hukum, Mukti Ali (1990)
menyebutkan bahwa ijtihad adalah berusaha sekeras-
kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas tentang
sesuatu masalah hukum.
3. Ijtihad mrpkn pekerjaan akal dlm memahami masalah dan
menilainya berdasarkan isyarat-isyarat Al-Qur’an dan As-
Sunnah kemudian mntpkn ksmpl mengenai hkm masalah
tsb. Krn itu Ijtihad dpt dsbt sebagai upaya mencurahkan
segenap kemampuan utk merumuskan hkm syara’ dengan
cara istimbat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maksudnya
menggunakan kemampuan ta’aqquli atau rasional guna
merumuskan hkm yang tdk dsbt scr eksplisit pd Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Dlm kata lain, ijtihad berarti proses pnltn
hkm secara ilmiah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
* Objek ijtihad adalah perbuatan yang secara eksplisit
tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
* Hal ini memberikan pengertian bahwa suatu perbuatan
yang hukumnya telah ditunjuk secara jelas, tegas, dan
tuntas oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah tdk termasuk
kategori objek ijtihad.
* Reaktualisasi hukum atas sesuatu perbuatan tertentu yang
telah diatur secara final oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
termasuk katagori tahrif (pengubahan) dan tabdil
(penggantian) alias penyelewengan dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
* Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-
Qur’an dan Sunnah
* Ijtihad dipandang sebagai aktivitas penelitian ilmiah karena
itu bersifat relatif.
* Relativitas ijtihad ini menjadikannya sebagai sumber nilai
yang bersifat dinamis.
* Pintu ijtihad selalu terbuka, termasuk membuka kembali
fiqh-fiqh yang merupakan produk ijtihad lama.
* Pemutlakan terhadap produk ijtihad pada hakekatnya
merupakan pengingkaran terhadap kemutlakan Allah,
karena yang sesungguhnya mutlak hanyalah Allah.
* Dalam kaitannya dengan objek ijtihad, Yusuf Qardawi
menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) agenda besar ijtihad
yang dituntut oleh peradaban modern dewasa ini, yakni
ijtihad di bidang hubungan keuangan dan ekonomi serta
bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran. Satu hal yang
disepakati para ulama bahwa ijtihad tidak boleh merambah
dimensi ibadah mahdah. Maksudnya ijtihad tdk berlaku
bagi perumusan hkm aktivitas ibadah formal kepada Allah,
seperti salat, puasa. Sebab itu merupakan hak Allah. Allah
sendiri yg memiliki hak utk menentukan mcm dn caranya.
2. Metode Ijtihad
a. Qiyas (reasoning by analogy), yaitu menerapkan hukum perbuatan
tertentu kepada perbuatan lain yang memiliki kesamaan. Misalnya
Al-Qur’an melarang jual beli ketika Jum’at (Al-Jumu’ah, 62:9) dan
hukum perbuatan selain dagang juga terlarang, karena sama-sama
mengganggu salat Jum’at.
b. Istihsan, yaitu menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan
prinsip umum ajaran Islam, seperti prinsip keadilan dan kasih
sayang. Misalnya, seseorang mesti memilih satu dari dua alternatif
perbuatan yang sama-sama buruk. Maka ia mengambil salah satu
yang diyakini paling ringan keburukannya.
c. Masalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum berdasarkan tujuan
kegunaan atau kemanfaatannya seseuai dengan tujuan syari’at.
Perbedaannya dengan istihsan adalah jika istihsan menggunakan
konsiderasi hukum-hukum universal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
atau menggunakan dalil-dalil umum dari kedua sumber tersebut,
sedangkan masalihul mursalah menitikberatkan kpd kemanfaatan
perbuatan dan kaitannya dgn tujuan universal syari’at Islam.
BAB IV
KERANGKA DASAR AJARAN ISLAM
• Islam pada hakekatnya adalah aturan atau undang-undang
Allah yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-
Nya yang meliputi :
1. perintah-perintah (amar ma’ruf),
2. larangan-larangan (nahi mungkar), serta
3. petunjuk-petunjuk (i’tibbar).
supaya menjadi pedoman hidup dan kehidupan umat
manusia guna kebahagiaannya di dunia dan akhirat.
• Secara umum aturan itu meliputi 3 (tiga) hal pokok, yaitu
aqidah, syari’ah, dan akhlak.
• Sebagian ahli membaginya ke dalam 2 (dua) hal, yaitu
aqidah dan syari’ah dengan memasukkan akhlak ke dalam
bidang syari’ah.
1. Aqidah

• Sebagaimana agama-agama pada umumnya yang memiliki


sistem kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan, Islam
mengandung sistem keyakinan yang mendasari seluruh
aktivitas pemeluknya yang disebut aqidah.
• Aqidah Islam berisikan ajaran tentang apa saja yang mesti
dipercayai, diyakini dan diimami oleh setiap orang Islam.
• Karena agama Islam bersumber kepada kepercayaan dan
keimanan kepada Tuhan, maka aqidah merupakan sistem
kepercayaan yang mengikat manusia kepada Islam.
• Seorang manusia disebut muslim manakala dengan penuh
kesadaran dan ketulusan bersedia terikat dengan sistem
kepercayaan Islam. Karena itu, aqidah merupakan ikatan
dan simpul dasar Islam yang pertama dan utama.
Sistem kepercayaan Islam atau aqidah dibangun di atas
6 (enam) dasar keimanan yang lazim disebut Rukun
Iman (Arkanul Iman)
Rukun Iman meliputi keimanan kepada Allah, para
Malaikat, Kitab-kitab, para Rasul, Hari Akhir dan Qada
dan Qadar-Nya. Allah berfirman, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang
diturunkan kepada Rasul-Nya serta Kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barang siapa ingkar kepada
Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-
rasul-Nya dan Hari Kemudian, maka sesungguhnya
orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisaa’,
4:136).
Berdasarkan enam fondasi iman tersebut, maka keterikatan
setiap muslim kepada Islam yang semestinya ada pada jiwa
setiap muslim adalah:
(1) Meyakini bahwa Islam adalah agama yang terakhir,
mengandung syari’at yang menyempurnakan syari’at-
syari’at yang diturunkan Allah sebelumnya. Allah berfirman
yang artinya: “Tidaklah Muhammad seorang bapak (bagi)
salah seorang di antara kamu, melainkan dia itu utusan
Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui
atas segala sesuatu”. (Al-Ahzab, 33:40). Firman Allah yang
lain: “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu
agama mu, dan telah Ku cukupkan nikmat-Ku bagi mu, dan
telah Kuridai Islam menjadi agama bagi mu”. (Al-Maidah,
5:3). “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu
Rasul kami menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab
yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula) yang
dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kpdmu cahaya
dari Allah dan kitab yg menerangkan”. (Al-Maidah, 5:15).
(2) Meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar
di sisi Allah. Islam datang dengan membawa kebenaran yang
bersifat absolut guna menjadi pedoman hidup dan kehidupan
manusia selaras dengan fitrahnya.
Allah berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya agama (yang
benar) itu pada sisi Allah adalah Islam”. (Ali Imran, 3:19).
Firman Allah pada ayat lain, yang artinya: “Barang siapa
yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima dari adanya dan ia di akhirat (termasuk) dari
orang-orang yang merugi”. (Ali Imran, 3:85).
(3) Meyakini bahwa Islam adalah agama yang universal serta
berlaku untuk semua manusia dan mampu menjawab
segala persoalan yang muncul dalam segala lapisan
masyarakat dan sesuai dengan tuntutan budaya manusia.
Allah berfirman, yang artinya: “Dan tiadalah Kami utus
kamu melainkan (bersifat) universal bagi semua manusia
sebagai berita gembira dan peringatan. Akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (A-Saba’, 34:28).
2. Syari’ah
• Komponen Islam yang kedua adalah syari’ah yang berisi
peraturan dan perundang-undangan yang mengatur
aktivitas yang seharusnya dikerjakan manusia.
• Syari’at adalah sistem nilai yang merupakan inti ajaran
Islam.
• Syari’at atau sistem nilai Islam ditetapkan oleh Allah sendiri.
Dalam kaitan ini Allah disebut Syaari atau pencipta hukum.
Allah berfirman, yang artinya:
“Atau adakah bagi mereka sekutu-sekutu yang membuat
peraturan untuk mereka sebagai agama yang tidak
diizinkan Allah? Dan sekiranya tidak karena kalimat takdir,
niscaya ia telah diberi keputusan di antara mereka; dan
sesungguhnya orang-orang yang zalim itu (adalah) bagi
mereka azab yang pedih”. (Asy-Suura, 42:21).
Sistem Nilai Islam secara umum meliputi dua bidang:

