Anda di halaman 1dari 81

Book Reading Bailey

Bab 166 Kelainan Vestibular Perifir


(hal 2701-2705)

Presentator: dr. Rio Heryanto Gunawan


Moderator: dr. Dian Paramita Wulandari, M.Sc., Sp.THT-KL
PRINSIP-PRINSIP UMUM

 Organ vestibular, terdiri atas 5:


 tiga kanalis semisirkularis (anterior, posterior dan
horizontal)
 dua organ otolit (sakulus dan utrikulus)

 Kanalis semisirkularis  mendeteksi gerakan rotasi


kepala angular

 Organ otolit  mendeteksi gerakan kepala translasional


dan orientasi kepala terhadap gravitasi.
 Se-sel rambut (pada organ vestibular kanan dan kiri) 
bergerak pada kecepatan tonus basal normalnya
(seirama)

 Bila kepala berputar ke kanan  sel-sel rambut pada


kanalis horizontalis kanan  meningkatkan kecepatan
gerakannya, sementara sel-sel rambut pada kanalis
horizontalis kiri  menurunkan kecepatan gerakannya.
 Perubahan yang sebaliknya  seiring perubahan posisi
kepala ke kiri.

 Input sensoris (organ vestibular perifir)  ke pusat


keseimbangan melalui nervus vestibularis

 Nervus vestibularis superior  informasi dari kanalis


semisirkularis horizontal dan superior serta utrikulus

 Nervus vestibularis inferior  inforasi dari kanalis


semisirkularis posterior dan sakkulus
 Otak  membandingkan input dari organ vestibular
kanan dan kiri  menentukan bahwa telah terjadi
perubahan posisi kepala dan sebagai pengganti gerakan
mata serta perubahan sikap tubuh

 Organ-organ vestibular  mengkode informasi tentang


perubahan posisi kepala  menjaga stabilitas
pandangan dan sikap tubuh (Refleks Vestibulookular
(VOR) dan Refleks Vestibulospinal)
 Gejala disfungsi vestibular perifir: vertigo  nervus
vestibular sisi sebelah kanan dan kiri bergerak secara
tidak simetris (saat tidak adanya gerakan kepala) 
menimbulkan suatu perasaan seolah-olah bergerak.

 Kelainan vestibular perifir dikelompokkan  manifestasi


klinik dari vertigo (Tabel 166.1)
 Vertigo dapat berlangsung episodik  akibat hilangnya/
bertambahnya fungsi vestibular unilateral yang reversibel,
juga dapat menimbulkan kecepatan gerakan yang asimetris
nervus vestibularis sisi sebelah kanan dan kiri.

 Penyakit vestibular perifir:


 gangguan episodik fungsi vestibular (penyakit Meniere)
 terjadi kehilangan fungsi vestibular beberapa menit atau
jam (neuritis vestibular, labirintitis dan penyakit telinga
dalam yang dimediasi imun/IMIED)  kehilangan fungsi
selama lebih dari 24 jam
 Vertigo migrainous  gangguan fungsi vestibular
berlangsung dalam periode waktu yang bervariasi 
beberapa menit hingga jam, kasus lainnya berlangsung
selama beberapa hari

 Kelainan vestibular perifir  akibat eksitasi intermiten


fungsi vestibular (vertigo posisional paroksismal
jinak/BPPV dan sindroma dehisensi kanal superior /SCD)
 Fistula perilimfe  mengakibatkan gangguan/eksitasi
fungsi vestibular

 Kategori ketiga gangguan vestibular perifir  akibat


inadekuat fungsi vestibular kronis

 Kehilangan fungsi vestibular kronis unilateral  akibat


penyembuhan tidak sempurna pasca neuritis vestibularis
atau labirintitis, komplikasi lama penyakit Meniere,
kerusakan akibat kolesteatoma/otitis media kronik
 Disfungsi vestibular kronis bilateral  khas, akibat
paparan sistemik (antibiotik aminoglikosida atau agen
kemoterapi atau kelainan genetik)
GANGGUAN EPISODIK SINGKAT FUNGSI
VESTIBULAR UNILATERAL
Penyakit Meniere

