Skenario • Seorang gadis berumur 22 tahun menderita gangguan psikosis akut. Ayahnya sudah meninggal dunia sejak ia masih kecil dan kedua kakak perempuannya sudah menikah. Selama ini, semua keperluan keluarga termasuk pengobatannya ditanggung oleh pamannya. • Saat ini, paman tersebut sedang menderita gagal ginjal terminal, dan sangat membutuhkan donor ginjal. Ternyata ginjal gadis ini cocok sebagai donor. Menurut psikiater yang merawatnya, ia sdang dalam pengobatan dan untuk sementara ia kehilangan kemampuan berpikir objektif sehingga kurang mampu memahami informed consent. Kondisinya dapat membaik dalam waktu 3 bulan bila diterapi dengan tepat. • Sang ibu merasa bahwa ialah yang berhak mengambil keputusan anaknya itu. Ia berpendapat bahwa nyawa adiknya sedang terancam dan bila terjadi sesuatu pada sang adik, keluarganya juga ikut menderita. Setelah mendengar informasi dari para perawat yang merawat anaknya, ia menyimpulkan bahwa mendonorkan ginjal saja tidak akan membahayakan nyawa si anak. Ia juga beranggapan keputusan ada pada keluarga dan dokter tidak berhak ikut campur dalam hal ini. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut dari dokter yang akan mengoperasi ginjal anaknya, ia berinisiatif untuk menandatangani informed consent tersebut. • Apa yang dapat Anda pelajari dari kasus di atas? Learning Objective • Mengetahui dan menjelaskan aspek medicolegal • Mengetahui dan menjelaskan UU No. 36 Tahun. 2009 tentang kesehatan • Mengetahui dan menjelaskan Informed consent • Mengetahui dan menjelaskan Transplantasi & Hukum Transplantasi • Mengetahui dan menjelaskan Malpraktek Medik • Mengetahui dan menjelaskan Breaking Bad news PSIKOSIS AKUT • sekelompok gangguan jiwa yang : Onsetnya akut ( 2 minggu) Sindrom polimorfik Ada stresor yang jelas Tidak memenuhi kriteria episode manik atau depresif Tidak ada penyebab organik UURI No.36 Th. 2009 Tentang Kesehatan • Hak & Kewajiban (4-13) • Sumber daya di bidang kesehatan Tenaga kesehatan (21-29) Fasilitas pelayanan kesehatan (30-35) • Upaya kesehatan (46-51) Pemberian pelayanan (52-55) Perlindungan pasien (56-58) • Penyidikan (189) • Pidana (190-201) BAB III HAK DAN KEWAJIBAN • Bagian Kesatu Hak • Pasal 4. Setiap orang berhak atas kesehatan. • Pasal 5 (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. (2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. (3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. • Pasal 6 Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. • Pasal 7 Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. • Pasal 8 Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. • Bagian Kedua Kewajiban • Pasal 9 (1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan. • Pasal 10 Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial. • Pasal 11 Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi- tingginya. • Pasal 12 Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. • Pasal 13 (1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. (2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN • Bagian Kesatu Tenaga Kesehatan • Pasal 21 (1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan. (2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang. • Pasal 22 (1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum. (2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. • Pasal 23 (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. (4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi. (5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. • Pasal 24 (1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. (2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi. (3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. • Pasal 25 (1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan. (2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. (3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. • Pasal 26 (1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan. (2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya. (3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan: a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat; b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada. (4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah. • Pasal 27 (1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. (2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. (3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. • Pasal 28 (1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kompetensi dan kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki. • Pasal 29 Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. • Bagian Kedua Fasilitas Pelayanan Kesehatan • Pasal 30 (1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas: a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan b. pelayanan kesehatan masyarakat. (2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pelayanan kesehatan tingkat pertama; b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga. (3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta. (4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku. (5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. • Pasal 31 Fasilitas pelayanan kesehatan wajib: a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan; dan b. mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah daerah atau Menteri. • Pasal 32 (1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. (2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. • Pasal 33 (1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan. (2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. • Pasal 34 (1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan. (2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. • Pasal 35 (1) Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya. (2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan: a. luas wilayah; b. kebutuhan kesehatan; c. jumlah dan persebaran penduduk; d. pola penyakit; e. pemanfaatannya; f. fungsi sosial; dan g. kemampuan dalam memanfaatkan teknologi. (3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk fasilitas pelayanan kesehatan asing. (4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk jenis rumah sakit khusus karantina, penelitian, dan asilum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI UPAYA KESEHATAN • Pasal 48 • Bagian Kesatu Umum (1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud • Pasal 46 Untuk dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan: mewujudkan derajat a. pelayanan kesehatan; kesehatan yang b. pelayanan kesehatan tradisional; setinggi-tingginya bagi masyarakat, c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; diselenggarakan upaya d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; kesehatan yang e. kesehatan reproduksi; terpadu dan f. keluarga berencana; menyeluruh dalam bentuk upaya g. kesehatan sekolah; kesehatan h. kesehatan olahraga; perseorangan dan i. pelayanan kesehatan pada bencana; upaya kesehatan j. pelayanan darah; masyarakat. • Pasal 47 Upaya k. kesehatan gigi dan mulut; kesehatan l. penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran; diselenggarakan dalam m. kesehatan matra; bentuk kegiatan n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat dengan pendekatan kesehatan; promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif o. pengamanan makanan dan minuman; yang dilaksanakan p. pengamanan zat adiktif; dan/atau secara terpadu, q. bedah mayat. menyeluruh, dan (2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud berkesinambungan. pada ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan. • Pasal 49 (1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan. (2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi. • Pasal 50 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan. (2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang- kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat. (3) Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian. (4) Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas sektor. • Pasal 51 (1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat. (2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. • Bagian Kedua Pelayanan Kesehatan • Pasal 54 • Paragraf Kesatu Pemberian Pelayanan (1) Penyelenggaraan pelayanan • Pasal 52 kesehatan dilaksanakan secara (1) Pelayanan kesehatan terdiri atas: bertanggung jawab, aman, a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan bermutu, serta merata dan b. pelayanan kesehatan masyarakat. nondiskriminatif. (2) Pelayanan kesehatan sebagaimana (2) Pemerintah dan pemerintah dimaksud pada ayat (1) meliputi daerah bertanggung jawab atas kegiatan dengan pendekatan promotif, penyelenggaraan pelayanan preventif, kuratif, dan rehabilitatif. kesehatan sebagaimana dimaksud • Pasal 53 pada ayat (1). (1) Pelayanan kesehatan perseorangan (3) Pengawasan terhadap ditujukan untuk menyembuhkan penyelenggaraan pelayanan penyakit dan memulihkan kesehatan kesehatan sebagaimana dimaksud perseorangan dan keluarga. pada ayat (1) dilakukan oleh (2) Pelayanan kesehatan masyarakat Pemerintah, pemerintah daerah, ditujukan untuk memelihara dan dan masyarakat. meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan • Pasal 55 masyarakat. (1) Pemerintah wajib menetapkan (3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan standar mutu pelayanan kesehatan. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) Standar mutu pelayanan harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien disbanding kesehatan sebagaimana dimaksud kepentingan lainnya. pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. • Paragraf Kedua Perlindungan • Pasal 57 Pasien (1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan • Pasal 56 pribadinya yang telah dikemukakan kepada (1) Setiap orang berhak menerima penyelenggara pelayanan kesehatan. atau menolak sebagian atau (2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi seluruh tindakan pertolongan kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat yang akan diberikan kepadanya (1) tidak berlaku dalam hal: setelah menerima dan a. perintah undang-undang; memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara b. perintah pengadilan; lengkap. c. izin yang bersangkutan; (2) Hak menerima atau menolak d. kepentingan masyarakat; atau sebagaimana dimaksud pada e. kepentingan orang tersebut. ayat (1) tidak berlaku pada: • Pasal 58 a. penderita penyakit yang (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap penyakitnya dapat secara cepat seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau menular ke dalam masyarakat penyelenggara kesehatan yang menimbulkan yang lebih luas; kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam b. keadaan seseorang yang tidak pelayanan kesehatan yang diterimanya. sadarkan diri; atau (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada c. gangguan mental berat. ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang (3) Ketentuan mengenai hak melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau menerima atau menolak pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada darurat. ayat (1) diatur sesuai dengan (3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan ketentuan peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai perundang-undangan. dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XIX PENYIDIKAN • Pasal 189 (1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang kesehatan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang kesehatan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan; d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang kesehatan; e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan; f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan; g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan. (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. BAB XX KETENTUAN PIDANA • Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliarrupiah). • Pasal 191 Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). • Pasal 192 Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). • Pasal 193 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastic dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) • Pasal 194 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) • Pasal 195 Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). • Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). • Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). • Pasal 198 Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). • Pasal 199 (1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); (2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). • Pasal 200 Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) • Pasal 201 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum. Informed Consent (I.C)/ Persetujuan Tindakan Medik / PTM • Menurut permenkes no 290/menkes/per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 pasal 45 serta manual persetujuan tindakan kedokteran KKI tahun 2008 • Persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut • Lampiran SKB IDI no. 319/p/ba./88 dan permenkes no 585 /men.Kes /per/IX / 1989 tentang persetujuan tindakan medis pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting • Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. • Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan kuhp pasal 351 Tujuan a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya. b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )
• Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan
sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ). • Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ). Bentuk • Implied consent (tersirat/ dianggap telah diberikan) Keadaan normal Keadaan darurat • Expressed consent (dinyatakan) Lisan Tulisan • Implied consent : persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tampa pernyataan tegas (sikap & tindakan pasien) • Contoh keadaan normal : pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, memberikan suntikan pada pasien, penjahitan luka, dsb • Keadaan darurat/ emergency, sedangkan dokter perlu melakukan tindakan segera, sementara pasien tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganyapun tidak ditemat dokter dapat melakukan tindakan terbaik menurut dokter (permenkes no.585 tahun 1989, pasal 11) “ presumed consent” (bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter) • Expressed consent : persetujuan yang dinyatakan secar lisan atau tertulis, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan umum (pasien diberitahukan tindakan apa yang akan dilakukan) • Contoh lisan : pemeriksaan dalam rektal/ vaginal, mencabut kuku • Bila tindakan yang akan dilakukan mengandung resiko : pembedahan/ prosedur pemewriksaan & pengobatan yang invasif sebaiknya didapatkan PTM yang tertulis INFORMASI • Permenkes no. 585 tahun 1989 tentang PTM dokter harus menyampaikan informasi/ penjelasan kepada pasien/keluarga diminta/ tidak diminta • apa (what) yang harus disampaikan Segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien Tindakan apa yang akan dilakukan(bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan & alternatif terapi) Penyampaian informasi harus secara lisan Penyampaian formulir untuk ditandatangani pasien/ keluarga tanpa penjelasan & pembahasan secara lisan dengan pasien/ keluarga tidaklah memenuhi persyaratan • kapan disampaikan (when) tergantung waktu yang tersedia setelah dokter memutuskan akan melakukan tindakan invasif & keluarga/ pasien harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan keputusannya • siapa yang harus menyampaikan (who) tergantung dari jenis tindakan yang akan dilakukan tindakan invasif/ pembedahan : dokter yang akan melakukan tindakan (bila bukan tindakan invasif/ pembedahan dokter lain/ perawat) • informasi yang mana (which) yang pelrlu disampaikan dalam permenkes : harus selengkap – lengkapnya, kecuali dokter menilai nformasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien/ pasien menolak diberikan informasi (bila perlu informasi dapat diberikan kepada keluarga pasien) • SIFAT PEMBERIAN INFORMASI Obyektif Tidak memihak Tanpa tekanan
• Setelah mendapat informasi pasien diberi waktu untuk berfikir
dan mempertimbangkan keputusannnya
• Ketidak pemberitahuan informasi
Pasien telah meminta jangan diberitahukan Situasi kejadian adalah dalam keadaan gawat darurat Pengungkapannya akan sangat mengacaukan kejiwaan pasien • Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah: 1. Diagnosa yang telah ditegakkan. 2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan. 3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut. 4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut. 5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain. 6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut. • Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran : a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut. b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya. • Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan ( Ayat 2 ) • Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008 : 1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa. 2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya. • KKI memberikan 12 kunci informasi yang sebaiknya diberikan kepada pasien: 1. Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis apabila tidak diobati 2. Ketidakpastian tentang diagnosis 3. Pilihan pengobatan atau penatalaksanaan terhadap kondisi kesehatannya, termasuk pilihan untuk tidak diobati 4. Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan 5. Untuk setiap tindakan, diperlukan keterangan tentang kelebihan / keuntungan dan tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan diskusi tentang kemungkinan risiko yang serius atau sering terjadi, dan perubahan gaya hidup sebagai akibat dari tindakan tersebut. 6. Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut adalah upaya yang masih eksperimental 7. Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingannya akan dimonitor atau dinilai kembali 8. Nama dokter yang bertanggung jawab secara keseluruhan untuk pengobatan tersebut 9. Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan, maka sebaiknya dijelaskan peranannya didalam rangkaian tindakan yang akan dilakukan 10. Mengingatkan kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap waktu 11. Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari dokter lain 12. Bila memungkinkan, juga diberitahu tentang perincian biaya • Cara memberikan informasi a. Informasi diberikan dalam konteks nilai, budaya dan latar belakang mereka. b. Dapat menggunakan alat bantu, seperti leaflet atau bentuk publikasi lain c. Tawarkan kepada pasien untuk membawa keluarga atau teman dalam diskusi atau membuat rekaman dengan tape recorder d. Memastikan bahwa informasi yang membuat pasien tertekan agar diberikan dengan cara yang sensitif dan empati e. Mengikutsertakan salah satu anggota tim pelayanan kesehatan dalam diskusi f. Menjawab semua pertanyaan pasien dengan benar dan jelas g. Memberikan cukup waktu bagI pasien untuk memahami informasi yang diberikan. PERSETUJUAN • Harus didapat setelah pasien mendapat informasi yang adekuat • PERMENKES no. 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik • Yang berhak memberikan persetujuan : pasien yang sudah dewasa (> 21 tahun/ sudah menikah) & dalam keadaan sehat mental banyak perjanjian tindakan medik, penandatanganan persetujuan sering tidak dilakukan oleh pasien sendiri, tetapi oleh keluarga pasien (berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien untuk menerima penjelasan tindakan operasi dan tindakan medis yang invasif & keberanian menandatangani surat) • Untuk pasien dibawah umur 21 tahun, dan pasien penderita gangguan jiwa yang menandatangani adalah orang tua/ wali/ keluarga terdekat/ induk semang • Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar/ pingsan & tidak didampingi keluarga terdekat & secara medik dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medis segera tidak diperlukan persetujuan dari siapapun (pasal 11 bab IV PERMENKES No. 585 Tahun 1989) • Seorang dianggap kompeten untuk memberikan persetujuan, apabila: • Mampu memahami informasi yang telah diberikan kepadanya dengan cara yang jelas, menggunakan bahasa yang sederhana dan tanpa istilah yang terlalu teknis. • Mampu mempercayai informasi yang telah diberikan. • Mampu mempertahankan pemahaman informasi tersebut untuk waktu yang cukup lama dan mampu menganalisisnya dan menggunakannya untuk membuat keputusan secara bebas.
• Orang yang dianggap memiliki tanggung jawab orang tua meliputi:
a. Orang tua si anak, yaitu apabila si anak lahir sebagai anak dari pasangan suami istri yang sah b. Ibu si anak, yaitu apabila si anak lahir dari pasangan yang tidak sah sehingga si anak hanya memiliki hubungan perdata dengan si ibu. c. Wali, orang tua angkat atau lembaga pengasuh yang sah berdasarkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak d. Orang yang secara adat/budaya dianggap sebagai wali si anak, dalam hal tidak terdapat yang memenuhi a, b dan c • Bentuk persetujuan 1. Persetujuan tertulis • Tindakan medik invasif yang mempunyai resiko besar (pasal 3 (1) permenkes no.585 tahun 1989) • Bentuk formulir persetujuan bedah, operasi dan lain-lain yang harus diisi (umumnya) dengan tulisan tangan • Sudut hukum bukti tertulis yang dapat dikemukan oleh para pihak kepada hakim bila terjadi kasus malpraktek pengisian data pada formulir haruslah tepat dan benar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari bagi para pihak. 2. Persetujuan lisan • Tindakan medik yang tidak invasif dan tidak mengandung resiko besar • Segi praktis dan kelancaran pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan alasan dari penyampaian persetujuan itu secara lisan • Meski persetujuan lisan itu diperbolehkan untuk tindakan, dokter membiasakan diri untuk menulis/mencatat persetujuan lisan pasien itu pada rekam medis/rekam kesehatan, karena segala kegiatan yang dilakukan oleh dokter harus dicatat dalam rekam medis termasuk persetujuan pasien secara lisan • Menurut KKI persetujuan tertulis diperlukan pada keadaan- keadaan sebagai berikut: 1. Bila tindakan terapetik bersifat kompleks atau menyangkut risiko atau efek samping yang bermakna 2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi 3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien 4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian • 5 syarat PTM (the medical defence union dalam buku Medicoleal Issuen in Clinical Practice) Diberikan secara bebas Diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian Telah dijelaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien dapat memahami tindakan itu perlu dilakukan Mengenai sesuatu hal yang khas Tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama
• Suatu persetujuan dianggap sah apabila:
a. Pasien telah diberi penjelasan / informasi b. Pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap (kompeten) untuk memberikan keputusan / persetujuan c. Persetujuan harus diberikan secara sukarela ASPEK MEDIKOLEGAL PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN • Pasal 45 UU RI No.29 tahun 2004 1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan 2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap 3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 sekurangkurangnya mencakup: a. diagnosis dan tata cara tindakan medis b. tujuan tindakan medis yang dilakukan c. alternatif tindakan lain dan risikonya d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan 4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. 5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. 6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 diatur dengan Peraturan Menteri • Pasal 17 Permenkes No.1419/Menkes/Per/IX/2005 1. Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan. 2. Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat 1 harus mendapat persetujuan dari pasien. 3. Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2 dilaksanakan sesuai ketentuan perundang- undangan TANGGUNG JAWAB 1. Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan medik 2. Pemberian Persetujuan Tindakan Medik yang dilaksanakan dirumah sakit/klinik , maka rumah sakit/klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab . HAK PASIEN DALAM IC • Pasien berhak mendapat informasi yang cukup mengenai rencana tinakan medis dan yang akan dialaminya • Pasien berhak bertanya tentang hal-hal seputar tindakan medis yang akan diterimanya tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas • 3 hak dasar pasien • Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan • Hak untuk mendapatkan informasi • Hak untuk menentukan dirinya sendiri
• Pasien berhak meminta pendapat atau penjelasan dari dokter lain
untuk memperjelas atau membandingkan tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya • Pasien berhak menolak rencana tindakan medis tersebut SANKSI • SANKSI PIDANA (KUHP) Pasal 89 : “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan kekerasan “ Pasal 351 mengenai penganiayaan (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. • SANKSI PERDATA • Pasal 1365 KUH Perdata • Pasal 1367 KUH Perdata • Pasal 1370 KUH Perdata • Pasal 1371 KUH Perdata • Sanksi Administratif • Pasal 69 UU RI No.29 tahun 2004 1. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia. 2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. 3. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat berupa: • pemberian peringatan tertulis • rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik • kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi • Pasal 25 Permenkes No.1419/Menkes/Per/IX/2005 1. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran peraturan ini. 2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat berupa peringatan lisan, tertulis sampai dengan pencabutan SIP. 3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam memberikan sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat 2 terlebih dahulu dapat mendengar pertimbangan organisasi profesi. • Pasal 26 Permenkes No.1419/Menkes/Per/IX/2005 • Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIP dokter dan dokter gigi: a. Atas dasar keputusan MKDKI b. STR dokter atau dokter dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia c. Melakukan tindakan pidana • PERMENKES RI No.585 pasal 13 pencabutan surat ijin prakteknya PENOLAKAN • Tidak selamanya pasien/ keluarga setuju dengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter • Dalam situasi ini, kalangan dokter/ kalangan kesehatan lain harus memahami bahwa pasien/ keluarga mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan informed refusal • Tidak ada hak dokter yang dapat memaksa pasien mengikuti anjurannya, walaupun dokter menganggap penolakan bisa berakibat gawat/ kematian pada pasien • Bila dokter gagal dalam meyakinkan pasien pada alternatif tindakan yang diperlukan, maka untuk keamanan dikemudian hari, sebaiknya dokter/ rumah sakit meminta pasien/ keluarga menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan • Dalam keterkaitan transaksi terapeutik dokter & pasien, pernyataan penolakan pasien.keluarga dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik. Dengan demikian apa yang terjadi dibelakang hari tidak menjadi tanggung jawab dokter/ rumah sakit lagi PERNYATAAN IDI TENTANG i.c (Lampiran SKB IDI No.319/ P/ BA./ 88) 1. Manusia dewasa dan sehat rohaniah berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya 2. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri. Oleh karena itu, semua tindakan medis ( diagnostik, terapeutik maupun paliatif ) memerlukan "Informed Consent" secara lisan maupun tertulis 3. Setiap tindakan medis yang mengandung risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya ( "Informed Consent" ) 4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam 5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta oleh pasien maupun tidak Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi itu kepada keluarga terdekat Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien, kehadiran seorang perawat / paramedik lain sebagai saksi adalah penting. 6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis ( berkaitan dengan informasi "Informed Consent" ) Informasi harus diberikan secara jujur dan benar, terkecuali bila dokter menilai bahwa hal ini dapat merugikan kepentingan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi yang benar itu kepada keluarga terdekat pasien. 7. Dalam hal tindakan bedah ( operasi ) dan tindakan invasif lainnya, informasi harus diberikan oleh dokter yang bersangkutan sendiri. Untuk tindakan yang bukan bedah ( operasi ) dan tindakan invasif, informasi dapat diberikan oleh perawat atau dokter lain, sepengetahuan atau dengan petunjuk dokter yang merawat. 8. Perluasan operasi yang dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, tidak boleh dilakukan tanpa informasi sebelumnya kepada keluarga yang terdekat atau yang menunggu. Perluasan yang tidak dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, boleh dilaksanakan tanpa informasi sebelumnya bila perluasan operasi tersebut perlu untuk menyelamatkan nyawa pasien pada waktu itu. 9. "Informed Consent" diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sehat rohaniah. 10. Untuk orang dewasa yang berada dibawah pengampuan, "Informed Consent" diberikan oleh orangtua / kurator / wali. Untuk yang dibawah umur dan tidak mempunyai orangtua / wali. "Informed Consent" diberikan oleh keluarga terdekat / induk semang ( guardian ). 11. Dalam hal pasien tidak sadar / pingsan, serta tidak didampingi oleh yang tersebut dalam butir10, dan yang dinyatakan secara medis berada dalam keadaan gawat dan / atau darurat, yang memerlukan tindakan medis segera untuk kepentingan pasien, tidak diperlukan "Informed Consent" dari siapapun dan ini menjadi tanggung jawab dokter. 12. Dalam pemberian persetujuan berdasarkan informasi untuk tindakan medis di RS / Klinik, maka RS / Klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 290/ MENKES/ PER/ III/ 2008 TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN • MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, • Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, perlu mengatur kembali Persetujuan Tindakan Medik dengan Peraturan Menteri Kesehatan; • Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495); 2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2803); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637); 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik; 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 157/Menkes/SK/III/1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit; 7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1295/Menkes/Per/XII/2007 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan. • MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN. BAB I KETENTUAN UMUM • Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. 2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara- saudara kandung atau pengampunya. 3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien. 4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien. 5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan. 6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang- undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas. BAB II PERSETUJUAN DAN PENJELASAN • Bagian Kesatu Persetujuan • Pasal 2 (1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan. • Pasal 3 (1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. (2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan. (3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju. (5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis. • Pasal 4 (1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. (2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik. (3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat. • Pasal 5 (1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan. (2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan. (3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan. • Pasal 6 Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien • Bagian Kedua Penjelasan • Pasal 7 (1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. (2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. (3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup: a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; c. Altematif tindakan lain, dan risikonya; d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. f. Perkiraan pembiayaan. • Pasal 8 (1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi : a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut; b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang- kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding; c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran; d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan. (2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi : a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif. b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi. c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan. d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan. e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya. (3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali: a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable) (4) Penjelasan tentang prognosis meliputi: a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam); b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam); c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam). • Pasal 9 (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman. (2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan. (3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi. • Pasal 10 (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya. (2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompeten. (3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan kewenangannya. (4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien. Pasal 11 • Pasal 11 (1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan. (2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar daripada persetujuan. • Pasal 12 (1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien. (2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan, dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat. BAB III YANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN • Pasal 13 (1) Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat. (2) Penilaian terhadap kompetensi pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter pada saat diperlukan persetujuan BAB IV KETENTUAN PADA SITUASI KHUSUS • Pasal 14 (1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien. (2) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis. • Pasal 15 Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan. BAB V PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN • Pasal 16 (1) Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan. (2) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis. (3) Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien. (4) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien. BAB VI TANGGUNG JAWAB • Pasal 17 (1) Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran. (2) Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran. BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN • Pasal 18 (1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan organisasi profesi terkait sesuai tugas dan fungsi masing-masing. (2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. • Pasal 19 (1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif sesuai dengan kewenangannya masing-masing (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik BAB IX KETENTUAN PENUTUP • Pasal 20 : Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. • Pasal 21 : Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penernpatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia Transplantasi • Jenis transplantasi • Autograft : pemindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam tubuh itu sendiri • Allograft : pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang sama spesiesnya • Isograft : pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang identik. Misalnya pada gambar identik • Xenograft : pemindahan dari satu tubuh ke tbuh lain yang tidak sama spesienya • Jenis & pengambilan organ/ jaringan tubuh • Donor hidup kulit, ginjal, sumsum tulang, darah (transfusi darah) • Jenazah orang yang baro mennggal (MBO) jantung, hati, ginjal, kornea, pankreas, paru – paru, sel otak • Komponen yang mendasari tindakan transplantasi 1. Eksplantasi : usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hidup atau yang sudah meninggal. 2. Implantasi : usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada bagian tubuh sendiri atau tubuh orang lain.
• Komponen yang menunjang keberhasilan tindakan transplantasi
1. Adaptasi donasi : usaha dan kemampuan menyesuaikan diri orang hidup yang diambil jaringan atau organ tubuhnya, secara biologis dan psikis, untuk hidup dengan kekurangan jaringan / organ. 2. Adaptasi resepien : usaha dan kemampuan diri dari penerima jaringan / organ tubuh baru sehingga tubuhnya dapat menerima atau menolak jaringan / organ tersebut, untuk berfungsi baik, mengganti yang sudah tidak dapat berfungsi lagi. • TUJUAN TRANSPLANTASI • Transplantasi organ merupakan suatu tindakan medis memindahkan sebagian tubuh atau organ yang sehat untuk menggantikan fungsi organ sejenis yang tidak dapat berfungsi lagi • Transplantasi dapat dilakukan pada diri orang yang sama (auto transplantasi), pada orang yang berbeda (homotransplantasi) ataupun antar spesies yang berbeda (xeno-transplantasi) • Transplantasi organ biasanya dilakukan pada stadium terminal suatu penyakit, dimana organ yang ada tidak dapat lagi menanggung beban karena fungsinya yang nyaris hilang karena suatu penyakit • Pasal 33 UU No 23/1992 menyatakan bahwa transplantasi merupakan salah satu pengobatan yang dapat dilakukan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan • Secara legal transplantasi hanya boleh dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan tidak boleh dilakukan untuk tujuan komersial (pasal 33 ayat 2 UU 23/ 1992) • Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa organ atau jaringan tubuh merupaka anugerah Tuhan YME sehingga dilarang untuk dijadikan obyek untuk mencari keuntungan atau komersial. • TENAGA KESEHATAN YANG BERWENANG • Di Indonesia transplantasi hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan, yang melakukannya atas dasar adanya persetujuan dari donor maupun ahli warisnya (pasal 34 ayat 1 UU No. 23/1992) • Karena transplantasi organ merupakan tindakan medis, maka yang berwenang melakukannya adalah dokter • Dalam UU ini sama sekali tidak dijelaskan kualifikasi dokter apa saja yang berwenang • Dengan demikian, penentuan siapa saja yang berwenang agaknya diserahkan kepada profesi medis sendiri untuk menentukannya. • Secara logika, transplantasi organ dalam pelaksanaannya akan melibatkan banyak dokter dari berbagai bidang kedokteran seperti bedah, anestesi, penyakit dalam, dll sesuai dengan jenis transplantasi organ yang akan dilakukan • Dokter yang melakukan transplantasi adalah dokter yang bekerja di RS yang ditunjuk oleh Menkes (pasal 11 ayat 1 PP 18/1981) • Untuk menghindari adanya konflik kepentingan, maka dokter yang melakukan transplantasi tidak boleh dokter yang mengobati pasien (pasal 11 ayat 2 PP 18/1981) • SYARAT PELAKSANAAN TRANSPLANTASI • Pada transplantasi organ yang melibatkan donor organ hidup, pengambilan organ dari donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan • Pengambilan organ baru dapat dilakukan jika donor telah diberitahu tentang resiko operasi, dan atas dasar pemahaman yang benar tadi donor dan ahli watis atau keluarganya secara sukarela menyatakan persetujuannya (pasal 32 ayat 2 UU No. 23/1992) • Syarat dilaksanakannya transplantasi adalah: 1. Keamanan: tindakan operasi harus aman bagi donor maupun penerima organ. Secara umum keamanan tergantung dari keahlian tenaga kesehatan, kelengkapan sarana dan alat kesehatan 2. Voluntarisme: transplantasi dari donor hidup maupun mati hanya bisa dilakukan jika telah ada persetujuan dari donot dan ahli waris atau keluarganya (pasal 34 ayat 2 UU No. 23/1992). Sebelum meminta persetujuan dari donor dan ahli waris atau keluarganya, dokter wajib memberitahu resiko tindakan transplantasi tersebut kepada donor (pasal 15 PP 18/1981). • Aspek hukum transpalantasi • Dari segi hukum, transplantasi organ, jaringan, dan sel tubuh dipandang sebagai suatu usaha mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pidana yaitu tindakan penganiayaan • Alasan pengecualian hukuman/ paham melawan hukum secara material tidak ada ancaman pidana & dibenarkan
• PP NO. 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat
anatomis, dan transplantasi alat seta jaringan tubuh manusia • UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan • PP NO. 18 tahun 1981 • Pasal 1 c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringa tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut. d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mmempunyai bentuk dan faal (fungsi)yang sama dan tertentu. e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh ynag tidak berfungsi dengan baik. f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan. g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak,pernafasan,dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti. • Ayat g mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas,maka IDI dalam seminar nasionalnya mencetuskan fatwa tentang masalah mati yaitu bahwa seseorang dikatakan mati bila fungsi spontan pernafasan da jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible,atau terbukti telah terjadi kematian batang otak. • Pasal 10. Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia dilaukan dengan memperhatikan ketentuan yaitu persetujuan harus tertulis penderita atau keluarga terdekat setelah penderita meninggal dunia. • Pasal 11 1.Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter yang ditunjukolehmentri kesehatan. 2.Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan • Pasal 12. Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tudak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi. • Pasal 13. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai dengan 2(dua) orang saksi. • Pasal 14. Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia,dilakukan dengan persetujuan tertulis dengan keluarga terdekat. • Pasal 15 1.Senbelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh donor hidup,calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya,termasuk dokter konsultan mengenai operasi,akibat- akibatya,dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. 2.Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar ,bahwa calon donor yang bersangkutan telah meyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut. • Pasal 16. Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak dalam kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi. • Pasal 17. Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia. • Pasal 18. Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dan semua bentuk ke dan dari luar negeri. • UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan • Pasal 33. 1.Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan jaringan tubuh,transfuse darah ,imflan obat dan alat kesehatan,serta bedah plastic dan rekontruksi. 2.Transplantasi organ dan jaringan serta transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan kemanusiaan yang dilarang untuk tujjuan komersial. • Pasal 34 1.Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan disaran kesehatan tertentu. 2.Pengambilan organ dan jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau keluarganya. 3.Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah. • Aspek etik transplantasi • Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya • Indikasi dalam KODEKI Pasal 2. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi. Pasal 10. Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup insani. Pasal 11. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. • Tentang memperjual belikan alat/ jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi/ kompensasi material lain PP No. 18 Tahun 1981 • Penentuan mati seseorang akan diambil organnya dilakukan oleh 2 orang dokter yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang akan melakukan transplantasi • RS Besar elektroensefalografi (ole dokter lain yang bukan pelaksana trasplantasi objektif) meninggal bila telah terdapat mati batang otak & secara pasti tidak terjadi lagi pernapasan dan denyut jantung secara spontan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1981 TENTANG BEDAH MAYAT KLINIS DAN BEDAH MAYAT ANATOMIS SERTA TRANSPLANTASI ALAT DAN ATAU JARINGAN TUBUH MANUSIA • PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam pengembangan usaha kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, perlu adanya pelbagai upaya agar usaha tersebut diatas diselenggarakan dengan baik, antara lain dengan kegiatan melakukan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia yang bertujuan untuk keselamatan umat manusia maupun meningkatkan ilmu kesehatan dan kedokteran pada umumnya; b. bahwa untuk melaksanakan maksud tersebut pada huruf a diatas, perlu diadakan ketentuan-ketentuan tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia dengan Peraturan Pemerintah. Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2068). 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tamabahan Lembaran Negara Nomor 2361) 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2390) juncto Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1968 tentang Perubahan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2863) 5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2576) 6. Staatsblaad Tahun 1927 Nomor 345. MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BEDAH MAYAT KLINIS DAN BEDAH MAYAT ANATOMIS SERTA TRANSPLANTASI ALAT DAN ATAU JARINGAN TUBUH MANUSIA. BAB I KETENTUAN UMUM • Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: a. Bedah mayat klinis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan; b. Bedah mayat anatomis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk keperluan pendidikan di bidang ilmu kedokteran; c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta fa’al (fungsi tertentu untuk tubuh tersebut); d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan fa’al (fungsi) yang sama dan tertentu; e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik; f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat dan atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan; g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti; h. Ahli urai adalah dokter atau sarjana kedokteran yang diakui telah memperoleh ilmu urai i. Museum anatomis dan patologi adalah tempat menyimpan jaringan dan alat tubuh manusia yang sehat dan yang sakit yang diawetkan untuk tujuan pendidikan ilmu kedokteran; j. Bank alat dan jaringan tubuh adalah suatu unit kedokteran yang bertugas untuk pengambilan, penyimpanan, dan pengawetan jaringan dan alat tubuh manusia untuk transplantasi dan penggantian (subsitusi) dalam rangka pemulihan kesehatan. BAB II BEDAH MAYAT KLINIS • Pasal 2 • Bedah mayat klinis hanya boleh dilakukan dalam keadaan sebagai berikut • Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti; • Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau masyarakat sekitarnya • Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka waktu 2x24 jam (dua kali dua puluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit. • Pasal 3. Bedah mayat klinis hanya dilakukan di ruangan dalam rumah sakit yang disediakan untuk keperluan itu. • Pasal 4. Perawatan mayat sebelum, selama dan sesudah bedah mayat klinis dilakukan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan diatur oleh Menteri Kesehatan. BAB III BEDAH MAYAT ANATOMIS • Pasal 5. Untuk bedah mayat anatomis diperlukan mayat yang diperoleh dari rumah sakit dengan memperhatikan syarat- syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a dan c. • Pasal 6. Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan dalam bangsal anatomi suatu fakultas kedokteran. • Pasal 7. Bedah mayat anatomis dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran dan sarjana kedokteran dibawah pimpinan dan tanggung jawab langsung seorang ahli urai. • Pasal 8. Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat anatomis dilaksanakan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diatur oleh Menteri Kesehatan. BAB IV MUSIUM ANATOMIS DAN PATOLOGI • Pasal 9 . Untuk kepentingan pendidikan, penyelidikan penyakit, dan pengembangan ilmu kedokteran diadakan museum anatomis dan patologi yang diatur oleh Menteri Kesehatan. BAB V TRANSPLANTASI ALAT DAN ATAU JARINGAN TUBUH MANUSIA • Pasal 10 (1) Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b. (2) Tata cara transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diatur oleh Menteri Kesehatan. • Pasal 11 (1) Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh dokter yang bekerja pada sebuah rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. (2) Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan. • Pasal 12. Dalam rangka transplantasi penentuan saat mati ditentukan oleh 2 (dua) orang dokter yang tidak sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi. • Pasal 13. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, Pasal 14, dan Pasal 15 dibuat diatas kertas bermaterai dengan 2 (dua) orang saksi. BAB VI PENGAMBILAN ALAT DAN ATAU JARINGAN TUBUH MANUSIA KORBAN KECELAKAAN • Pasal 14. Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau BANK MATA dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan persetujuan tertulis keluarga yang terdekat. BAB VII DONOR • Pasal 15 (1) Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat-akibatnya, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. (2) Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar, bahwa donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersbeut. • Pasal 16. Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas sesuatu kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi. BAB VIII PERBUATAN YANG DILARANG • Pasal 17. Dilarang memperjual-belikan alat dan atau jaringan tubuh manusia. • Pasal 18. Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk ke dan dari luar negeri • Pasal 19. Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 tidak berlaku untuk keperluan penelitian ilmiah dan keperluan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. BAB IX KETENTUAN PIDANA • Pasal 20 (1) Pelanggaran atas ketentuan dalam Bab II, Bab III, Bab V, Bab VI, Bab VII dan Bab VIII, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tijuh ribu lima ratus rupiah). (2) Disamping ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula diambil tindakan administratif. BAB X KETENTUAN PENUTUP • Pasal 21 . Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. • PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG BEDAH MAYAT KLINIS DAN BEDAH MAYAT ANATOMIS SERTA TRANSPLANTASI ALAT DAN ATAU JARINGAN TUBUH MANUSIA • UMUM • A. BEDAH MAYAT KLINIS • Ilmu kedokteran selalu berkembang berkat ketekunan ahli-ahli yang sudah dapat menyusun penyakit-penyakit dalam bentuk gejala, perubahan-perubahan yang terjadi akibat penyakit serta pengobatannya baik secara anatomi fisiologi dan biokiomia. Namun selalu terdapat didalam rumah sakit, penyakit-penyakit yang belum jelas sebab musababnya dan perubahan yang terjadi, umpamanya seorang menderita penyakit demam yang mungkin gejalanya menyerupai tifus abdominalis namun pada waktu pengobatan dia tidak memberikan reaksi sebagaimana diharapkan sampai ia meninggal dunia, maka bedah mayat klinislah yang akan memberikan jawaban terhadap rahasia ini. • Bedah mayat klinis diperlukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan klinis dan ilmu pengobatan • Untuk itu diperlukan mayat penderita yang meninggal dunia yang di rumah sakit yang pembedahannya memerlukan kesediaan atau ijin dari penderita atau keluarganya • Bedah mayat klinis juga memerlukan Peraturan Pemerintah yang menjamin perlakuan dan penghormatan terhadap jenazah demikian pula terhadap pengambilan sebagian alat tubuh yang memperlihatkan kelainan seperti kanker, dan lain-lain, yang akan disimpan dalam suatu museum, sebagai alat peraga baik untuk mahasiswa, maupun penelitian di bidang ilmu kedokteran. B. BEDAH MAYAT ANATOMIS • Mahasiswa fakultas kedokteran untuk menjadi dokter harus diberi pelajaran ilmu urai baik secara makroskopis, yang disebut ilmu urai tubuh (anatomis) maupun secara mikrokospis yang disebut ilmu jaringan tubuh (histologi). Ilmu urai tubuh memberikan pada mahasiswa ilmu pengetahuan tentang alat tubuh serta letaknya di dalam tubuh seperti otot, tulang belulang, hati, jantung dan lain-lainnya, sedangkan ilmu urai jaringan tubuh memberikan pengetahuan kepada mahasiswa tentang susunan sel-sel berbagai alat tubuh (organ). • Tanpa pelajaran ilmu anatomis dan histologi tidaklah mungkin seorang dokter mengetahui tentang susunan tubuh manusia yang sehat, walaupun ada alat- alat peraga tubuh manusia yang dibuat dari bahan tiruan. • Namun hal ini tidak memberikan kesan yang sebenarnya : • Semua agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada dasarnya tidak melarang pemakaian mayat seseorang, dengan ketentuan bahwa mayat tersebut diperlakukan sesuai menurut masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. • Oleh karena itu diperlukan suatu Peraturan Pemerintah yang menjamin perlakuan yang baik dan terhormat terhadap mayat sejak manusia meninggal dunia sampai ia dikuburkan atau diselesaikan dengan cara sebagaimana yang ditentukan oleh agama atau kepercayaan keapda Tuhan Yang Maha Esa yang dianut oleh mayat tersebut. C. TRANSPLANTASI ALAT DAN ATAU JARINGAN TUBUH MANUSIA • Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia ialah pemindahan alat dan atau jaringan tubuh yang masih mempunyai daya hidup dan sehat untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Kita mengenal berbagai macam transplantasi seperti transplantasi kulit akibat kebakaran yang berasal dari tubuh penderita sendiri yang disebut “auto-transplantasi”, transplantasi kornea yaitu pemindahan selaput bening mata yang merupakan bagian dari permukaan bola mata kepada seorang buta akibat kerusakan kornea (karena luka bakar, kemasukan benda halus) dan trakoma transplantasi ginjal, jantung, dan lain-lain. Pada umumnya transplantasi alat tubuh diambil dari orang yang baru meninggal dunia dan transplantasi itu harus dilakukan tidak lama sesudah penderita meninggal dunia. Sebab kalau sudah lama meninggal dunia, maka alat dan atau jaringan tubuh ikut mati dan tidak dapat dipergunakan lagi. • Transplantasi ginjal dapat juga dilakukan dengan ginjal yang diambil dari tubuh manusia yang masih hidup. • Semua agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada dasarnya tidak melarang tranplantasi ini, asal penentuan mati dan penyelenggaraan jenazah terjamin sehingga tidak terjadi penyalahgunaan. Dengan transplantasi, ilmu kedokteran membuktikan bahwa manusia yang meninggal dunia pun masih dapat dapat berbuat amal saleh terhadap saudara-saudaranya yang sedang menderita penyakit. Jelaslah bahwa transplantasi berfungsi sebagai usaha pengobatan. • Adanya Peraturan Permerintah ini diperlukan untuk menjamin bahwa pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia yang akan dipindahkan, betul-betul untuk maksud pengobatan untuk menolong penderita. • Peraturan Pemerintah ini diperlukan juga untuk memberikan perlindungan hukum kepada pelaksana bedah mayat anatomis, bedah mayat klinis dan pelaksana transplantasi. • PASAL DEMI PASAL • Pasal 2 a. Persetujuan tertulis dapat berasal dari : • Penderita sendiri yang diberikan sebelum ia meninggal dunia tanpa sepengetahuan keluarganya yang terdekat, dan keluarganya yang terdekat ikut menyetujui pula; • Keluarganya yang terdekat dengan pertimbangan untuk kepentingan ilmu kedokteran, sehingga dapat diketahui sebab kematian penderita yang bersangkutan. • Yang dimaksud dengan keluarganya terdekat ialah istri, suami, ibu, bapak atau saudara seibu-sebapak (sekandung) dari penderita dan saudara ibu, saudara bapak serta anak yang telah dewasa dari penderita. b. Meskipun tanda persetujuan tertulis dari penderita atau keluarganya yang terdekat, berdasarkan pertimbangan untuk melindungi masyarakat dari penyakit yang diderita oleh penderita dan yang menyebabkan kematiannya, maka bedah mayat klinis dapat dilakukan. c. Apabila rumah sakit tempat penderita dirawat dan meninggal dunia setelah memberikan jangka waktu sampai 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam tidak ada keluarganya yang terdekat datang ke rumah sakit maka bedah mayat klinis dapat dilakukan. • Pasal 4 Untuk bedah mayat klinis pelaksanaan penyelenggaraan mayat agak berbeda sedikit dari penyelenggaraan mayat untuk bedah mayat anatomis karena pengambilan alat dan atau jaringan tubuh haruslah dikerjakan secepat- cepatnya sesudah penderita meninggal dunia. Artinya pengambilan alat dan atau jaringan tubuh dapat dilakukan terlebih dahulu sebelum penyelenggaraan mayat dilakukan seperti yang dilakukan pada bedah mayat anatomis. Untuk hal tersebut akan diatur oleh Menteri Kesehatan agar supaya terjamin pelaksanaannya. • Pasal 12 • Penentuan saat meninggal dunia seorang dirumah sakit yang sudah modern tidak lagi dilakukan dengan cara lama. Yaitu seseorang dianggap meninggal dunia apabila pernafasan dan peredaran darahnya sudah berhenti, akan tetapi dengan menggunakan alat yang disebut elektrostrip encepalaograf (alat yang mencatat aktivitas otak) meskipun dengan elektrostrip encepalaograf menunjukkan seseorang telah meninggal dunia, namun ada alat dan atau jaringan tubuh yang masih hidup secara fisiologi dalam jangka waktu tertentu, sehingga dapat dilakukan pengambilan dan pemindahan alat dan atau jaringan tubuh untuk keperluan transplantasi. • Untuk menjamin penentuan saat meninggal dunia seseorang secara obyektif, maka penentuan ini dilakukan oleh dokter lain yang tidak melaksanakan transplantasi • Pasal 14 • Korban kecelakaan ada kalanya dalam keadaan gawat dan tidak sadar. • Apabila korban tersebut menderita luka berat hingga tidak mungkin ia diajak berbicara untuk mengijinkan pengambilan alat dan atau jaringan tubuhnya apabila ia sudah meninggal dunia, maka ijin pengambilan hanya dilakukan dengan persetujuan keluarga terdekat, yaitu isteri/suami/ibu/bapak atau saudara seibu-sebapak dan anak yang telah dewasa. • Sebelum pengambilan alat dan atau jaringan tubuhnya dilakukan, maka dalam jangka waktu 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak ia meninggal dunia keluarganya yang terdekat harus diberitahu. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ada keluarga yang datang mengambil atau mengurus jenazah maka barulah pengambilan alat atau jaringan tubuhnya boleh dilakukan. • Pasal 17. Alat dan atau jaringan tubuh manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap insan tidaklah sepantasnya dijadikan obyek untuk mencari keuntungan. • Pasal 18 dan Pasal 19. Pengiriman alat dan atau jaringan tubuh manusia ke dan dari luar negeri haruslah dibatasi dalam rangka penelitian ilmiah, kerjasama dan saling menolong dalam keadaan tertentu. • Pasal 20. Ancaman pidana tersebut ditetapkan berdasarkan ketentuan Staatsblad Tahun 1927 nomor 346 yang menetapkan bahwa kecuali apabila dengan Ordonnantie ditetapkan lain, maka dalam “Peraturan Pelaksanaan” dapat ditetapkan sebagai hukuman kurungan terhadap pelanggar peraturan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) dengan disertai perampasan barang tertentu ataupun tidak, bagi pelanggar ketentuan dalam Bab II, Bab III, Bab V, Bab VI, Bab VII dan Bab VIII Peraturan Pemerintah ini. Malpraktek Medik • Kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien / orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama • Kelalaian: melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik / sikap kurang hati-hati Tidak melakukan suatu tindakan, yang seharusnya dilakukan dengan hati-hati secara wajar. Melakukan tindakan, yang seharusnya tidak perlu dilakukan • Medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient. (World Medical Association, 1992) • Pasal 55 ayat (1) UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan : “setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan”. Aspek hukum • Perumusan malpraktek / • Prinsip hukum “de minimis kelalaian medik yang tercantum noncurat lex” hukum pada pasal 11 b Dengan tidak tidak mencampuri hal-hal mengurangi ketentuan – ketentuan di dalam KUHP dan yang dianggap sepele. perundang - undangan lain, maka • Jika kelalaian mengakibatkan terhadap tenaga kesehatan dapat kerugian materi, dilakukan tindakan administratif mencelakakan bahkan dalam hal: merenggut nyawa orang lain (a) melalaikan kewajiban (tidak diklasifikasikan sebagai melakukan sesuatu yang culpa lata (kelalaian berat) seharusnya dilakukan) (b) melakukan suatu hal yang • Tolak ukur culpa lata: seharusnya tidak boleh diperbuat – Bertentangan dengan hukum oleh seorang tenaga kesehatan, – Akibatnya dapat dibayangkan baik mengingat sumpah – Akibatnya dapat dihindarkan jabatanya, maupun mengingat sumpah sebagai tenaga – Perbuatan dapat kesehatanya (melakukan sesuatu dipersalahkan yang seharusnya tidak dilakukan) JENIS LACK OF SKILL • “INTENTIONAL” (secara • Kompetensi kurang atau di sadar) luar kompetensi / Professional misconducts kewenangan • Negligence Sering menjadi penyebab Malfeasance, misfeasance, error atau kelalaian nonfeasance Sering dikaitkan dengan kompetensi institusi • Lack of skill Kadang dapat dibenarkan Di bawah standar pada situasi-kondisi lokal kompetensi tertentu (locality rule, limited Di luar kompetensi resources) • Tuntutan dapat berupa kelalaian KELALAIAN MEDIK • Jenis malpraktik tersering • Bukan kesengajaan • Tidak melakukan yg seharusnya dilakukan, melakukan yg seharusnya tidak dilakukan oleh orang2 yg sekualifikasi pada situasi dan kondisi yg identik • Syarat kelalaian (4d) • DUTY (duty of care) Kewajiban profesi Kewajiban akibat kontrak dg pasien • Dereliction / breach of duty : Pelanggaran kewajiban tsb • Damages : Cedera, mati atau kerugian • Direct causalship : Hubungan sebab-akibat, setidaknya proximate cause • Malpraktek medik Dokter malpraktek murni 1. Dokter kurang menguasai • Cth: dokter melakukan iptek kedokteran yang pembedahan dengan niat sudah berlaku umum membunuh pasienya atau dikalangan profesi dokter sengaja melakukan kedokteran pembedahan tanpa ada 2. Memberikan pelayanan indikasi medis yang kedokteran di bawah sebenarnya tidak perlu standar profesi (tidak lege artis) dilakukan, hanya untuk mengeruk keuntungan. 3. Melakukan culpa lata / memberikan pelayanan tidak hati-hati 4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum Menuntut penggantian kerugian • Harus dapat membuktikan 4 unsur: Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar • Dalam hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi “res ipsa loquitur” fakta telah berbicara • Cth: terdapatnya kain kassa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah Mencegah malpraktik • Tabligh = Informatif • Shiddiq = Truth telling • Amanah = Veracity • Uswatun hasanah = • Ukhuwah = Kooperatif beneficence • Fathonah = Life long • Rahimah = study/ learning Nonmaleficence • Ikhlas = Responsible • Yaqin = Accountable • Kaffah = Holistik • Adil = Juctice • Daulat = Respect to Autonomy • Istiqomah = Excellence Breaking Bad News Breaking Bad News Protokol SPIKES: • S-SETTING UP interview • Dari lingkungannya, libatkan orang terdekat, duduk bersama dengan mata sejajar, buat hubungan erat dengan pasien • Hal penting lainnya, jangan sampe deh pertemuan tersebut terganggu dengan hal-hal kecil seperti dering hp, melihat jam, menguap, bahkan sms sekalipun… fokuskan perhatian hanya pada pasien. • P-assessing the patient’s perception • Sebelum memberitahu, tanya terlebih dahulu, “apa yang anda ketahui sejauh ini tentang kondisi anda?” Hal ini berguna untuk mempersiapkan dokter akan kemungkinan respon yang diberikan pasien nanti. • I-obtaining patient’s invitation • Sebagian besar pasien pasti ingin mendengar diagnosis serta harapan hidupnya kelak. Ada juga sebagia kecil pasien yang justru tidak ingin mendengar apapun tentang kondisinya (sudah tak peduli atau pasrah mungkin?) Nah, dokter juga harus jeli nih dalam melihat hal ini…intinya, jangan memberitahu lebih dari yang ia inginkan. • K-giving KNOWLEDGE and information to the patient • Pasien harus diberitahu diagnosis dan prognosis sejujurnya dalam bahasa yang sederhana dan cara yang halus. Terkadang, kita perlu juga memberikan semacam “warning shot” sebagai indikasi bahwa akan menyampaikan berita buruk. • Satu yang perlu diingat juga, jangan pernah menggunakan “medical jargon” atau bahasa medis yang gak pasien ngerti. Dan bila prognosis kurang baik, pasien harus diyakinkan bahwa akan selalu mendapat dukungan yang sebesar-besarnya. • E-adressing the patient’s emotions with emphatic responses • Amati emosi pasien dan cari tahu apa penyebab dari emosi pasien tersebut. Beri waktu juga kepada pasien untuk mengekspresikan perasaannya. • S-strategy and summary • Sampaikan tindakan apa yang harus dilakukan oleh pasien serta sampaikan ringkasannya… Kesimpulan & Saran Daftar Pustaka • Jacobalis Samsi. Pengantar Tentang Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika. Jakarta : Sagung Seto, 2005 • Guwandi, J. Hukum dan dokter. Jakarta : FKUI, 2005 • Budianto Heru, editor. Panduan praktis Etika Profesi Dokter. Jakarta : Sagung Seto, 2009 • MKEK, IDI. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta : IDI, 2002. • Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik Kedokteran, Nusye K I Jayanti S.H, M.Hum, M.Sc • Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat Profesional, Ns Ta'adi, S.Kep, M.HKes THANK YOU