a. Syari’at yang mengatur hubungan manusia secara vertikal


dengan Allah. Dalam konteks ini syari’at berisikan
ketentuan tentang tata cara peribatan manusia kepada
Allah, seperti kewajiban salat, puasa, zakat, dan haji ke
Baitullah. Hubungan manusia dengan Allah ini disebut
ibadah mahdah atau ibadah khusus, karena sifatnya yang
khas dan sudah ditentukan secara pasti oleh Allah dan
dicontohkan secara rinci oleh Rasulullah.
b. Syari’at yang mengatur hubungan manusia secara
horizontal, yakni hubungan sesama manusia dan makhluk
lainnya yang disebut muamalah. Meliputi ketentuan
perundang-undangan yang mengatur segala aktivitas
hidup manusia dalam pergaulan dengan sesamanya dan
dengan alam sekitarnya.
Adanya subsistem muamalah ini membuktikan bahwa Islam
tidak meninggalkan urusan dunia, bahkan tidak pula mela-
kukan pemisahan antara persoalan dunia dan akhirat. Bagi
Islam, ibadah yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya bukan
sekedar menjalankan peribadatan yang bersifat formal
belaka, melainkan disuruhnya agar semua aktivitas hidup
dijalankan manusia hendaknya bernilai ibadah. Ajaran ini
sesuai dgn konsep dasar Islam tentang tujuan diciptakannya
manusia supaya beribadah. Firman Allah, yang artinya:
“Dan tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya
beribadah kepada-Ku”. (Az-Zaariyaat, 51:56).
Hub. horizontal ini dsbt pula dgn istilah ibadah gair mahdah
atau ibadah umum, karena sifatnya yg umum di mana Allah
atau Rasul-Nya tdk memerinci mcm dan jenis perilakunya
tetapi hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja.
3. Akhlak

• Akhlak merupakan komponen dasar Islam yang ketiga


yang berisi ajaran tentang tata perilaku atau sopan
santun. Atau dgn kata lain akhlak dapat dsbt sbg aspek
ajaran Islam yg mengatur perilaku manusia. Dalam
pembahasan akhlak diatur mana perilaku yang
tergolong baik dan perilaku buruk.
• Akhlak maupun syari’ah pada dasarnya membahas
perilaku manusia, yang berbeda di antara keduanya
adalah materia. Syari’ah melihat perbuatan manusia
dari segi hukum, yaitu wajib, sunat, mubah, makruh,
dan haram. Sedangkan akhlak melihat perbuatan
manusia dari segi nilai atau etika, yaitu perbuatan baik
dan perbuatan buruk.
4. Keterkaitan antara Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak
• Aqidah, syari’ah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu
kesatuan dalam ajaran Islam. Ketiga unsur tersebut dapat
dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
• Aqidah sebagai sistem kepercayaan yang bermuatan
elemen-elemen dasar keyakinan, menggambarkan sumber
dan hakikat keberadaan agama.
• Sementara syari’ah sebagai sistem nilai berisi peraturan
yang menggambarkan fungsi utama.
• Sedangkan akhlak sebagai sistem etika menggambarkan
arah dan tujuan yang hendak dicapai agama.
• Olh krn itu, ketiga komponen tsb seyogyanya terintegrasi
dlm diri seorang muslim. Ibarat sebuah pohon, akarnya
aqidah, sementara batang, dahan dan daunnya adalah
syari’ah, sedangkan buahnya adalah akhlak.
Muslim yg baik adl orang yg memiliki aqidah yg lurus
dan kuat yang mendorongnya utk melaksanakan
syari’ah yg hanya ditujukan kepada Allah sehingga
tergambar akhlak yg terpuji pada dirinya.
• Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yg melakukan
sesuatu perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi oleh aqidah
atau keimanan, maka orang itu termasuk ke dlm kategori
kafir.
• Seseorang yang mengaku beraqidah atau beriman, tetapi
tidak mau melaksanakan syari’ah, maka dsbt fasik.
• Sedangkan orang yang mengaku beriman dan
melaksanakan syari’ah tetapi dengan landasan aqidah yang
tidak lurus disebut munafik.
• Aqidah, syari’ah, dan akhlak dlm Al-Qur’an dsbt iman dan
amal saleh. Iman menunjukkan makna aqidah, sedangkan
amal saleh menunjukkan pengertian syari’ah dan akhlak.
Khusus Tentang Kafir

• Kata kafir (kufr) sendiri yang berulang sebanyak


525 kali dalam Al-Qur’an, semuanya dirujukkan
kepada arti ”menutupi”, yaitu menutup-nutupi
nikmat dan kebenaran dalam arti Tuhan (sebagai
sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam
arti ajaran-ajaran yang disampaikan melalui
Rasul-Rasul-Nya.
• Seperti keimanan yang dimiliki oleh setiap orang
tidak sama tingkatannya antara yang satu dengan
lainnya, demikian juga kekafiran.
Macam-macam Kafir

• Karena itu, ada beberapa jenis kekafiran yang disebutkan


Al-Qur’an, di antaranya:
1 .Kafir (kufr) inkar, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran
terhadap eksistensi Tuhan, Rasul-Rasul-Nya, dan seluruh
ajaran yang mereka bawa.
2. Kafir (kufr) juhud, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran
terhadap ajaran-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa
apa yang diingkari itu adalah benar.
3. Kafir (kufr) nifaq/munafik, yaitu kekafiran yang mengakui
Tuhan, Rasul dan ajarannya dengan lidah tetapi
mengingkarinya dengan hati, menampakkan imani dan
menyembunyikan kekafirannya.
Lanjutan

4. Kafir (kufr) syirik, yaitu mempersekutukan Tuhan dengan


menjadikan sesuatu, selain dari-Nya, sbg sembahan, obyek
pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan. Syirik
digolongkan sbg kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari
kekuasaan Tuhan, jg mengingkari Nabi-Nabi dan wahyu-Nya.
5. Kafir (kufr) nikmat, yakni tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan
menggunakan nikmat itu pada hal-hal yang tdk diredhoi-Nya.
6. Kafir (kufr) murtad, yaitu kembali menjadi kafir sesudah
beriman atau ke luar dari Islam.
7. Kafir (kufr) Ahlul-kitab, yakni non-Muslim yg percaya kpd Nabi
dan Kitab suci yg diwahyukan Tuhan melalui Nabi kpd mereka.
5. Akhlak dan Konsepsi Tasawuf
• Dalam konsepsi etika atau akhlak dikenal istilah “tasawuf”,
yang mulai populer ketika umat Islam dipimpin oleh Dinasti
Muawiyah pada abad ke-8 Masehi. Tidak dikenal siapa
pencetusnya, dan diketahui secara pasti mengenai
pengertian terminologisnya.
• Beberapa literatur menyebutkan bahwa tasawuf muncul
dengan berlatar belakang gerakan moral yang dilakukan olh
suatu kelompok umat Islam untuk meningkatkan kualitas
peribatan kepada Allah Swt. Dengan cara melakukan uzlah
(meninggalkan) kemewahan dunia.
• Mereka hidup dgn amat sederhana (ascetic) sebagai bentuk
perlawanan moral trhadp suasana kehidupan umat ketika
itu yang cenderung hidup bermewah-mewahan. Tujuan
mereka adalah mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada
Allah Swt. Sehingga dapat melihat zat Allah dengan mata
hatinya, serta merasakan kehadiran-Nya secara rohaniah.
Dalam perkembangan selanjutnya, ada juga kelompok yang
menjadikan tasawuf sbg suatu metode spesifik utk meningkatkan
kualitas pendekatan jiwa secara ekstrim kepada Allah Swt.
• Bagi kelompok ini, Allah Swt yang bersifat immateri hanya
bisa didekati oleh sesuatu yang immateri pula, yakni
dengan jiwa. Dan karena Zat Allah itu Mahasuci, maka jiwa
yang bisa mendekatinya hanyalah jiwa yang bersih pula.
• Persoalan berikutnya adalah bagaimanakah cara penyucian
jiwa sehingga bisa mendekati Zat immateri Yang Mahasuci
itu?
• Menurut kelompok ini, jiwa bisa mencapai tahap suci jika
dilatih (riyadah) melalui sejumlah tahapan tertentu
(maqam, staion), yang dimulai dengan:
1. Pengasingan diri (uzlah) dari kehidupan dunia dengan
metoda: taubah (tobat), sabar (sabar), zuhud (sederhana),
tawakkal (tawakal) dan mahabbah (cinta).
lanjutan
2. Penegasian diri, yang dilakukan dengan metoda: ma’rifah
(melihat zat Allah secara sesungguhnya), fana dan baqa
(hilangnya kesadaran diri terhadap tubuh kasar atau
jasmani),
3. Fase puncaknya adalah ittihad (menyatukan jiwa manusia
dalam wujud Allah) atau hulul (menyatukan wujud Allah
dalam jiwa raga manusia).
Demikian pemaknaan tasawuf bagi beberapa kelompok. Apa
dan bagaimanakah kita mendudukkan tasawuf dalam
konteks sistem etika Islam.
Konsepsi etika, mulai dari segi filosofi dan dasar-dasar
bangunannya hingga sikap, watak dan adat yang mesti
dipelihara dan dikembangkan oleh manusia, pada dasarnya
diletakkan oleh Allah Swt dlm Kitab-Nya dan melalui akhlak
yg dicontohkan scr konkret olh Rasulullah dlm perilakunya
sehari-hari. (lih. Q.s. Al-Qalam, 68:4) dan (Al-Ahzab, 33:21).
Konsepsi tasawuf dapat diterima sepanjang memanifestasikan
ajrn akhlak, yakni mlth kesucian jiwa dn budi pekerti yg baik.
Misalnya melatih sikap zuhud dalam pengertian “hati tidak
dikendalikan atau didominasi oleh dunia”, dan sikap tawakkal dalam
pengertian “berikhtiar dengan keras lalu berserah diri kepada Allah
atas dasar segala hasil yang diraihnya”, dan latihan-latihan kejiwaan
lainnya yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan contoh Rasul.
Karena yang demikian itu, pada dasarnya adalah akhlak Islam, dan
kalaupun ada perbedaan maka hanya terletak pada istilah semata,
yakni istilah akhlak dan tasawuf.
Adapun pelatihan sikap dengan tasawuf yang makna dan maksudnya
menyalahi semangat dan contoh ajaran Allah dan Rasul-Nya, seperti
zuhud yg diartikan dgn “sikap menegasi (meninggalkan) kehidupan
dunia, dan tawakkal” yang dimaknai dgn berserah diri kpd Allah scr
pasif tanpa perlu “ikhtiar”, serta berlebih-lebihan pada tasawuf
yang bersifat ektrim seperti “ittihad” (bersatunya jiwa manusia dgn
wujud Allah), dan “hulul” (bersatunya wujud dgn jw rg manusia),
maka yg demikian itu bkn saja tdk blh msk dlm sistem etika Islam,
melainkan seharusnya dibuang jauh-jauh dari ajaran Islam.
6. Islam dan Relevansinya dengan Ilmu-ilmu lain
• Hukum-hukum muamalah yang dibawa Islam cukup
lengkap.
• Al-Qur’an memberikan prinsip-prinsip umum yang
sempurna guna menjadi landasan bagi penyelesaian
problema pergaulan dan perumusan hukum-hukum
kemasyarakatan. Allah berfirman, yang artinya : “Dan Kami
turunkan kepadamu kitab yang menerangkan bagi segala
sesuatu dan petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri”. (An-Nahl, 16:89). Firman
Allah Swt dalam ayat lain: “Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun di dalam Alkitab”. (Al-An’aam, 4:38).
• Namun demikian, kehidupn umat manusia, sesuai dengan
sunnatullah (hukum alam), yakni bersifat tajaddud atau
berkembang dari satu waktu ke waktu lainnya scr dinamis
mengikuti sunnah kehidupan.
Peristilihan hukum yang berlaku dan atau digunakan dalam
masyarakat, baik dalam konteks sosial maupun ekonomi dan
politik, juga berkembang dari satu masa ke masa berikutnya.
Sementara Al-Qur’an yang merupakan sumber hukum Islam
tidak memuat segala peristilahan yang baru itu.
Dalam kaitan inilah, Islam membuka pintu ijtihad sebagai
alternatif cara untuk merumuskan hukum-hukum
kemasyarakatan yang belum ditunjuk secara eksplisit di
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ijtihad dlm hkm-hkm muamalah yg baru memiliki kaitan yg
signifikan dgn ilmu-ilmu hukum, ekonomi, sosial, politik,
teknologi dan bidang serta disiplin ilmu lainnya.
Karena dlm soal muamalah Islam hanya memberikan prinsip-
prinsip dasarnya saja, sdngkan bntk-bntk operasional lebih
lanjut, diserahkn kpd pkrn manusia yg dlm pelaksanaannya
akan berhubungan dgn konsep ilmu-ilmu tsb.
BAB V
AQIDAH
1. Pengertian Aqidah (etimologis)
• Aqidah berasal dari kata ‘aqada-ya’qidu-’aqdan yang
berarti simpul, ikatan, dan perjanjian yang kokoh dan
kuat.
• Setelah terbentuk menjadi ‘aqidatan (aqidah) berarti
kepercayaan atau keyakinan.
• Kaitan antara aqdan dengan ‘aqidatan adalah bahwa
keyakinan itu tersimpul dan tertambat dengan kokoh
dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung
perjanjian.
• Makna aqidah secara etimologis ini akan lebih jelas
apabila dikaitkan dengan pengertian terminologisnya.
Lanjutan

• Secara terminologis, Hasan Al-Banna dalam Majmu’ar-


Rasaail :
“ ’Aqaid (bentuk jamak dari ‘aqidah) adalah beberapa
perkara yang wajib diyakini kebenarannya olh hati,
mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan
yang tdk tercampur sedikitpun dgn keragu-raguan”.

• Abu Bakar Al-Jazairi dalam kitab ‘Aqidah al-Mukmin:


“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat
diterima secara mudah oleh manusia berdasarkan akal,
wahyu (yang didengar) dan fitrah. Kebenaran itu
dipatrikan dalam hati, dan ditolak segala sesuatu yang
bertentangan dengan kebenaran itu”.
Dari dua pengertian tsb ada beberapa hal penting yang harus
diperhatikan dlm memahami aqidah scr lebih tepat dan jelas.

1. Setiap manusia memiliki fitrah utk mengakui kebenaran dgn


potensi yg dimilikinya. Indra dn akal digunakan utk mencari dan
menguji kebenaran, sedangkan wahyu menjadi pedoman untuk
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
2. Keyakinan itu harus bulat dan penuh, tidak berbaur dengan
kesamaran dan keraguan. Olh krn itu, utk sampai kpd keyakinan,
manusia hrs memiliki ilmu sehingga ia dpt menerima kebenaran
dengan sepenuh hati setelah mengetahui dalil-dalilnya.
3. Aqidah hrs mampu mendatangkan ketentraman jiwa kpd orang yg
meyakininya. Utk itu, diperlukan adanya kslrasn antara keyakinan
lahiriah dan batiniah. Pertntngan antara kedua hal tsb akn mlhrkn
kemunafikan. Sikap munafik ini akan mendatangkan kegelisahan.
4. Apabila seseorang telah meyakini suatu kebenaran, maka
konsekuensinya ia harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal
yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu.
2. Istilah Aqidah dalam Al-Qur’an

• Tidak ada satu ayat pun di dlm Al-Qur’an yg scr


literal menunjuk pd istilah aqidah.
• Namun demikian, kita dapat menjumpai istilah
tersebut dlm akar kata yg sama (‘aqada), yaitu :
1. Kata ‘aqadat, tercantum pada (An-Nisaa’, 4:33).
2. Kata aqadtum (Al-Maidah, 5:89).
3. Kata uqud (Al-Maidah, 5:1).
4. Kata ‘uqdah (Al-Baqarah, 2:235).
5. Kata uqadi (Al-Falaq, 113:4).
3. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah

Menurut Hasan Al-Bana, meliputi:


a. Ilahiyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yg
berhubungan dengan ilah (Tuhan), seperti wujud Allah,
nama-nama dan sifat-sifat Allah, perbuatan-perbuatan
(afa’l) Allah, dll.
b. Nubuwwah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yg
berhubngan dgn nabi dan rasul, termasuk pembicaraan
mengenai kitab-kitab Allah, mukjizat, dsb.
c. Ruhaniah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubngn dgn alam metafisik, seperti malaikat, jin, iblis,
setan dan ruh.
d. Sam’iyah, yaitu pembahasan ttng segala sesuatu yg hanya
bisa diket. melalui sam’i, yakni dalil naqli brp Al-Qur’an
dan As-Sunnah, spt alam barzah, akhirat, azab kubur dsb.
B. Iman Kepada Allah Swt.
* Kayakinan kepada Allah YME (tauhid) mrpkn titik pusat
keimanan, karena itu setiap aktivitas seorang muslim
senantiasa dipertautkan scr vertikal kpd Allah Swt.
• Pekerjaan seorang muslim yang dilandasi keimanan
dan dimulai dengan niat karena Allah akan mempunyai
nilai ibadah di sisi Allah. Sebaliknya pekerjaan yang
tidak diniatkan karena Allah tidak mempunyai nilai apa-
apa. (Lihat Q.s. Al-Bayyinah, 98:5).
• Rasulullah Saw. Pun menyatakan bahwasanya segala
perbuatan tergantung pada niatnya dan bahwasanya
tiap-tiap orang adalah apa yang diniatkan…(H.R.
Bukhari dan Muslim).
Islam mengajarkan bahwa iman kepada Allah harus bersih dan
murni; menutup setiap celah yang memungkinkan masuknya
syirik (mempersekutukan Allah).
• Allah berfirman, yang artinya : “Katakanlah: Dialah Allah
Yang Maha Esa. Allah tempat sekalian makhluk bergantung.
Dia tidak beranak dan diperanakan. Dan tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan Dia”. (Al-Ikhlas, 112:1-4).
• Masuknya paham-paham yang merusak tauhid
menyebabkan orang terjatuh pada syirik. Syirik merupakan
dosa besar yang tidak akan diampuni Allah. Firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa selain itu (syirik), bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat
dosa yang besar”. (An-Nisaa’,4:48).
• Tauhid adalah mengiktikadkan bahwa Allah itu Esa, tdk ada
sekutu bagi-Nya. Iktikad ini harus dihayati, baik dalam hati,
amal, maupun dalam maksud dan tujuan.
Tauhid mencakup tujuh macam sikap:
1. Tauhid Zat, artinya mengiktikadkan bhw Zat Allah itu Esa,
tdk berbilang. Zat Allah itu hanya dimiliki oleh Allah saja,
yg selain-Nya tdk ada yg memilikinya. Manusia yang terdiri
dari atom dan molekul tidak diberi pengetahuan tentang
Zat Allah sehingga Rasulullah menasihatkan: “Pikirkanlah
ciptaan Allah dan jangan pikirkan Zat Allah karena engkau
akan hancur. (H.R. Abu Nuaim dari Ibnu Umar).
2. Tauhid Sifat, adalah mengiktikadkan bhw tdk ada sesuatu
pun yang menyamai sifat Allah, dn hanya Allah saja yang
memiliki sifat kesempurnaan. Allah Swt. tlh menunjukkan
hal ini dalam firman-Nya, yg artinya: “Tak ada sesuatupun
yang seperti Dia”. (Asy-Syuraa, 42:11).
3. Tauhid Wujud, adalah mengiktikadkan bahwa hanya Allah
yang wajib ada. Adanya Allah tidak membutuhkan kepada
yang mengadakan. Firman Allah, yang artinya: “Dialah
yang awal dan Dia yang akhir”. (Al-Hadiid, 57:3).
4. Tauhid Af’al, adalah mengiktikadkan bahwa Allah sendiri yang
mencipta dan memelihara alam semesta. Firman Allah
Swt,: “Dialah yang menetapkan ukuran serapih-
rapihnya”. (Al-Furqaan, 25:2). “Dia pula yang
menetapkan ukuran siang dan malam”. (Al-Muzzammil,
73:20). Atas kehendaknya pula sesuatu itu hidup dan
mati, kemuliaan dan kehinaan, serta kelapanagn dan
kesempitan rezeki (Ali Imran, 3:26-27). Allah sendiri
yang menetapkan apa yang akan terjadi dan apa yang
tidak akan terjadi (At-Taubah, 9:51). Dia pula yang
memegang rahasia kapan saat kehancuran alam
semesta akan tiba (Lukman, 31:34); maka Allah-lah
tempat segala bergantung (Al-Ikhlas, 112:2); dan
kepada-Nya tempat menyerahkan segala urusan (Al-
Anfaal, 8:44).
5. Tauhid Ibadah, adalah mengiktikadkan bahwa hanya Allah saja
yang berhak dipuja dan dipuji (Al-Fatihah, 1:2) Memuja dan
memuji selain Allah serta sikap ingin dipuji maupun dipuja,
baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi-
sembunyi (dalam hati) adalah bentuk perbuatan syirik.
Firman Allah Swt, yang artinya: “Hanya kepada Engkau kami
beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon
pertolongan”. (Al-Fatihah, 1:5). “Sembahlah olehmu Allah
saja, tak ada Tuhan bagimu selain Dia”. (Al-Mukminuun,
23:32).
6. Tauhid Qasdi adalah, mengiktikadkan bahwa hanya kepada
Allah-lah segala amal ditujukan. Setiap amal dilakukan
secara langsung tanpa perantara serta ditujukan hanya
untuk memperoleh keridaan_Nya semata. Allah berfirman:
“Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan
matiku aku persembahkan semata-mata hanya kepada
Allah Rabbul ‘alamin”. (Al-An’aam, 6:162).
7. Tauhid Tasyri, adalah mengiktikadkan bahwa hanya Allah-lah
pembuat peraturan (hukum) yang paling sempurna bagi
makhluk-Nya. Allah-lah sumber segala hukum sesuai
dengan firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan para pemimpin
(ulil amri) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat mengenai sesuatu, maka kembalikanlah
persoalan itu kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya
(Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”. (An-Nisaa’, 4:59). “Barang siapa yang
tidak memutus perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir”. (Al-Maidah,
5:44). “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah
orang-orang yang fasik”. (Al-Maidah, 5:47).
Iman kepada Allah mencakup iman kepada seluruh
firmannya.
• Apabila seseorang telah beriman kepada Allah, maka
otomatis ia beriman kepada kitab, malaikat, Rasul-Nya, hari
akhirat, serta qada dan qadar.
• Dengan demikian, iman kepada Allah menjadi awal dan
pintu masuk kepada iman-iman kepada yang lainnya itu.
• Seorang yang beriman kepada Allah akan senantiasa
memelihara keakrabannya kepada Allah. Mulutnya akan
senantiasa dihiasi dengan berbagai ucapan yang
memelihara ikatannya dengan Allah. Misalnya, mengatakan
“Insya Allah” untuk ucapan janji, “Masya Allah” jika
mendapat kegagalan dalam usaha, dan “Inna lillahi wa inna
ilaihi rajiun”, jika terkena musibah atau mendengar ada
orang meninggal dunia.
C. Iman Kepada Malaikat-malaikat
• Allah telah menciptakan sejenis makhluk gaib, yaitu
malaikat di samping makhluk lainnya.
• Malaikat diberi tugas-tugas khusus yang ada
hubungannya dengan wahyu, rasul, manusia, alam
semesta, akhirat, di samping ada malaikat yang diberi
tugas untuk melakukan sujud kepada Allah Swt, secara
terus menerus.
• Malaikat mempunyai sifat yang berbeda dengan
makhluk lainnya.
• Dengan izin Allah, sewaktu-waktu malaikat dapat
menjelma ke alam materi, sebagaimana pernah terjadi
pada zaman Rasul dahulu. Hal tersebut dinyatakan
dalam Al-Qur’an Surat Hud, 11:69-70).
Kisah tentang malaikat yang menjelma manusia itu bisa
kita temukan pula dalam Q.s. Al-Hijr, 15:52-55 dan Q.s.
Az-Zaariyat, 51:24-25.
• Sebagai makhluk immaterial, malaikat mempunyai ciri-ciri,
di antaranya:
1. Mereka adalah makhluk yang selalu takut dan patuh
kepada Allah.
2. Mereka adalah makhluk yang tidak pernah berdosa atau
bermaksiat. (Q.s. At-Tahrim, 66:6).
3. Mereka adalah makhluk yang tidak pernah sombong dan
selalu bertasbih kepada Allah. (Q.s. Al-’Araaf, 7:206).
Pengetahuan manusia tentang malaikat terbatas pada
keterangan yang diungkapkan dalam Al-Qur’an dan Hadis
Rasul.
Iman kpd malaikat akan memberikan pengaruh kejiwaan yang
cukup besar, seperti kejujuran, ketabahan dan keberanian.
Adapun tugas-tugas malaikat sebagaimana dijelaskan
dalam Al-Qur’an adalah sbb:
1. Jibril (ruhul qudus atau ruhul amin) bertugas menurunkan
wahyu. (Q.s. Asy-Syu’araa, 26:193, An-Nahl, 16:102, Al-
Baqarah, 2:97).
2. Malaikat lain ada yang menurunkan wahyu kepada abdi-
abdi Allah yang dikehendaki-Nya. (Q.s. An-Nahl, 16:2).
3. Malaikat ada yang bertugas meneguhkan hati mukminin
atau Rasul. (Q.s. Al-Anfaal, 8:10).
4. Malaikat ada yang mendoakan kaum muslimin. (Q.s. Al-
Mukmin, 40:7).
5. Malaikat ada yang menjadi kawan atau penjaga orang-
orang mukmin. (Q.s. Al-Anfaal, 8:9, Ali Imran, 3:124, 125).
6. Malaikat ada yang bertugas melaksanakan hukuman Allah
bagi manusia. (Q.s. Al-Anfaal, 8:50).
lanjutan
7. Ada malaikat yang memohonkan ampunan bagi manusia.
(Q.s. Asy-Syuura, 42:5).
8. Ada malaikat yang membaca salawat atas Nabi Muhammad
Saw. (Q.s. Al-Ahzab, 33:56).
9. Ada malaikat yang mencatat amal manusia. (Al-Infitar,
82:10-12).
10. Malaikat yg brtgs mencabut nyawa. (Q.s. Al-An’aam, 6:61).
11. Malaikat ada yang bertugas memberi salam dan
keselamatan kepada ahli surga. (Q.s. Ar-Ra’d 13:23-24).
Ket-ket di atas menunjukkan bahwa para malaikat itu
mempunyai tugas-tugas khusus yang selalu mereka lakukan
dengan taat dan patuh.
Di samping malaikat, Allah juga menciptakan makhluk gaib
yang lain, yaitu jin dan setan.
Menurut Al-Qur’an, bagi Jin itu berlaku pula ketentuan-
ketentuan sebagaimana yang diberikan kpd manusia.
Mereka ada yang beriman dan ada pula yang kafir.
Allah berfirman, yang artinya:
“Dan sesungguhnya di antara kami (jin) ada yang
taat dan ada pula yang menyimpang dari
kebenaran. Barang siapa yang taat, maka mereka
itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus”.
(Al-Jin, 72:14).
Dan ayat lain, Allah berfirman, yang artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan Jin dan manusia
melaikan supaya mereka menyembah-Ku”. (Az-
Zaariyaat, 51:56).
Sedangkan Setan adalah makhluk Allah yang durhaka dan selalu
berusaha untuk menjerumuskan manusia kepada kesesatan dan
kejahatan.
• Lihat Q.s. Saad, 38:82, Al-Hijr, 15:39, Thoha, 20:120, Al-
Israa, 17:64, Al-A’raaf, 7:16, An-Nisaa’, 4:119).
• Allah memberikan peringatan yang sangat keras kepada
manusia, bahwa setan itu adalah musuh yang sangat
berbahaya bagi manusia. (Q.s. Al-Baqarah, 2:168).
• Baik Jin maupun Setan tidak mampu berbuat sesuatu
apapun yang mencelakakan manusia tanpa izin Allah serta
kemauan manusia itu sendiri untuk mengikuti godaan dan
ajakannya.
• Allah Swt. telah menceritakan manusia yang dalam
hidupnya selalu mengikuti ajakan setan. (Q.s. Ibrahim,
14:22).
D. Iman Kepada Kitab-kitab Suci

