Anda di halaman 1dari 9

KISAH YANG MENJADI VIRAL DI FACEBOOK

ANAKKU RANKING KE - 23
Di kelasnya ada 25 orang murid, setiap kenaikan kelas, anak perempuanku selalu mendapat
ranking ke-23. Lambat laun ia dijuluki dengan panggilan nomor ini. Sebagai orangtu, kami merasa
panggilan ini kurang enak didengar, namun anehnya anak kami tidak merasa keberatan dengan
panggilan ini.

Pada sebuah acara keluarga besar, kami berkumpul bersama di


sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang adalah tentang
jagoan mereka masing-masing. Anak-anak ditanya apa cita-cita
mereka kalau sudah besar?

Ada yang menjawab jadi dokter, pilot, arsitek bahkan presiden. Semua orang pun
bertepuk tangan. Tapi anak perempuan kami terlihat sangat sibuk membantu anak
kecil lainnya yang sedang makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia
yang belum mengutarakan cita-citanya.
Didesak orang banyak, akhirnya dia menjawab…
“Saat aku dewasa, cita-citaku yang pertama adalah menjadi seorang
guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main”.

Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap


memberikan pujian, kemudian menanyakan apa cita-
citanya yang kedua.
Dia pun menjawab…
“Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain
celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur,
kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan
membawa mereka ke teras rumah untuk melihat
bintang”.
Semua sanak keluarga saling
pandang tanpa tahu harus berkata
apa. Nampak raut muka istriku pun
terlihat canggung sekali.
Sepulangnya kami kembali ke rumah, istriku
mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan
membiarkan anak perempuan kami kelak hanya
menjadi seorang guru TK?

Anak kami sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik, tidak lagi membuat origami, tidak
lagi banyak bermain. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar/bimbel
terus menerus, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti. Sampai
akhirnya tubuh kecilnya tidak bias bertahan lagi dan terserang flu berat dan radang paru-
paru. Akan tetapi hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau
menangis, tetap saja rangking 23.

Kami memang sangat saying pada anak kami ini, namun kami
sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya.
Pada suatu minggu, teman-teman sekantor mengajak pergi rekreasi bersama.
Semua orang membawa serta keluarga mereka. Sepanjang perjalanan penuh
dengan tawa, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan
kebolehannya.

Anak kami tidak punya keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangandengan
sangat gembira. Dia seringkali lari ke belakang untuk mengawasi bahan
makanan, merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring,
mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang
meluap keluar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga
cilik.
Ketika tiba saatnya makan, ada suatu kejadian tak terduga. Dua orang anak lelaki teman kami, satunya si jenius
matematika, satunya lagi ahli bahasa Inggris berebut sebuah kue. Tiada seorang pun yang mau melepaskannya,
juga tidak mau saling membaginya. Para orang tua membujuk mereka, namun tak berhasil. Terakhir anak kamilah
yang berhasil melerainya dengan merayu mereka untuk berdamai.

Ketka pulang jalanan macet. Anak-anak mulai


terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan
terus membuat orang-orang satu bis tertawa
tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah
berhenti, dia mengguntingkan berbagai bentuk
binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan.
Sampai ketika turun dari bis setiap orang
mendapatkan guntingan kertas berbentuk hewan
masing-masing dan mereka terlihat begitu
gembira.
Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau
kalau rangking anakku tetap 23. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang terjadi.
Hal yang pertama kali ditemukannya selama kurang lebih 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah
soal tambahan. Dalam soalm itu tertera: SIAPA TEMAN SEKELAS YANG PALING KAMU KAGUMI DAN APA
ALASANNYA?
Dan jawaban dari semua teman sekelasnya sama, tak ada satu pun yang berbeda. Mereka serentak menuliskan
nama anakku.

Mereka bilang karena anakku sangat senang membantu orang,


selalu memberi semangat, selalu menghibur, selalu enak diajak
berteman, dan banyak lagi.

Wali kelasnya memberi pujian….


“Anak bapak ininkalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”.
Tak berselang lama aku mencandai anakku dan berkata padanya…
“Suatu sat kamu akan jadi pahlawan”.
Anakku yang sedang merajut selendang leher tiba-tiba
menjawab…
“Bu guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika
pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan
di tepi jalan”.
Dia lalu melanjutkan…
“ Ayah …Aku tidak mau jadi pahlawan. Aku mau jadi
orang yang bertepuk tangan di tepi jalan saja”.
TERIMA KASIH
Aku terkejut mendengarnya. Dalam hatikupun terasa hangat
seketika. Seketika hatiku tergugah oleh anak perempuanku. Di dunia
ini banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan,
jadi orang-orang hebat, atau orang terkenal. Namun anakku
memilih untuk menjadi orang yang tidak ‘terlihat’.
Seperti akar sebuah tanaman, tidak terlihat, tapi dialah yang
mengokohkan, dialah yang memberi makan dan dialah yang
memelihara kehidupan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai