Anda di halaman 1dari 19

TWIN TO TWIN

TRANSFUSION SYNDROME
dr. M. Haidir, Sp.OG
PENDAHULUAN

 Kurang dari 1% dari kembar identik (sekitar 1 dari


2400 kehamilan) akan menghasilkan satu membran
ketuban dan satu plasenta bagi kedua janin. Tipe ini
disebut monochorionic.
 Pada sebagian besar kehamilan ini, plasenta tunggal
akan memiliki pembuluh darah yang akan
menghubungkan kedua janin.
 Pada15%-20% dari monochorionic twins aliran darah
yang melalui pembuluh darah ini menjadi tidak
seimbang menghasilkan kondisi yang disebut twin-twin
transfusion syndrome (TTTS).
Monozygotic
(monochorionic, diamniotic)
 Pada TTTS, janin yang lebih kecil (disebut janin donor) tidak
mendapatkan aliran darah yang mencukupi sedangkan
janin yang lebih besar (disebut janin resipien) menjadi
overloaded karena terlalu banyak aliran darah.
 Adanya transfusi yang tidak seimbang diantara keduanya
oleh karena anastomosis arteri-vena yang berjalan satu
arah, dengan ketidakmampuan atau tanpa adanya
kompensasi pada sepanjang anastomosis dua arah,
sehingga menghasilkan up-regulation dari sistem renin-
angiotensin pada donor dan down-regulation pada
resipien.
 Salah satu bagian plasenta akan terlihat lebih pucat di
bandingkan yang lainnya.
Anastomosis kedua janin
PREVALENSI
Angka kejadian TTS berkisar antara 4% - 35%
dari seluruh kehamilan kembar monochrion dan
menyebabkan kematian pada lebih dari 17%
dari seluruh kehamilan kembar.
PATOFISIOLOGI
 TTTS kronis dihasilkan dari aliran searah melalui
anastomosis arteriovenosa.
 Darah yang dideoksigenasi (donor) dari arteri plasenta
dipompa ke kotiledon yang dibagi dengan resipien.
 Setelah pertukaran oksigen selesai di vilus korionik,
darah yang teroksigenasi meninggalkan kotiledon
melalui vena plasenta dari kembar resipien.
 Kecuali jika dikompensasi, biasanya melalui
anastomosis arterioarterial — aliran searah ini
menyebabkan ketidakseimbangan volume darah.
 TTTS kronis dan ada perbedaan volume vaskular yang
signifikan antara si kembar.
 Namun, pada kehamilan kembar monochorionic yang
dipersulit oleh sindrom ini, tidak ada perbedaan dalam
konsentrasi hemoglobin antara si janin donor dan si
janin penerima.
 Sindrom ini muncul pada pertengahan kehamilan di
mana janin donor menjadi oliguria akibat penurunan
perfusi ginjal dengan oligohidramnion dan janin
penerima menunjukkan polihidramnion karena
peningkatan produksi urin.
KLASIFIKASI
Twin to twin transfusion syndrome juga dapat diklasifikasi
menjadi akut dan kronik berdasarkan patofisiologi,
gambaran klinis, morbiditas dan mortalitas janin.
1. Tipe akut terjadi jika transfusi darah secara akut/tiba-
tiba dari satu janin ke janin yang lain, biasanya pada
trimester III atau selama persalinan dari kehamilan
monokorionik yang tidak berkomplikasi.
2. Tipe kronik terjadi pada kehamilan dini (Umumnya
kehamilan 12-26 minggu). Kasus tipe ini merupakan yang
paling bermasalah karena bayinya masih immatur dan
tidak dapat dilahirkan, sehingga dalam pertumbuhan di
utrerus dapat terjadi kelainan seperti hydrops.
DIAGNOSA
TTTS merupakan kondisi dengan perjalanan yang lambat,
dengan dimulai (dilaporkan) pada umur kehamilan 13
minggu atau trimester kedua. Diagnosis ditegakkan dengan
evaluasi ultrasonografi. Berdasarkan ultrasonografi, TTTS
dibagi menjadi 5 klasifikasi, yaitu:
 Stage I : awal dari TTTS akan tampak pada pemeriksaan
ultrasonografi terdapat oligohidramnion pada janin donor
dengan MVP 2cm atau kurang, vesika urinaria masih
tampak dan polihidramnion pada janin resipien MVP 8 cm
atau lebih.
 Stage II : stage I dengan vesika urinaria janin donor yang
tidak tampak.
 Stage 3 : Kembar yang mendonor maupun kembar
yang resipien punya gambaran aliran darah yang
abnormal yang diketahui menggunakan alat yang
dapat menilai aliran darah (Doppler scans).
 Stage 4 : Stage ini ditandai dengan perkembangan
dari heart failure atau fetal hydrops
(pembengkakan yang abnormal disebabkan
akumulasi cairan yang berlebihan) pada resipien.
 Stage 5 : Kedua janin meninggal.
PENATALAKSANAAN
Pada Twin to Twin Transfusion Syndrome stage 1, ibu
boleh saja tidak diberikan treatment dan
kemungkinan kondisi bayi akan stabil bahkan
meningkat baik. Namun kehamilan harus tetap di
monitor dan bila TTTS menjadi berat, maka dokter
dapat memberikan intervensi yang
direkomendasikan, contohnya :
1. Reduction amniocentesis
Amniocentesis secara serial
untuk mengurangi jumlah air
ketuban yang berlebihan dari
kantung amnion janin resipien
dengan menggunakan jarum
melewati dinding perut ibu.
Tindakan ini sementara waktu
dapat mengembalikan
keseimbangan dalam jumlah
air ketuban pada kedua
kantung amnion janin dan
dilakukan pada TTTS stadium
1-2 yang timbul pada akhir
kehamilan. Prosedur ini tidak
efekti pada TTTS stadium 3-4.
2. Septostomy atau
microseptostomy
Septostomy adalah
tindakan untuk membuat
lubang pada membran
diantara membran ketuban
kedua janin dengan
menggunakan jarum.
Lubang ini akan
menyebabkan perpindahan
cairan dari kantung ketuban
dengan jumlah air ketuban
yang berlebihan (resipien)
ke kantung ketuban dengan
jumlah sedikit (donor).
3. Selective laser ablation
of the placenta
anastomosis vessels
Pada TTTS stadium II
atau lebih, tindakan
ablasi laser pada
pembuluh darah pada
plasenta yang
menghubungkan kedua
janin dapat
merupakan tindakan
kuratif
4. Selective cord coagulation
Prosedur selective cord
coagulation ini dilakukan jika
ablasi dengan laser tidak
dimungkinkan atau jika salah
satu dari janin dalam kondisi
mendekati kematian. Dengan
menghentikan aliran darah
pada tali pusat janin yang
sekarat, janin lainnya dapat
terlindungi dari konsekuensi
kematian saudaranya. Prosedur
ini dilakukan dengan
menggunakan forcep khusus
yang dimasukkan kedalam
kantung ketuban janin resipien
dengan panduan
ultrasonografi
5. Radio frequency ablation
Prosedur ini dilakukan
untuk kondisi sindroma
TRAP. Tali pusat dari
janin dengan acardiac
biasanya sangat pendek
dan sulit ditemukan
dengan ultrasonografi
sehingga sulit untuk
menghentikan aliran
darah ke jantung janin
dengan cara koagulasi
tali pusat
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai