Anda di halaman 1dari 46

PROPOSAL

Perbedaan Derajat Astigmatisme Sebelum dan Sesudah


Fakoemulsifikasi pada Pasien Katarak yang Ditangani di
Sumatera Eye Center Samarinda

Lenny Sulystio
1210015049

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2016
BAB 1 PENDAHULUAN: LATAR BELAKANG

Katarak Kekeruhan pada lensa mata sehingga


menyebabkan masuknya cahaya ke mata
menjadi terganggu (WHO, 2014).

- Individu usia lanjut - Trauma


- Pajanan lingkungan - Inflamasi
- Pengaruh – pengaruh lain - Penyakit tertentu
- Kongenital (James & Bron, 2011)
BAB 1 PENDAHULUAN: LATAR BELAKANG (lanj.)

Prevalensi •• Urutan
Prevalensi kebutaan
pertama tertinggi
penyebab di
kebutaan
Asia Tenggara
terbanyak berada
di seluruh di Indonesia
dunia
(1,5%).
• 20,5 juta penduduk Amerika diatas
•40 52%
tahun dari jumlah kebutaan
mengalami tersebut
dikarenakan katarak.
karena katarak di tahun 2000.
• Prevalensi katarak di Kalimantan
Timur mencapai 2,0 %.

(WHO, 2010) (The Eye Diseases Prevalence Research Group, 2004)


(PERDAMI, 2013) (Riskesdas, 2013).
BAB 1 PENDAHULUAN: LATAR BELAKANG (lanj.)

• Bedah katarak merupakan pilihan satu – satunya


dalam mengatasi katarak.
• Diindikasikan ketika opasitas lensa telah mencapai
suatu derajat tertentu yang menyebabkan penglihatan
terganggu.
• 4 teknik : ICCE, ECCE, SICS, fakoemulsifikasi.

• Pilihan utama : fakoemulsifikasi.


(James & Bron, 2011) (Kanski & Bowling, 2011) (Semmens, et al., 2003) (Gogate,
2010)
BAB I PENDAHULUAN: LATAR BELAKANG (lanj.)

• Ekspektasi pasien akan penglihatan yang membaik


setelah bedah katarak terhalang oleh adanya
astigmatisme pra bedah dan SIA.
• SIA merupakan besarnya derajat astigmatisme yang
ditimbulkan sebagai efek dari pendataran aksis kornea
yang curam akibat adanya pembuatan suatu insisi.
• SIA dipengaruhi oleh panjang, lokasi insisi.
(Khanzada, et al., 2013) (Susic, Brajkovic, & Kalauz-Surac, 2007; Dewey, et al.,
2014).
BAB I PENDAHULUAN: LATAR BELAKANG (lanj.)

Ukuran insisi Lokasi insisi


• Insisi ukuran 3 mm • Perbedaan derajat SIA
menginduksi astigmatisme <
tidak signifikan antara
insisi ukuran 2,5 mm dan 3,5
insisi superonasal dan
mm.
superotemporal (0,23 D).
• Penelitian lain : insisi ukuran
• Penelitian lain : 0,81 D
2,2 mm < astigmatismenya
dibandingkan 3,0 mm (temporal) & 0,92 D
(nasal).
Moon, Mohammed, & Fine, 2007) (Masket, Wang, & Belani, 2009) (Susic, Brajkovic,
& Kalauz-Surac, 2007) (Yoon, et al., 2013).
BAB 1 PENDAHULUAN: RUMUSAN MASALAH

Apakah terdapat perbedaan derajat astigmatisme


sebelum dan setelah fakoemulsifikasi pada
pasien katarak yang ditangani di SMEC
Samarinda?
BAB 1 PENDAHULUAN: TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
derajat astigmatisme sebelum dan setelah
fakoemulsifikasi pada pasien katarak yang ditangani
di SMEC Samarinda
BAB 1 PENDAHULUAN: TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Khusus
• Mengetahui derajat astigmatisme pasien katarak sebelum
fakoemulsifikasi yang ditangani di SMEC Samarinda.
• Mengetahui derajat astigmatisme pasien katarak setelah
fakoemulsifikasi yang ditangani di SMEC Samarinda.
• Menganalisis perbedaan derajat astigmatisme sebelum dan
setelah fakoemulsifikasi pada pasien katarak yang ditangani di
SMEC Samarinda.
BAB 1 PENDAHULUAN: MANFAAT PENELITIAN

• Manfaat Bagi Tenaga Medis


Memberikan informasi kepada tenaga kesehatan
mengenai perbedaan derajat astigmatisme sebelum dan
setelah fakoemulsifikasi pada pasien katarak yang
ditangani di SMEC Samarinda sehingga memudahkan
evaluasi terhadap kondisi mata pasien guna menerapkan
penatalaksanaan yang tepat sehingga morbiditas pasca
bedah dapat dihindarkan.
BAB 1 PENDAHULUAN: MANFAAT PENELITIAN

• Manfaat Bagi Ilmiah

1. Memberikan informasi guna menambah ilmu


terutama pada bidang ilmu penyakit mata

2. Informasi hasil penelitian dapat digunakan sebagai


data acuan penelitian – penelitian berikutnya.
BAB 1 PENDAHULUAN: MANFAAT PENELITIAN

•Manfaat Bagi Masyarakat


Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai
perbedaan derajat astigmatisme sebelum dan setelah
fakoemulsifikasi pada pasien katarak yang ditangani di
SMEC Samarinda sehingga masyarakat mengetahui
efek bedah katarak terutama fakoemulsifikasi terhadap
mata khususnya pada kornea.
BAB 1 PENDAHULUAN: MANFAAT PENELITIAN

• Manfaat Bagi Peneliti


1. Sebagai sarana dalam memberikan wawasan yang
baru, terutama tentang katarak, bedah katarak dan
astigmatisme.
2. Sebagai sarana pengaplikasian ilmu yang telah didapat
peneliti terutama pada bidang ilmu penyakit mata.
3. Menambah wawasan peneliti dalam melakukan
penelitian analitik dengan baik dan benar.
4. Sebagai pemenuhan syarat tugas akhir dalam meraih
gelar sarjana kedokteran.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
LENSA

• Struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna


dan hampir transparan sempurna (Riordan-
Eva, Whitcher, 2009).
• Terdiri atas 2 permukaan, anterior dan
posterior (Khurana, 2007).
• Media refraksi dan akomodasi (Riordan-Eva,
Whitcher, 2009).

(James & Bron, 2011)


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
KORNEA

(Dua, Faraj,
(James
Said,&Gray
Bron,&2011)
Lowe, 2013).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
KORNEA

Kornea merupakan
Kornea memiliki 6selaput bening
lapisan,yaitu
pada mata
epitel, yang Bowman,
membran dapat ditembusi
stroma,
cahaya Dua,
lapisan dan menutupi
membran bola mata
Descemet,
sebelah
dan anterior (Ilyas & Yulianti,
endotel.
2014).
Kornea memiliki 2 fungsi utama
Diameter : 11,5 – 12media
horizontal sebagai
yaitu bertindak mm,
lebih
refraksibesar 1 dan
mayor mm melindungi
dari diameter
isi
vertikal (DelMonte & Kim, 2011).
intraokular.

(Ilyas & Yulianti, 2014) (Dua, Faraj, Said, Gray & Lowe, 2013) (Khurana, 2007).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
KATARAK
DEFINISI
Lensa kristalina merupakan struktur yang transparan. Namun
transparansi dari lensa ini bisa terganggu akibat adanya suatu proses
degeneratif yang mengarah ke opasifikasi serat – serat lensa.
Perkembangan opasitas lensa ini dikenal sebagai katarak (Khurana,
2007).

