Anda di halaman 1dari 27

Hukum Pidana

Yulyfa Kurnia Dwinanda


1810112099
TINDAK PIDANA
(STRAFBAARFEIT)
• Percobaan ( Pogging )
 Pembentuk UU tidak memberikan penjelasan tentang apa yang
dimaksud percobaan (poging).
 Hanya merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
 Syarat-syarat dimaksud:
1. adanya suatu maksud;
2. telah ada suatu permulaan pelaksanaan;
3. tidak selesai disebabkan hal-hal diluar kemauannya.
 Syarat-syarat tersebut dirumuskan dalam Pasal 53 ayat (1)
KUHP.
 Pasal 53 (1) KUHP: percobaan melakukan kejahatan dipidana jika niat
untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak
selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri.
 Memorie van Toellichting (MvT) : telah dimulainya perbuatan (tindakan),
tetapi tidak atau belum selesai tindakan pelaksanaan kejahatan, atau telah
dinyatakan niatnya untuk melakukan suatu kejahatan tertentu dengan
permulaan (tindakan) pelaksanaan.
 Pasal 53 (2) KUHP: maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam
hal percobaan dikurangi sepertiga;
 Pasal 53 (3) KUHP: jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15
tahun.
 Pasal 53 (4) KUHP: pidana tambahan bagi percobaan sama dengan
kejahatan selesai.
 Pasal 54 KUHP: percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana.
 Pasal 56 KUHP : Pembantu (medeplictig) dari suatu
tindak pidana, adalah:
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu
kejahatan dilakukan;
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana
atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
 Pasal 60 KUHP: membantu melakukan pelanggaran
tidak dipidana.
Ada beberapa pengecualian, yakni:
1. Percobaan tindak pidana perkelahian satu lawan
satu, (Pasal 184 ayat 5 KUHP);
2. Percobaan tindak pidana penganiayaan ringan,
(Pasal 351 ayat 5 dan 352 ayat 2 KUHP);
3. Percobaan tindak pidana penganiayaan binatang;
• PENYERTAAN (DEELNEMING)
 Pasal 55 KUHP : pembuat atau pelaku (dader) dari suatu tindak
pidana, adalah:
1. ereka yang melakukan (plegen), yang menyuruh lakukan
(doen plegen) dan yang turut serta melakukan perbuatan
(medeplegen);
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu,
dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, sarana atau
keterangan sengaja menggerakkan (uitlokken) orang lain
supaya melakukan perbuatan;
Bentuk-bentuk deelneming :
1. Plegen, atau melakukan kejahatan, dan orangnya disebut “pleger”
2. Doen plegen; atau menyuruh melakukan kejahatan; dan orangnya
disebut “doen pleger”
3. Mede plegen; atau turut serta melakukan kejahatan, dan olrangnya
disebut “mede pleger”
4. uitlokken; atau digerakkan atau dibujuk melakukan kejahatan; dan
orangnya disebut “uitlokker”.
5. medeplichtig; atau membantu melakukan kejahatan, dan orangnya
disebut “mede dader”.
 Dalam doenplegen: terdapat seorang yang menyuruh orang lain melakukan
suatu tindak pidana, dan orang lain yang disuruh melakukan.
 Yang menyuruh: middelijke dader (pelaku tidak langsung) atau disebut juga
“manus domina” , dan yang disuruh disebut “materiele dader” atau pelaku
materiel, atau disebut juga “manus ministra”.
 Secara yuridis “manus ministra” adalah orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, atau tidak dapat dihukum, karena
mereka hanyalah alat belaka, dan pada dirinya terdapat hal-hal yang
merupakan alasan pemaaf.
• Ada dua bentuk pertanggungjawaban pidana bagi “doenpleger” (actor
intelectualis), yaitu:
1. Hanya bertanggung jawab sebatas pada perbuatan yang nyata-nyata
dilakukan oleh “actor materialis” , walaupun perbuatan yang diinginkan oleh
“doenpleger” lebih dari apa yang telah terjadi (dilakukan);
2. Hanya bertanggung jawab sebatas pada perbuatan yang benar-benar
disuruhnya, walaupun dalam kenyataan “actor materialis” yang
melaksanakan suruhannya telah berbuat jauh lebih dari yang disuruhnya itu.
 Dalam medeplegen: terdapat seorang pelaku (pleger) dan seorang
atau lebih pelaku yang turut melakukan (medepleger).
 Masing-masing mereka benar-benar telah bekerja-sama dalam
melakukan kejahatan, dan kerjasama itu adalah sesuatu yang telah
disepakati sebelumnya.
• GABUNGAN TINDAK PIDANA
(Samenloop van strafbare faiten)

Disebut juga dengan istilah Perbarengan.


Samenloop terjadi dalam hal seseorang melakukan lebih dari satu
tindak pidana, dan belum satupun antara tindak pidana-tindak
pidana tersebut yang dijatuhi hukuman oleh hakim.
Hukum pidana menentukan adanya tiga bentuk “samenloop”, yaitu:
1. Eendaadse samenloop (concursus idealis);
2. Meerdaadse samenloop (concursus realis);
3. Voortgezette handeling.
Meerdaadse Samenloop:
Seseorang melakukan beberapa
Eendaadse Samenloop :
perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan
Dengan melakukan satu perbuatan,
merupakan tindak pidana sendiri-sendiri
seseorang melanggar lebih dari satu
dan melanggar beberapa aturan pidana.
aturan pidana.
Pasal 65 KUHP:
Disebut juga perbarengan aturan
1) Dalam hal perbarengan
Pasal 63 KUHP:
beberapa perbuatan yang harus
1) jika suatu perbuatan masuk
dipandang sebagai perbuatan
dalam lebih dari satu aturan
yang berdiri sendiri, sehingga
pidana, maka yang dikenakan
merupakan beberapa
hanya salah satu di antara
kejahatan, yang diancam
aturan-aturan itu; jika berbeda-
dengan pidana pokok yang
beda yang dikenakan yang
sejenis, maka dijatuhkan hanya
memuat ancaman pidana pokok
satu pidana.
paling berat.
2) Maksimum pidana yang
2) jika suatu perbuatan masuk
dijatuhkan ialah jumlah
dalam suatu aturan pidana yang
maksimum pidana yang
umum, diatur pula dalam aturan
diancamkan terhadap
pidana yang khusus, maka
perbuatan itu, tetapi tidak boleh
hanya yang khusus itulah yang
lebih dari maksimum pidana
diterapkan.
yang terberat ditambah
sepertiga.
• PENGULANGAN (RECIDIVE)
Diatur dalam Pasal 486 – 488 KUHP, dan merupakan dasar
pemberatan pidana.
Alasan recidive sebagai dasar pemberatan pidana adalah, bahwa
orang yang telah dijatuhi pidana itu kemudian kembali melakukan
perbuatan pidana, maka orang itu telah membuktikan tabiatnya yang
kurang baik
Recidive : seseorang melakukan perbuatan pidana dan terhadap
perbuatan itu ia telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim, namun
dalam jangka waktu tertentu setelah menjalani pidananya ia kembali
melakukan perbuatan pidana.
Voortgezette Handeling:
• Perbuatan berlanjut.
• Seseorang melakukan beberapa perbuatan, tapi antara perbuatan yang
satu dengan perbuatan yang lainnya masing-masing saling berhubungan
erat, sehingga harus dianggap sebagai perbuatan berlanjut.
• Dikenakan satu aturan pidana; dan jika berbeda-beda yang dikenakan
adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
• Hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang melakukan pemalsuan
mata uang atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang
dipalsu atau yang dirusak.
Beda recidive dengan samenloop.
Recidive: 1) beberapa perbuatan; 2) diselingi oleh adanya
putusan hakim yang tetap; 3) tidak diadili sekaligus.
Samenloop”, 1) beberapa perbuatan; 2) belum ada
putusan hakim yang tetap; 3) diadili sekaligus.
Terdapat 3 bentuk recidive, yaitu:
1. General recidive; perbuatan tidak sejenis.
2. Special recidive; perbuatan sejenis
3. Tussen stelsel : merupakan perbuatan pidana yang
termasuk ke dalam golongan tertentu menurut
undang-undang.
Ajaran tentang Sebab Akibat
(Causaliteitsleer)
 Suatu peristiwa atau kejadian tidaklah terlepas dari adanya
rangkaian hubungan sebab dan akibat. Demikian pula dengan
peristiwa atau perbuatan yang disebut tindak pidana (delik).
 Hubungan kausalitas ini penting bagi tindak pidana yang
dirumuskan secara materil (delik materil).
 Tapi juga penting juga bagi delik-delik yang dikualifisir oleh
akibatnya, yakni karena timbulnya suatu akibat tertentu, ancaman
pidana terhadap delik tersebut diperberat.
 Misalnya: penganiayaan biasa Pasal 351 (1) KUHP : penjara 2
tahun 8 bulan. Penganiayaan yang menimbulkan luka berat Pasal
351 (2) KUHP: diperberat menjadi 5 tahun. Kalau mengakibatkan
kematian Pasal 351 (3) KUHP: 7 tahun.
 Ajaran kausalitas ini pada umumnya
mempermasalahkan:
1. seberapa jauh suatu tindakan itu dapat dipandang
sebagai penyebab dari suatu keadaan;
2. seberapa jauh suatu keadaan itu dapat dipandang
sebagai suatu akibat dari suatu tindakan;
3. sampai dimana seorang yang telah melakukan
tindakan tersebut dapat diminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.
 Undang-undang tidak memberikan penjelasan.
 Ilmu pengetahuan telah mengajarkan adanya berbagai
ajaran atau teori tentang kausalitas.
Alasan-alasan penghapus pidana
Alasan-alasan penghapus pidana Di luar orang:
Di dalam diri orang:
1. Daya paksa (overmach : Pasal
1. Pertumbuhan jiwa yang tidak 48 KUHP)
sempurna atau terganggu 2. Pembelaan terpaksa (Pasal
karena penyakit (Pasal 44 49)
KUHP) 3. Melaksanakan UU (Pasal 50)
2. Umur yang masih muda 4. Melaksanakan Perintah
Jabatan ( Pasal 51)
ALASAN PENGHAPUS PIDANA

1. Alasan penghapus
1.Alasan dlm diri pelaku pidana umum (KUHP)
2.Alasan di luar diri pelaku 2. Alasan penghapus
yang khusus (diluar KUHP)

Pembagian menurut Doktrin:


1. Alasan Pembenar
2. Alasan Pemaaf
Alasan Pemaaf :

1. Pasal 44 KUHP: Tidak mampu


Alasan Pembenar : bertanggungjawab
2. Pasal 48 KUHP: Keadaan
1. Pasal 49 ayat (1): Pembelaan
Darurat/Overmacht
Terpaksa/Noodweer
3. Pasal 49 ayat (2) KUHP:
2. Pasal 50: Menjalankan Peraturan
Pembelaan Terpaksa yang
PerUUan
melampaui batas (Noodweer
3. Pasal 51 ayat (1) KUHP:
Exces)
Menjalankan Perintah Jabatan
4. Pasal 51 ayat (2) KUHP:
Melakukan Perintah Jabatan yang
tidak sah
• Alasan Penghapus pidana yang
Alasan penghapus pidana khusus:
yang umum: 1. Pasal 166 KUHP
(Pengecualian karena tidak
alasan penghapus pidana yang melaporkan pemufakatan jahat
/ mengetahui ada pelaku makar
berlaku bagi semua tindak
yang hendak melarikan diri)
pidana (delik)
2. Pasal 221 ayat (2) KUHP
1. Pasal 44 KUHP (Pengecualian
2. Pasal 48 s/d Pasal 51 menyembunyikan pelaku tindak
KUHP pidana, membinasakan barang
bukti)
KEMAMPUAN BERTANGGUNG
JAWAB

 Simons : jika jiwanya sehat yaitu: mampu mengetahui atau


menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum, dan
dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran
tersebut.
 Van Hamel: suatu keadaan normalitas psichis dan kematangan
(kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan: ia mampu mengerti
nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri; mampu menyadari,
bahwa perbuatannya tidak diperbolehkan; mampu untuk
menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.
• DAYA PAKSA DALAM BENTUK
KEADAAN DARURAT
 Keadaan Darurat adalah daya paksa yang datang dari luar
perbuatan orang.
 Jenis Keadaan Darurat :
a. perbenturan antara dua kepentingan;
b. perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum;
c. perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban
hukum.
 KUHP tidak mengatur Keadaan Darurat
 Keadaan darurat ada yang menyebut sebagai alasan pembenar
(Simons).
Pasal 49 (1) KUHP Pembelaan Terpaksa
(Noodweer)
Isi Pasal 49 (1) KUHP “ Barang siapa terpaksa melakukan
perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau
ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum,
terhadap diri sndiri atau orang lain, terhadap kehormatan
kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain, tidak
dipidana.”
Syarat-syarat Pembelaan Darurat:
1. ada serangan ( seketika, yang langsung
mengancam, melawan hukum, sengaja ditujukan
pada badan, kesopanan dan harta benda;
Pembelaan Terpaksa yang melampauan batas
(Noodweer Exces)
Diatur dalam Pasal 49 (2): “Pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau
ancaman serangan itu, tidak pidana.
Syarat- syarat Pembelaan darurat:
1. kelampauan batas pembelaan yg diperlukan;
2. pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung
dari kegoncangan jiwa yang hebat. (hati yang
panas);
3. kegoncangan jiwa sehat itu disebabkan karena
adanya serangan, jadi antara kegocangan jiwa
dengan serangan harus ada hubungan kausal.
Penafsiran dalam Hukum Pidana
• Tidak ada satupun UU yang sempurna, karena rumusan undang-
undang itu adalah suatu pernyataan kehendak pembuatnya, dan
tidak tertutup kemungkinan kehendak itu tidak dinyatakan secara
tepat dan jelas.

• Oleh karena itu, setiap UU memerlukan penafsiran;Penafsiran yang


baik & tepat akan membuat UU itu diterapkan secara baik dan
dapat memberikan kepuasan bagi masyarakat; Demikian pula
sebaliknya.

• Diperlukan penafsiran (interpretasi) UU; tapi tidak boleh dilakukan


sewenang-wenang. Ilmu pengetahuan hukum telah mengajarkan
banyak metode yang dapat digunakan untuk menafsirkan undang-
undang.
JENIS-JENIS PENAFSIRAN

Penafsiran Otentik: penjelasan undang-undang.


Penafsiran Gramatika: arti kata menurut tata bahasa
Penafsiran Sistematis: sistematika dalam undang-undang
Penafsiran Historis : sejarah pembentukan undang-undang dan menurut
sejarah hukum.
Penafsiran Teleologis (sosiologis); sesuai dengan tujuan pembentukan
undang-undang.

Penafsiran Logis ; hal yang masuk akal;


• Penafsiran a contrario; pengertian sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai