Anda di halaman 1dari 33

FIKIH WAKAF: TUKAR MENUKAR

HARTA WAKAF

Oleh: Suhairi, S.Ag., MH.


Tukar Menukar Harta`Wakaf
 Dalam terminlogi fikih, tukar menukar
harta wakaf dikenal dengan istilah ibdal
dan istibdal. Yang dimaksud dengan
ibdal adalah menjual barang wakaf
untuk membeli barang lain sebagai
gantinya. Sedangkan, istibdal adalah
menjadikan barang lain sebagai
pengganti barang wakaf asli. Sedangkan
istilah yang digunakan dalam peraturan
tentang perwakafan di Indinesia adalah
penukaran atau tukar menukar harta
wakaf.
Berkaitan dengan
penukaran harta benda
wakaf, di kalangan fuqaha
terjadi perbedaan pendapat.
Sebagian membolehkan, dan
sebagian lain tidak
membolehkan penukaran
harta benda wakaf.
Mazhab Hanafiyah
 Dalam perspektif mazhab Hanafiyah,
penukaran harta benda wakaf adalah
boleh. Kebijakan ini berpijak pada dan
menitikberatkan pada maslahat dalam
hal tersebut. Menurut mereka,
penukaran harta benda wakaf boleh
dilakukan oleh siapapun, baik wakif
sendiri, orang lain maupun hakim
(penguasa, pen.). Penukaran tersebut
baik terhadap tanah, harta bergerak
(manqul) maupun tidak bergerak (‘iqar).
 Mayoritasulama Hanafiyah
memperbolehkan penukaran harta
benda wakaf. Namun pembolehan ini
bukan tanpa syarat, sebagaimana
dikemukakan oleh Ibn Abidin yang
menyatakan: “Menurut pendapat
yang paling benar, penukaran harta
benda wakaf dapat disahkan atas
kebijakan (keputusan) hakim dengan
adanya maslahat yang terkandung
di dalamnya.
Pengarang kitab al-Zhahirah
menyatakan: “Diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib, beliau
mewakafkan rumah untuk
Hasan dan Husain. Lalu,
ketika berangkat menuju
Shiffin beliau berkata: ‘Andai
rumah mereka itu dijual dan
hasilnya dibagikan, tentunya
akan lebih bermanfaat.”
Hadis (atsar) inilah yang
dijadikan sandaran hukum
mayoritas fuqaha Hanafiyah.
Meski demikian, masih ada
sebagian ulama yang
berpendapat lain dan
melarang penggantian
barang wakaf selama tidak
disyaratkan wakif dalam
akadnya.
Namun pendapat yang
masyhur dari mazhab
hanafiyah diperbolehkan
melakukan penukaran
harta benda wakaf,
walaupun wakif tidak
mensyaratkan/
menyatakannya pada
akad.
Mazhab Malikiyah
Meskipun pada prinsipnya
para ulama Malikiyah
melarang keras penggantian
barang wakaf, namun mereka
tetap memperbolehkannya
pada kasus tertentu dengan
membedakan benda wakaf
yang bergerak dan yang tidak
bergerak.
Mengganti barang wakaf yg
bergerak
Kebanyakan ulama mazhab
Malikiyah memperbolehkan
penggantian benda wakaf yang
bergerak dengan pertimbangan
kemaslahatan. Pendapat ini
termasyhur dalam riwayat
imam Malik.
Tetapi ada pendapat lain yang
melarang penggantian barang
wakaf yang bergerak. Pendapat
ini dikemukakan oleh Sahnun
yang menyatakan: Diriwayatkan
dari seorang ulama bahwa barang
bergerak apa pun yang
diwakafkan di jalan Allah, seperti
hamba sahaya atau pakaian,
tidak boleh dijual.”
Namun , jumhur ulama Malikiyah
meyakini bahwa penggantian
barang wakaf yang bergerak boleh
dilakukan bila telah rusak atau
tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Bahkan Ibnu Rusyd
menyatakan, hukum ini telah
disepakati dari semua ulama
Malikiyah, terlebih jika barang
wakaf tersebut akan bertambah
rusak bila dibiarkan.
Mengganti barang wakaf
yang tidak bergerak
Para ulama malikiyah
dengan tegas melarang
penggantian barang wakaf
yang tidak bergerak, kecuali
dalam keadaan darurat
yang sangat jarang terjadi.
Masjid
 Ulama malikiyah bersepakat bahwa
penjualan masjid yang diwakafkan
mutlak dilarang. Dalam kitab Risalah
al-Khithab dijelaskan, mengenai
wakaf masjid, Ibn Syasi
meriwayatkan bahwa Muhammad bin
Abdus menfatwakan: ‘Saya tidak
menemukan perselisihan pendapat
dari semua ulama tentang pelarangan
penjualan masjid.’
Benda tidak bergerak selain masjid
Dalam hal ini dibedakan antara
barang yang bisa dimanfaatkan
dengan barang yang tidak bisa
dimanfaatkan. Terhadap barang
yang bisa dimanfaatkan, semua
pengikut mazhab Malikiyah
bersepakat (ijma) tentang
larangan penjualan barang wakaf
tersebut.
 Sedangkan terhadap barang wakaf
tidak bergerak yang tidak bisa
dimanfaatkan (atau telah rusak),
ulama Malikiyah melarang penjualan
dan penggantiannya. Namun Ibn
Rusyd berpandangan lain, beliau
menyatakan, jika tanah wakaf tidak
dapat dimanfaatkan dan sulit
disewakan, maka diperbolehkan
menggantinya dengan tanah lain
berdasarkan keputusan hakim.
 Halini dengan mengecualikan
kondisi darurat, seperti perluasan
masjid, kuburan atau jalan umum.
Jika keadaannya memaksa (darurat),
mereka membolehkan penjualan
barang wakaf. dasar yang mereka
gunakan sebagai pijakan adalah
bahwa penjualan akan berpulang
pada kemaslahatan dan kepentingan
umum, dan dikhawatirkan dapat
mengganggu kelancaran bersama jika
tidak segera diselesaikan.
Mazhab Syafi’iyah
 Dalam masalah penggantian barang
wakaf, kalangan ulama Syafi’iyah
dikenal lebih hati-hati dibandingkan
dengan mazhab-mazhab yang
lainnya, hingga terkesan seolah-olah
mereka mutlak melarang
penggantian harta wakaf dalam
kondisi apa pun. Mereka mensinyalir,
penggantian tersebut dapat
berindikasi penilapan atau
penyalahgunaan barang wakaf.
 Ulama Syafi’iyah melarang
penjualan barang wakaf selama
masih mendatangkan hasil sesedikit
apa pun, meski pihak pengadilan
melalui hakim mengijinkan
penjualannya. Bahkan, beberapa
kitab mazhab Syafi’i, melarang
untuk menggantinya secara mutlak.
Mawardi berkata: “Barang wakaf
tidak boleh dijual, meski rusak.”
Mazhab Hanabilah
 Dalam kitab Mukhtashar al-Kharqi
disebutkan, jika barang wakaf rusak
dan tidak menghasilkan apa pun,
maka barang wakaf tersebut boleh
dijual dan uangnya digunakan untuk
membelikan barang lain sebagai
gantinya. Demikian juga, kuda wakaf
yang sudah tidak bisa digunakan
berperang karena tua dan lemah
boleh dijual untuk dibelikan kuda
baru lagi.
Mazhab Hambali
memberikan batasan
pengizinan menjual dan
mengganti barang wakaf,
yaitu ketika dalam kondisi
darurat dengan tetap
mempertimbangkan
kemaslahatan.
Menurut mereka, hukum asal
penjualan barang wakaf adalah
haram. tetapi, hal ini dibolehkan
dalam kondisi darurat demi
menjaga tujuan wakaf, yaitu agar
barang wakaf dapat
dimanfaatkan oleh umat. Ulama
hanabilah membatasi izin
penggantian harta wakaf dengan
adanya pertimbangan
kemaslahatan dan darurat.
 Ulama Hanabilah menetapkan yang
berhak melakukan jual-beli dan
penggantian barang wakaf hanya
hakim, apabila ditujukan demi
kemaslahatan umum. Namun, jika
berupa barang wakaf ditujukan untuk
orang-orang tertentu, maka yang
berhak menangani penjualan dan
penggantian tersebut adalah nazhir
yang telah ditentukan dengan tetap
meminta izin dari hakim.
Mazhab Syafi’i dan Maliki
terkesan sangat hati-hati
dalam memperbolehkan
penjualan dan penggantian
barang wakaf. Bahkan,
mereka cenderung melarang
praktik tersebut selama
tidak ada kebutuhan yang
mendesak.
 Disisi lain, mazhab Hambali dan
hanafi terkesan mempermudah izin
melakukan praktik itu. Mereka
berpendapat, jika kita melarang
penjualan atau penggantian barang
wakaf-sementara ada alasan kuat
untuk itu-maka kita termasuk
orang-orang yang menyia-nyiakan
wakaf. Akibatnya, barang wakaf bisa
menjadi rusak dan tidak bisa
dimanfaatkan lagi.
Dengan tetap memegang prinsip
bahwa wakaf itu abadi dan harus
dijaga serta dipelihara sesuai
dengan jenis barang dan cara
pemeliharaan yang disyaratkan
wakif, kita tidak melarang
penggantian atau penjualannya
ketika ada hal yang menghalangi
pemeliharaan asal jenis barang
atau bentuknya.
Karena, bila barang wakaf
rusak dan tidak bisa
dimanfaatkan lagi yang
mengakibatkan tidak
tercapainya tujuan wakaf,
maka hal itu bisa mereduksi
dengan mengganti atau
menjualnya, sehingga kita
dapat mengabadikan maskud
dan tujuan wakaf tersebut.
Hanya saja, pada praktiknya
sering kali kita temukan aspek-
aspek yang dikhawatirkan bisa
menghilangkan barang wakaf
atau mengakibatkan tidak
tersalurkannya keuntungan
kepada yang berhak. Oleh karena
itu, penggantian barang wakaf
harus dilakukan dengan ekstra
hati-hati dan melalui
pertimbangan yang masak.
Pasal 67 UU 41/2004
1) Setiap orang yang dengan sengaja men
jaminkan
menghibahkan, menjual, mewariskan, men
galihkan dalam bentuk pengalihan hak lainn
ya harta benda wakaf yang telah diwakafka
n sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
atau tanpa izin menukar harta benda wak
af yang telah diwakafkan sebagaimana di
maksud dalam Pasal 41, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahu
n an/atau pidana denda paling banyak Rp 50
0.000.000 (lima ratus juta rupiah).
2).Setiap orang yang dengan seng
aja mengubah peruntukkan har
ta benda wakaf tanpa izin seba
gaimana dimaksud dalam pasal
44, dipidana dengan pidana pe
njara paling lama 4 (empat) tah
un dan/atau pidana denda palin
g banyak Rp 400.000.000 (empa
t ratus Juta rupiah).

Anda mungkin juga menyukai