AGAMA ISLAM
1. Arti dan Ruang Lingkup Agama Islam
1. Pengertian As-Sunnah
* Dari segi bahasa, sunnah (sunah) berarti cara, jalan,
kebiasaan, dan tradisi, mencakup yang baik dan buruk.
* Arti sunnah yang populer adalah “at-tariqah al-mu’tadah
hasanah kanat am sayyiah”, yaitu suatu cara yang berlaku,
baik cara itu bersifat terpuji maupun tercela.
* Kata sunnah dalam Al-Quran diulang 16 kali pada 11 surat.
14 kali dalam bentuk mufrad (tunggal), yaitu sunnah dan 2
kali dalam bentuk jamak, yaitu sunan.
* Penyebutan kata sunnah dalam Al-Qur’an pada umumnya
merujuk pada pengertian bahasa, yakni cara atau tradisi.
* Lafaz sunnah dalam hadis Nabi pun mengandung makna
bahasa.
Makna sunnah secara etimologi menurut Muhammad ‘Ajaj Al-
Khatib (1975) identik dengan hadis, yaitu informasi yang
disandarkan kpd Rasulullah Saw, berupa ucapan, perbuatan, atau
keizinan.
• Hal ini ditegaskan pula oleh Asy-Syaukani dalam Al-Irsyad
(t,t).
• Sunnah merupakan salah satu nama dari dalil-dalil hukum.
• Apabila suatu hukum ditetapkan berdasarkan sunnah,
maksudnya adalah dasar dari ketetapan hukum tersebut
ialah keterangan dari Nabi Muhammad, baik berupa
ucapan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’iliyah),
maupun ketetapan atau keizinannya (sunnah taqririyah).
• Istilah sunnah juga dominan dlm bidang fiqh (fikih),
digunakan untuk menunjukkan sifat dari suatu hukum,
misalnya apabila dikatakan bhw ketetapan agama yang
derajat hukumnya sunnah, yaitu “ma yusabu ‘ala fi’lihi wala
yu’aqabu ‘ala tarkihi “ (perbuatan yg diberi pahala bagi yg
mengerjakannya dan tdk disiksa bagi yg meninggalkannya).
2. Kedudukan As-Sunnah
• Allah menetapkan syari’at (peraturan-peraturan) dan
menurunkannya secara bertahap melalui para Nabi-Nya
supaya menjadi pedoman hidup manusia agar selamat
dunia dan akhirat.
• Nabi Muhammad sebagai Rasul diberi tugas untuk
membacakan dan mengajarkan wahyu kepada umat
manusia, menerangkan makna yang tersurat dan tersirat,
menjelaskan hukum-hukum dan memberikan contoh
penerapannya. Sejalan dgn tgs itu, segala keterangan Nabi
yg terbukti sahih mrpkn bagian wahyu itu sendiri.
• As-Sunnah atau hadis sahih itu merupakan pedoman
pengamalan Islam dan merupakan sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an.
Ke-hujjah-an As-Sunnah didukung argumen-argumen sbb:
a. Pengamalan As-Sunnah sebagai konsekuensi iman kpd Rasul.
(Iman kepada kerasulan Muhammad adalah salah satu
bangunan aqidah Islam).
b. Keterangan Al-Qur’an tentang Rasul. (Terdapat ayat-ayat
yang menyatakan keberadaan dan posisi Rasul, sebagai juru
baca Alkitab, hakim pemutus perkara, contoh dan teladan).
c. Pernyataan Rasul mengenai As-Sunnah. (Rasul menerangkn,
mnytkn, mngskn, dan mmrnthkn spy mlksnkn sunnahnya).
d. Ijmak Shbt utk mngmlkn As-Sunnah. (Para shbt mlksnkn dn
mnjdkn Sunnah Rasul sbg pijakan utk mmprlh kjlsn dn
perincian hkm dn dalil-dalil Al-Qur’an yg bersifat umum,
serta menjadikan sunnah sebagai rujukan bg penyelesaian
urusan yang hukumnya tidak tersurat dalam Al-Qur’an.
e. Kbrdaan Al-Qur’an mnghrskn adanya As-Sunnah. (As-Sunnah
brfgsi sbg penjelasan teoritis maupun praktis di Rasulullah).
3. Posisi As-Sunnah dalam Syari’ah Islam
• Dilihat dari hirarchi sumber hukum Islam, As-Sunnah
menempati tempat kedua setelah Al-Qur’an. Penempatan
ini disebabkan karena perbedaan sifat di antara keduanya.
• Dilihat dari segi periwatannya, Al-Qur’an bersifat qati’ al
wurud (kualitas periwatannya bersifat pasti), sementara As-
Sunnah bersifat zanni al wurud (kualitas periwayatannya
bersifat relatif)
• As-Syatibi memberikan argumentasi lain terhadap As-
Sunnah. Beliau menyatakan bahwa kenyataan As-Sunnah
sbg penjelas dan penjabar Al-Qur’an menunjukkan bhw yg
menjelaskan itu lbh rdh kedudukannya dari yg dijelaskan.
Hal itu scr logika dpt dijelaskan bhw “jika tdk ada mubayyan
(yang dijelaskan), maka bayan (penjelasan) mestilah tidak
ada, ttp jika tidak ada bayan, maka mubayyan tidak ada”.
4. Sunnah Tasyry dan Gairu Tasyry
• Sunnah Tasyry adalah sunnah yang membentuk hukum.
• Sunnah Gairu Tasyry adalah sunnah yang tidak membentuk
hukum.
• Semua informasi yang menyangkut Rasul Allah itu, baik
ucapan, perbuatan maupun ketetapannya dikelompokkan
ke dalam beberapa bagian:
a. Bersifat al-hajah al-basyariyah (kebutuhan yang bersifat
kemanusiaan), seperti makan dan minum.
b. Mencerminkan tradisi pribadi dan masyarakat, seperti
urusan pertanian dan pengobatan.
c. Pengaturan urusan tertentu seperti bertempur.
Tiga persoalan di atas bukan tasyry dan tidak juga menjadi
sumber tasyry.
d. Bersifat tasyry membentuk hukum, meliputi tiga hal, yaitu:
1. Merupakan pengejawantahan dari misi kerasulan, seperti
penjabaran Al-Qur’an yang meliputi lafaz mujmal (yang
perlu perincian), pengkhususan atas lafaz ‘am (umum),
pengikatan lafaz mutlaq (yang bermakna lepas), dan
penjelasan aspek ibadah yang meliputi perkara-perkara
yang halal dan haram, aqidah dan akhlak. Jenis ini
merupakan tasyry yang universal.
2. Aturan yg berkaitan dgn imamah (kepemimpinan) dan
tadbir (pengurusan) yang bersifat umum utk kepentingan
jamaah, sprt pengutusan pasukan utk perang, penetapan
arah penggunaan distribusi harta dari baitul mal dan
ganimah (rampasan perang), serta pembuatan akad
perdamaian. Ini termasuk tasyry yang bersifat khusus.
3. Keputusan-keputusan Rasul dlm kedudukan beliau sebagai
hakim atas kasus-kasus yang terjadi pd saat itu. Jenis ini
pun termasuk kategori tasyry yang tidak umum.
5. Fungsi As-Sunnah Terhadap Al-Qur’an
• Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an pada garis besar
terbagi tiga:
a. As-Sunnah sebagai Penguat Al-Qur’an (berfungsi sebagai
penguat pesan-pesan atau peraturan-peraturan yang
tersebut dalam ayat-ayat Al-Qur’an, misalnya Al-Qur’an
menyebutkan suatu kewajiban, lalu Rasul dalam Sunnahnya
menguatkan kewajiban dan larangan tersebut. Dalam
menguatkan pesan-pesan Al-Qur’an, As-Sunnah berperan,
antara lain:
1. menegaskan kedudukan hukum, seperti penyebutan
hukum wajib atau fardu.
2. menerangkan posisi kewajiban kewajiban atau larangan
dalam syariat Allah.
3. menjelaskan sanksi hukum bagi pelanggarnya.
b. As-Sunnah sebagai Penjelas Al-Qur’an
• As-Sunnah memberikan penjelasan terhadap maksud ayat
Al-Qur’an, antara lain:
1. Menjelaskan makna-makna yang rumit dari ayat-ayat Al-
Qur’an.
2. Mengikat makna-makna yang bersifat lepas (taqyid al-
mutlaqah) dari ayat-ayat Al-Qur’an.
3. Mengkhususkan ketetapan yang disebut Al-Qur’an secara
umum (takhsis al ‘am).
4. Menjelaskan ruang lingkup masalah yang terkandung
dalam nas-nas Al-Qur’an.
5. Menjelaskan mekanisme pelaksanaan dari hukum-hukum
yang ditetapkan Al-Qur’an, misalnya tentang tata cara
salat, haji, dan puasa yang menjelaskan bagaimana Rasul
melaksanakannya.
c. As-Sunnah sebagai Pembuat Hukum
• Sunnah menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-
Qur’an. Misalnya Al-Qur’an menyebutkan empat macam
makanan yang haram dalam firmannya, surat Al-Maidah,
5:3, yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas
nama selain Allah, yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh,
yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk
berhala. Dan diharanmkan pula bagimu mengundi nasib
dengan anak panah karena itu sebagai kefasikan”.
• Kemudian As-Sunnah datang dengan ketetapan baru
menambah jumlah barang yang dilarang dimakan sebagai
berikut: Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah melarang
(memakan) setiap binatang buas yang bertaring dan burung
yang berkaki penyambar. (H.R. Muslim dari Ibnu Abbas).
6. Otoritas As-Sunnah sebagai Sumber Hukum
• Al-Siba’i mengatakan bahwa dari ketiga fungsi Sunnah sebagai
diterangkan di atas, dua yang pertama disepakati oleh para ulama,
sementara yang ketiga diperselisihkan.
• Adapun masalah pokok yang diperselisihkan itu apakah As-Sunnah
dapat menetapkan suatu hukum tanpa tergantung kepada Al-
Qur’an, atau apakah penetapan produk hukum baru itu selalu
mempunyai pokok (asl) dalam Al-Qur’an.
• Dalam persoalan tsb, jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat
bahwa Nabi Muhammad mempunyai otoritas untuk membuat
hukum. Dalil yang dimajukan kelompok mayoritas itu antara lain:
a. Selama Nabi diyakini maksum, maka otoritasnya utk melakukan
tasyry adalah suatu hal yang dapat diterima akal.
b. Kenyataan banyak nas Al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya
ittiba’ (mengikuti) Sunnah Rasul tanpa membeda-bedakan apakah
sunnah itu mubayyinah (menjelaskan) atau muakkidah
(menguatkan) atau mustaqillah (memiliki otoritas untuk
menetapkan suatu hukum). Kenyataannya banyak hadis Rasul yg
menunjukkan bhw Al-Qur’an dn Sunnah merpkn rujukan utama.
Kelompok lain berpendapat bahwa ketetapan As-Sunnah selalu
merujuk Al-Qur’an karena As-Sunnah tiada lain adalah penjelas
Al-Qur’an. Kelompokj ini mengemukakan argumen sbb:
a. Kenyataan bahwa tidak dijumpai suatu perkara dalam As-
Sunnah kecuali Al-Qur’an sendiri telah menunjukkan
maknanya baik secara global maupun terurai.
b. Bahwa kewajiban untuk menaati As-Sunnah yang menjadi
argumen jumhur diartikan sebagai ketaatan kepada Rasul
dalam kedudukannya sebagai penjelas.
Jika dianalisis perselihan pndpt di atas, sebenarnya ditemukan
adanya persamaan, yaitu sama-sama menetapkan adanya
hukum-hukum yang terbit dari As-Sunnah. Hanya saja
kelompok jumhur ulama melihat produk hukum dari As-
Sunnah sbg berdiri sendiri. Adapun kelompok kedua mlht
produk hkm sbg sesuatu yg tdk terlepas dari konteks Al-
Qur’an. Disepakati olh para ahli bhw As-Sunnah memiliki
kualitas mutawatir atau hadis-hadis sahih.
C. Ijtihad
1. Ijtihad adalah derivasi dari kata jahada, artinya berusaha
sungguh-sungguh.
2. Dalam pengertian terminologi hukum, Mukti Ali (1990)
menyebutkan bahwa ijtihad adalah berusaha sekeras-
kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas tentang
sesuatu masalah hukum.
3. Ijtihad mrpkn pekerjaan akal dlm memahami masalah dan
menilainya berdasarkan isyarat-isyarat Al-Qur’an dan As-
Sunnah kemudian mntpkn ksmpl mengenai hkm masalah
tsb. Krn itu Ijtihad dpt dsbt sebagai upaya mencurahkan
segenap kemampuan utk merumuskan hkm syara’ dengan
cara istimbat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maksudnya
menggunakan kemampuan ta’aqquli atau rasional guna
merumuskan hkm yang tdk dsbt scr eksplisit pd Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Dlm kata lain, ijtihad berarti proses pnltn
hkm secara ilmiah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
* Objek ijtihad adalah perbuatan yang secara eksplisit
tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
* Hal ini memberikan pengertian bahwa suatu perbuatan
yang hukumnya telah ditunjuk secara jelas, tegas, dan
tuntas oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah tdk termasuk
kategori objek ijtihad.
* Reaktualisasi hukum atas sesuatu perbuatan tertentu yang
telah diatur secara final oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
termasuk katagori tahrif (pengubahan) dan tabdil
(penggantian) alias penyelewengan dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
* Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-
Qur’an dan Sunnah
* Ijtihad dipandang sebagai aktivitas penelitian ilmiah karena
itu bersifat relatif.
* Relativitas ijtihad ini menjadikannya sebagai sumber nilai
yang bersifat dinamis.
* Pintu ijtihad selalu terbuka, termasuk membuka kembali
fiqh-fiqh yang merupakan produk ijtihad lama.
* Pemutlakan terhadap produk ijtihad pada hakekatnya
merupakan pengingkaran terhadap kemutlakan Allah,
karena yang sesungguhnya mutlak hanyalah Allah.
* Dalam kaitannya dengan objek ijtihad, Yusuf Qardawi
menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) agenda besar ijtihad
yang dituntut oleh peradaban modern dewasa ini, yakni
ijtihad di bidang hubungan keuangan dan ekonomi serta
bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran. Satu hal yang
disepakati para ulama bahwa ijtihad tidak boleh merambah
dimensi ibadah mahdah. Maksudnya ijtihad tdk berlaku
bagi perumusan hkm aktivitas ibadah formal kepada Allah,
seperti salat, puasa. Sebab itu merupakan hak Allah. Allah
sendiri yg memiliki hak utk menentukan mcm dn caranya.
2. Metode Ijtihad
a. Qiyas (reasoning by analogy), yaitu menerapkan hukum perbuatan
tertentu kepada perbuatan lain yang memiliki kesamaan. Misalnya
Al-Qur’an melarang jual beli ketika Jum’at (Al-Jumu’ah, 62:9) dan
hukum perbuatan selain dagang juga terlarang, karena sama-sama
mengganggu salat Jum’at.
b. Istihsan, yaitu menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan
prinsip umum ajaran Islam, seperti prinsip keadilan dan kasih
sayang. Misalnya, seseorang mesti memilih satu dari dua alternatif
perbuatan yang sama-sama buruk. Maka ia mengambil salah satu
yang diyakini paling ringan keburukannya.
c. Masalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum berdasarkan tujuan
kegunaan atau kemanfaatannya seseuai dengan tujuan syari’at.
Perbedaannya dengan istihsan adalah jika istihsan menggunakan
konsiderasi hukum-hukum universal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
atau menggunakan dalil-dalil umum dari kedua sumber tersebut,
sedangkan masalihul mursalah menitikberatkan kpd kemanfaatan
perbuatan dan kaitannya dgn tujuan universal syari’at Islam.
BAB IV
KERANGKA DASAR AJARAN ISLAM
• Islam pada hakekatnya adalah aturan atau undang-undang
Allah yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-
Nya yang meliputi :
1. perintah-perintah (amar ma’ruf),
2. larangan-larangan (nahi mungkar), serta
3. petunjuk-petunjuk (i’tibbar).
supaya menjadi pedoman hidup dan kehidupan umat
manusia guna kebahagiaannya di dunia dan akhirat.
• Secara umum aturan itu meliputi 3 (tiga) hal pokok, yaitu
aqidah, syari’ah, dan akhlak.
• Sebagian ahli membaginya ke dalam 2 (dua) hal, yaitu
aqidah dan syari’ah dengan memasukkan akhlak ke dalam
bidang syari’ah.
1. Aqidah
Semoga Sukses
Wassalam