Anda di halaman 1dari 28

ANEMIAS :

RBC Morphology and


Approach to Diagnosis
Page : 207 - 208

OLEH :
dr. LESTARI EKOWATI
KLASIFIKASI ANEMIA
Ada 2 Metode yang biasa dipakai untuk
klasifikasi anemia, yaitu :
 Morfologis
 Patofisiologis
Klasifikasi Morfologis membagi anemia
berdasarkan pada :
 hitung darah,
 indeks sel (khususnya MCV),
 hitung retikulosit dan
 pemeriksaaan SDM pada hapusan darah

2
Klasifikasi Morfologis membagi anemia menjadi
3 kelompok besar, yaitu :
 Anemia normokromik normositik,

 Anemia hipokromik mikrositik, dan

 Anemia makrositik

Pada Diagram 16-2, Anemia dibagi menjadi 3


kelompok morfologis berdasarkan MCV.
Anemia juga bisa diklasifikasi berdasarkan
RDW.(Tabel 16-4).
3
Klasifikasi Patofisiologis Anemia menghubungkan
proses penyakit dengan mekanisme yang
menyebabkan terjadinya anemia, yaitu :
1. perdarahan,
2. destruksi eritrosit matur yang berlebihan, atau
3. kegagalan produksi sel darah merah.

4
KLASIFIKASI MORFOLOGIS
Anemia normokromik normositik
mempunyai rentang nilai :
 MCV 80-94 fL,

 MCH 27-32 pg, dan

 MCHC 32-36 g/dl (%).

(SDM pada hapusan darah harus diperiksa untuk


mengesampingkan adanya populasi bimodal dari
mikrosit dan makrosit yang dapat menghasilkan
rentang nilai rata-rata normal). Jumlah Retikulosit
dapat meningkat, normal atau turun.
5
Anemia normositik biasanya disebabkan oleh :
 hemolisis,
 perdarahan akut,
 keganasan (lekemia, limfoma, karsinoma),
 splenomegali (SDM terperangkap dan
dihancurkan dalam lien),
 bahan yang menyebabkan keracunan (radiasi,
obat sitotoksik),
 penyakit kronis,
 infeksi,
 arthritis rematoid, dan
 penyakit ginjal serta liver.

6
Penyakit kronis, kaganasan, splenomegali dan
paparan bahan beracun, juga dapat
mengakibatkan terjadinya anemia mikrositik
(normokromik).

7
Anemia hipokromik mikrositik
ditandai dengan adanya
 MCV < 80 fL dan

 MCHC < 32 g/dl,

dengan sel kecil yang pada hapusan darah terlihat


adanya pembesaran central pallor.
Anemia mikrositik pada umumnya disebabkan oleh :
 kelainan sintesis Hb : defisiensi besi,
 defisiensi sintesis heme (anemia sideroblastik),
 defisiensi sintesis globin (talasemia), dan
 penyakit kronis.

8
Anemia mikrositik terjadi akibat kurangnya kadar
zat besi untuk mempertahankan eritropoesis
normal dan ditandai dengan adanya hasil yang
abnormal pada pemeriksaan besi.
Awal perkembangan anemia mikrositik dapat
berupa penurunan cadangan zat besi, namun
belum terlihat adanya anemia yang nyata.
Penyebab defisiensi besi bervariasi pada bayi,
anak, remaja dan dewasa, dan penting untuk
mengetahui penyebabnya sebelum terapi dimulai.
9
Anemia normokromik makrositik didapatkan
ketika :
MCV > 94 fL,
MCHC > 32 g/dl, dan
SDM tampak makrositik.
Anemia makrositik dapat berupa
megaloblastik atau nonmegaloblastik.

10
Anemia megaloblastik pada umumnya
disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 atau
defisiensi folat.
Anemia pernisiosa merupakan salah satu
akibat dari defisiensi vitamin B12.
Alkoholisme adalah salah satu penyebab
defisiensi folat namun juga merupakan
penyebab defisiensi nutrisional.

11
Anemia megaloblastik ditandai dengan adanya
makrosit oval dan sel berbentuk air mata
(teardrop-shaped cells) dalam darah serta
adanya megaloblas atau prekursor SDM berinti
besar di sumsum tulang.
Maturasi inti lebih lambat daripada
perkembangan sitoplasma sebagai akibat dari
kekurangan vitamin B12 atau folat. Defisiensi ini
mempengaruhi produksi DNA dari seluruh sel
tubuh.
12
Anemia nonmegaloblastik juga ditandai dengan
adanya SDM yang besar yang kebanyakan
berbentuk bulat, tetapi inti SDM di sumsum
tulang tidak menunjukkan adanya perubahan
maturasi megaloblastik.
Anemia makrositik didapatkan pada penderita
penyakit liver kronis, anemia hemolitik kronis
dengan hitung retikulosit yang tinggi, anemia
mielodisplastik refrakter, dan anemia tipe
lainnya.
13
KLASIFIKASI BERDASARKAN
DISTRIBUSI DIAMETER SEL DARAH MERAH

Masing-masing kategori morfologis (normositik,


mikrositik, makrositik) yang telah disebutkan
sebelumnya, juga dapat disubklasifikasi
berdasarkan RDW otomatis menjadi :
 homogen (RDW normal) atau

 heterogen (RDW meningkat atau tinggi),

menurut Bessman, dkk.

14
3 contoh berikut ini :
MCV rendah
RDW normal : talasemia heterozigot
MCV tinggi
RDW tinggi : defisiensi B12 atau folat
MCV normal
RDW tinggi : hemoglobinopati anemik

15
Klasifikasi yang dibuat oleh Bessman
membantu mempersempit kemungkinan
diagnosis dari penyebab yang mendasari
terjadinya anemia.
Hal ini berdasarkan pada urutan pendekatan
klasifikasi anemia, yang pertama yaitu
berdasarkan MCV diikuti oleh subklasifikasi
berdasarkan RDW.

16
Jika RDW diatas normal, peningkatan ini
membantu diferensial diagnosis anemia
berdasarkan pola anemia oleh MCV dan
RDW (lihat tabel 16-4)

17
KLASIFIKASI PATOFISIOLOGIS

Klasifikasi patofisiologis anemia


menghubungkan proses penyakit dengan
penyebabnya serta gambaran mekanisme
kejadiannya.
Hal ini berdasarkan konsep yang nantinya
mungkin dapat berubah, namun pada saat ini
dapat digunakan sebagai alat bantu oleh
klinisi dalam penelitian klinis anemia.

18
Pada klasifikasi patofisiologis, anemia karena
penurunan produksi SDM (seperti pada
gangguan sintesis DNA) dibedakan dengan
anemia karena peningkatan destruksi SDM
atau perdarahan (kelainan intrakorpuskular
atau ekstrakorpuskular dari SDM).
Kotak 16-1 menyajikan klasifikasi patofisiologis
anemia, daftar penyebab kelainannya, dan
diberikan satu atau lebih contoh dari tiap tipe
anemia.
19
ADAPTASI FISIOLOGIS
Pada anemia yang terjadi perlahan-lahan
dengan gejala yang ringan, tubuh akan
beradaptasi terhadap anemia selama periode
tertentu.
Penurunan hemoglobin menyebabkan
penurunan pengiriman oksigen ke jaringan,
hal ini mengakibatkan peningkatan sekresi
eritropoetin oleh ginjal.

20
Pada anemia persisten, penurunan kadar Hb
menyebabkan terjadinya adaptasi fisiologis
berupa mekanisme peningkatan kapasitas
angkut oksigen.
Penurunan kadar oksigen menyebabkan
aliran darah lebih cepat.
Denyut jantung dan frekuensi napas
meningkat.
Curah jantung meningkat.

21
Hipoksia jaringan menyebabkan terjadinya
peningkatan 2,3 bifosfogliserat (2,3-BPG)
SDM, yang akan menggeser kurva disosiasi
oksigen ke kanan (penurunan afinitas
oksigen terhadap hemoglobin) dan
mengakibatkan peningkatan pengiriman
oksigen ke jaringan.

22
Hal ini merupakan mekanisme yang sangat
penting pada anemia kronis, sehingga pasien
dengan anemia dapat relatif tanpa gejala
meskipun kadar Hbnya sangat rendah.

23
Kotak 16-1
Klasifikasi Patofisiologis Anemia
Anemia karena penurunan produksi sel
darah merah
 Gangguan proliferasi dan diferensiasi sel
induk hematopoesis : anemia aplastik
 Gangguan sintesis DNA : anemia
megaloblastik
 Gangguan sintesis hemoglobin : anemia
defisiensi besi, talasemia

24
 Gangguan proliferasi dan diferensiasi sel
prekursor eritroid : anemia pada gagal ginjal
kronis, anemia pada kelainan endokrin
 Tidak diketahui atau banyak mekanisme :
anemia penyakit kronis, anemia yang
berhubungan dengan infiltrasi sumsum
tulang, anemia sideroblastik

25
Anemia karena peningkatan destruksi atau
perdarahan
KELAINAN INTRAKORPUSKULAR
 Kerusakan membran : sferositosis herediter,
eliptositosis herediter, piropoikilositosis
 Defisiensi enzim : glukosa-6-fosfat
dehidrogenase, piruvat kinase, porfiria.
 Kelainan globin : hemoglobinopati (Hb SS, CC,
Sc)
 Paroxysmal Nocturnal hemoglobinuria

26
KELAINAN EKSTRAKORPUSKULAR
 Mekanik : anemia hemolitik mikroangiopati
(trombotik trombositopenik purpura, sindrom
uremik hemolitik, anemia hemolitik karena trauma
jantung)
 Infeksi : anemia hemolitik karena infeksi malaria,
Babesia, Bartonela, Ehrlichia
 Bahan kimia dan fisika : obat, toksin, panas
 Antibody-mediated : anemia hemolitik dapatan
karena reaksi antibodi terhadap panas
 Perdarahan : anemia perdarahan akut
27
28

Anda mungkin juga menyukai