Anda di halaman 1dari 25

Pendahuluan

 Disiplin Apoteker merupakan tampilan kesanggupan Apoteker


untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan sesuai
dengan yang ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan
dan/atau peraturan praktik yang apabila tidak ditaati atau
dilanggar dapat dijatuhi hukuman disiplin.

 Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan


dan/atau ketentuan penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya
dapat dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu:
1. Melaksanakan praktik Apoteker dengan tidak kompeten.
2. Tugas dan tanggungjawab profesional pada pasien tidak
dilaksanakan dengan baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan
Apoteker.
BENTUK PELANGGARAN DISIPLIN APOTEKER
( PO. 004/ PP.IAI/1418/VII/2014)
1. Melakukan praktik kefarmasian dengan tidak kompeten.
Penjelasan: Melakukan Praktek kefarmasian tidak dengan standar
praktek profesi/standar kompetensi yang benar, sehingga berpotensi
menimbulkan/mengakibatkan kerusakan, kerugian pasien atau
masyarakat.
2. Membiarkan berlangsungnya praktek kefarmasian yang menjadi
tanggung jawabnya, tanpa kehadirannya, ataupun tanpa Apoteker
pengganti dan/ atau Apoteker pendamping yang sah.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu dan/
atau tenagatenaga lainnya yang tidak memiliki kompetensi untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Membuat keputusan profesional yang tidak berpihak kepada
kepentingan pasien/masyarakat.
5. Tidak memberikan informasi yang sesuai, relevan dan “up to date”
dengan cara yang mudah dimengerti oleh pasien/masyarakat,
sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan dan/ atau kerugian
pasien.
6. Tidak membuat dan/atau tidak melaksanakan Standar Prosedur
Operasional sebagai Pedoman Kerja bagi seluruh personil di sarana
pekerjaan/pelayanan kefarmasian, sesuai dengan kewenangannya.
7. Memberikan sediaan farmasi yang tidak terjamin „mutu‟,
‟keamanan‟, dan ‟khasiat/manfaat‟ kepada pasien.
8. Melakukan pengadaan (termasuk produksi dan distribusi) obat
dan/atau bahan baku obat, tanpa prosedur yang berlaku, sehingga
berpotensi menimbulkan tidak terjaminnya mutu, khasiat obat.
9. Tidak menghitung dengan benar dosis obat, sehingga dapat
menimbulkan kerusakan atau kerugian kepada pasien.
10. Melakukan penataan, penyimpanan obat tidak sesuai standar,
sehingga berpotensi menimbulkan penurunan kualitas obat.
11. Menjalankan praktik kefarmasian dalam kondisi tingkat kesehatan
fisik ataupun mental yang sedang terganggu sehingga merugikan
kualitas pelayanan profesi.
12. Dalam penatalaksanaan praktik kefarmasian, melakukan yang
seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya
dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa
alasan pembenar yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.
13. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan dalam pelaksanaan praktik
swa-medikasi(self medication) yang tidak sesuai dengan kaidah
pelayanan kefarmasian.
14. Memberikan penjelasan yang tidak jujur, dan/ atau tidak etis,
dan/atau tidak objektif kepada yang membutuhkan.
15. Menolak atau menghentikan pelayanan kefarmasian terhadap pasien
tanpa alasan yang layak dan sah.
16. Membuka rahasia kefarmasian kepada yang tidak berhak.
17. Menyalahgunakan kompetensi Apotekernya.
18. Membuat catatan dan/atau pelaporan sediaan farmasi yang tidak
baik dan tidak benar.
19. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi Apoteker
(STRA) atau Surat Izin Praktik Apoteker/Surat Izin kerja Apoteker
(SIPA/SIKA) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah.
20.Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat
bukti lainnya yang diperlukan MEDAI untuk
pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran
disiplin.
21.Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau
kelebihan kemampuan/pelayanan yang dimiliki,
baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau
menyesatkan.
22.Membuat keterangan farmasi yang tidak didasarkan
kepada hasil pekerjaan yang diketahuinya secara
benar dan patut.
Bentuk Pelanggaran kode etik dan
disiplin apoteker di apotek
1. Apoteker tidak berjaga di jam kerja apotek
2. Tidak memberikan informasi obat dan konseling
kepada pasien
3. Mengutamakan kepentingan individual/
mengutamakan target omset
4. Penyerahan obat tidak dilakukan oleh apoteker
5. Melayani permintaan resep OK tanpa resep dokter
Kasus:
Apoteker B mengelola apotek yang cukup ramai. Suatu
saat, ia menerima resep racikan berisi campuran 2 tube
salep masing-masing 5 gram. Di apotek tersebut tersedia
salep dimaksud 10 gram. Salep racikan tetap dibuat
namun dengan pertimbangan bahwa separo dari
persediaan nanti tidak dapat digunakan (kecuali ada
resep yang sejenis maka apoteker B menggunakan salep
sesuai resep) tetapi harga menggunakan salep 10 gram.
Penyelesaian:
⁻ Apoteker B telah merugikan pasien karena pasien harus
membayar obat lebih mahal dari yang diterimanya.
⁻ Racik obat sesuai dengan resep, lalu komunikasikan kepada
pasien, resep dibuat sekian tapi harga tetap 1 tube, sisanya bisa
pasien bawa, nanti kalau ada resep serupa bawa aja lagi tubenya
jadi nanti tidak perlu membayar kembali dengan catatan
penyimpanannya benar dan belum kadaluarsa.
⁻ Cara menghitung waktu kadaluarsa obat campuran racik lihat
waktu kadaluarsa obat paling pendek lalu waktu kadaluarsa
campuran adalah ½ dari waktu kadaluarsa terpendek tadi. Hal
ini tentu bukanlah hal yang pasti tapi berdasarkan pengalaman
kalau salep steril waktu kadaluarsanya kira-kira 2 bulan setelah
dibuka, kalau tetes mata steril sekitar 1 bulan setelah dibuka.
Landasan Hukum
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 922/Menkes/Per/X/1993
Pelanggaran terhadap Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

• Kesimpulan
Apoteker di apotek X melanggar undang-undang
perlindungan konsumen, sumpah dan kode etik profesi
apoteker.
• Solusi
- Apoteker harus menjalankan tugasnya sbg “decision
maker” dalam hal ini harus bisa memberikan alternatif
sediaan yg efisien dan efektif.
- Apoteker menjalankan tugasnya tidak hanya azas
mencari keuntungan pribadi tetapi memahami dan
mengimplementasikan lafal sumpah dalam amanahnya.
Bentuk Pelanggaran kode etik dan
disiplin apoteker di rumah sakit
1. Apoteker membuat suatu obat yang isinya campuran dari
beberapa obat (oplosan)
2. Produk memiliki kualitas kurang bagus tetapi tetap
dimasukkan ke dalam formularium karena menjadi
sponsor/PBF memberikan subsidi besar. Atau sebaliknya
kualitas baik tetapi tidak dicantumkan kedalam formularium,
karena tidak memberikan untung misalnya bonus atau
penawaran menarik lainnya.
3. Apoteker dalam memberikan pelayanan swamedikasi (OTC &
OWA) melengkapi dirinya dengan statoskop, tensi meter, alat
tes gula darah dll. Kita harus mengetahui tugas, tanggung
jawab dan kewenangan profesi sehingga alat yang kita gunakan
tersebut digunakan bukan untuk diagnosa, namun untuk
mendukung swamedikasi pasien dan monitoring obat/hasil
terapi serta hanya memberikan “warning” kepada pasien.
Kasus:
Karena suatu kondisi (stok kosong) obat X, yang diminta
dalam resep tidak dapat dilayani. Setelah di cek ternyata IFRS
mempunyai obat Y yang kandungannya sama dari pabrik lain.
Harga obat pengganti memang lebih mahal, tetapi dengan
pertimbangan agar pasien segera dapat dilayani, tidak ada pasien
yang membeli obat di luar RS dan efisiensi perputaran stok di
IFRS, Apoteker segera memberikan obat Y tersebut. Setelah
menerima obatnya, pasien yang bersangkutan minta dibuatkan
kopi resep, namun Apoteker keberatan karena resep sudah
ditebus semua. Namun karena pasien terus mendesak akhirnya
Apoteker membuatkan kopi resep dan menuliskan obat
Y, sesuai obat yang diterima pasien pada kopi resep tersebut.
Apoteker mengganti merek obat dengan harga yang lebih mahal
tanpa konfirmasi kepada pasien tidak boleh. Harusnya
sampaikan kepada pasien alasan dan rekomendasi bahwa beda
tapi sama isinya.
Sebaiknya Apoteker melakukan konfirmasi kepada dokter
penulis resep dan menghimbau untuk mematuhi formularium
rumah sakit.
Apoteker seharusnya bersedia membuat kopi resep (kopi resep
adalah hak pasien).
Apoteker tidak mengikuti kaidah penulisan kopi resep (pcc).
Harusnya:
R/ Obat xxx
S 3 dd 1 det
Da Obat Y
Bentuk Pelanggaran kode etik dan disiplin
apoteker di INDUSTRI/ teman sejawat
1. Klaim, saling mengklaim suatu produk →
melanggar etika.
2. Kebohongan publik →menginfokan tentang
khasiat suatu obat yang tidak benar.
3. Memproduksi produk obat dengan kualitas
rendah.
4. Menjual produk reject.
Kasus:
Pemerintah telah menetapkan harga jual obat
adalah 1- 3 kali harga obat generiknya. Seorang
apoteker yang menjabat sebagai Manajer Produksi di
suatu industri farmasi mendapati bahwa harga bahan
baku glibenclamid naik sehingga setelah diproduksi
menjadi tablet glibenklamid juga harga tinggi. Bila
mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, pabrik
mengalami kerugian. Diketahui bahwa pabrik farmasi
yang memproduksi tablet glibenclamid hanya oleh
beberapa pabrik farmasi.
Dari kasus, tindakan yang sebaiknya dilakukan apoteker
yaitu :

 Tetap memproduksi tablet glibenclamide karena sangat


diperlukan oleh masyarakat. Tapi melakukan subsidi silang
untuk menutup kerugian pabrik/jual neto saja.
 Efektivitas produksi/menekan biaya produksi. Ganti
dengan bahan tambahan yang lebih murah tapi tidak
mengubah kualitas.
 Lakukan upaya diplomasi antara petinggi pabrik
(pentingnya GP-Farmasi) dengan pemerintah terkait
regulasi.
BIDANG ETIK dan DISIPLIN (MEDAI)
1.Adanya mekanisme pemberian sanksi bagi anggota yang melanggar Etik
dan Disiplin
A. Apoteker praktek rangkap.
a. PD-IAI Sumut membuat surat ke PC-IAI dalam rangka klarifikasi
rangkap praktek anggota.
b. Jika poin a benar maka PD-IAI Sumut melakukan pemanggilan yang
bersangkutan melalui PC-IAI. Apoteker yang bersangkutan
diperintahkan untuk memilih salah satu sarana.
c. Jika point b tidak diindahkan akan dilakukan pemanggilan ke dua
terhitung 14 hari kerja setelah surat pertama dikeluarkan.
d. Jika pemanggilan kedua juga tidak diindahkan, PD-IAI Sumut
akan melimpahkan kasus tersebut kepada MEDAI.
e. MEDAI akan ber-acara untuk penyelesaian kasus serta melakukan
pembinaan pada yang bersangkutan.
f. Hasil ber-acara MEDAI dikembalikan kepada PD IAI Sumut untuk
kemudian diteruskan ke MEDAI pusat melalui PP IAI.
B. Pelanggaran Etik dan Disiplin lainnya.
 Membuat putusan terkait permasalahan etik dan
disiplin apoteker lainnya oleh angggota untuk
ditindak lanjuti oleh PD-IAI sesuai AD/ART dengan
mekanisme seperti huruf A.
C.Sosialisasi Etik dan Disiplin
 Membuat agenda sosialisasi etika dan disiplin
organisasi
 Membuat agenda rapat periodik kegiatan MEDAI
Bila sanksi dari MEDAI tidak memberikan efek
kepada APA maka kemenkes dapat memberikan
sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi
pidana. Sanksi administratif yang diberikan
menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes No.
922/ MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah :
 Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-
turut dengan tenggang waktu masing – masing dua bulan.

 Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya


enam bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin
apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung oleh
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan
RI di Jakarta.

 Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila


apotek tersebut dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan
yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan
Permenkes tersebut telah dipenuhi.
Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara
diberikan bila terdapat pelanggaran terhadap :

a. Undang- Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Obat


Keras

b. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan.

c. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang


Narkotika.

d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang


Psikotropika.
SANKSI DISIPLIN APOTEKER
Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MEDAI
berdasarkan Peraturan per-UndangUndang an yang
berlaku adalah:
1. Pemberian peringatan tertulis;
2. Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan
Surat Tanda Registrasi Apoteker, atau Surat Izin
Praktik Apoteker, atau Surat Izin Kerja Apoteker;
dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan apoteker.
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau
Surat Izin Praktik yang dimaksud dapat berupa:
1. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi
atau Surat Izin Praktik sementara selama-lamanya 1
(satu) tahun, atau
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi
atau Surat Izin Praktik tetap atau selamanya;
Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan apoteker yang dimaksud dapat
berupa:
a. Pendidikan formal atau
b. Pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan,
magang di institusi pendidikan atau sarana
pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana
pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama1 (satu)
tahun

Anda mungkin juga menyukai