Anda di halaman 1dari 32

Penyakit

Paru
Obstruksi
Kronis
Aprilia Viska Wijayanti (1102015033)

Pembimbing: dr. Ahmad Widiatmoko, Sp.P


Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan salah satu kelompok penyakit paru tidak menular yang telah
menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. PPOK memiliki suatu karakteristik berupa keterbatasan
aliran udara yang terus menerus dan diikuti respon inflamasi pada saluran napas dan paru-paru

Prediksi WHO, tahun 2020 angka kejadian PPOK akan meningkat dari posisi 12 ke 5 sebagai penyakit
terbanyak di dunia dan dari posisi 6 ke 3 sebagai penyebab kematian terbanyak. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya pajanan faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian PPOK yaitu semakin meningkatnya
jumlah perokok khususnya pada usia muda dan pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan
dan ditempat kerja.

Untuk dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat dan sedini mungkin diperlukan penegakan diagnosis
yang akurat. Sehingga, tujuan referat ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai PPOK meliputi definisi,
faktor resiko, patologi, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan terhadap PPOK.
Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit
paru yang dapat dicegah dan diobati, dengan
karakteristik keterbatasan aliran udara yang terus
menerus dan diikuti respon inflamasi pada saluran
napas dan paru-paru akibat adanya partikel asing atau
gas beracun.

Karakteristik hambatan udara pada PPOK disebabkan


oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil
(obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim
(emfisema)

Eksaserbasi dan faktor komorbid berkontribusi pada


derajat beratnya penyakit.
Epidemiologi
Jumlah penderita PPOK di seluruh dunia mengalami
peningkatan pada tahun 1990 dari 277 menjadi 384 juta kasus.
Pada Tahun 2010 dengan prevalensi 11,7%, di mana prevalensi
tertinggi terjadi di Amerika dan Asia Tenggara.

The Asia Pacific COPD Round Table Group memperkirakan


jumlah pasien PPOK sedang hingga berat di negara-negara
Asia Pasifik tahun 2006 mencapai 56,6 juta orang dengan
prevelans 6,3%.
• China : 38,160 juta orang
• Jepang : 5,014 juta orang
• Vietnam : 2,068 juta orang
• Indonesia : 4,8 juta orang dengan prevelans 5,6%

Di Indonesia penderita PPOK prevalensi terjadi lebih tinggi


pada pria, dan akan semakin meningkat seiring dengan
pertambahan usia.
Klasifikasi
Klasifikasi Emfisema
suatu kelainan anatomis paru ditandai pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal,sertai kerusakan dan
pelebaran dinding alveoli.

Pada keadaan normal, sekumpulan alveoli berhubungan


ke saluran nafas kecil (bronkioli), membentuk struktur
yang kuat dan menjaga saluran pernafasan tetap terbuka.

Pada emfisema dinding alveoli mengalami kerusakan,


sehingga bronkioli kehilangan struktur penyangganya.
Sehingga, pada saat udara dikeluarkan, bronkioli akan
mengkerut. Struktur saluran udara menyempit dan
sifatnya menetap.
Klasifikasi Bronkhitis kronis
kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya.

merupakan batuk menahun yang menetap, yang disertai


dengan pembentukan dahak dan bukan merupakan akibat
dari penyebab yang secara medis diketahui (misalnya
kanker paru-paru).

Pada saluran udara kecil terjadi pembentukan jaringan


parut, pembengkakan lapisan, penyumbatan parsial oleh
lendir dan kejang pada otot polosnya. Penyempitan ini
bersifat sementara
Faktor Resiko
Asap rokok
merokok merupakan faktor resiko terpenting terjadinya PPOK. Asap rokok mempunyai prevelensi yang tinggi sebaga
penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Angka kematian pada perokok mempunyai nilai yang bermakn
dibandingkan dengan bukan perokok.

Risiko PPOK pada perokok tergantung dari


• dosis rokok yang dihisap
• usai mulai merokok
• jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok.

Perokok pasif (atau dikenal sebagai environmental tobacco smoke – ETS) dapat juga memberi konstribusi terjadinya
PPOK, karena peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas.
Polusi udara

Di dalam
Polusi Ruangan
Udara Di luar
Ruangan
Sosial Ekonomi
Ventilasi yang tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi.
Peningkatan daya beli menyebabkan peningkatan kendaraan bermotor di Indonesia. Kemajuan ekonomi
menyebabkan berkembangnya berbagai industri dengan dampak peningkatan polusi udara.

Infeksi saluran napas bawah berulang


• Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresivitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan
inflamasi jalan napas, dan menimbulkan eksaserbasi.
• Infeksi saluran napas berat pada anak, akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala
respirasi pada saat dewasa. Seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya
hiperreaktivitas bronkus yang merupakan faktor resiko pada PPOK.
• Pengaruh berat badan lahir rendah akan meningkatkan infeksi virus yang juga merupakan faktor resiko PPOK.
• Riwayat penyakit tuberkulosis berhubungan dengan obstruksi jalan napas pada usia lebih dari 40 tahun.
Patologi
Diagnosis
PPOK pasien dengan keluhan sesak napas, batuk kronik, atau
produksi sputum dan/atau memiliki riwayat pajanan dengan faktor resiko
penyakit.
Pemeriksaan Fisik, dan pemeriksaan penunjang (spirometri) dibutuhkan
untuk diagnosis
Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan :
• penurunan dari FEV1 dan FVC
• nilai FEV1/FVC < 70%
Pertanyaan COPD Assesssment Test (CAT). (GOLD, 2017) Skala Sesak menurut modified British Medical Research Council
(mMRC)
Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas

0 Sesak napas hanya muncul saat melakukan aktivitas yang melelahkan

1 Kehabisan napas ketika berjalan cepat di jalan yang datar atau


berjalan di jalan yang menanjak

2 Berjalan lebih lambat daripada orang-orang sebaya di jalan mendatar


karena kehabisan napas, atau harus berhenti ketika berjalan dengan
kecepatan normal di jalan mendatar

3 Berhenti untuk mengambil napas setelah berjalan sekitar 100 meter


atau setelah beberapa menit berjalan dengan kecepatan normal di
jalan mendatar

4 Napas terlalu sesak untuk dapat meninggalkan rumah atau berganti


pakaian
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
• Pursed - lips breathing (sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang)
• Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
• Penggunaan otot bantu napas, Hipertropi otot bantu napas, Pelebaran sela iga
• Bila terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema tungkai
• pink puffer (Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed - lips breathing)
• blue bloater (Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer)
Pemeriksaan Fisik

Palpasi
 Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga melebar. Terutama
dijumpai pada pasien dengan emfisema.
Perkusi
 Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang terperangkap, batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah terutama pada emfisema.

Auskultasi

 suara napas vesikuler normal, atau melemah.


 terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa.
 ekspirasi memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh.
Pemeriksaan Penunjang
Spirometri
Digunakan untuk menilai fungsi paru dengan cara mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah
inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC) dan mengukur volume udara yang dikeluarkan pada
satu detik pertama pada saat melakukan manuver tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1
second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran yaitu (FEV1/FVC)

Penderita PPOK secara khas :


• penurunan dari FEV1 dan FVC
• Nilai pemeriksaan PB: FEV1/FVC < 70%.

