Anda di halaman 1dari 19

Journal Reading

Kematian Otak: Tantangan Etik


Konsep Perawatan Paliatif bagi
Keluarga
Solomon Liao, MD and Shiho Ito, MD
University of California (S.L.), Irvine, California; and Vitas Hospice of Orange County (S.I.),
Orange, California, USA

Oleh:
M. Reva Florean
Pembimbing :
Wiryanti Ambarita
Dr. dr. H. Taufik Suryadi, Sp. F, Dipl-BE
Putri Wulan Tika
Novi Intan Melani
Molla Andriska Dewi
Abstrak

Kematian batang otak merupakan isu yang kontroversial yang seringkali dirasakan sulit bagi keluarga
untuk memahami dan menerimanya. Perawatan paliatif dapat membantu keluarga untuk menerima
kematian. Meskipun begitu, keterlambatan dalam mengenali kematian batang otak dapat merugikan
keluarga pasien dan menyebabkan kerugian finansial, etikal, dan legal, termasuk potensi terjadinya
penipuan asuransi. Kasus kematian batang otak dengan bantuan hidup berkelanjutan tanpa adanya uji
untuk memastikan hal tersebut dapat menyebabkan keluarga sulit menerima kematian pasien. Klinisi
harus mempertimbangkan risiko dan keuntungan sebelum menentukan berapa lama pasien dengan
kematian batang otak mendapatkan ventilator. Menentukan diagnosis kematian batang otak sebaiknya
tidak ditunda demi kepentingan keputusan keluarga. Manajemen risiko sebaiknya dipertimbangkan
pada proses pengambilan keputusan apabila penentuan dari pemakaian alat-alat bantuan hidup tidak
melalui persetujuan keluarga.

Kata kunci:
Etika, kematian batang otak, perawatan keluarga
Abstract

Brain death is a controversial issue that is often difficult for families to understand or accept. Palliative
care interventions can help families to accept the death. However, delaying pronouncement of brain
death may be detrimental to the family and lead to financial, ethical, and legal complications, including
the potential for insurance fraud. We describe a case of brain death in which the passage of time along
with continuation of life support without concomitant testing for brain death led to decreased acceptance
of the patient’s death by the family. Clinicians should weigh the risks and benefits of harm to the family
when deciding how long to keep a brain dead patient on a ventilator. Pronouncement of death, which is
good basic medical care regardless of the cause or mechanism of death, should not be delayed for
family considerations. Risk management should be involved early in the decision process, if life support
is withdrawn without the family’s assent.

Key words:
Ethics, brain death, family care
PENDAHULUAN
Pendahuluan

Kematian batang otak masih merupakan hal yang kontroversial di bidang


etik.

American Academy of Neurology membuat parameter untuk penentuan


kematian batang otak pada dewasa:
- Hipotermia (suhu inti kurang dari 33 derajat selsius)
- Imbalans elektrolit berat
- Imbalans asam basa
- Gangguan endokrin
- Hipotensi berat (tekanan darah sistolik < 90 mmHg)

5
Pendahuluan

Literatur terakhir yang diterbitkan mengenai perawatan paliatif


mengatakan bahwa tidak terdapat manfaat melanjutkan
perawatan pasien yang mati batang otak.

Namun, beberapa pendapat mengatakan bahwa perawatan


harus dilanjutkan sampai keluarga siap menerima. Demikian
juga, beberapa ahli bioetika masih memperdebatkan
keuntungan dari kelanjutan perawatan pada pasien yang
sudah mati batang otak.

6
LAPORAN KASUS
Laporan Kasus
T.K. adalah seorang kewarganegaraan Korea berumur 58 tahun ditemukan tidak sadar di
lantai rumahnya. Dilakukan intubasi pada pasien ini sebelum ditransport ke rumah sakit
terdekat. Hasil CT Scan kepala pada pasien didapatkan perdarahan subaraknoid. Pasien dirujuk
ke rumah sakit trauma tingkat 1 untuk perawatan bedah saraf. Saat di Instalasi Gawat Darurat,
pasien mengalami hipotensi sehingga memerlukan pemberian vasopresor. CT Scan ulangan
menunjukkan pelebaran perdarahan subaraknoid sebelah kanan dengan midline shift yang
signifikan dan herniasi transtentorial. Pasien dikonsulkan ke bagian saraf dan bedah saraf dan
berdasarkan pemeriksaan fisik menyatakan bahwa pasien mengalami mati klinis. Putri dari
pasien, yang merupakan pegawai di laboratorium mikrobologi, tiba di IGD. Di IGD, semua tenaga
medis yang merawat pasien, baik itu dokter maupun dokter konsultan, menjelaskan kondisi
pasien pada putrinya. Putri pasien menyatakan mengerti dengan kondisi pasien dan
meminta untuk terus diberikan alat-alat bantuan hidup sampai anak pasien
memberitahukan abangnya di Korea. Untuk memenuhi permintaannya, dibuat keputusan untuk
menunda pemeriksaan untuk mengkonfirmasi kematian batang otak, dan pasien dirawat di
Intensive Care Unit (ICU).