 Sindroma Meniere  kelainan telinga dalam:


 vertigo spontan
 tuli sensori neural frekuensi rendah, fluktuatif
 telinga terasa penuh
 tinnitus
 Ketika sindrom bersifat: idiopatik, tidak bisa ditujukan
pada kasus lain (Sifilis, IMIED, trauma bedah) 
Penyakit Meniere (Meniere’s disease)

 Sindrom Meniere  ditandai: pola relaps-remisi,


serangan-serangan episodik diakhiri periode pemulihan
fungsi vestibuler dan auditorik normal

 Sebagai tambahan, fungsi auditorik dan vestibuler 


semakin menurun seiring waktu
Tampilan Klinis

 Prevalensi penyakit Meniere: Jepang: 34,5 kasus per


100.000 penduduk, Inggris: 157 per 100.000 penduduk,
Amerika Serikat: 190 per 100.000 penduduk dan 513 per
100.000 penduduk di Finlandia

 Onset penyakit:
 Usia: 40-60 tahun
 wanita > pria: 1,3-1,9 : 1
 Permasalahan untuk mengetahui kriteria penyakit
Meniere yang akan terjadi bilateral  menjadi subjek
perdebatan yang kontroversial

 House et al.,  prevalensi keseluruhan penyakit


Meniere: 24%, dimana:
 11% bersifat bilateral sejak awal timbulnya gejala
 14% bersifat progresi dari unilateral menjadi bilateral
 Penegakan diagnosis penyakit Meniere  pemeriksaan
klinis

 Belum ada pemeriksaan patognomonis  untuk


mengkonfirmasi diagnosis ini.
 Pedoman diagnosis definitif penyakit Meniere  American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-
HNS):
 dua atau lebih episode vertigo setidaknya ≥ 20 menit
 hilangnya fungsi pendengaran  audiogram
 tinnitus atau rasa penuh di telinga yang terserang
 kemungkinan-kemungkinan penyebab lain telah
disingkirkan (pencitraan resonansi magnetik [MRI] basis
kranial diperkuat pemberian kontras gadolinium)
 Sistem pengelompokan stadium (AAO-HNS)  kriteria
audiometrik: berdasarkan pada nilai rata-rata ambang
dengar nada murni pada 4 frekuensi (0,5; 1; 2; dan 3
kHz), berupa:
1. Stadium 1: Hearing treshold ≤ 25 db
2. Stadium 2: Hearing treshold 26-40 db
3. Stadium 3: Hearing treshold 41-70 db
4. Stadium 4: Hearing treshold > 70 db
 Gejala klinis penyakit Meniere:
 serangan vertigo berulang (96,2%)
 tinnitus (91,1%)
 kehilangan pendengaran unilateral (87,7%)

 Perjalanan klinis penyakit Meniere sangat bervariasi 


periode remisi panjang yang diselingi serangan episodik
 interval-interval serangan yang satu sama lain tidak
saling berhubungan.
 Sejumlah penelitian longitudinal  bahwa vertigo yang
terjadi akan berhenti secara spontan setelah 2 tahun
(57% kasus) dan setelah 8,3 tahun (71% kasus).

 Pasien datang dengan kondisi kehilangan pendengaran


sensorineural frekuensi rendah, fluktuatif dan progresif.
 Pada penyakit yang bertahan lama (>10 tahun)  pola
audiometrik menunjukkan gambaran mendatar,
kehilangan pendengaran umumnya stabil pada nilai
rerata nada murni sebesar 50 dB dan pada skor
diskriminasi tutur (speech discrimination) sebesar 50%.

 Pada 1% - 2% pasien  kehilangan pendengaran


sensorineural berat

 Pemasangan implantasi cochlear  kehilangan


pendengaran yang terjadi bersifat bilateral
Hidrops Endolimfatik

 Hidrops endolimfatik telah lama dijadikan dasar patologis


bagi penyakit Meniere.

 Endolimfe:
 cairan kaya potassium, di telinga bagian dalam
 disintesis dalam jumlah yang berlebih/diresorbsi
secara tidak adekuat  pembesaran ruang endolimfe.
 Hidrops endolimfatik  melibatkan pars inferior labirin
(tersusun dari sakulus dan koklea).

 Pars superior (utrikulus dan kanalis semisirkularis) 


dapat terlibat di dalam hidrops endolimfatik 
cenderung lebih ringan dan lebih jarang.
 Terdapat sejumlah mekanisme: hidrops endolimfatik 
menyebabkan terjadinya serangan-serangan vertigo
spontan (karakteristik penyakit Meniere).

 Teori paling terkenal: distensi hidrofik duktus


endolimfatik  menyebabkan terjadinya ruptur
membran yang melebar (suatu fenomena yang telah
teramati kejadiannya di seluruh labirin).
 Ruptur membran  kebocoran cairan endolimfe (kaya
akan potassium) ke dalam spasium perilimfe 
bersentuhan dengan permukaan basal dari sel-sel
rambut dan dengan nervus kranial VIII.

 Eksitasi awal, kemudian diikuti inhibisi sel-sel rambut 


bermanifestasi sebagai kondisi nistagmus berubah arah
(direction-changing nystagmus)  mendasari terjadinya
vertigo episodik.
 Penurunan fungsi pendengaran dan keseimbangan
jangka panjang  akibat paparan berulang cairan
perilimfe kaya potassium pada tingkatan yang bersifat
toksik terhadap sel-sel rambut vestibuler.

 Penelitian terbaru  peranan hidrops endolimfatik pada


patofisiologi penyakit Meniere  hidrops endolimfe
sebagai marker gangguan keseimbangan koklear, namun
tidak selalu bertanggung jawab langsung terhadap
gejala penyakit Meniere.
Berbagai Pemeriksaan Fisiologis Penyakit Meniere

 Pemeriksaan elektrokokleografi  berdasarkan


kemungkinan adanya korelasi patologis antara kondisi
hidrops endolimfatik dengan penyakit Meniere.

 Potensial listrik yang timbul pada kokhlea kemudian


diukur  respons terhadap stimulasi bunyi berulang
menggunakan click atau toneburst.
 Respons potensial kokhlea:
 potensial mikrofonik kokhlea
 potensial penambahan (summating potential [SP])
 keduanya merepresentasikan fungsi sel rambut
kokhlea dan gabungan potensial aksi (action potential
[AP])  mencerminkan aktivitas nervus auditorius,
setara gelombang I dari refleks batang otak auditorik.
 Nilai SP yang teramati  lebih besar untuk respons
terhadap bunyi click atau lebih negatif untuk respons
terhadap bunyi toneburst pada pasien dengan penyakit
Meniere.

 Sebagai contoh, menggunakan bunyi click, nilai batas


atas normal untuk rasio SP/AP adalah 0,4.
 Perubahan SP pada penyakit Meniere  mencerminkan
kondisi distensi hidrofik membran basilaris ke dalam
skala timpani  menyebabkan terjadinya peningkatan
asimetri normal vibrasi skala timpani.

 Nilai rasio SP/AP  sensitivitas antara 50% - 70%

 Upaya meningkatkan nilai sensitivitas: penggabungan


rasio SP/AP dengan amplitudo SP, periode AP, dan
dengan sejumlah parameter audiometrik.
 Sejumlah penelitian  hasil-hasil temuan
elektrokokleografis dengan pertimbangan audiometrik
dapat memisahkan penyakit Meniere dari keadaan
normal.

 Kemampuan elektrokokleografi untuk membedakan


antara penyakit Meniere possible dan probable dari
keadaan normal  belum begitu jelas.
 Pemeriksaaan kalorik dan pemeriksaan impuls kepala 
dua pemeriksaan untuk mengetahui fungsi kanalis
semisirkularis.

 Pemeriksaan kalorik  dilakukan irigasi bitermal ke


dalam kanal auditorius eksternal  terjadinya
pergerakan konvektif cairan endolimfe di dalam kanalis
semisirkularis horizontal ipsilateral.
 Pergerakan cairan di dalam kanal horizontal  defleksi
inhibitorik atau eksitatorik kupula (tergantung arah aliran
endolimfe).

 Pergerakan kupula  menyebabkan terjadinya eksitasi


atau inhibisi sel rambut dengan disertai perubahan
kecepatan pelepasan serabut-serabut aferen nervus
vestibularis.
 Pergerakan mata kompensatorik  terpicu (sejalan
dengan fase lambat dari nistagmus)  diikuti gerakan
mata arah sebaliknya secara cepat (sejalan dengan fase
cepat nistagmus).

 Kecepatan maksimum fase lambat nistagmus 


dibandingkan secara bilateral, digunakan untuk
menghitung kelemahan unilateral atau asimetri kalorik.
 Berdasarkan data normatif yang dikembangkan oleh
sejumlah laboratorium vestibuler individual  asimetri
kalorik sebesar 20% atau lebih  dianggap bernilai
indikatif untuk kondisi hipofungsi vestibuler periferal
unilateral.
 Pemeriksaan impuls kepala (atau head thrust) 
integritas refleks vestibulookular angular (angular
vestibuloocular reflex [AVOR]).

 Gerakan kepala dan mata direkam selama impuls kepala


gerakan berputar dengan kecepatan dan akselerasi
tinggi dalam arah eksitatorik untuk masing-masing dari
keenam kanalis semisirkularis.
 Subjek normal  mampu mempertahankan fiksasi visual
pada suatu target selama terjadi pergerakan kepala
cepat  akan memiliki perolehan nilai (terkomputerisasi
sebagai rasio kecepatan mata terhadap kecepatan
kepala), mendekati nilai 1,0.
 Penurunan yang signifikan terhadap respons kalorik
telinga yang terkena  diamati pada 42% - 79%
individu dengan penyakit Meniere unilateral.

 Sebaliknya, abnormalitas AVOR pada penyakit Meniere


 lebih tidak kentara, meskipun tampaknya terdapat
suatu korelasi antara asimetri perolehan tes impuls
kepala dengan persentase kelemahan unilateral kalorik.
 Meskipun pemeriksaan kalorik maupun pemeriksaan
impuls kepala bertujuan mengukur fungsi dari kanalis
semisirkularis  keduanya dapat menangkap fenomena
yang berbeda.

 Irigasi kalorik  aliran endolimfe konvektif lambat dan


memberikan suatu stimulus frekuensi rendah bagi sistem
vestibularis.
 Sebaliknya, menggerakkan kepala dengan arah berputar
secara cepat  pergerakan endolimfe secara cepat dan
menyusun input frekuensi tinggi bagi serabut-serabut
aferen vestibularis.

 Ada kemungkinan bahwa penyakit Meniere 


mengganggu kemampuan apparatus vestibularis
memproses sinyal-sinyal frekuensi rendah.
 Perlu dicatat  stimulus kalorik frekuensi rendah: suatu
input nonfisiologis, sedangkan pergerakan kepala
frekuensi tinggi akan menyerupai frekuensi-frekuensi
stimulus yang sering terjadi pada apparatus vestibularis
selama melakukan aktivitas berjalan kaki dan berlari.
 Ada kemungkinan: mekanisme-mekanisme adaptasi
sentral hanya dapat muncul pada pemberian stimulus
fisiologis (menyebabkan terjadinya respons normal
terhadap pemeriksaan impuls kepala), tidak muncul
untuk input-input yang berada di luar rentang normal
(misalnya stimulus kalorik).
 Potensial myogenik yang dipicu vestibular (vestibular-
evoked myogenic potential [VEMP])  mencerminkan
fungsi otolith.