• Pemeriksaan post-bronchodilator dilakukan dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan
15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1.
• Perubahan nilai FEV1 Obstruksi ditentukan oleh nilai FEV1 prediksi (%) dan atau FEV1/KVP (%).
• FEV1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit
Klasifikasi derajat obstruksi aliran udara berdasarkan FEV1 Post Bronkodilator

Pada pasien dengan ratio FEV1/FVC <0.70

GOLD 1 Ringan - FEV1≥ 80% prediksi (nilai normal spirometri)


- FEV1/FVC < 70%

GOLD 2 Sedang (Moderat) - FEV1/FVC < 70%


- 50% ≤ FEV1 < 80% dari nilai prediksi

GOLD 3 Berat - FEV1/FVC < 70%


- 30% ≤ FEV1 < 50% dari nilai prediksi

GOLD 4 Sangat Berat - FEV1/FVC <70%


- FEV1 < 30%, atau
- FEV1 < 50% dengan gagal nafas kronik
PENILAIAN KLASIFIKASI ABCD PADA PPOK

Diagnosis Penilaian
Penilaian gejala/
terkonfirmasi keterbatasan
resiko eksaserbasi
Spirometri aliran udara

Riwayat
Eksaserbasi

≥ 2 atau
≥ 1perlu rawat Post FEV1 (% prediksi)
A B
Bronkodilator
inap
FEV1/FVC <0.7 GOLD 1 ≥80

0 atau 1 GOLD 2 50-79


(tidak perlu
rawat inap)
GOLD 3 30-49 C D
GOLD 4 <30
Diagnosis Banding
Perbedaan PPOK ASMA
Onset Biasanya > 40 tahun Semua umur,

Biasanya anak-anak
Riwayat merokok Biasanya > 20 bks/thn (IB 200) Biasanya tidak merokok

Riwayat keluarga Biasanys tidak ada, kecuali Biasanya ada


kekurangan ɑ1 - antitrypsin
Reversibel saluran napas Tidak reversibel penuh, hanya Sangat reversibel
reverssibel sebagian dengan
Biasanya fungsi paru hampir normal
bronkodilator

Berhenti merokok dapat


mengurangi penurunan fungsi paru
Pola gejala Biasanya kronik progresif lambat Bervariasi dari hari ke hari
tidak spesifik malam/menjelang pagi
Batuk (paling menonjol) Dini hari Malam/setelah latihan
Sputum purulen Khas Jarang
Peningkatan IgE Jarang Sering
Eosinofil Jarang sering
Tatalaksana
Non Farmakologi

1. Edukasi
Tujuan edukasi pada pasien PPOK:
• Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan.
• Melaksanakan pengobatan yang maksimal.
• Mencapai aktiviti optimal.
• Meningkatkan kualiti hidup

2. Berhenti merokok

3. Nutrisi
Nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
Tatalaksana
Farmakologi

Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi sesuai dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi.
 Golongan antikolinergik
 Golongan agonis beta – 2
 Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
 Golongan xantin
Anti inflamasi
dipilih golongan metilprednisolon atau prednison dalam bentuk inhalasi
Tatalaksana PPOK Stabil
Grup A
Riwayat eksaserbasi 0 atau 1
Gejala m MRC 0-1, CAT <10

Lanjutkan, hentikan atau ganti


obat bronkodilator

evaluasi

Bronkodilator
Tatalaksana PPOK Stabil
Grup B
Riwayat eksaserbasi 0 atau 1
Gejala m MRC ≥2, CAT ≥ 10

LABA dan LAMA

Gejala persisten

LABA atau LAMA


keterangan
LABA : Long acting beta 2 agonist Lebih dianjurkan
LAMA: Long Acting Muscarinic
Tatalaksana PPOK Stabil
Grup C
Riwayat eksaserbasi ≥2 atau ≥1 yang harus rawat inap
Gejala m MRC 0-1, CAT <10

LABA + LAMA
LABA +ICS

Eksaserbasi
lebih lanjut

LAMA

LABA : Long acting beta 2 agonist


LAMA: Long Acting Muscarinic
Antagonist ICS : inhaled corticosteroid
Tatalaksana PPOK Stabil
Grup D
Riwayat eksaserbasi ≥2 atau ≥1 yang harus rawat inap
Gejala m MRC ≥2 , CAT ≥10

