Anda di halaman 1dari 11

KELOMPOK 3:

1. Elsa Elsani
2. Dia Shafira
3. Raynette Grace
4. Riska Febby
5. Prili Demayanti
6. Firda Amelia
7. Alda Riswana
1. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum.
Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan plasenta lahir.
 Penyebab :
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor predisposisi
(penunjang) seperti :
Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi.
Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
Multipara dengan jarak kelahiran pendek
Partus lama / partus terlantar
Malnutrisi.
Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta belum terlepas dari
dinding uterus.
 Gejala Klinis:
 Uterus tidak berkontraksi dan lunak
 Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3).
 Pencegahan atonia uteri:
 Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala III, yaitu pemberian
oksitosin segera setelah bayi lahir.
 Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut
sebagai terapi.
 Definisi keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam setelah bayi lahir.
 Epidemiologi
 16-17 % dari kasus perdarahan postpartum
 Penyebab
1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih
dalam.
2. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni
uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat
kesalahan penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar
(plasenta inkarserata).
 Penegakan diagnosis
 Plasenta belum lahir selama 1jam setelah bayi lahir.
 Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi
fundus tidak berkurang.
 Berdasarkan penyebab perdarahan postpartum
1. Atoni uteri (50-60%).
2. Retensio plasenta (16-17%).
3. Sisa plasenta (23-24%).
4. Laserasi jalan lahir (4-5%).
5. Kelainan darah (0,5-0,8%).
 Penatalaksanaan
 Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta dilakukan apabila plasenta belum
lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi lahir terlebih lagi apabila disertai perdarahan.
 Tindakan penanganan retensio plasenta :
 Memberikan informasi kepada ibu tentang tindakan yang akan dilakukan
 Mencuci tangan secara efektif
 Melaksanakan pemeriksaan umum
 Mengukur vital sign,suhu,nadi,tensi,pernafasan
 Melaksanakan pemeriksaan kebidanan
 a.inspeksi, b.palpasi, c.periksa dalam
 Memakai sarung tangan steril
 Melakukan vulva hygiene
 Mengamati adanya gejala dan tanda retensio plasenta
 Bila placenta tidak lahir dalam 30 menit sesudah lahir,atau terjadi perdarahan sementara
placenta belum lahir,maka berikan oxytocin 10 IU IM.
 Pastikan bahwa kandung kencing kosong dan tunggu terjadi kontraksi,kemudian coba
melahirkan plasenta dengan menggunakan peregangan tali pusat terkendali
 Bila dengan tindakan tersebut placenta belum lahir dan terjadi perdarahan banyak,maka
placenta harus dilahirkan secara manual
 Berikan cairan infus NACL atau RL secara guyur untuk mengganti cairan
 Manual plasenta :
 Memasang infus cairan dekstrose 5%.
 Ibu posisi litotomi dengan narkosa dengan segala sesuatunya dalam keadaan suci hama.
 Teknik : tangan kiri diletakkan di fundus uteri, tangan kanan dimasukkan dalam rongga rahim
dengan menyusuri tali pusat sebagai penuntun.
 Komplikasi:
 Perdarahan menyebabkan syok hemoragik yang berakibat pada kematian.Retensio Plasenta
adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah
bayi lahir . (Prawirohardjo,2002)
 Jenis-jenis retensio Plasenta :
1. Plasenta Adhesiva
2. Plasenta Akreta
3. Plasenta Inkreta
4. Plasenta Perkreta
5. Plasenta Inkaserata
 Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi
rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan
jalan lahir.
 Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
1. Robekan Perinium
 Umumnya terjadi pada persalinan karena :
 Kepala janin terlalu cepat lahir
 Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
 Jaringan parut pada perineum
 Distosia bahu
2. Rupture Uteri
Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan
karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang terjadi di luar
rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum abdomen.
o Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1. Ruptur Uteri Gravidarum
2. Ruptur Uteri Durante Partum
Ruptur uteri dapat dibagi menurut beberapa cara :
1. Menurut lokasinya
2. Menurut robeknya peritoneum
3. Menurut etiologinya
 Pembagian rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :
 Ruptur uteri kompleta
 Jaringan peritoneum ikut robek
 Janin terlempar ke ruangan abdomen
 Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen
 Mudah terjadi infeksi

 Ruptura uteri inkompleta


 Jaringan peritoneum tidak ikut robek
 Janin tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen
 Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
 Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma

Anda mungkin juga menyukai