ANEMIAS
ANEMIAS
OLEH :
dr. LESTARI EKOWATI
KLASIFIKASI ANEMIA
Ada 2 Metode yang biasa dipakai untuk
klasifikasi anemia, yaitu :
Morfologis
Patofisiologis
Klasifikasi Morfologis membagi anemia
berdasarkan pada :
hitung darah,
indeks sel (khususnya MCV),
hitung retikulosit dan
pemeriksaaan SDM pada hapusan darah
2
Klasifikasi Morfologis membagi anemia menjadi
3 kelompok besar, yaitu :
Anemia normokromik normositik,
Anemia makrositik
4
KLASIFIKASI MORFOLOGIS
Anemia normokromik normositik
mempunyai rentang nilai :
MCV 80-94 fL,
6
Penyakit kronis, kaganasan, splenomegali dan
paparan bahan beracun, juga dapat
mengakibatkan terjadinya anemia mikrositik
(normokromik).
7
Anemia hipokromik mikrositik
ditandai dengan adanya
MCV < 80 fL dan
8
Anemia mikrositik terjadi akibat kurangnya kadar
zat besi untuk mempertahankan eritropoesis
normal dan ditandai dengan adanya hasil yang
abnormal pada pemeriksaan besi.
Awal perkembangan anemia mikrositik dapat
berupa penurunan cadangan zat besi, namun
belum terlihat adanya anemia yang nyata.
Penyebab defisiensi besi bervariasi pada bayi,
anak, remaja dan dewasa, dan penting untuk
mengetahui penyebabnya sebelum terapi dimulai.
9
Anemia normokromik makrositik didapatkan
ketika :
MCV > 94 fL,
MCHC > 32 g/dl, dan
SDM tampak makrositik.
Anemia makrositik dapat berupa
megaloblastik atau nonmegaloblastik.
10
Anemia megaloblastik pada umumnya
disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 atau
defisiensi folat.
Anemia pernisiosa merupakan salah satu
akibat dari defisiensi vitamin B12.
Alkoholisme adalah salah satu penyebab
defisiensi folat namun juga merupakan
penyebab defisiensi nutrisional.
11
Anemia megaloblastik ditandai dengan adanya
makrosit oval dan sel berbentuk air mata
(teardrop-shaped cells) dalam darah serta
adanya megaloblas atau prekursor SDM berinti
besar di sumsum tulang.
Maturasi inti lebih lambat daripada
perkembangan sitoplasma sebagai akibat dari
kekurangan vitamin B12 atau folat. Defisiensi ini
mempengaruhi produksi DNA dari seluruh sel
tubuh.
12
Anemia nonmegaloblastik juga ditandai dengan
adanya SDM yang besar yang kebanyakan
berbentuk bulat, tetapi inti SDM di sumsum
tulang tidak menunjukkan adanya perubahan
maturasi megaloblastik.
Anemia makrositik didapatkan pada penderita
penyakit liver kronis, anemia hemolitik kronis
dengan hitung retikulosit yang tinggi, anemia
mielodisplastik refrakter, dan anemia tipe
lainnya.
13
KLASIFIKASI BERDASARKAN
DISTRIBUSI DIAMETER SEL DARAH MERAH
14
3 contoh berikut ini :
MCV rendah
RDW normal : talasemia heterozigot
MCV tinggi
RDW tinggi : defisiensi B12 atau folat
MCV normal
RDW tinggi : hemoglobinopati anemik
15
Klasifikasi yang dibuat oleh Bessman
membantu mempersempit kemungkinan
diagnosis dari penyebab yang mendasari
terjadinya anemia.
Hal ini berdasarkan pada urutan pendekatan
klasifikasi anemia, yang pertama yaitu
berdasarkan MCV diikuti oleh subklasifikasi
berdasarkan RDW.
16
Jika RDW diatas normal, peningkatan ini
membantu diferensial diagnosis anemia
berdasarkan pola anemia oleh MCV dan
RDW (lihat tabel 16-4)
17
KLASIFIKASI PATOFISIOLOGIS
18
Pada klasifikasi patofisiologis, anemia karena
penurunan produksi SDM (seperti pada
gangguan sintesis DNA) dibedakan dengan
anemia karena peningkatan destruksi SDM
atau perdarahan (kelainan intrakorpuskular
atau ekstrakorpuskular dari SDM).
Kotak 16-1 menyajikan klasifikasi patofisiologis
anemia, daftar penyebab kelainannya, dan
diberikan satu atau lebih contoh dari tiap tipe
anemia.
19
ADAPTASI FISIOLOGIS
Pada anemia yang terjadi perlahan-lahan
dengan gejala yang ringan, tubuh akan
beradaptasi terhadap anemia selama periode
tertentu.
Penurunan hemoglobin menyebabkan
penurunan pengiriman oksigen ke jaringan,
hal ini mengakibatkan peningkatan sekresi
eritropoetin oleh ginjal.
20
Pada anemia persisten, penurunan kadar Hb
menyebabkan terjadinya adaptasi fisiologis
berupa mekanisme peningkatan kapasitas
angkut oksigen.
Penurunan kadar oksigen menyebabkan
aliran darah lebih cepat.
Denyut jantung dan frekuensi napas
meningkat.
Curah jantung meningkat.
21
Hipoksia jaringan menyebabkan terjadinya
peningkatan 2,3 bifosfogliserat (2,3-BPG)
SDM, yang akan menggeser kurva disosiasi
oksigen ke kanan (penurunan afinitas
oksigen terhadap hemoglobin) dan
mengakibatkan peningkatan pengiriman
oksigen ke jaringan.
22
Hal ini merupakan mekanisme yang sangat
penting pada anemia kronis, sehingga pasien
dengan anemia dapat relatif tanpa gejala
meskipun kadar Hbnya sangat rendah.
23
Kotak 16-1
Klasifikasi Patofisiologis Anemia
Anemia karena penurunan produksi sel
darah merah
Gangguan proliferasi dan diferensiasi sel
induk hematopoesis : anemia aplastik
Gangguan sintesis DNA : anemia
megaloblastik
Gangguan sintesis hemoglobin : anemia
defisiensi besi, talasemia
24
Gangguan proliferasi dan diferensiasi sel
prekursor eritroid : anemia pada gagal ginjal
kronis, anemia pada kelainan endokrin
Tidak diketahui atau banyak mekanisme :
anemia penyakit kronis, anemia yang
berhubungan dengan infiltrasi sumsum
tulang, anemia sideroblastik
25
Anemia karena peningkatan destruksi atau
perdarahan
KELAINAN INTRAKORPUSKULAR
Kerusakan membran : sferositosis herediter,
eliptositosis herediter, piropoikilositosis
Defisiensi enzim : glukosa-6-fosfat
dehidrogenase, piruvat kinase, porfiria.
Kelainan globin : hemoglobinopati (Hb SS, CC,
Sc)
Paroxysmal Nocturnal hemoglobinuria
26
KELAINAN EKSTRAKORPUSKULAR
Mekanik : anemia hemolitik mikroangiopati
(trombotik trombositopenik purpura, sindrom
uremik hemolitik, anemia hemolitik karena trauma
jantung)
Infeksi : anemia hemolitik karena infeksi malaria,
Babesia, Bartonela, Ehrlichia
Bahan kimia dan fisika : obat, toksin, panas
Antibody-mediated : anemia hemolitik dapatan
karena reaksi antibodi terhadap panas
Perdarahan : anemia perdarahan akut
27
28