(Ilyas & Yulianti, 2014) (Dua, Faraj, Said, Gray & Lowe, 2013) (Khurana, 2007).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
KATARAK

ETIOLOGI
Kekeruhan pada lensa dapat terjadi akibat hidrasi atau
penambahan cairan pada lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi
akibat kedua – duanya. Katarak umumnya merupakan penyakit pada
usia lanjut, namun bisa juga terjadi akibat kelainan kongenital,
komplikasi penyakit mata lokal yang kronis, penyakit – penyakit mata
lain, serta kelainan sistemik atau metabolik (Ilyas & Yulianti, 2014).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
KATARAK

KLASIFIKASI
Berdasarkan
Berdasarkan stadiumnya, katarak dibagi
etiologinya, katarak dibagi menjadi
menjadi 2:
4:
1.
1. Stadium imatur
Katarak kongenital
2.
2. Stadium intumesen
Katarak didapat
3. Stadium matur
Berdasarkan morfologinya, katarak dibagi menjadi 6:
4. Stadium
Katarak hipermaturKatarak
kapsular dan morgagni
supranuklear
Katarak subkapsular Katarak nuklear
Katarak kortikal Katarak polar

(Ilyas & Yulianti, 2014) (Dua, Faraj, Said, Gray & Lowe, 2013) (Khurana, 2007).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
KATARAK

EPIDEMIOLOGI

• 285 milyar orang di seluruh dunia mengalami gangguan penglihatan


pada tahun 2010, dengan 33% diantaranya disebabkan oleh katarak.
• Katarak lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria.
• Terdapat hubungan yang kuat antara usia dengan terjadinya katarak.
• Katarak kortikal lebih sering terjadi pada masyarakat Afrika-Amerika
dan Karibia dibandingkan dengan masyarakat Kaukasia. Insiden katarak
nuklear dan subkapsular posterior lebih rendah pada masyarakat Afrika-
Amerika.

(Pascolini & Mariotti, 2011) (Theodoropoulou, et al., 2011) (West, 2007)


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
KATARAK
PATOGENESIS
Patogenesis katarak belum sepenuhnya dimengerti. Walaupun
demikian, pada lensa yang mengalami katarak, terdapat perubahan protein
lensa berupa agregat – agregat protein yang menghamburkan cahaya dan
mengurangi transparansi dari lensa. Selain itu, terjadi perubahan warna
lensa menjadi kuning atau coklat. Temuan lain pada lensa antara lain
adanya vesikel – vesikel di antara serat – serat lensa dan pembesaran sel
epitel yang berlebihan. Sejumlah faktor diduga memicu pembentukan
katarak, antara lain zat radikal bebas, sinar UV hingga malnutrisi
(Riordan-Eva & Whitcher, 2009).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
KATARAK
TANDA DAN GEJALA
1. Gejala
Gangguan penglihatan seperti merasa silau, berkabut atau berasap,
sukar melihat di malam hari atau saat penerangan redup, melihat
ganda, melihat warna terganggu, melihat halo di sekitar cahaya, serta
penglihatan menurun (Ilyas & Yulianti, 2014).
2. Tanda
Berkurangnya tajam penglihatan, pupil berwarna abu – abu,
vesikel – vesikel kecil dibawah kapsul lensa anterior .

(Ilyas & Yulianti, 2014) (Galloway, Amoaku, & Browning, 2006).


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
KATARAK
PEMERIKSAAN

Tajam
Pemeriksaan
penglihatan
kornea
: diperiksa
: pakimetri
dengan
dapatmenggunakan
digunakan untuk
kartu
menilaikatarak,
Menentukan adanya selSnellen
endotelial
. kornea.
mengkonfirmasi bahwa katarak
adalah
Biometrifaktor
Pemeriksaan signifikan
memfasilitasi
fundus yanglain
: Penyakit
perhitunganberkontribusi
seperti
kekuatan terhadap
degenerasi
yang lensa gangguan
makular
yang
terkait
kemungkinan
visual dan menghasilkan
bisa– gejala
usiagejala mempengaruhi
refraktif
yang hasil
pasca akhir
dideskripsikan bedah
oleh visual.
yang dan
pasien
Cover test : Adanya
Ultrasonografi
diinginkan; padabisa heterotropia
dasarnya
dibutuhkan bisa
biometri mengindikasikan
terutama
melibatkan ambliopia,
untuk pengukuran
mengeksklusi 2
yang perlu diperhatikan
mengidentifikasi kondisi dalam atau
okular prognosis
sistemik penglihatan
lainmata atau saja
yangaksial
bisa
terlepasnya
parameter retina
okular,dan keratometri
stafiloma, terutama
dan panjang
pada yang
kemungkinan diplopia jika penglihatan meningkat
sangat
(anteroposterior)
opak sehingga
berkontribusi terhadaptakgangguan
bisa dilakukan
visual,funduskopi.
mempengaruhi rencana
pembedahan katarak atau prognosis (AAO, 2011).
Status refraktif
Respon pupil : :Katarak
perlu diketahui
tidak pernah
sebelum
menghasilkan
dilakukan defek
bedah pada
dan
pupil aferen
pasca bedah

(Kanski & Bowling, 2011).


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
KATARAK
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan katarak dilakukan dengan pembedahan, yaitu
ICCE, ECCE, SICS dan fakoemulsifikasi

•SICS
ICCEsering
dilakukan dengan
digunakan mengambil
sebagai seluruh
pengganti lensa di dimana
dalam
fakoemulsifikasi di
ECCE dilakukan dengan mengambil lensa dari kapsulnya,
Fakoemulsifikasi merupakan tindakan bedah modern yang merupakan
kapsul
kapsul lensa
negara
bagian
yangtertahan
– negara
tersebut
dari ECCE,
intak.
berkembang sebab
di dalam
menggunakan kurangnya
mata
mesin operator
dan bertindak
canggih bedah
sebagai
untuk memecah
•yang
Tidak dilakukan
terlatih di
dansegmennegara – negara
infrastruktur yang maju karena penglihatan
nukleus
pembatas lensa menjadi
antara suatu campuran
anterior dan layak.
emulsi Padajuga
dan potongan
posterior, SICS, insisi
– biasanya
potongan
pasca
kecil
sebesarbedah
yang
membentuk mmburuk
6 dapat dan komplikasi
diaspirasi
dibuat
suatu lokasi melalui
diluar
untuklimbus.tinggi.
sistem
implantasilumen dualpengganti.
Robekan
lensa aspirasi-irigasi.
dibuat di kapsul
anterior dan porsi katarak yang keras (nukleus) dikeluarkan
melalui insisi ini.

(Allen & Vasavada, 2006).


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
KATARAK
KOMPLIKASI
1. Hilangnya vitreus
2. Prolaps iris
3. Endoftalmitis
4. Edema makular kistoid
5. Retinal detachment
6. Opasifikasi kapsul posterior
7. Iritasi dan infeksi jahitan

James & Bron, 2011).


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
ASTIGMATISME
DEFINISI

Astigmatisme merupakan tidak ratanya kurvatura dari permukaan


refraktif mata sehingga mengakibatkan titik sumber cahaya tidak bisa
dibawa untuk difokuskan ke retina tetapi malah menyebar ke area yang
relatif difus (Dorland, 2010).

ETIOLOGI

Penyebab umum astigmatisme ialah kelainan bentuk dari


media refraksi baik kornea maupun lensa (Riordan-Eva &
Whitcher, 2009).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
ASTIGMATISME
KLASIFIKASI
Astigmatisme dibagi lagiastigmatisme
menjadi beberapa jenis berdasarkan
Berdasarkan bentuknya, dibagi menjadi 2 bentuk,
posisi
yaitu : – posisi garis fokus ke retina, yaitu:
1. Simple astigmatism:
1. Astigmatisme ireguler satu meridian tergolong emetropik,
2. meridian yang reguler
lain miopia atau hiperopia.
Astigmatisme
2. a.
Compound astigmatism:
astigmatism against thekedua
rule meridian miopia atau hiperopia.
3. b. astigmatism: satu
Mixed
astigmatism with the rulemeridian tergolong miopia, meridian
yang lain hiperopia.

(Ilyas & Yulianti,


(Kolker, 2014) 2014) (Riordan-Eva, Whitcher, 2009)
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
ASTIGMATISME
EPIDEMIOLOGI
• 13% dari seluruh kesalahan refraktif yang ditemukan pada mata
manusia.
• Prevalensi astigmatisme antara wanita dan pria tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan.
• Semakin meningkatnya usia, prevalensi astigmatisme juga
semakin meningkat.

(Kaimbo, 2012) (Pan, et al., 2013; Anton, et al., 2009).


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
ASTIGMATISME
PATOGENESIS
Pada astigmatisme, berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan
tajam pada retina, namun pada 2 titik fokus yang saling tegak lurus akibat
adanya kelainan kelengkungan permukaan kornea. Pada astigmatisme regular,
kekuatan pembiasan secara bertahap bertambah atau berkurang dari satu
meridian ke meridian lain. Akibatnya, bayangan yang terjadi membentuk
bentukan yang teratur sehingga dapat berbentuk garis, lonjong atau lingkaran.
Pada astigmatisme ireguler, kekuatan pembiasan berbeda – beda pada tiap
meridian karena adanya kelengkungan yang berbeda – beda pada meridian
tersebut (Ilyas & Yulianti, 2014).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
ASTIGMATISME
TANDA DAN GEJALA
1. Perbedaan kekuatan pada kedua meridian terlihat dari retinoskopi
Gejala – gejala yang tampak pada astigmatisme regular
atau autorefraktometri
termasuk penglihatan yang kurang sempurna, objek tampak kabur,
2. Diskus optikus oval atau miring bisa terlihat dengan menggunakan
tergantung jenis dan derajat astigmatisme, benda tampak
oftalmoskopi pada pasien dengan astigmatisme derajat tinggi.
memanjang dan gejala astenopik yang jelas terlihat terutama pada
3. Pasien bisa memiringkan kepalanya sebagai usaha untuk
astigmatisme derajat rendah, terdiri atas nyeri tumpul di mata, sakit
mengarahkan aksis mereka mendekati meridian horizontal atau
kepala, kelelahan awal pada mata dan kadang – kadang mual dan
vertikal.
bahkan mengantuk (Khurana, 2007).
4. Seperti pasien miopia, pasien astigmatisme juga memicingkan
matanya untuk mencapai penglihatan yang memadai.
(Khurana, 2007)
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
ASTIGMATISME
PEMERIKSAAN
1. Retinoskopi menunjukkan perbedaan kekuatan pada 2 aksis yang berbeda.
2. Keratometri dan topotografi corneal komputerisasi menunjukkan
perbedaan kelengkungan kornea pada 2 meridian yang berbeda pada
astigmatisme kornea.
3. Astigmatic fan test dan Jackson’s cross cylinder test digunakan untuk
mengkonfirmasi kekuatan dan aksis lensa silindris.
4. Keratoskop plasido digunakan untuk menunjukkan lengkungan yang
terdistorsi.
5. Fotokerotoskopi dan topografi corneal komputerisasi memberikan
gambaran iregularitas kelengkungan kornea (Khurana, 2007)
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
ASTIGMATISME
PENATALAKSANAAN

Kelainan astigmatisme dapat dikoreksi dengan lensa silindris,


sering kali dikombinasidengan lensa sferis. Otak mampu beradaptasi
terhadap distorsi penglihatan yang disebabkan karena kelainan
astigmatisme yang tak terkoreksi sehingga saat menggunakan
kacamata untuk mengoreksi kelainan tersebut, bayangan terbentuk
dapat menyebabkan disorientasi temporer (Riordan-Eva & Whitcher,
2009).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA:
FAKOEMULSIFIKASI DAN ASTIGMATISME PASCA BEDAH

Walaupun
Panjang
Lokasi
Telah diketahui
insisi
insisi
telah
dalam
mempengaruhi
secara
banyak
bedah
luas,
publikasi
katarak
bahwa
terjadinya
secara
mengenai
insisiastigmatisme
signifikan
pada arsitektur
bedahmempengaruhi
katarak
pasca
lukabedah
akan
dan
Fakoemulsifikasi dapat dilakukan tanpa harus menjahit insisi yang
dengan semakin
astigmatisme
menginduksi
integritas luka,efek
pasca
efek
pendataran
besar
arsitektur
bedah.
insisi,
ketika
Insisi
luka
semakin
insisi
pada
superior
dibuat
astigmatisme
meningkat
pada
menginduksi
ataupula
di
pasca
dekat
kejadian
jumlah
bedah
aksis
telah dibuat sehingga dapat menghindari komplikasi astigmatisme pasca
astigmatisme
curam
sendiri kornea.
kurangpasca
Hal
pasca
dipelajari.
inilah
bedah
bedah.
yang
Jika
yang
disebut
Insisi
dilihat
besarsebesar
sebagai
dari
diikutisegi
SIA.
2,2
superotemporal,
insisi
Efek
mm inisklera,
atau
berkorelasi
kurang
nasal,
insisi
bedah. Selain itu, dengan relatif kecilnya insisi yang dibuat,
menimbulkan
superonasal
positif
melengkung
dengan dan
menghasilkan
ukuran
astigmatisme
temporal.
insisiUntuk
astigmatisme
dan
pasca
lokasi
CCI,
bedah
insisi,
perbedaan
pasca
hampir
walaupun
bedah
jumlah
0 hingga
pada
terbesar,
astigmatisme
insisi
0,25
diikuti
yang
D,
astigmatisme pasca bedah menjadi lebih kecil kemungkinannya untuk
berbeda
yang
kecil,
insisi efek
lurus,
ditimbulkan
pada
lokasi
lalu
insisi
insisi
akanantara
sebesar
kurang
melengkung
yang
3,0
menimbulkan
terbesar
mmseperti
yangdan kubah
menimbulkan
SIAterkecil
(Ernest,
dan tipe
adalah
Hill,
astigmatisme
Blumenthal
& 0,25
Potvin,D
terjadi (James & Bron, 2011).
pasca bedah
(Dewey,
2011).
(lurus diikuti
et al.,
yang
potongan
2014).
lebih oblik)
besar (Dewey,
(Dewey, et et al.,
al., 2014).
2014).
BAB 2 TINJAUAN
Usia lanjut Penyakit mata
PUSTAKA:
Kelainan sistemik
KERANGKA
Kongenital
TEORI
Kekeruhan lensa

Gangguan penglihatan

Katarak Astigmatisme pra bedah

Bedah Katarak

ICCE ECCE

Fakoemulsifikasi SICS

Panjang insisi Lokasi insisi Arsitektur insisi

Semakin kecil insisi, Insisi di temporal Insisi melengkung


semakin kecil menimbulkan menimbulkan SIA
menginduksi SIA SIA yang kecil yang kecil

Astigmatisme pasca bedah

Rehabilitasi penglihatan
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN
HIPOTESIS
ICCE

ECCE Derajat
Derajat
astigmatisme pra astigmatisme
bedah katarak pasca bedah
SICS katarak

Fakoemulsifikasi

Keterangan: : Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti


BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN
HIPOTESIS

• H0 : Tidak ada perbedaan derajat astigmatisme


sebelum dan setelah fakoemulsifikasi pada pasien
katarak yang ditangani di SMEC Samarinda.

• H1 : Ada perbedaan derajat astigmatisme sebelum dan


setelah fakoemulsifikasi pada pasien katarak yang
ditangani di SMEC Samarinda.
BAB 4 METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi observasional analitik dengan menggunakan
1. Penelitian
desain kohort prospektif.
Populasi pada penelitian ini ialah seluruh pasien yang
didiagnosis katarak di SMEC Samarinda.
2. Sampel
Tempat dan
Sampel
Waktu
padaPenelitian
penelitian ini ialah seluruh pasien yang
Penelitian
didiagnosis
dilakukan
katarakdiyang
SMECmenjalani
Samarinda,
fakoemulsifikasi
dilakukan selama
di
1 bulan,
SMECyaituSamarinda
pada bulandan
Meimenjalani
2016. kontrol rutin 1 bulan
pasca fakoemulsifikasi periode Maret – Mei 2016.
BAB 4 METODE PENELITIAN

Teknik pengambilan sampel


Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling
yaitu dengan mengambil sampel dari data yang berada di
SMEC Samarinda dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Perhitungan besar sampel