 VEMP servikal (cervical VEMP [cVEMP]) sebagai respons


terhadap bunyi tonebursts atau click yang dihantarkan
lewat udara tampaknya dibentuk oleh suatu refleks
sacculocollic.
 Di dalam tungkai aferen jalur refleks ini  sel-sel yang
sensitif stimulus akustik di dalam sacculus  berespons
terhadap stimulus suara yang singkat, keras dan
monoaural serta mentransmisikan sinyal listrik secara
terpusat melalui nervus vestibularis inferior.

 Tungkai eferen arkus refleks ini  mengirimkan suatu


impuls inhibitorik menuju serabut-serabut muskulus
sternocleidomastoideus ipsilateral

 Perekaman elektromyografis otot ini  respons terhadap


suatu input suara  mencerminkan fungsi sacculus.
 Respons cVEMP terhadap stimulus click yang diamati 
mengalami penundaan atau tidak muncul pada 51% -
54% pasien dengan penyakit Meniere bila dibandingkan
dengan angka respons yang dipicu click yaitu sebesar
98%.

 Individu normal  memperlihatkan sensitivitas refleks


sacculocollic terbesar: > 200 Hz - 1.000 Hz
 Pasien dengan penyakit Meniere  memperlihatkan
gangguan penyesuaian frekuensi  sensitivitas terbesar
refleks sacculocollic terjadi pada frekuensi-frekuensi
yang lebih tinggi dan pada rentang frekuensi yang lebih
luas, dibandingkan dengan subjek normal.

 Penyesuaian frekuensi kemungkinan merupakan fungsi


properti resonansi yang dimiliki oleh sacculus (sebagian
merefleksikan ukuran sacculus).
 Individu-individu dengan kondisi disfungsi sacculus berat
yang mengalami serangan-serangan jatuh (krisis otolithic
Tumarkin) ditemukan memiliki penumpulan dan
pergeseran frekuensi terbesar pada kurva penyesuaian
cVEMP nya.
 Sebagai tambahan, 27% individu dengan penyakit
Meniere unilateral  abnormalitas respons cVEMP pada
telinga di sisi yang normal; kurva penyesuaian cVEMP
dari telinga yang asimptomatik ini  berada di dalam
fenotipe pertengahan antara telinga yang terkena dan
telinga normal.

 Pemeriksaan cVEMP  alat untuk mengukur tingkat


keparahan penyakit Meniere dan memperlihatkan
prognostik penyakit menjadi bilateral.
Terapi

 Landasan patologis penyakit Meniere  masih belum


ditemukan; terapi kuratif masih perlu dicari.

 Terapi-terapi saat ini  untuk meringankan gejala,


terutama vertigo.

 Regimen terapi lini pertama:


 diet pembatasan garam
 diuretik
 untuk memperingan kondisi hidrops endolimfatik.
 Betahistine  antagonis reseptor histamine H1,
meningkatkan aliran darah di telinga dalam 
menurunkan frekuensi dan keparahan episode vertigo.

 Betahistine  digunakan luas di Eropa untuk menterapi


penyakit Meniere; penggunaannya dibatasi di Amerika
Serikat  sedikitnya bukti yang mendukung efikasi dari
obat ini.
 Banyak bukti yang mendukung penggunaan
kortikosteroid  yang diberikan intratimpanikal (terapi
penyakit Meniere).

 Penelitian retrospekstif skala besar  kontrol gejala


vertigo berhasil dicapai pada 91% pasien yang diterapi
dengan deksametason intratimpanikal  memungkinkan
pasien tersebut menolak atau menghindari penggunaan
terapi-terapi ablatif.
 Terapi medis  belum cukup mengontrol gejala vertigo
pada 10% kasus.

 Pilihan terapi bagi pasien dengan penyakit Meniere


refrakter:
 dekompresi (pembedahan pada sistem endolimfatik)
 ablasi fungsi vestibular(operatif atau kimiawi).

 Prosedur bedah sakus endolimfatik  metode


pendekatan transmastoid untuk mendekompresi sakus
endolimfatik dengan atau tanpa pemasangan shunt 
mengalirkan endolimfe.
 Sejumlah penelitian  menunjukkan hasil keluaran yang
positif dari pengerjaan prosedur bedah shunt
endolimfatik dalam hal preservasi pendengaran dan
kontrol vertigo.

 Sebuah meta-analisis terbaru  belum ada bukti yang


cukup untuk menunjukkan efikasi dari prosedur ini bila
dibandingkan dengan plasebo.
 Prosedur neurektomi vestibular selektif melalui
pendekatan fossa media atau fossa posterior 
meredakan gejala vertigo pada > 90% kasus.

 Harus dipertimbangkan komplikasi akibat prosedur


tersebut:
 kehilangan pendengaran
 kelemahan nervus fascialis
 kebocoran cairan serebrospinal (CSF)
 defisit bicara dan bahasa (akibat retraksi lobus temporal
pada metode pendekatan fossa media)
 nyeri kepala (akibat metode pendekatan fossa posterior).
 Prosedur labirintektomi operatif  mencapai angka
kontrol vertigo yang sangat memuaskan, meskipun
fungsi pendengaran pada telinga yang dibedah akan
menghilang.
 Prosedur pembedahan  banyak digantikan oleh prosedur
ablasi kimiawi apparatus vestibularis perifer  gentamicin
intratimpanik.

 Gentamicin  antibiotik golongan aminoglikosida, bersifat


vestibulotoksik relatif selektif, lebih banyak diambil oleh sel
rambut tipe 1 di lapisan neuroepithelium vestibular.

 Gentamicin intratimpanik dosis rendah  dapat mencapai


kontrol vertigo 70% - 90% kasus, dikorelasikan dengan efek
kehilangan pendengaran hanya pada 17% kasus.
 Telah ditunjukkan  perolehan AVOR penyakit Meniere
umumnya normal sebelum pemberian gentamicin
intratimpanik, akan turun secara signifikan sesudah
pemberian gentamicin, namun penurunan ini tidak
sebanyak yang ditemukan sesudah pengerjaan prosedur
labirintektomi operatif.
 Penelitian menggunakan binatang chinchilla  lesi yang
disebabkan pemberian gentamicin intratimpanik
utamanya mempengaruhi sel rambut vestibular tipe I
dan juga merusak stereocilia sel rambut tipe II.

 Namun aferen-aferen nervus vestibularis dapat terus


menghantarkan listrik secara spontan sesudah
pemberian terapi gentamicin intratimpanik.
 Hasil temuan tersebut  manfaat terapi gentamicin
intratimpanik dibanding ablasi pembedahan: lesi
gentamicin bersifat parsial, tidak menimbulkan kondisi
ketidakseimbangan statik yang besar di dalam
kemampuan penghantaran impuls nervus vestibularis
yang selalu menyertai prosedur ablasi bedah.

 Oleh karena itu, proses adaptasi terhadap lesi


gentamisin intratimpanik  lebih tidak terlalu
menantang dibandingkan adaptasi terhadap lesi akibat
ablasi bedah.
Vertigo Migrainosa
Tampilan Klinis

 Vertigo  gejala yang umum ditemui pada kasus


migrain (25% pasien migrain).

 Vertigo dapat terjadi sebagai suatu aura  gejala


neurologis fokal yang mendahului munculnya rasa nyeri
kepala.
 Namun demikian, yang lebih sering terjadi  serangan
vertigo yang terjadi secara tersendiri dan pada sejumlah
kasus menggantikan nyeri kepala.

 Pada kenyataannya, nyeri kepala khas migrain yang


disertai dengan serangan-serangan vertigo hanya pada
setengah jumlah kasus.

 Pasien seringkali melaporkan adanya suatu riwayat nyeri


kepala migrain terdahulu yang saat ini sepertinya sudah
sembuh.
 Rasa penekanan atau nyeri yang lebih ringan di kepala
atau leher  menggantikan nyeri kepala berdenyut dan
menyertai gejala pusing.

 Pusing dijabarkan sebagai vertigo (pening, menghentak-


hentak, berayun) atau hanya suatu kondisi
disekuilibrium.

 Gejala tersebut  memiliki durasi yang cukup bervariasi,


berlangsung dalam hitungan menit hingga hari pada
kasus-kasus episodik, atau dapat muncul sebagai kondisi
disekuilibrium konstan selama berbulan-bulan.
 Sekitar setengah jumlah kasus episodik  serangan
vertigo atau disekuilibrium berlangsung > satu hari,
merupakan suatu tampilan yang dapat membantu
membedakan vertigo migrainosa dari penyakit Meniere.

 Fotofobia, ada kaitan dengan siklus menstruasi, serta


hidung tersumbat di waktu terjadinya serangan 
kemungkinan bahwa vertigo yang terjadi berasal dari
migrainosa, terutama jika terdapat riwayat fluktuasi
pendengaran atau komponen posisional.
 Riwayat migrain pada keluarga  sangat membantu
penegakan diagnosis, begitu juga riwayat serangan jatuh
yang tidak dapat dijelaskan atau sensitivitas gerakan
yang dirasakan ketika pasien masih kecil dulu.

 Yang menarik, prevalensi migrain pada kelompok pasien


dengan penyakit Meniere  lebih tinggi dibandingkan
populasi umum, kemungkinan terdapat suatu kaitan
patofisiologis antara kedua kelainan tersebut.
 Terkadang sulit untuk membedakan kedua kelainan
tersebut pada satu orang pasien, dan keduanya perlu
diterapi bagi tercapainya keberhasilan dalam
pengontrolan vertigo di beberapa pasien.
Patofisiologi

 Dua mekanisme patofisiologis  dihipotesiskan sebagai


penyebab vertigo terkait migrain:
 gangguan elektrik pusat
 disfungsi trigeminovaskuler periferal.

 Penelitian MRI fungsional  depresi penyebaran


sentrifugal aktivitas metabolik yang berasal dari korteks
oksipital selama terjadinya perburukan aura visual.
 Depresi penyebaran kortikal  merepresentasikan
gelombang propagasi homeostatis ionik membran yang
terganggu;

 Sejumlah penelitian  mengaitkan sedikitnya satu


bentuk migrain (migrain hemiplegik familial) dengan
beberapa kemungkinan mutasi (misal, di dalam suatu
gen saluran ion yang ada pada kromosom 19).

 Baloh  tampilan dari sindrom-sindrom migrain yang


lebih umum menyerupai tampilan dari banyak kondisi
gangguan saluran ion yang sifatnya diwariskan.
 Faktor ini  berperan menentukan efikasi pemberian
agen-agen yang menyebabkan terjadinya blokade
saluran ion (misal, ion channel blocker atau beta
blocker)  prevensi dan terapi migrain.

 Penyebaran depresi yang dipicu oleh kondisi defek


saluran ion  tidak hanya dipengaruhi oleh struktur-
kortikal, juga oleh regio batang otak yang letaknya lebih
kaudal.
 Bermacam-macam struktur dapat terpengaruh oleh
aktivitas elektrik abnormal di dalam anatomi batang otak
yang tersusun sangat ketat.

 Keterlibatan dari lemniscus medial (yang dari struktur


tersebut serabut sentuhan dan serabut propioseptif naik
menuju thalamus)  berkontribusi terhadap munculnya
rasa nyeri dan allodynia (hipersensitivitas terhadap
sentuhan) yang dialami oleh para pengidap migrain.
 Keterlibatan serabut-serabut yang berjalan naik pada
sistem pengaktivasi retikuler (berperan mengatur tingkat
kesadaran)  menjelaskan gejala fatigue yang terjadi
selama dan sesudah episode migrain.

 Penyebaran depresi metabolik menuju serabut yang


berjalan turun dari batang otak yang berperan di dalam
fungsi integrator umum sistem vestibularis dan sistem
okulomotor dapat berujung terjadinya gangguan VOR.
 Gangguan elektrik  mempengaruhi kompleks nukleus
vestibularis dan cochlearis  muncul gejala vertigo dan
kehilangan pendengaran.

 Kehilangan pendengaran sensorineural sementara serta


penurunan respons vestibularis  berhasil
didokumentasikan pada pasien-pasien yang mengalami
migrain.
 Mekanisme lain yang dapat menjelaskan munculnya
kondisi disfungsi labirintin  aktivitas sistem eferen
trigeminovaskuler.

 Disfungsi nukleus batang otak trigeminal (kemungkinan


disebabkan terjadinya penyebaran depresi) 
menyebabkan terjadinya sinyal eferen abnormal pada
nervus trigeminus.

 Nervus trigeminus memiliki banyak percabangan di


kepala dan leher  keberadaan serabut eferennya
teramati di area telinga dalam.
 Pelepasan senyawa vasoaktif (peptida terkait gen
kalsitonin dan substansi P) oleh nervus trigeminus 
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi plasma serta
menimbulkan inflamasi aseptik lokal.

 Ekstravasasi plasma dari arteri modiolar spiral 


ditunjukkan sesudah dilakukannya stimulasi ganglion
trigeminus  ada kemungkinan suatu mekanisme
migrainosa dapat secara langsung mempengaruhi fungsi
vestibuler perifer dan kokhlear.
 Hal tersebut dapat menjelaskan sulitnya memisahkan
kasus vertigo migrainosa dari penyakit Meniere
simptomatik  karena efek-efek periferal, misalnya
gangguan trigeminus dapat menyerupai apa yang kita
anggap sebagai penyakit Meniere.
Terapi

 Terapi vertigo migrainosa  cukup berhasil,


menggunakan metode pendekatan secara bertahap:
 dimulai modifikasi diet dan gaya hidup
 selanjutnya dilakukan usaha mengenali agen yang bersifat
profilaksis untuk migrain.

 Perubahan gaya hidup mencakup olahraga dan tidur


teratur, identifikasi dan menghindari pemicu-pemicu
migrain.
 Stres, perubahan hormonal, perubahan tekanan
barometrik dan cuaca  serangan migrain.

 Sejumlah makanan pemicu migrain  bioproduk proses


fermentasi dan pematangan makanan, misalnya
minuman anggur merah, keju yang disimpan lama,
yogurt dan roti dengan peragian  mengandung tiramin
dalam jumlah tinggi.
 Makanan yang mengandung amine (menyerupai
neurotransmitter dalam tubuh sendiri): kafein, nitrat,
dan pengawet lainnya, cokelat, berbagai macam
glutamat (monosodium glutamate)  bersifat memicu
migrain  harus dihindari.

 Untuk gejala yang bersifat konstan (pemicunya tidak


dapat diidentifikasi atau dieliminasi)  penggunaan
obat-obatan yang meningkatkan nilai ambang batas di
atas ambang batas pemicu migrain  harus
dipertimbangkan.
 Obat-obatan profilaksis: calcium channel blocker, beta
blocker, antidepressan (nortriptiline atau venlafaxine),
serta antikonvulsan (sodium valproat, gabapentin, dan
topiramate).

 Obat-obatan profilaksis  dipilih berdasarkan


tolerabilitas efek samping obat terhadap pasien per
individual.
 Manfaat pemberian obat  tampak 6 - 8 minggu
sesudah terapi.

 Tujuan terapi yang realistik  mengurangi frekuensi


serta keparahan gejala sebesar 50% - 70%.

 Untuk serangan migrain yang menetap (meskipun sudah


dilakukan modifikasi diet, gaya hidup dan penggunaan
obat profilaksis)  pemberian obat-obatan migrain di
atas (golongan triptan)  dapat dipertimbangkan.
 Obat-obatan yang bersifat abortif  tidak boleh
digunakan lebih dari enam - delapan kali pemberian tiap
bulannya  efek rebound yang dimilikinya.

 Terapi rehabilitasi vestibular  secara signifikan


memperbaiki status fungsional pasien dengan vertigo
terkait migrain.
Terima Kasih
Mohon Asupan

Anda mungkin juga menyukai