• Iman kepada kitab-kitab suci dalam Islam merupakan


kesatuan yang tak terpisahkan dengan iman kepada
Allah. (Q.s. Al-Baqarah, 2:285).
• Allah menurunkan wahyu kepada para nabi dan rasul,
untuk sebagian dari mereka wahyu itu terkumpul
dalam kitab-kitab, antara lain: Zabur, Taurat, Injil, dan
Al-Qur’an.
• Semua kitab yang diturunkan Allah kepada nabi dan
Rasul-Nya memuat ajaran tauhid atau mengesakan
Allah.
• Sedangkan tata cara penyembahan atau syari’at yang
terdapat di dalamnya berbeda-beda.
Lanjutan

• Setiap muslim wajib beriman kepada kitab-kitab Allah


yang diturunkan kepada para nabi dan Rasul-Nya dan
menyakini isinya yang memuat tuntunan Allah bagi
manusia di zamannya.
• Risalah para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad
yang termuat dalam kitab-kitabnya itu ditujukan untuk
ukmat tertentu, misalnya Injil untuk Bani Israil.
• Tetapi kitab-kitab itu tidak lagi mengikat kaumnya
ketika Al-Qur’an diturunkan, karena turunnya Al-Qur’an
telah menghapus atau merevisi hukum-hukum
sebelumnya.
Lanjutan
• Kitab-kitab suci yang ada sekarang ini telah mengalami
perubahan, kecuali Al-Qur’an.
• Perubahan yang sangat penting adalah dalam masalah
aqidah, yakni berubah dari tauhid menjadi syirik.
• Dalam kerangka itulah kitab suci Al-Qur’an diturunkan Allah
untuk merevisi kitab-kitab lama dan menyempurnakan
ajaran-Nya. (Q.s. Al-Maidah, 5:48, An-Nahl, 16:64).
• Al-Qur’an memberikan keterangan yang lengkap tentang
pokok-pokok agama dan menjelaskan persoalan-persoalan
yang masih kabur atau gelap. Menampung perkembangan
pemikiran manusia sampai puncak tertinggi yang bisa
dicapai oleh manusia.
• Al-Qur’an menjawab setiap tantangan terhadap kebenaran
ajarannya yang datang dari siapa saja sepanjang perjalanan
kehidupan manusia, sejak diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw., pada abad ke-6 sampai akhir zaman.
Ayat-ayat Al-Qur’an dapat dibagi dua, yaitu ayat-ayat
muhkamat (kokoh, rapih, kuat) dan ayat-ayat
mutasyabihat (samar, kiasan). Firman Allah Swt., yang
artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an kepadamu.
Di antara isinya ada ayat yang muhkamat, itulah pokok-
pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyabihat”. (Ali Imran, 3:7).
Jenis pertama meliputi soal-soal hukum.
Ia terang dan jelas artinya, tidak sulit memahaminya,
tidak memerlukan keterangan panjang lebar.
Ia merupakan induk, pokok dan isi Al-Qur’an yang
membentuk sendi Islam. Misalnya ayat-ayat tentang
perintah puasa, salat, berjihad, seruan dan larangan,
tentang ilmu, berpikir, akal, halal dan haram (syari’ah).
Jenis kedua memerlukan keterangan panjang, kupasan
mendalam,
Penelitian membuka berbagai kemungkinan.
Tak dapat dijelaskan oleh sembarangan orang, melainkan
hanya oleh orang-orang yang berilmu, cerdas dan
kokoh imannya, dan menguasai ilmu Al-Qur’an.
Ayat-ayat ini merupakan lapangan tafsir dan kebebasan
berpikir.
Ia meliputi lapangan kebudayaan, misalnya bahwa
manusia hanya dapat melintasi penjuru langit dan
bumi dengan kekuasaan (sultan), perumpamaan,
peristiwa sejarah, manusia sebagai khalifah Allah di
muka bumi, segala sesuatu dengan ukuran Allah,
susunan langit dan bumi, Allah itu dekat, dsb.
Isi Al-Qur’an meliputi segala aspek tanggung jawab manusia
dalam hubungannya dengan Allah dan dgn semua manusia.
Ayat-ayat Makkiyah terutama mengandung masalah-masalah
hubungan manusia dengan Allah,
Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah mengandung masalah-masalah
hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitarnya.
Karena itu, biasanya ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan seruan yaa
ayyuhan nas (wahai sekalian manusia).
Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah biasanya dimulai dengan seruan ya
ayyuhal lazina amanu (wahai orang-orang yang beriman).
Al-Qur’an terpelihara keasliannya, di samping karena lengkap dan jelas
perjalanan sejarahnya, juga Allah memberikan jaminan
penjagaannya. (Q.s. Al-Hijr, 15:9).
Salah satu bukti yang tampak sekali adalah bahwa bahasa Al-Qur’an
samapai sekarang masih asli dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa
Arab, salah satu bahasa yang tetap hidup dan dipergunakan dalam
pergaulan beratus-ratus juta orang di dunia.
E. Iman Kepada Para Rasul
• Rasul adalah manusia oilihan yang menerima wahyu dari
Allah untuk disampaikan kepada umatnya dan sekaligus
sebagai contoh konkret pribadi manusia yang baik.
• Rasul-rasul Allah itu ada yang kisahnya disebutkan dalam
Al-Qur’an, ada pula yang tidak.
• Rasul yang disebutkan namanya ada 25 orang.
• “Dan (kami) telah mengutus rasul-rasul yang sungguh telah
kami kisahkan tentang mereka kepadamu, dan rasul-rasul
yang tidak kami kisahkan kepadamu tentang mereka. Dan
Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”. (An-
Nisaa’, 4:164). Ayat lain, “Dan sesungguhnya telah Kami
utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka
ada yang kami ceritakan kepadamu dan ada di antara
mereka ada pula yang tidak Kami ceritakan kepadamu”. (Al-
Mukmin, 40:78).
lanjutan
• Rasul Allah tidak hanya menyampaikan wahyu-wahyu
Allah, tetapi juga menunjukkan bagaimana cara
mempraktekkan wahyu tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
• Oleh karena itu, rasul itu diangkat dari salah seorang
manusia. Firman Allah: “Katakanlah: “Sesungguhnya
aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan
kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa”. (Al-Kahfi,
18:110). Ayat yang lain, “Dan Kami tidak mengutus
rasul-rasul sebelum kamu, melainkan mereka yang
sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-
pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi
sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan
adalah Tuhanmu Maha Melihat”. (Al-Furqaan, 25:20).
Perubahan dan perbaikan manusia hanya mungkin
dilakukan dan diberi contoh oleh manusia sendiri,
sebab, jika tidak, akan jauh dari realitas kemanusiaan.
• Allah Swt. menyediakan bahan-bahan material untuk
merawat jasmani manusia dan menyediakan bahan-bahan
rohaniah untuk merawat batin atau jiwa manusia.
• Bahan-bahan rohani itu berbentuk ajaran yang diturunkan
Allah sebagai wahyu melalui nabi dan rasul-Nya
• Allah Swt. Mengutus nabi dan rasul terdahulu untuk
memperbaiki dan membimbing rohani manusia untuk
tempat dan wajtu tertentu.
• Karena nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu itu hanya untuk
tempat dan waktu tertentu saja, maka ajaran yg dibawanya
pun hanya sesuai dan berlaku untuk tempat dan waktu
tertentu itu saja. Mskpn hkm-hkm (syari’ahnya) berbeda-
beda, akan tetapi akidah yg dibawanya sama, yaitu tauhid.
Pengutusan nabi dan rasul untuk tiap-tiap umat itu
disebutkan dalam Al-Qur’an, di antaranya:

• “Tidak ada satu umat pun melainkan telah ada


padanya seorang yang tidak ada di antara mereka
dahulu yang memberikan peringatan”. (Faatir, 35:24).
• “Bahwa untuk tiap-tiap umat ada rasul”. (Yunus,
10:47).
• “Kami utus para rasul, ada yang kami ceritakan kepada
engkau dan ada pula yang tidak…”.(An-Nisaa’, 4:164).
• Setelah para nabi dan rasul membawa syari’ah yang
berlaku setempat dan temporer, Allah mengutus rasul
terakhir yang membawa syari’ah bagi seluruh manusia
di mana pun dan kapan pun mereka berada.
Rasul terakhir itu ialah Muhammad Saw. yang lahir tahun 53
sebelum Hijriah di Mekah dan wafat tahun 10 H di Madinah. Hal
itu dijelaskan dlm firman Allah sbb:
• “Dan tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad)
melainkan untuk seluruh umat manusia”. (Saba’, 34:28).
• “Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepada kamu seluruhnya”. (Al-A’raaf, 7:158).
• “Dan tiadalah Kami utus engkau melainkan untuk menjadi
rahmat bagi sekuruh alam”. (Al-Anbiyaa’, 21:107).
• Ajaran atau agama yang dibawa oleh Rasulullah
Muhammad Saw. Itu disebut dinul Islam sebagaimana
dinyatakan sendiri oleh Allah Swt. Dalam firman-Nya yang
terakhir:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu
dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah
Kuridai Islam sebagai agama bagimu”. (Al-Maaidah, 5:3).
lanjutan

• Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa agama


Islam itu adalah agama yang sempurna yang tidak
perlu lagi penambahan atau pengurangan sehingga
tidak perlu ada lagi rasul baru.
• Islam merupakan agama yang terakhir, yang berlaku
bagi seluruh umat manusia sampai akhir zaman. Allah
berfirman, yang artinya:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki di anatar kamu, tetapi dia adalah
Rasul Allah dan menutup para nabi. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (Al-Ahzab, 33:40).
F. Iman Kepada Hari Kiamat
• Hukum keserbateraturan dan hukum ketidakkekalan
merupakan hukum dasar atau sunnatullah yang
berlaku bagi tiap ciptaan Allah, tanpa kecuali.
• Di dalam Al-Qur’an kedua hukum ini ditemukan pada
beberapa ayat yang menjelaskan tentang kejadian dan
akhir manusia, bumi serta alam semesta.
• Para sarjana fisika, biologi dan ilmu-ilmu lainnya, telah
mengungkapkan sekelumit kebenaran hakikat kedua
hukum itu dalam penemuan-penemuan ilmiah mereka.
• Semua makhluk hidup mengalami kematian.
• Manusia meninggal dalam berbagai tingkatan usia.
• Hewan dan tumbuhan secara beransur-ansur
mengalami kepunahan.
Lanjutan
• Mineral-mineral seperti minyak bumi, gas bumi, dan mineral lainnya
selalu dieksploitasi dan dimanfaatkan manusia sehingga mengalami
penyusutan yang ada pada suatu saat akan habis. Bumi, bulan, dan
benda langit lainnya secara tidak disadari oleh manusia ternyata
mengalami perubahan sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya.
• Hal ini terjadi pula pada matahari sebagai sumber cahaya dan
energi yang sangat vital bagi kehidupan manusia.
• Jika proses perubahan itu dipelajari dan diteliti serta direnungkan
scr mendalam, maka dapat diambil kesimpulan bhw segala sesuatu
yang ada di alam ini, kecuali Zat YangMaha Kuasa, akan mengalami
kehancuran.
• Kesimpulan demikian diterangkan Allah dlm firman-Nya: “Segala
sesuatu akan binasa, kecuali Zat-Nya. Bagi-Nya hukum dan kepada-
Nya kamu semua akan dikembalikan”. (Al-Qasas, 28:88).
Pandangan Pemahaman tentang Dunia

• Manusia sering tergelincir ke dalam pikiran yang


materialistis.
• Kaum materialistis-atheis berangggapan bahwa
bhidup setelah mati hanyalah lamunan orang-orang
awam yang tidak menggunakan akalnya.
• Para sarjana kelompok ini berkeyakinan bahwa pada
bumi dan alam semesta ini berlaku hukum the law of
concervation of matter (materi ini kekal dalam
perubahan kekakalan).
• Hidup ini menurut mereka, hanyalah proses berantai
dari reaksi-reaksi kimia dan mekanisme alam melaka.
Pendapat lain yang agak moderat
• yaitu tentang kepercayaan tentang adanya
“reinkarnasi” (penjelmaan kembali). Tedtapi pada
prinsipnya kepercayaan terhadap hal ini sama saja
dengan kekalnya kehidupan duniawi sebagaimana
keyakinan orang-orang atheis.
• Bila reinkarnasi banar-benar berlangsung, maka jumlah
manusia akan tetap, yakni angka kelahiran sama
dengan angka kematian.
• Padahal kenyataannya tidak demikian; jumlah manusia
terus berlipat, yang berarti ruh manusia terus menerus
diciptakan.
• Dengan demikian, maka teori reinkarnasi tertolak.
Islam mengajarkan kepada penganutnya bahwa kehidupan yang
abadi adalah kehidupan setelah kehidupan dunia ini.
• Keterangan tentang ini disebutkan dalam firman Allah:
“Takutilah suatu hari, yang pada hari itu kamu akan
dikembalikan kepada Allah kemudian setiap orang akan
dibalasi dengan sempurna segala amal perbuatannya,
sedangkan mereka sedikit pun tidak akan dianiaya”. (Al-
Baqarah, 2:281).
• “Pada terjadinya kiamat (kesudahan manusia di alam
semesta) di situ mereka akan bercerai berai. Adapun orang-
orang yang beriman dan beramal saleh maka akan tinggal
di suatu tempat dalam keadaan bersuka ria. Akan tetapi
orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami
dan tidak percaya kepada Hari Akhir, maka mereka
mendapatkan siksaan”. (Ar-Ruum, 30:14-16).
• Dari ayat di atas jelaslah, bahwa Hari Kiamat pasti datang,
khdpn dunia diganti dgn kehidupan akhirat yg kekal abadi.
1. Kiamat dan Hari Perhitungan

• Peristiwa kiamata diterangkan dalam Al-Qur’an, antara lain:


“Bahwasanya saat kiamat itu pasti datang, Aku rahasiakan
untuk memberi pembalasan kepada setiap diri menurut
apa yang diusahakannya”. (Thoha, 20:15).
• Gambaran kiamat yang diberikan Allah dalam Al-Qur’an
antara lain: bumi hancur lebur, segala isinya ke luar,
gunung-gunung menjadi debu, orang tua tidak
memperdulikan anak-anaknya dan anak-anak tidak lagi
mengenal orang tuanya. (Al-Hajj, 22:1-2, Al-Mumtahanah,
60:3).
• Masing-masing manusia mencari keselamatan dirinya
sendiri. Setelah alam semesta ini hancur, kehidupan dunia
berakhir dan dimulailah kehidupan yang kekal abadi dengan
segala ketentuan Allah yang berlaku padanya.
Proses Terjadinya Kiamat

• Sangkakala (sur) telah ditiupkan, maka semua umat


manusia mulai dari Adam a.s. sampai manusia terakhir
yang menempati alam ini berkumpul untuk diperhitungkan
dan mempertanggung-jawabkan seluruh perbuatannya di
hadapan Allah Yang Maha Adil. (Lihat Az-Zumar, 39:68).
• Hari itu disebut yaumul hisab atau hari perhitungan. (Lihat
An-Najm, 53:39-41, Al-Zalzalah, 99:7-8).
• Mahkamah Agung Tuhan ini berlangsung dengan seadil-
adilnya, sehingga tidak ada satu pun perbuatan manusia
yang terlewat dari pengamatan Allah, dan tidak ada
seorang pun yang diperlakukan tidak adil. (Lht. Al-Baqarah,
2:281, Al-Mujaadilah, 58:6), Yaa Siin, 36:65, Fus Silat,
41:21).
2. Siksa Neraka

• Manusia yang mengingkari kebenaran Allah akan


menjalani masa yang panjang dalam siksaan yang
tak terkirakan pedihnya.
• Siksa itu diterimanya bukanlah karena Allah tidak
sayang kepadanya, melainkan karena ia sendirilah
yang tidak sayang kepada dirinya.
• Gambaran tentang siksa neraka itu telah
disampaikan Allah dalam Al-Qur’an, beberapa di
antaranya adalah (Al-Mukmin, 40:17, Ali Imran,
3:108, Al-Humazah, 104:4-7, Al-Waaqiah, 56:42-
44).
3. Kenikmatan Surga

• Kaum muslimin ahli surga digambarkan Allah sebagai


“golongan kanan (ashabul yamin)”, yang menikmati pahala
surga sebagai balasan ketakwaannya ketika hidup di dunia.
(Al-Waaqiah, 56:27-34).
• Lukisan tentang kenikmatan surga dan kepedihan siksa
neraka berulang-ulang disampaikan Allah dalam Al-Qur’an
maupun oleh Rasulullah Saw. Dalam hadisnya.
• Orang-orang yang betul-betul beriman kepada Hari Akhirat
dengan pahala (surga) dan siksanya (heraka) pasti akan
berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan dan sebaliknya,
akan berpikir seribu kali sebelum ia berbuat maksiat.
• Maka iman kepada Hari Akhirat akan memberikan dampak
positif kepada tata kehidupan manusia.
G. Iman kepada Qada dan Qadar
• Qada menurut bahasa berarti hukum, perintah,
memberitakan, menghendaki, menjadikan.
• Qadar berarti batasan, menetapkan ukuran.
• Arti terminologis, dikemukakan Ar-Ragib, bahwa Qadar
ialah menentukan batas (ukuran) sebuah rancangan; seprti
besar dan umur alam semesta, lamanya siang dan malam,
anatomi dan fisiologi makhluk nabati dan hewani, dan lain-
lain.
• Sedang qada ialah menetapkan rancangan tersebut.
• Atau secara sederhana dapat diartikan bahwa qada adalah
ketetapan Allah yang telah ditetapkan (tetapi tidak kita
ketahui),
• Sedang qadar ialah ketetapan Allah yang telah terbukti
(diketahui sudah terjadi).
Dalam Al-Qur’an Ada dua Kelompok Ayat yang
Seolah-olah Bertentangan tentang Qadar dan Qada.
• Satu kelompok menyatakan bahwa manusia itu pasif dan
tidak perlu usaha (Al-Qanar, 54:49, Al-Hadiid, 57:22, Al-
Kahfi, 18:17),
• Sebaliknya ada pula kelompok ayat yang menunjukkan
bahwa manusia itu kreatif dan wajib berikhtiar (Asy-Syuura,
42:30, Yunus, 10:127).
• Kedua kelompok ayat tersebut bila dikaji lebih lanjut
ternyata mempunyai titik temu, yaitu bahwa Allah Swt.
menjadikan alam semesta beserta isinya ini dilengkapi
dengan undang-undang yang disebut sunatullah, yang tetap
tidak berubah-ubah. “Maka sekali-kali engkau tidak akan
menemukan perubahan pada sunatullah”.(Faatir, 35:43).
H. Manfaat Beriman
• Banyak ahli di bidang kedokteran jiwa, psikologi, sosiologi,
dan lain-lain, yang melakukan penelitian mengenai daya
tahan manusia menghadapi kesulitan yang bertubi-tubi,
mereka menyimpulkan bahwa yang dapat dijadikan perisai
untuk semua itu adalah iman yang kuat kepada Allah Swt.
• Dalam kehidupan dunia manusia selalu berhadapan dengan
masalah. Jalan yang ditempuhnya kadang-kadang datar,
kadang-kadang naik, dan kadang-kadang turun. Ia akan
bertemu dengan nikmat dan bencana, bahagia dan
musibah dan sebagainya.
• Dalam menghadapi kehidupan yang demikian itu, manusia
memerlukan tempat berpijak berupa iman.
• Apabila iman sudah menjadi landasan hidupnya, maka ia
akan mampu menguasai keadaan yang dihadapinya, dan
bukan keadaan yang menguasainya.
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat
besar. Di bawah ini dikemukakan beberapa pokok
manfaat dan pengaruhnya pada kehidupan manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan kepada benda. (Al-
Fatihah, 1: 1-7).
2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut.
(An-Nisaa’, 4:78).
3. Iman menanamkan sikap “self help” dalam kehidupan.
(Hud, 11:6).
4. Iman memberikan ketentraman jiwa. (Ar-Ra’d, 13:28, Al-
Fat-h, 48:4).
5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan
tayibah). (An-Nahl, 16:97).
6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen. (Al-An’aam,
6:162).
7. Iman memberikan keberuntungan. (Al-Baqarah, 2:5).
Selamat Belajar

Semoga Sukses
Wassalam

Anda mungkin juga menyukai