Besar sampel didapat dengan menggunakan
rumus untuk penelitian analitik dengan jenis sampel
numerik berpasangan (Sastroasmoro & Ismael,
2011).
BAB 4 METODE PENELITIAN
BAB 4 METODE PENELITIAN
Kriteria SampelInklusi
1. Kriteria
a. Pasien berusia ≥ 45 tahun yang didiagnosis katarak di
SMEC Samarinda.
b. Pasien yang menjalani pemeriksaan astigmatisme dengan
menggunakan
2. Kriteria keratometri sebelum fakoemulsifikasi di
Eksklusi
SMEC Samarinda.
a.c. Pasien yang menjalani
Pasien yang menjalanifakoemulsifikasi
bedah katarak selain
di SMEC
Samarinda.
fakoemulsifikasi.
d. Pasien yang menjalani kontrol rutin 1 bulan pasca
b. Pasien yang memiliki
fakoemulsifikasi komplikasi
termasuk pasca bedahastigmatisme
pemeriksaan selain SIA.
dengan menggunakan keratometri di SMEC Samarinda.
e. Fakoemulsifikasi hanya dilakukan oleh seorang operator
bedah.
BAB 4 METODE PENELITIAN
Data dan Instrumen Penelitian
1. Data Penelitian
Data yang digunakan pada penelitian ini ialah dengan
menggunakan
Variabel Penelitian data sekunder dimana peneliti akan
mengambil
1. Variabel data dari: fakoemulsifikasi
Independen rekam medik.

2.2. Variabel
Instrumen Penelitian
Dependen : derajat astigmatisme
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini ialah
dengan menggunakan tabel yang akan dibuat oleh
peneliti sesuai dengan variabel yang diteliti dalam
penelitian.
BAB 4 METODE PENELITIAN

Definisi Operasional

Fakoemulsifikasi
Fakoemulsifikasi
Derajat Astigmatisme merupakan suatu teknik bedah katarak
yang dilakukan sebagai penatalaksanaan pada pasien katarak.
Derajat astigmatisme adalah derajat astigmatisme yang
Kriteria objektif:
diketahui dengan pemeriksaan menggunakan keratometri
• Ya, bila pada rekam medis tertera fakoemulsifikasi sebagai
sebelum
tindakan dan yang
bedah 1 bulan setelah dilakukan
dilakukan fakoemulsifikasi.
pada pasien katarak dan hanya
dilakukan
Satuan: oleh operator
Dioptri (D) bedah yang sama
• Tidak, bila pada rekam medis tidak tertera fakoemulsifikasi
Skala:tindakan
sebagai Rasio bedah yang dilakukan pada pasien katarak dan
tidak dilakukan oleh operator bedah yang sama.
Skala: Nominal
BAB 4 METODE PENELITIAN

Penentuan variabel yang akan diteliti

Surat izin penelitian ke Direktur SMEC Samarinda

SMEC Samarinda

Pengambilan data rekam medik

Pengambilan sampel
Alur Penelitian
Analisis dan penyajian data
BAB 4 METODE PENELITIAN

Pengolahan Data
Analisis Data
Analisis data
Pengolahan dilakukandengan
data dilakukan terlebih dahulu Microsoft
menggunakan dengan
menggunakan uji normalitas untuk mengetahui apakah
Word 2007, Microsoft Excel 2007, Calculator SIA 2.1, dan IBM
sebaran data normal atau tidak. Uji Kolmogorov-Smirnov
digunakan
Statistic pada
SPSS 20 sampel yang besar sedangkan
untuk menyajikan data dalam Uji Shapiro-
bentuk tabel
Wilk digunakan pada sampel yang kecil. Selanjutnya
dan narasi.
dilakukan uji perbedaan dengan menggunakan uji T
berpasangan jika sebaran data normal atau menggunakan uji
Wilcoxon jika sebaran data tidak normal. Untuk menentukan
besaran SIA yang terjadi, data dihitung dengan menggunakan
Calculator SIA versi 2.1.
BAB 4 METODE PENELITIAN
Juni Juli
Februari Maret April Mei

1 2 3 4 1 2 3 4
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyusunan
Proposal

Seminar
Proposal

Revisi Proposal

Penelitian

Analisis dan
Pengolahan Data

Seminar Hasil

Revisi Hasil
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai