Anda di halaman 1dari 26

POST-STROKE SLEEP-DISORDERED

BREATHING—PATHOPHYSIOLOGY
AND THERAPY OPTIONS

OLEH :
LOVINA FALENDINI ANDRI
NPM H1AP11016

DOKTER PEMBIMBING KLINIK :


DR. MUHAMMAD IMAN INDRASYAH, SP. S

DEPARTEMEN NEUROLOGI RSUD DR. M.YUNUS BENGKULU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BENGKULU
PENDAHULUAN

 Gangguan pernapasan tidur (sleep-disordered breathing, SDB) meliputi berbagai gangguan pernapasan
tidur yang mempengaruhi ~ 20% populasi paruh baya ( 1 , 2 ).
 Faktor risiko yang diketahui untuk SDB ialah obesitas, usia, dan jenis kelamin laki-laki ( 3 ).
 SDB dikaitkan dengan kantuk di siang hari yang mengarah pada disfungsi neurobehavioral dan kognitif
( 4 ), hipertensi ( 5 ), serta diabetes ( 6 ).
 SDB meliputi apnea tidur obstruktif (obstructive sleep apnea, OSA) dan apnea tidur sentral (central
sleep apnea, CSA) yang sering terjadi pada ~ 50% pasien stroke.
 Bukti menunjukkan bahwa terapi CPAP pada pasien pasca stroke memberikan efek pemulihan
fungsional yang lebih cepat dan pengurangan lama rawat inap serta frekuensi rawat inap kembali ( 12 -
14 ).
TUJUAN

 Meningkatkan pemahaman tentang patofisiologi SDB pasca-stroke untuk memulai terapi rehabilitasi
yang tepat, memfasilitasi pemulihan yang lebih cepat.
 Merangkum literatur yang berkembang tentang prevalensi pasca stroke dan presentasi klinis dari SDB.
 Meningkatnya penggunaan neuroimaging dan pemahaman yang lebih besar tentang patofisiologi SDB.
 Meninjau kembali pendekatan-pendekatan fenotipe baru yang mungkin berguna secara klinis untuk
mengkarakterisasi sifat SDB pada pasien pasca stroke dan sebagai panduan terapi pasien pasca stroke.
 Sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
SDB PASCA STROKE

 Bentuk paling umum dari SDB adalah OSA, yang merupakan pengurangan (hipopnea) atau
penghentian (apnea) aliran udara selama tidur sebagai konsekuensi dari kolaps saluran napas
atas. Bentuk lain dari SDB adalah CSA, yang juga ditandai dengan penghentian respirasi tetapi sebagai
akibat dari kehilangan dorongan dan upaya pernapasan sentral.
 Penegakkan diagnosa standar ialah dengan pemeriksaan penunjang polysomnography (PSG), yang
terdiri dari electroencephalography (EEG) dan pemeriksaan pernapasan (pulse oximetry, tekanan
hidung, dan usaha bernapas).
Gambar 1. (A) OSA. Tekanan nasal (penelusuran kedua dari atas) melewati periode 'mendatar', aliran
udara berhenti. Pita pernapasan abdomen dan toraks (penelusuran ketiga dan keempat) menunjukkan
upaya terus menerus untuk bernafas, dengan upaya meningkat sebelum pemulihan pernapasan. Upaya
pernafasan yang terus menerus tanpa aliran udara menyiratkan jalan napas telah kolaps. Saturasi oksigen
(SaO2%, penelusuran atas) menunjukkan periode desaturasi. Desaturasi, dan pemulihan, tertunda
dibandingkan dengan upaya pernapasan. Apnea obstruktif terjadi beberapa kali dalam contoh.
Gambar 1. (B) CSA. Tekanan nasal (penelusuran kedua dari atas) melewati periode 'mendatar', aliran
udara berhenti. Ini dikombinasikan dengan pita pernapasan abdomen dan toraks, yang juga 'mendatar',
tidak menunjukkan upaya untuk bernapas. Kombinasi tidak ada aliran udara dan tidak ada upaya untuk
bernafas menyiratkan dorongan saraf untuk bernapas terganggu. Apnea sentral terjadi berkali-kali dalam
contoh dan juga menghasilkan periode desaturasi SaO2% (atas tracing).
Gambar 1. (C) Hipopnea. Tekanan hidung menunjukkan periode peningkatan dan penurunan pernapasan,
ditambah dengan peningkatan dan penurunan upaya pernapasan. Aliran udara masih dipertahankan tetapi
menyebabkan penurunan SaO2% (penelusuran atas) minimal 3%, ini digolongkan sebagai hipopnea.
SDB PASCA STROKE VS SDB NON-STROKE

 Bukti cross-sectional yang menunjukkan bahwa SDB lebih umum di antara pasien stroke, dibandingkan
dengan populasi umum, dengan meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa SDB mempengaruhi> 50%
pasien stroke ( 9 ). Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa pasien stroke mengalami prevalensi
lebih tinggi terserang CSA (> 5 kali/ jam) jika dibandingkan dengan pasien SDB non-stroke ( 18 - 20 ).
PERAWATAN SDB MENINGKATKAN PEMULIHAN KLINIS PADA
PASIEN STROKE

 SDB yang tidak diobati pada pasien stroke menyebabkan banyak hasil yang merugikan selama
pemulihan akut dan kronis dari stroke termasuk peningkatan angka kematian ( 23 - 25 ) dan
menurunkan outcome secara fungsional ( 10 , 25 , 26 ).
 Penggunaan CPAP lebih dari 4 jam/ malam, setidaknya 70% selama perawatan, dianggap sesuai secara
klinis (29). Adaptive servo-ventilation (ASV) sejak dahulu telah digunakan untuk mengobati CSA.
Keberhasilan pengobatan SDB oleh CPAP ( 13 ) dan APAP ( 12 ) pada pasien stroke telah terbukti
meningkatkan NIH Stroke Scale. Selain itu, pengobatan telah terbukti mengurangi risiko kematian
sebesar 32% ( 14 ).
TERAPI LAIN UNTUK SDB PASCA STROKE

 Diet dan latihan fisik untuk mengurangi obesitas telah menunjukkan hasil mengurangi keparahan SDB
pada populasi non-stroke ( 39 , 40 ); Namun, keberhasilan ini sulit dicapai pada penderita stroke
( 41 , 42 ). Gangguan fungsional yang disebabkan oleh stroke, seperti imobilitas, menyebabkan
penurunan berat badan sulit diterapkan. Selanjutnya, selama periode pasca stroke, pasien stroke
dengan derajat hemiparesis yang bervariasi sering kehilangan massa otot tetapi massa lemak meningkat
( 43 ), penyebab obesitas, yang dapat memperburuk SDB.
 OSA sering lebih parah pada posisi terlentang dibandingkan dengan posisi lateral ( 44 ). Perkembangan
teknologi terbaru dalam perangkat penghindaran supine untuk OSA telah menunjukkan hasil yang
menjanjikan dalam hal keefektifan mengurangi keparahan OSA ( 45 , 46 ).
NEXT

 RCT dalam lingkup yang kecil, melibatkan pasien stroke SDB menggunakan bantal penghindaran
supine menunjukkan penurunan yang signifikan dalam indeks apnea-hypopnea (AHI); Namun
diperlukan penelitian yang lebih besar untuk menjelaskan hal ini ( 47). Teknik ini mungkin tidak cocok
untuk semua pasien stroke, terutama penderita hemiparesis, karena mereka mungkin tidak dapat
mengubah berat badan, sehingga sulit untuk mempertahankan posisi lateral.
 Mandibular advancement splints (MAS) menggerakkan mandibula ke depan, sehingga membuka jalan
napas dan efektif untuk mengurangi OSA pada 30-50% pasien ( 48 ). Terapi ini mungkin bermanfaat
pada beberapa pasien stroke dan mungkin lebih cocok dan ditoleransi pada populasi stroke
dibandingkan dengan perawatan CPAP; Akan tetapi, belum ada uji klinis mengenai efektivitas MAS
pada pasien stroke sejauh ini.
NEXT

 Intervensi bedah untuk mengurangi keparahan OSA telah menunjukkan hasil pada populasi non-
stroke; Namun masih diperlukan penelitian lanjutan ( 49 ), mengingat komplikasi potensial dari stroke,
operasi mungkin bukan pilihan terbaik.
 Terapi oksigen juga telah dievaluasi sebagai pilihan pengobatan potensial dalam OSA ( 50 ) dan
tampaknya menjadi terapi minimal invasif pada pasien pasca stroke dengan SDB. Efektivitas terapi
oksigen mungkin terbatas. Berdasarkan bukti klinis, terapi oksigen secara signifikan mengurangi
desaturasi oksigen, tetapi dapat memperpanjang kejadian apnea ( 50 ). Bukti yang lebih baru
menunjukkan bahwa hanya pasien OSA tertentu dengan sifat fenotipik tertentu yang merespon secara
positif terhadap terapi oksigen ( 51 ), sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai fenotip sederhana
dan terapi pada pasien pasca stroke.
PHENOTYPING SDB PADA PASIEN STROKE UNTUK
MENGINFORMASIKAN STRATEGI PENGOBATAN BARU

 Terdapat beberapa kontributor non-anatomik pada SDB, yakni ambang batas pernapasan rendah,
respon chemoreflex abnormal terhadap kadar karbon dioksida (CO2) yang berbeda, dan kurangnya
kemampuan otot dilator jalan napas atas, musculus genioglossus, sehingga patensi jalan napas
terganggu (52 ).
 Ambang batas pernapasan yang rendah dapat diobati dengan penggunaan obat penenang ( 53 ),
chemoreflex abnormal diobati dengan terapi oksigen ( 54 ), dan penurunan fungsi otot-otot dilator atas
dapat ditingkatkan dengan fisioterapi oral ( 55 ).
 Namun belum ada penelitian yang membahas mengenai karakterisasi fenotipe pada pasien pasca stroke
dengan SDB.
APAKAH UKURAN LESI DAN LOKASI STROKE
BERDAMPAK TERHADAP SDB?
BATANG OTAK (BRAINSTEM)

 Medula oblongata memainkan peran utama pengendalian pernapasan


( 59 ). Medula oblongata mengandung kemoreseptor sentral (dengan
kemoreseptor perifer yang terletak di badan karotid). Respons chemoreflex
mengontrol respirasi melalui sistem umpan balik pada tekanan parsial CO2
(PaCO2).
 Pada orang dengan chemosensitivity "normal", peningkatan PaCO2 akan
meningkatkan respirasi, sementara penurunan PaCO2 akan mengurangi
respirasi.
 Pada mereka yang memiliki kemosensitivitas “abnormal”, peningkatan
PaCO2 menyebabkan peningkatan ventilasi di atas normal, contohnya pada
CSA (60). Lesi pada medula menyebabkan kemosensitivitas menurun
selama terjaga, tidur, dan bahkan olahraga ( 61 ).
NEXT

 Medula juga menerima input dari pons untuk menginnervasi otot-otot faring, yang memainkan peran
penting dalam menjaga patensi saluran napas atas, serta pengaturan aktivitas diafragma. Otot faring
terbesar, genioglossus, dipersarafi oleh saraf hipoglosal, yang berasal dari batang otak ( 62 ) dan
bertindak untuk menarik lidah ke depan.
 Pasien SDB mengalami penurunan aktivasi genioglossus saat tidur, yang berkontribusi pada kolapsnya
saluran napas atas ( 63 , 64 ). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa batang batang otak
mempengaruhi aktivitas otot faring ( 65 , 66) menyebabkan disfagia serta keparahan SDB pada pasien
stroke.
LOKASI LESI
TINGKAT KEPARAHAN DAN JENIS SDB

 Studi awal mengenai stroke batang otak menunjukkan lesi ke wilayah ini menyebabkan perkembangan
respirasi Cheyne-Stokes (pernapasan periodik terjadi saat terjaga) ( 67 , 68 ).
 Lee et al. adalah yang pertama menunjukkan tingkat CSA yang tinggi pada pasien dengan lesi batang
otak ( 67 ).
 Beberapa studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa ada hubungan antara stroke batang otak dan
keparahan SDB dan khususnya CSA ( 69 , 70 ).
NEXT

 Siccoli dkk. menemukan bahwa pasien yang mengalami stroke sirkulasi anterior total memiliki AHI
tertinggi dibandingkan dengan daerah otak lainnya, persentasi CSA ~ 40% dari keseluruhan AHI
( 19 ). Penulis juga menunjukkan bahwa AHI tertinggi kedua ialah stroke pons, yang merupakan bagian
dari mid-brain, dengan CSA ~ 12% dari AHI.
 Ahn dkk. menemukan bahwa lesi serebri bilateral dikaitkan dengan keparahan SDB secara signifikan,
dibandingkan dengan stroke di daerah lain, termasuk batang otak, dan penulis tidak melaporkan terkait
dengan tipe SDB ( 72).
 De Paolis dkk. telah berhipotesis bahwa infark serebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial yang mengarah ke penurunan volume darah otak, memicu hipokapnia, sehingga kontrol
ventilasi tidak stabil ( 73 ).
NEXT

 Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lokasi lesi dengan keparahan
SDB dan tipe SDB ( 74 - 78 ); Namun, alasannya tidak jelas. Penting untuk dicatat bahwa stroke batang
otak khusus berkontribusi < 10% dari seluruh stroke kortikal ( 18 , 77 ).
 Literatur tentang lokasi lesi dan SDB beragam dan inconclusive. Ada variasi besar dalam metodologi
dan populasi pasien, definisi lokasi lesi, dan bahkan onset stroke terhadap SDB, yang dapat
berkontribusi pada hasil penelitian.
BATANG OTAK DAN OTOT FARING

 Beberapa penelitian secara langsung meneliti potensi kerusakan saraf faring pada pasien pasca stroke
SDB, pada lesi batang otak ( 79 ) dan lesi pharyngeal cortex ( 80 ), menyebabkan disfagia.
 Turkington dkk. menunjukkan bahwa BMI dan lingkar leher, tanpa disfagia, berkontribusi terhadap
keparahan SDB yang lebih buruk ( 81 ).
 Brown et al. menunjukkan bahwa pasien stroke dengan SDB memiliki jarak retropalatum yang lebih
sempit, dibandingkan dengan non-SDB. ( 82).
 Martinez-Garcia dkk. menunjukkan bahwa pasien stroke batang otak 1,73 kali lebih mungkin
mengalami disfagia dan jumlah kejadian OSA lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pasien
stroke tanpa disfagia selama fase akut ( 83 ). Lebih lanjut, pasien stroke dengan disfagia mengalami
penurunan yang lebih besar pada AHI, terutama OSA, selama pemulihan.
UKURAN LESI

 Beberapa penelitian telah meneliti bagaimana ukuran stroke, terlepas dari apakah stroke hemoragik
atau iskemik, mempengaruhi prevalensi dan tipe SDB. Ahn dkk. menunjukkan bahwa lesi hemisfer
bilateral menghasilkan keparahan SDB yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan stroke
yang terjadi di satu area ( 72 ).
 Brown et al. membandingkan stroke batang otak dengan stroke kortikal, menunjukkan bahwa ukuran
lesi tidak terkait dengan tingkat keparahan SDB (18 ).
 Siccoli dkk. menemukan bahwa keparahan SDB terburuk terjadi pada stroke sirkulasi total anterior,
menyiratkan bahwa ukuran lesi adalah kontributor signifikan terhadap keparahan SDB ( 19). Namun,
lesi yang terjadi di pons, area spesifik batang otak, menghasilkan AHI terbesar kedua, peneliti juga
masih mempertanyakan apakah ukuran stroke merupakan faktor yang berkontribusi.
PERBEDAAN ANTARA STROKES ISCHEMIC DAN
HEMORRHAGIC PADA SDB BERAT

 Hanya satu penelitian yang memeriksa perbedaan SDB antara stroke iskemik dan hemoragik
( 78 ). Keparahan SDB segera pasca stroke serupa antara stroke iskemik dan hemoragik, tetapi setelah 3
bulan, keparahan SDB tidak berubah pada stroke iskemik, namun secara signifikan berkurang pada
stroke hemoragik. Jenis SDB tidak dicatat; dengan demikian, sulit untuk menentukan apakah jenis
stroke menyebabkan perbedaan dalam tipe SDB dari penelitian ini. Para penulis menyarankan bahwa
untuk mengamati SDB pada kelompok stroke hemoragik setelah 3 bulan terhadap penurunan tekanan
intraserebral ( 73).
 Diperlukan penelitian yang lebih banyak lagi untuk menilai dampak dari jenis stroke terhadap SDB
karena informasi ini mungkin bermakna secara klinis ketika mengevaluasi prognosis dan pilihan terapi
SDB pasca stroke.
DISKUSI

 Ulasan ini telah menyoroti bahwa SDB pasca stroke secara signifikan lebih umum dibandingkan dengan
populasi non-stroke.
 SDB secara signifikan menghambat rehabilitasi pasca-stroke, sehingga meningkatkan lama rawat inap
dan pemulihan lebih lambat.
 Efek terapeutik CPAP pada hasil pemulihan pasien stroke secara signifikan lebih cepat, waktu rawat
inap berkurang, dan frekuensi rawat inap kembali berkurang. Namun terapi ini memerlukan tingkat
kepatuhan yang tinggi.
 Ada beberapa alternatif untuk mengobati SDB, seperti MAS dan menghindari supine yang mungkin
cocok pada beberapa pasien untuk setidaknya mengurangi keparahan SDB.
NEXT

 Teknik baru SDB-fenotyping sedang dikembangkan, yang akan menginformasikan mengenai sifat dan
penyebab SDB pada masing-masing pasien, sehingga menyediakan pengobatan secara individual yang
disesuaikan untuk pasien.
 Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menilai hubungan lokasi lesi dengan fenotip SDB sebagai
panduan pilihan pengobatan SDB dan rehabilitasi stroke menjadi lebih baik.
Kelebihan Kekurangan

 Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan  Jurnal ini hanya terbatas pada mini review.
untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
 Penulis tidak melampirkan secara jelas
mekanisme reviewnya; berapa jumlah
penelitian yang direview, menggunakan metode
apa saja, berada di wilayah mana, cara
mendapatkan data, penelitian yang dipilih dari
tahun berapa, serta tidak memberikan
penjelasan mengapa memilih review beberapa
jurnal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai