Anda di halaman 1dari 18

1.

Senja Diana Rossai


2. Suhar Yadi
3. Baiq Yunita Arisandi
4. Tio Lambok Ruminah
OTONOMI UNTUK 5. Ferry Rahmatullah
6. Hastuti Sari Dewi
THAILAND SELATAN,
ANTARA KEMERDEKAAN
DAN MONARKHI

KELOMPOK - I
Pada tahun 2004, terjadi konflik kekerasan di
Thailand Selatan antara Pemerintah Thailand
dengan kelompok pemberontak yang mewakili
masyarakat Muslim Melayu Patani. Secara
historis, konflik berakar dari penguasaan
Kesultanan Melayu Pattani oleh Kerajaan Siam
Thailand lewat Traktat Anglo - Siam pada tahun
1902. Diskriminasi terhadap budaya, berupa
bahasa dan agama, masyarakat Patani menjadi
penyebab konflik.
Beberapa Kelompok Berbasis
Etnis dan Agama di Asia Tenggara

1.The Pattani United Liberation Organization


(PULO) – Thailand
2.Moro Islam Liberation Front (MILF) – Filipina
3.Gerakan Aceh Merdeka (GAM) – Indonesia
Secara perjuangan dari kelompok pemisah
diri ini sama – sama dianggap mengganggu
stabilitas keamanan nasional dan regional.

Munculnya gerakan pemisah diri ini


menimbulkan paradoks sebuah negara
dimana pada satu sisi pemerintah negara
berusaha untuk menyatukan perbedaan
dalam satu kenegaraan, namun pada sisi lain
kelompok - kelompok tertentu ingin
membentuk sebuah pemerintahan sendiri.
Masyarakat Thailand
tergolong heterogen dari
segi etnis dan agama
dengan sistem
pemerintahan Monarki.

Mayoritas 70% penduduk Thailand adalah etnis Thai yang beragama


Budha Therevada (sekitar 54 juta jiwa).

Sedangkan sekitar 6 juta jiwa penduduk minoritas Thailand berasal


dari etnis Melayu yang beragama Islam. Hal ini menjadikan Islam
sebagai agama terbesar kedua di Thailand. Pada umumnya,
penduduk Muslim ini menghuni wilayah Thailand bagian selatan.
Secara administratif Muslim Melayu di Thailand
terkonsentrasi di Thailand Selatan yang terdiri dari
empat provinsi, antara lain:
1) Pattani
2) Narathiwat
3) Yala
4) Songkhala
Secara sosiologis – cultural masyarakat
Muslim Melayu di Thailand merupakan
kelompok minoritas yang berbeda dengan
kelompok Thai pada umumnya
Adanya keterikatan sejarah yang
kuat dengan Kelantan dan Kedah
(Malaysia) menjadikan masyarakat
Muslim Melayu di Thailand tetap
menggunakan bahasa Melayu
Pada awal perkembangannya, Thailand dan Thailand
Selatan memiliki hubungan yang baik yang
ditunjukkan dengan adanya sikap saling menghargai
dan menghormati antara satu kelompok dengan
kelompok yang lain.

Namun, dalam proses asimilasi etnis Melayu Muslim


ke dalam masyarakat Thailand yang dibentuk oleh
pemerintah telah menciptakan kesenjangan ekonomi,
politik, sosial, dan budaya. Kondisi yang seperti ini
semakin diperburuk dengan keputusan pemerintah
Thailand untuk menciptakan negara modern dengan
ideologi Buddhisme dan Militerisme.
Elit politik dan sektor publik didominasi oleh etnis Thai
baik itu ditingkat nasional maupun lokal.

Kemudian, pemerintah Thailand meluncurkan


kebijakan, bahwa dalam setiap sekolah sekuler
diharuskan menggunakan bahasa Thailand.

Akibatnya, masyarakat Muslim - Melayu semakin


terpinggirkan. Kebijakan yang ditetapkan oleh
pemerintah ini tentu saja ditentang oleh masyarakat
Muslim Melayu yang berada di Thailand Selatan. Satu
per satu kelompok pemberontakan mulai bermunculan.
Kelompok pemberontakan yang muncul, diantaranya adalah:
 Kelompok Haji Sulong
 Barisan Revolusi Nasional (BRN)
 Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP)
 The Pattani United Liberation Organization (PULO).

Mereka memiliki berbagai tuntutan seperti:

a) Tuntutan otonomi politik untuk semua wilayah Melayu Pattani.


b) Tuntutan untuk mengangkat seorang gubernur dari kalangan Melayu Pattani
dalam menjalankan pemerintahan kolektif terhadap empat daerah di Selatan
Thailand yang mayoritas penduduknya adalah orang Melayu.
c) Tuntutan agar bahasa Melayu memiliki status yang sama dengan bahasa Thai
dan bahasa Melayu juga digunakan sebagai pengantar bagi sekolah di wilayah
Thailand Selatan.
d) Tuntutan untuk mendirikan Mahkamah Islam guna menjalankan undang -
undang Syari’ah, menjadikan Pattani sebagai bagian dari Federasi Tanah
Melayu; atau menggabungkan Thailand Selatan dengan Indonesia
Namun, keinginan dari kelompok ini
ditolak oleh pemerintah Thailand
sehingga masyarakat Thailand mulai
melakukan tindakan bersenjata,
sehingga kerusuhan di Pattani pun tidak
terelakkan, karena bagi Thailand
Selatan kata otonomi adalah
kemerdekaan.
Tuntutan otonomi untuk semua wilayah Melayu
Pattani atau Thailand Selatan tidak dapat
diterima oleh pemerintahan thailand karena
beranggapan bahwa otonomi daerah itu
melanggar Undang-undang Monarkhi, jadi
tidak boleh sejengkal tanahpun yang dapat
dipecah.
Pada tahun 2008 muncul kelompok akademisi yang dipimpin oleh tokoh ilmuwan politik
Pattani yang bernama Dr. Srimsompob Jitpiromsri yang mengemukakan beberapa jalan
keluar yang mengarah kepada otonomi sehingga pendekatan kepada wilayah selatan
tersebut lebih ke arah pendekatan prosperity (kesejahteraan) dari pada pendekatan
security (keamanan). Ada Tiga Usulan untuk mengatasi hal tersebut :

1. Regionalisasi yang memungkinkan pembentukan pemerintah daerah baru atau


menciptakan wilayah khusus di selatan dengan wewenang yang lebih besar yang
bersifat administratif dan perwakilan.

2. Reformasi administrasi dengan reformasi administrasi tersebut dibentuk badan untuk


mengawasi Thailand selatan, anggaran baru atau menciptakan sistem quota untuk
memastikan bahwa muslim melayu memiliki akses terhadap kawasan tersebut dalam
hal pengambilan keputusan.

3. Devolusi yaitu menciptakan perwakilan baru di tingkat lokal atau regional dengan
memilih pembentukan baru struktur perwakilan daerah yang diisi oleh daerah yang
bersangkutan.

Tetapi ketiga solusi ini ditentang terus oleh pemerintah Bangkok karena Pemerintahan
bangkok tersebut berorientasi kepada sistem konstitusional Monarkhi.
PERBANDING DAN PERSAMAAN
PERMASALAHAN DI ROHINGYA - MYANMAR

Hampir sama dengan Thailand Selatan, Secara umum Latar belakang Konflik di
Rohingya - Myanmar yang paling jelas adalah perbedaan dari segi budaya dan
agama dengan sistem pemerintahan Monarki.

Sama halnya dengan Thailand Selatan, di Myanmar etnis mayoritas beragama


Buddha atau di sebut Etnis Burma - Myanmar dan etnis Minoritas beragama
Muslim atau disebut Etnis Muslim Rohingya.

Disamping itu, Kebijakan diskriminatif yang diterapkan pemerintah. Pemerintah


militer Burma-Myanmar menerapkan kebijakan asimilasi secara paksa dan tidak
mengakui etnis tersebut sebagai bagian dari bangsa Burma-Myanmar dan
menyatakan bahwa etnis tersebut bukan warga negara Burma-Myanmar.

Penduduk muslim dipandang sebagai orang asing karena mempraktekan cara


hidup asing yang anti budaya Burma sehingga pemerintah Myanmar
menggunakan kekerasan yang cenderung mengarah ke genosida (dimusnahkan).
Tahun 2014 para pengungsi Rohingya masih belum
mendapatkan hak penuh atas kewarganegaraannya. Tidak
mengherankan pada Oktober 2014 banyak warga etnis
Muslim Rohingya yang kembali menjadi boat people, yang
meminta suaka ke Pulau Christmas, Australia.

Selain itu, terdapat perlakuan diskriminatif lain yang


dilakukan pemerintah selain tidak mengakui
kewarganegaraan etnis Muslim Rohingya, mereka juga tidak
diakui hak-hak ekonomi, mengubah nama-nama tempat
bersejarah Islam dan menyatakan bahwa etnis Muslim
Rohingya adalah etnis Bengali.

Motivasi utama pemerintah melakukan penindasan terhadap


etnis Muslim Rohingya adalah untuk mencegah etnis Muslim
Rohingya yang telah mengungsi kembali ke Burma-Myanmar.
Terkait kebijakan maupun perlakuan diskriminatif yang
didapat, pemberontakan bisa dikatakan merupakan respons
pertama yang dilakukan oleh etnis Muslim Rohingya.
Respons kedua yang dilakukan oleh etnis Muslim Rohingya
adalah mengenai migrasi. demi mendapatkan hak politik di
negara lain.

Gerakan Pemberontakan Muslim baik di Rohingya - Myanmar


maupun di Thailand Selatan mereka memiliki tuntutan yang
sama, yaitu menuntut otonomi khusus atau kemerdekaan
dengan memberikan tanggung jawab kepada masyarakat
Muslim untuk mengatur dan mengelola wilayah mereka
sendiri dalam ruang lingkup konstitusi di Rohingya –
Myanmar dan Thailand Selatan – Thailand.
TERIMA KASIH !!!

Anda mungkin juga menyukai