8
Laporan Kasus
Pada rekam medik pasien, ahli saraf menulis bahwa pasien sudah mati batang otak
namun tetap memerlukan pemeriksaan untuk mengkonfirmasi hal tersebut.
Perawatan paliatif diberikan kepada keluarga untuk mendukung keluarga dalam
menghadapi kondisi ini. Putri pasien memberitahukan tim perawatan paliatif bahwa
abangnya merupakan penentu keputusan tertinggi karena merupakan anak yang paling tua.
Abangnya tidak memiliki visa ke Amerika Serikat dari Korea. Putri pasien mengatakan
bahwa abangnya akan tiba di Korea paling cepat dalam dua minggu. Kemudian pekerja
sosial berbicara dengan anak laki-laki pasien yang tertua melalui telepon. Dia mengatakan
bahwa dia tidak mampu membuat keputusan apapun sampai dia melihat kondisi pasien
dengan mata kepalanya sendiri.

9
Laporan Kasus
Pada sore hari di hari perawatan pasien (12 jam setelah tiba di IGD), putri pasien
mengatakan kepada tim perawatan paliatif bahwa dia tidak percaya lagi bahwa pasien
sudah meninggal. Dia melihat adanya denyut jantung yang aktif pada monitor EKG dan
pasien lainnya yang berada di ICU juga mengalami kondisi yang sama dengan pasien. Dia
bertanya kepada tim perawatan paliatif “Mengapa residen bedah saraf meminta persetujuan
saya untuk Do Not Resusitate (DNR) jika pasien sudah meninggal?”. Kemudian putri
pasien juga mengatakan kepada tim perawatan paliatif bahwa ayahnya tidak mau
diberikan bantuan hidup buatan akan tetapi tidak ada pernyataan tertulis mengenai
ini. Untuk membantu keluarga pasien menerima kematian otak, tim perawatan paliatif
merekomendasikan untuk memeriksa apakah pasien mengalami apneu atau tidak.

10
Laporan Kasus
Kemudian tes apneu dilakukan pada pasien. Perawat ICU dan ahli paru menjelaskan
hasil tes kepada putrinya. Penjelasan itu merujuk kepada respon paradoksikal dari putrinya,
dia menjadi pesimis karena ayahnya harus bergantung dengan ventilator. Putrinya
menyetujui dilakukan perawatan paliatif pada pasien jika ventilator dilepas. Meskipun
begitu, semakin banyak putrinya melihat ayahnya mendapatkan perawatan di ICU,
semakain dia pesimis bahwa ayahnya akan tetap hidup. Putrinya bertanya, “Mengapa
petugas tetap menyediakan perawatan jika pasien akan meninggal?”.
Berkaitan dengan kebijakan rumah sakit, pasien yang sudah didiagnosa mati batang
otak diberitahukan untuk mendonorkan organ-organnya. Dikarenakan putrinya sudah
mengetahui informasi kematian batang otak ayahnya, dia menyetujui untuk berjumpa
dengan petugas donor organ. Tetapi dengan berjalannya waktu, dia menolak untuk
mendonorkan organ pasien.

11
PEMBAHASAN
Risiko Bahaya
Tantangan yang ditemukan pada kasus ini adalah
memberikan waktu untuk keluarga menerima keadaan
pasien yang mati batang otak.

• Kasus ini menunjukkan bahwa penerimaan terhadap keadaan pasien mati batang otak
tidak hanya muncul dengan berjalannya waktu, tetapi juga dengan mengenali bahwa
pasien tidak akan sembuh total.

• Kegagalan menyampaikan informasi kematian batang otak di IGD, membuat keluarga


sulit menerima kematian pasien. Hal ini menyebabkan keluarga menolak untuk
mendonasikan organ pasien dengan kematian batang otak.

13
Risiko Bahaya

▪ Penghargaan terhadap hak otonomi pasien dirasa


masih kurang di negara-negara lain, tidak seperti di
Profesio
Amerika. nalitas

▪ Mempertahankan kehidupan pasien dengan alat Informed


bantu melanggar keinginan pasien untuk tidak consent

dilakukan diresusitasi yang disampaikan ketika


Komunikasi
pasien masih hidup. interpersonal

14
Pemanfaatan Sumber Daya

▪ Merawat pasien dengan mati batang otak membutuhkan banyak sumber daya, baik
sumber daya manusia, maupun sarana dan prasarana: Ruangan ICU, tenaga medis,
obat-obatan, bahan habis pakai.

▪ Pemanfaatan sumber daya untuk pasien dengan mati batang otak juga meningkatkan
biaya perawatan kesehatan.

15
Implikasi Legal
Undang-Undang California mengenai penghapusan
dukungan kehidupan setelah kematian batang otak

“Hanya periode singkat, waktu yang diberikan untuk mengumpulkan


keluarga pasien atau keluarga terdekat di samping tempat tidur pasien tidak
membutuhkan waktu yang tetap. Ini memang menentukan bahwa dalam
menentukan apa yang masuk akal, rumah sakit harus mempertimbangkannya
kebutuhan pasien lain dan calon pasien yang sangat membutuhkan
perawatan.''

16
KESIMPULAN
Kesimpulan

▪ Merawat pasien dengan mati batang otak masih merupakan kontroversi dalam bidang
etik.
▪ Diagnosis mati batang otak sebaikanya secepatnya ditegakkan agar dapat ditentukan
perawatan pasien selanjutnya.
▪ Perawatan pasien dengan mati batang otak membutuhkan banyak sumber daya:
Ruangan ICU, tenaga medis, obat-obatan, bahan habis pakai.
▪ Perawatan pasien dengan mati batang otak harus berlandaskan pada Undang-Undang
California mengenai penghapusan dukungan kehidupan setelah kematian batang otak.

18
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai