Tukar Menukar Harta`Wakaf Dalam terminlogi fikih, tukar menukar harta wakaf dikenal dengan istilah ibdal dan istibdal. Yang dimaksud dengan ibdal adalah menjual barang wakaf untuk membeli barang lain sebagai gantinya. Sedangkan, istibdal adalah menjadikan barang lain sebagai pengganti barang wakaf asli. Sedangkan istilah yang digunakan dalam peraturan tentang perwakafan di Indinesia adalah penukaran atau tukar menukar harta wakaf. Berkaitan dengan penukaran harta benda wakaf, di kalangan fuqaha terjadi perbedaan pendapat. Sebagian membolehkan, dan sebagian lain tidak membolehkan penukaran harta benda wakaf. Mazhab Hanafiyah Dalam perspektif mazhab Hanafiyah, penukaran harta benda wakaf adalah boleh. Kebijakan ini berpijak pada dan menitikberatkan pada maslahat dalam hal tersebut. Menurut mereka, penukaran harta benda wakaf boleh dilakukan oleh siapapun, baik wakif sendiri, orang lain maupun hakim (penguasa, pen.). Penukaran tersebut baik terhadap tanah, harta bergerak (manqul) maupun tidak bergerak (‘iqar). Mayoritasulama Hanafiyah memperbolehkan penukaran harta benda wakaf. Namun pembolehan ini bukan tanpa syarat, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Abidin yang menyatakan: “Menurut pendapat yang paling benar, penukaran harta benda wakaf dapat disahkan atas kebijakan (keputusan) hakim dengan adanya maslahat yang terkandung di dalamnya. Pengarang kitab al-Zhahirah menyatakan: “Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, beliau mewakafkan rumah untuk Hasan dan Husain. Lalu, ketika berangkat menuju Shiffin beliau berkata: ‘Andai rumah mereka itu dijual dan hasilnya dibagikan, tentunya akan lebih bermanfaat.” Hadis (atsar) inilah yang dijadikan sandaran hukum mayoritas fuqaha Hanafiyah. Meski demikian, masih ada sebagian ulama yang berpendapat lain dan melarang penggantian barang wakaf selama tidak disyaratkan wakif dalam akadnya. Namun pendapat yang masyhur dari mazhab hanafiyah diperbolehkan melakukan penukaran harta benda wakaf, walaupun wakif tidak mensyaratkan/ menyatakannya pada akad. Mazhab Malikiyah Meskipun pada prinsipnya para ulama Malikiyah melarang keras penggantian barang wakaf, namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan membedakan benda wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak. Mengganti barang wakaf yg bergerak Kebanyakan ulama mazhab Malikiyah memperbolehkan penggantian benda wakaf yang bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan. Pendapat ini termasyhur dalam riwayat imam Malik. Tetapi ada pendapat lain yang melarang penggantian barang wakaf yang bergerak. Pendapat ini dikemukakan oleh Sahnun yang menyatakan: Diriwayatkan dari seorang ulama bahwa barang bergerak apa pun yang diwakafkan di jalan Allah, seperti hamba sahaya atau pakaian, tidak boleh dijual.” Namun , jumhur ulama Malikiyah meyakini bahwa penggantian barang wakaf yang bergerak boleh dilakukan bila telah rusak atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan Ibnu Rusyd menyatakan, hukum ini telah disepakati dari semua ulama Malikiyah, terlebih jika barang wakaf tersebut akan bertambah rusak bila dibiarkan. Mengganti barang wakaf yang tidak bergerak Para ulama malikiyah dengan tegas melarang penggantian barang wakaf yang tidak bergerak, kecuali dalam keadaan darurat yang sangat jarang terjadi. Masjid Ulama malikiyah bersepakat bahwa penjualan masjid yang diwakafkan mutlak dilarang. Dalam kitab Risalah al-Khithab dijelaskan, mengenai wakaf masjid, Ibn Syasi meriwayatkan bahwa Muhammad bin Abdus menfatwakan: ‘Saya tidak menemukan perselisihan pendapat dari semua ulama tentang pelarangan penjualan masjid.’ Benda tidak bergerak selain masjid Dalam hal ini dibedakan antara barang yang bisa dimanfaatkan dengan barang yang tidak bisa dimanfaatkan. Terhadap barang yang bisa dimanfaatkan, semua pengikut mazhab Malikiyah bersepakat (ijma) tentang larangan penjualan barang wakaf tersebut. Sedangkan terhadap barang wakaf tidak bergerak yang tidak bisa dimanfaatkan (atau telah rusak), ulama Malikiyah melarang penjualan dan penggantiannya. Namun Ibn Rusyd berpandangan lain, beliau menyatakan, jika tanah wakaf tidak dapat dimanfaatkan dan sulit disewakan, maka diperbolehkan menggantinya dengan tanah lain berdasarkan keputusan hakim. Halini dengan mengecualikan kondisi darurat, seperti perluasan masjid, kuburan atau jalan umum. Jika keadaannya memaksa (darurat), mereka membolehkan penjualan barang wakaf. dasar yang mereka gunakan sebagai pijakan adalah bahwa penjualan akan berpulang pada kemaslahatan dan kepentingan umum, dan dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran bersama jika tidak segera diselesaikan. Mazhab Syafi’iyah Dalam masalah penggantian barang wakaf, kalangan ulama Syafi’iyah dikenal lebih hati-hati dibandingkan dengan mazhab-mazhab yang lainnya, hingga terkesan seolah-olah mereka mutlak melarang penggantian harta wakaf dalam kondisi apa pun. Mereka mensinyalir, penggantian tersebut dapat berindikasi penilapan atau penyalahgunaan barang wakaf. Ulama Syafi’iyah melarang penjualan barang wakaf selama masih mendatangkan hasil sesedikit apa pun, meski pihak pengadilan melalui hakim mengijinkan penjualannya. Bahkan, beberapa kitab mazhab Syafi’i, melarang untuk menggantinya secara mutlak. Mawardi berkata: “Barang wakaf tidak boleh dijual, meski rusak.” Mazhab Hanabilah Dalam kitab Mukhtashar al-Kharqi disebutkan, jika barang wakaf rusak dan tidak menghasilkan apa pun, maka barang wakaf tersebut boleh dijual dan uangnya digunakan untuk membelikan barang lain sebagai gantinya. Demikian juga, kuda wakaf yang sudah tidak bisa digunakan berperang karena tua dan lemah boleh dijual untuk dibelikan kuda baru lagi. Mazhab Hambali memberikan batasan pengizinan menjual dan mengganti barang wakaf, yaitu ketika dalam kondisi darurat dengan tetap mempertimbangkan kemaslahatan. Menurut mereka, hukum asal penjualan barang wakaf adalah haram. tetapi, hal ini dibolehkan dalam kondisi darurat demi menjaga tujuan wakaf, yaitu agar barang wakaf dapat dimanfaatkan oleh umat. Ulama hanabilah membatasi izin penggantian harta wakaf dengan adanya pertimbangan kemaslahatan dan darurat. Ulama Hanabilah menetapkan yang berhak melakukan jual-beli dan penggantian barang wakaf hanya hakim, apabila ditujukan demi kemaslahatan umum. Namun, jika berupa barang wakaf ditujukan untuk orang-orang tertentu, maka yang berhak menangani penjualan dan penggantian tersebut adalah nazhir yang telah ditentukan dengan tetap meminta izin dari hakim. Mazhab Syafi’i dan Maliki terkesan sangat hati-hati dalam memperbolehkan penjualan dan penggantian barang wakaf. Bahkan, mereka cenderung melarang praktik tersebut selama tidak ada kebutuhan yang mendesak. Disisi lain, mazhab Hambali dan hanafi terkesan mempermudah izin melakukan praktik itu. Mereka berpendapat, jika kita melarang penjualan atau penggantian barang wakaf-sementara ada alasan kuat untuk itu-maka kita termasuk orang-orang yang menyia-nyiakan wakaf. Akibatnya, barang wakaf bisa menjadi rusak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Dengan tetap memegang prinsip bahwa wakaf itu abadi dan harus dijaga serta dipelihara sesuai dengan jenis barang dan cara pemeliharaan yang disyaratkan wakif, kita tidak melarang penggantian atau penjualannya ketika ada hal yang menghalangi pemeliharaan asal jenis barang atau bentuknya. Karena, bila barang wakaf rusak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan wakaf, maka hal itu bisa mereduksi dengan mengganti atau menjualnya, sehingga kita dapat mengabadikan maskud dan tujuan wakaf tersebut. Hanya saja, pada praktiknya sering kali kita temukan aspek- aspek yang dikhawatirkan bisa menghilangkan barang wakaf atau mengakibatkan tidak tersalurkannya keuntungan kepada yang berhak. Oleh karena itu, penggantian barang wakaf harus dilakukan dengan ekstra hati-hati dan melalui pertimbangan yang masak. Pasal 67 UU 41/2004 1) Setiap orang yang dengan sengaja men jaminkan menghibahkan, menjual, mewariskan, men galihkan dalam bentuk pengalihan hak lainn ya harta benda wakaf yang telah diwakafka n sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wak af yang telah diwakafkan sebagaimana di maksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahu n an/atau pidana denda paling banyak Rp 50 0.000.000 (lima ratus juta rupiah). 2).Setiap orang yang dengan seng aja mengubah peruntukkan har ta benda wakaf tanpa izin seba gaimana dimaksud dalam pasal 44, dipidana dengan pidana pe njara paling lama 4 (empat) tah un dan/atau pidana denda palin g banyak Rp 400.000.000 (empa t ratus Juta rupiah).