Pertimbangkan Roflumilast jika Pertimbangkan Makrolide


FEV1 <50% pred dan pasien (pada mantan perokok)
memiliki bronkitis kronis
Eksaserbasi berlanjut

keterangan
alternatif
LABA + LAMA + ICS
dianjurkan
Gejala persisten/
Eksaserbasi berlanjut Eksaserbasi berlanjut

LAMA LAMA + LABA LABA +ICS


Tatalaksana PPOK Eksaserbasi
Bronkodilator
Bronkodilator merupakan tatalaksana eksaserbasi PPOK yang penting dan harus diberikan secara agresif
Bronkodilator yang digunakan agonis ẞ-2 kerja singkat, antikolinergik kerja singkat dan xantin

Kortikosteroid
Penggunaan prednisolone 30 mg setiap hari selama 5 hari terutama pada pasien dengan peningkatan sesak napas
dan peningkatan nilai eosinofil darah atau riwayat eksaserbasi sebelumnya.
Antitusif
Antibiotik
Mukolitik
Oxygen support
Oksigen harus diberikan untuk meningkatkan oksigenasi pada pasien dengan hipoksemia dengan target
saturasi 88-92%.
Tatalaksana PPOK Eksaserbasi

Ventilasi Mekanis
Manajemen asidosis respiratorik dan hipoksemia berat
Cara:
• Ventilasi mekanis dengan intubasi
• Ventilasi mekanis tanpa intubasi
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut pada gagal
napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonal.

Prognosis
• Beberapa penelitian menunjukkan predictor mortalitas pasien PPOK adalah usia tua dan
penurunan forced expiratory volume per detik (FEV1).
• Pasien usia muda dengan PPOK memiliki tingkat mortalitas lebih rendah kecuali pada keadaan
defisiensi alpha1-antitrypsin, abnormalitas genetic yang menyebabkan panlobular emfisema pada
usia dewasa muda.
• Defisiensi alpha1-antitrypsin harus dicurigai ketika PPOK muncul pada lebih muda dari 45 tahun
dan tidak ada riwayat bronchitis kronis atau penggunaan tembakau, atau ada anggota keluarga
dengan riwayat penyakit paru obstruktif pada usia muda.
DAFTAR PUSTAKA

Global Intensive for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Institutes of health. National Heart, Lung and Blood Insitute; Update 2019.

Karakteristik Umum Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut di RSUP H Adam Malik Medan. Medan : Universitas Sumatera Utara ;
2010.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta;
2016.

WHO Chronic Respiratory Disease Fact Page. Available from: http:www.who.int/respiratory/copd/en/ (accessed June 2019)

Global Intensive for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Institutes of health. National Heart, Lung and Blood Insitute; Update 2009.

Baratawidjaja, G.K. Bronchitis kronis, dalam Soeparman Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta: FK UI ; 1990.

Global Intensive for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Institutes of health. National Heart, Lung and Blood Insitute; Update 2017.
Helmersen, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C. Risk Factors. In: Bourbeau, J., ed. Comprehensive Management of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. London: BC Decker Inc ; 2002.

Global Intensive for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Institutes of health. National Heart, Lung and Blood Insitute; Update 2010.

Kamangar, N. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Emedicine.com. Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/297664-overview


(Accessed June 2019)

Global Intensive for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Institutes of health. National Heart, Lung and Blood Insitute; Update 2015.

Global Intensive for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Institutes of health. National Heart, Lung and Blood Insitute; Update 2016.

American Thoracic Society and European Respiratory Society. Standart for the diagnosis and management of patients with COPD; 2001.

Kasper, D.L., Braunwald, E., Fauci, A., Hauser, A., Longo, D, Harrison Principles of Internal Medicine, 16th ed, McGraw-Hill Professional, New York;
2004.
Thank You

Anda mungkin juga menyukai