Anda di halaman 1dari 16

Setyayunda Putri Malinda

Lilik Mar’atus Sholihah


Demitri Pangestika Ayuningtyas
Pendahuluan

What is Greenhouse Economics?

Study Case: Greenhouse Economics

Studi kasus kebijakan Greenhouse


Economics di Indonesia
* Langit yang semakin hangat mungkin memang tidak
dirasakan sebagai bencana alam yang besar namun bisa saja
hal itu merugikan.

* Beberapa pendapat di ungkapkan terkait greenhouse effect


dimana suatu kondisi kecenderungan karbondioksida (CO2)
dan gas gas lain yang dapat terakumulasi dengan atmosfir
yang membuat tempratur panas terperangkap di lapisan
bumi.

* Walaupun begitu bumi juga membutuhkan pans karna jika


tidak rata-rata suhu bumi sekitar 0ᵒF – lebih dari 59ᵒF dan
mengakibatkan semuanya menjadi beku.
* Aktivitas manusia yang menciptakan berbagai macam
greenhouse gases (CO2, Metana, CFC) dimana manusia
sendiri memiliki potensi yang tidak dimiliki spesies lain
dalam mengubah ekosistem hingga cuaca.

* Menurut penelitian konsentrasi CO2 di udara misalnya,


meningkat pada laju sekitar 0,5% per tahun dan lebih dari 50
tahun kadar CO2 meningkat sekitar 25%. Analisis
laboratorium
Not Obvious
1 abad terakhir greenhouse
gases meningkat begiupula
dengan suhu bumi (1940
menjadi patokan). Antara
1940-1970 suhu rata-rata
turun 0.5ᵒF dan diramalkan
terjadi ice age.
Suhu global berubah-ubah
tergantung pada bagaimana
dan di mana temperatur
tersebut diukur
 Naiknya permukaan air laut sekitar satu sampai 3
kaki
 menyebabkan banjir dan garis pantai akan
bergeser
 bidang penguapan menjadi semakin besar
 Kurangnya air untuk irigasi dan pembangkit listrik
 Suhu dan udara kurang nyaman untuk heat-loving
souls

 Teknonolgi untuk memanipulasi cuaca semakin


canggih
 Biaya relatif murah
Gasoline: the major source
of the hydrocarbons
* Meskipun hasil pembakaran dari bahan bakar bensin merupakan sumber utama dari
hidrokarbon di lingkungan udara, setelah perkembangan mobil –mobil baru menjadi
lebih ramah lingkungan karena emisi pembakaran bahan bakar minyak (bensin) lebih
bersih daripada sebelumnya
* 1970s:
* Mobil mengeluarkan sekitar 9 gram hidrokarbon/mil; kontrol emisi ini membawa
penurunan sekitar 1,5 gram/mil.
* Biaya pengurangan ini diperkirakan sekitar $1000 untuk setiap ton emisi hidrokarbon
yang dicegah
* Kebijakan yang digunakan:
* 1. Ditujukan pada 9 daerah perkotaan yang tingkat kabut asap terparah termasuk
New York, Chicago, dan Los Angeles
* 2. Setiap emisi bahan bakar dikenakan 6 cents per gallon
* 3. Biaya menghilangkan setiap ton tambahan hidrokarbon sebesar $10.000 ; biaya
tersebut merupakan biaya untuk penghilangan 95% emisi di udara perkotaan
Cont...
* 1995
Aturan EPA mengharuskan bensin memiliki kandungan oksigen
minimal untuk membantu proses pembakaran. Dikarenakan
bensin alami tidak memiliki oksigen, otomatis dibutuhkan
penyuling untuk menaruh aditif dalam gas
Aditif yang disyaratkan: Ethanol dan Methyl tertiary buthyl ether
(MTBE)
Dengan penambahan tersebut akan mendorong biaya gas naik
tajam; produsen kerap menggunakan MTBE. Akibatnya air di
California tercemar.
Kontraversi:
biaya untuk melakukannya akan lebih besar dibanding bensin
murni sebelumnya
Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer meningkat diakibatkan
perilaku manusia

Sebagai akibat dari peningkatan tersebut, mendorong


peningkatan biaya

Tindakan pemerintah yang potensial dan efektif untuk


menangani permasalah ekonomi ‘rumah kaca’ sangat diperlukan

*
pada industri gula PT PG Rajawali II Unit PG Subang yang memproduksi gula SHS I A
(Super High Sugar). Bahan baku yang digunakan berasal dari tebu dengan kapasitas
giling 3.000 TCD (Ton Cane per Day). Proses produksi pada PG Subang dilakukan
secara semi otomatis dengan menggunakan mesin dan peralatan yang dioperasikan
oleh pekerja. Perhitungan emisi dilakukan dengan menggunakan formulasi yang
ditetapkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) 2006 berupa
perkalian data aktifitas dengan faktor emisi yang sebelumnya telah dikelompokkan
terlebih dahulu berdasarkan sumber emisinya. Data aktifitas PG Subang berupa
data energi yang dikonsumsi dalam musim giling (DMG) tahun 2011, seperti
penggunaan bahan bakar boiler berupa bagas dan IDO (Industrial Diesel Oil), solar,
listrik dan LPG. Setelah diketahui jumlah keseluruhan emisi yang dihasilkan, tahap
selanjutnya adalah penentuan peluang penurunan emisi GRK.
Emisi GRK yang dihasilkan oleh PG Subang berasal dari penggunaan bahan bakar
boiler, penggunaan listrik, solar, LPG, dan pengolahan padat. Penggunaan bahan
bakar boiler PG Subang DMG 2011 sebesar 101.273,90 ton ampas dan 174.258 liter
IDO untuk menghasilkan energi listrik. Kebutuhan listrik PG Subang selama
produksi adalah ± 5.816,59 kWatt dengan rata-rata konsumsi listrik PG Subang
sebesar 1.084.673 kWh per bulan. Kebutuhan solar PG Subang terdiri atas dua
bagian yaitu solar mekanisasi dan solar pabrikasi. Kebutuhan solar mekanisasi
sebesar 910.413 liter selama musim giling yang digunakan untuk pompa kebun,
pemeliharaan tanaman, mesin las, traktor angkut tebu giling, traktor traksi dan
tarikan dan alat berat. Kebutuhan solar pabrikasi sebesar 84.820 liter yang
digunakan untuk mesin atau alat produksi berbahan bakar solar.
Penggunaan LPG untuk pengelasan dan pemotongan besi sebesar 800 kg
selama musim giling. Jumlah penggunaan LPG tidak terlalu besar karena
LPG tidak digunakan dalam proses produksi.
Pembakaran yang terjadi pada bahan bakar yang digunakan saat proses
produksi dapat menghasilkan keluaran berupa energi sebagai produk
utama dan emisi sebagai produk samping. Emisi inilah yang nantinya
berpotensi sebagai pencemar udara yang menyebabkan pemanasan global
di atmosfer bumi. Emisi GRK yang dihasilkan dari pembakaran bahan
bakar boiler sebesar 101.928 tCO2. Nilai emisi yang tinggi ini diakibatkan
karena penggunaan bahan bakar berupa bagas dan IDO dalam jumlah yang
besar untuk menghasilkan uap yang dibutuhkan selama proses produksi.
Penggunaan solar dan LPG dalam jumlah besar juga berpotensi
menghasilkan emisi GRK karena merupakan bahan bakar fosil. Emisi CO2
yang dihasilkan dari penggunaan solar mekanisasi sebesar 2,61 x 103
tCO2, emisi dari solar pabrikasi sebesar 2,43 x 102 tCO2 dan emisi dari
LPG sebesar 2,51 tCO2 . Emisi PG Subang tidak hanya sebatas penggunaan
bahan bakar, pengolahan limbah padat yang tidak terkendali
menyumbang 1.377,55 kg emisi N2O nilai ini setara dengan 403,62 tCO2
setara. Total emisi CO2 yang dihasilkan PG Subang dalam musim giling
2011 adalah 105.189,14 tCO2 setara.
Dari jumlah keseluruhan emisi dan produk gula yang dihasilkan, maka PG Subang
menghasilkan emisi sebesar 4.54 tCO2 setara/ton produk.
Dalam musim giling 2011 PG Subang memiliki target 400.597 ton tebu giling.
Realisasinya hanya 343.646,90 ton tebu yang dapat digiling (85,78%). Hal ini
menyebabkan tidak tercapainya produksi ampas yang dibutuhkan. Jumlah ampas
yang ditargetkan pada tahun 2011 adalah 132.197 ton sementara realisasinya
hanya 109.304 ton (82.68%). Tidak tercapainya jumlah ampas menyebabkan PG
Subang perlu menggunakan tambahan bahan bakar berupa IDO agar tetap
memenuhi kebutuhan energi untuk menghasilkan uap. Jumlah IDO yang
digunakan untuk memenuhi energi pembakaran pada boiler sebesar 174.258
liter. Peluang pertama yang dapat diberikan untuk penurunan emisi industri gula
PG Subang yaitu optimasi penggunaan bahan bakar bagas. Hal ini dapat
dilakukan dengan konversi energi yang dihasilkan IDO menjadi energi dari
pembakaran bagas. Penurunan emisi yang dihasilkan dari pengurangan 50 %
konsumsi bahan bakar IDO sebesar 250 tCO2. Penggunaan peluang ini dapat
menurunkan 0,02 tCO2/ton produk. Peluang kedua adalah pemanfaatan blotong
menjadi pupuk kompos. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan
volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 1/3 bagian
dari volume awal bahan. Emisi N2O yang hilang akibat pengomposan adalah
sebesar 459,18 kg N2O atau setara dengan 134,54 tCO2 setara. Penerapan
peluang kedua dapat menurunkan emisi sebesar 0,02 tCO2/ton produk.
Emisi CO2 di permukaan bumi dari tahun ke tahun semakin
menunjukkan peningkatan. Oleh karena itu, perlu adanya strategi
dalam mengurangi emisi CO2. Adapun strategi yang dapat dilakukan
antara lain renewable energi. Renewable energi (Energi terbarukan)
merupakan salah satu cara untuk memperkecil tingkat emisi CO2
dengan cara mengganti energi yang berasal dari bahan bakar fosil
menjadi energi yang berasal dari sumber lain. Contoh sumber energi
yang berasal dari bahan bakar non-fosil adalah angin, air, nuklir,
biomassa, dan briket. Reboisasi adalah usaha untuk mereduksi CO2
dengan cara penanaman kembali lahan yang telah mengalami
penebangan. Reboisasi dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu
kandungan dan penyerapan karbon pada lahan yang terabaikan,
pengembangan hutan yang berkelanjutan untuk menggantikan bahan
bakar fosil, dan penyediaan bahan serta memenuhi kebutuhan
biomassa (Fiantisca 2002).
Monitoring terhadap sumber-sumber penghasil emisi
gas rumah kaca perlu dilakukan agar pihak industri
dapat mengetahui prakiraan emisi yang dihasilkan.
Pihak industri dapat melakukan upaya penurunan
jumlah emisi gas rumah kaca melalui penerapan
peluang yang telah diberikan guna mengurangi beban
pencemar di lingkungan kerja. Penerapan peluang
lainnya perlu dikaji lebih dalam seperti efisiensi
penggunaan uap dan mesin peralatan agar penurunan
emisi dapat berkurang lebih banyak.

Anda mungkin juga menyukai