Anda di halaman 1dari 50

toxicology

 Toksikologi Umum
 Pembagian Toksikologi
 Toksikologi Klinis
 Zat-zat Toksik
 Penanganan Keracunan (Saluran Napas, Kulit, Mata,
Oral
 Anti Dotum
Toxicology

The classic definition of toxicology has traditionally


been understood as the study of xenbiotics, or simply
stated, as the science of poisons – i.e., the interaction of
exogenous agents.
The chemicals, compounds or drugs are often referred
to as agents. Then, since such agents induce undesirable
effects, they are usually referred to as toxins.
What time, the term has evolved to include many chemically
unrelated classes of agents. What transforms a chemical into
a toxin depends more on the length of time of exposure,
dose (or concentration) of the chemical, or route of
exposure, and less on the chemical structure, or product
formulation.
As result, almost any chemical has the potential for toxicity,
and thus, falls under the broad definition of toxicology.
Clinical Toxicology

The agents whose intent is to treat, amoliorate, modify,


or prevent disease states ate the one time, were
intended to be used as such. The compunds would fall
under slassification of theraupetic agents.
Clinical toxicology involves not only the toxic effects of
theraupetics agent but also those chemicals whose
intention is not therapeutics.
Toxic berasal dari bahasa
Yunani Tox yang berarti panah

EFEK TOKSIK
Efek farmakodinamik suatu zat
yang berlebihan

TOKSIKOLOGI
Ilmu yang mempelajari efek toksis
berbagai bahan terhadap makhluk hidup
dan sistem biologi lainnya.
PENGGOLONGAN TOKSIKOLOGI

 Toksikologi ekonomi, merupakan cabang toksikologi yang


mempelajari efek berbahaya dari suatu zat yang masuk
kedalam tubuh secara sengaja. Seperti zat tambahan
makanan, obat, kosmetik, antiinfeksi dan pestisida.
 Toksikologi medio-legal (forensik), mempelajari aspek
medis atau hukum, misalnya berkaitan dengan regulasi zat
tambahan makanan, pemeriksaan zat toksik dalam tubuh.
 Toksikologi bio-medikal, mempelajari toksisitas obat pada
kondisi pasien tertentu dan penggunaan zat diagnostik.
TOKSIKOLOGI KLINIK
Bidang ilmu toksikologi yang
mempelajari suatu penyakit yang
disebabkan suatu agen toksik
Efek yang diinginkan dari suatu obat.
Ex : Paracetamol 500mg 3xsehari  panas EFEK TERAPI
dan meredakan nyeri

Efek yang tidak diinginkan pada dosis


terapi (tidak terjadi pada tiap orang).
Ex : Amplodipin  Jantung berdebar dan EFEK SAMPING
nyeri perut

Efek yang dapat menimbulkan toksik jika


diberikan melampaui dosis.
Ex : Gentamisin ginjal EFEK TOKSIK
PCT, INH  Hati
KLASIFIKASI ZAT TOKSIK

 Berdasarkan Tempat Kerjanya


 Zat toksik yang bekerja lokal atau hanya bekerja
ditempat zat tersebut mengenai jaringan biologi,
contoh :
a) zat korosif, seperti asam dan basa kuat, zat organik
dengan konsentrasi tinggi.
b) Zat iritan, seperti sublimat, detergent kationik, cat,
dan cairan pembersih
 Zat toksik yang bekerja sistemik, untuk dapat berefek sistemik
zat toksik harus dapat di absorbsi masuk sirkulasi sistemik (darah)
dan mencapai tempat kerjanya yang disebut reseptor.
Contoh :
a) Yang dapat berpengaruh pada SSP, misalnya alkohol,
psikotropika, dan halusinogen
b) Yang berpengaruh pada jantung, misalnya digoksin, diuretik
kuat, dan obat aritmia
c) Yang bekerja pada darah, misalnya karbon monoksida (CO),
asam sianida, dan nitrogen oksida
d) Yang bekerja di hepar, misalnya karbon tetraklorida (CCL4),
insektisida, dan parasetamol dosis besar
e) Yang bekerja di ginjal, misalnya AINS, aminoglikosida,
amfoerisin B, dan sublimat
f) Yang bekerja pada enzim, misalnya senyawa radikal bebas dan
logam berat
 Zat toksik yang bekerja lokal maupun sistemik, misalnya pelarut
organik, alkohol, garam Pb, dan fenol
 Berdasarkan sumber atau tempat zat toksik :
a. Rumah tangga, seperti disinfektan, cat, cairan pembersih, dan
insektisida.
b. Pertanian, misalnya insektisida, rodentisida, fungisida, herbisida,
dan pupuk.
c. Industri kimia, misalnya asam, basa, logam berat, dan cairan
pewarna.
d. Rumah sakit, misalnya sampah B3, bakteri, virus, dan obat, dan
bekas perban.
e. Alam bebas, misalnya ganja, opium, kecubung (datura),sianida
(singkong), dan jamur tertentu, CO, dan belerang.
f. Hewan, misalnya bisa ular, dan ulat.

 Berdasarkan susunan (sifat) kimianya:


a. Zat toksik organik, misalnya morfin, digoksin, bisa
ular, toksin botulismus, dan antibiotik.
b. Zat toksik anorganik, asam klorida, asam sulfat, logam
berat, dan natrium oksida.
 Berdasarkan selektifitas
a. Non selektif
non selektif artinya dalam menimbulkan efek toksik tidak
mempunyai tempat kerja tertentu atau tidak mempunyai reseptor.
Toksisitasnya sangat tergantung pada konsisten. Toksisitasnya
terjadi karena merusak membran sel, protein atau lemak pada
dinding sel. Contoh zat toksik non selektif adalah asam atau basa
kuat, pelarut organik (eter, CCI4, kloroform, dan cairan pembersih),
dan detergen.

b. Selektif
zat toksik selektif dapat menimbulkan efek toksik pada takaran
yang sangat kecil. Zat toksik selektif sebelum menimbulkan efek
akan berintereaksi dengan reseptornya. Contoh zat toksik yang
berkerja dengan cara demikian adalah CO yang mampu mengikat
hemoglobin, Hg yang dapat meningkat enzim yang mempunyai
gugus sufihidril (SH), dan insektisida yang dapat meningkat enzim
asetilkolinesterase.
ANTIDOTUM
 antidotum adalah sebuah substansi yang dapat melawan
reaksi peracunan. Secara jauh, kataini berasal dari bahasa
yunani : antididonai, yang berarti
"memberikan perlawanan".
 Dalam arti sempit, antidotum adalah senyawa yang
mengurangi atau menghilangkan toksisitas senyawa yang
diabsorpsi.
 Terapi Antidotum terbagi menjadi :
1. Terapi non spesifik adalah suatu terapi keracunan yang
bermanfaat hampir pada semua kasus keracunan melalu cara-
cara seperti memacu muntah, bilas lambung dan memberian
zat absorben.
Penanganan
Keracunan
1Menghambat arbsorbsi
zat
2Mempercepat eliminasi 1. Mengurangi Penyerapan
pada usus
zat 2. Mengeluarkan racun dari
1. Meningkatkan eksresi urine lambung
melalui 3. Pemberian
pengasaman/pembasaan. katartik/pencahar
2. Hemodialisis.

Pemberian Antidotum 3
Penanganan 1
Keracunan Menghambat arbsorbsi
zat
Pemberian arang • Arsorbsi racun dalam usus
aktif/norit • Efektif diberikan ±2 jam setelah
racun tertelan
• Ds dws : 50g, Ds min : 30g dpt
diulang 4-6 jam.
• Dpt digunakan u/ salisilat,
acetaminofen, karbamazepin,
teofilin, obat anti depresan.
• -> kombinasi dgn bilas lambung
• Tidak dapat di :
• -> Kombinasi dgn susu / sirup ipekak
Penanganan 1
Keracunan Menghambat arbsorbsi
zat
Pengeluaran racun dari • Bilas lambung : X>1-2 jam racun
lambung tertelan
• Bahaya : Terjadi aspirasi isi lambung
• Tdk bisa diberikan pada pasien
mengantuk / koma
• Sirup Ipekak : memuntahkan isi
perut (dws dan anak)
• Aktivitas kurang
• Indikasi : Racun yang tertelan tidak
bersifat korosis dan kondisi pasien
sadar sepenuhnya.
Penanganan 1Menghambat arbsorbsi
Keracunan
zat
• Mempercepat pengeluaran racun,
Pemberian katartik atau terutama racun yang sudah di
pencahar usus.
• Diberikan setelah arang aktif. Efek
0,5-2 jam setelah pemberian (dosis
oral : 15g dgn segelas air)
• Sorbitol  Pd pasien tanpa
gangguan jantung
• Mg Sulfat  Pd pasien tanpa
gangguan ginjal
• KI : Mual, muntah, usus, gangguan
Ginjal.
• Pemberian jangka pjng  pantau
dehidrasi & elektrolit
Penanganan
2Mempercepat eliminasi
Keracunan zat
• Pengasaman  Amonium
Klorida/vit C  Obat basa lemah :
Pengasaman dan amfetamin
Pembasaan Urine • Pembasaan  Na.Bikarbonat 
obat as.lemah : aspirin,
fenobarbital
•  Menaikkan derajat ionisasi 
Berkurangnya rearbsorbsi

• Mempercepat eliminasi dan


Hemodialisis menyeimbangkan elektrolit
• Ind : zat sdh diarbsorbsi dan sdh
di cairan sistemik.
• Ind : Salisilat, metanol, etilen
glikol
--TOKSIKOLOGI--
2. Terapi spesifik
adalah suatu terapi antidotum yang efektif untuk zat
tertentu. Terbagi atas dua macam:
 antidotum yang bekerja secara kimiawi
 antidotum yang bekerja secara farmakologi
a. Antidotum yang bekerja secara kimiawi
1. 1. zat-zat pembentuk chelat
Zat-zat chelat umumnya mempunyai gugus-gugus fungsional
seperti –OH, -NH yang akan berkompetisi dengan logam-
logam pada tempat ikatannya. Contoh:
 Dimercaprol : pemberian umumnya melalui injeksi im 10%
dalam minyak kacang. Berguna untuk keracunan arsen,
merkuri dan timbal.
 EDTA : efektif untuk logam-logam transisi (gol III s/d XII)
 penisilamin (cuprine) : digunakan pada keracunan Cu dan
Hg serta sebagai tambahan untuk terapi keracunan Pb dan
arsen.
 Deferoksamine.
Lanjutan....
2. Fab fragment
Anti serum telah lama digunakan untuk pengobatan
keracunan toksin yang berasal dari bisa ular. Fab fragment
suatu antibodi monoklonal dapat mengikat digoksin dan
mempercepat ekskresinya melalui filtrasi glomelurus.
3. Detoksifikasi enzimatik
a) Etanol
 dapat digunakan untuk keracunan methanol atau etilen glikol.
pemberian etanol akan menyebabkan kompetisi dengan
methanol atau etilen glikol dalam memperebutkan enzim alkohol
dehidrogenase. Hasil reaksi antara etanol dan enzim tersebut
adalah asam asetat yang relatif tidak toksik dan mudah diekskresi.
b) Atropin dan pralidoksim
 Atropin adalah suatu antikolinergik yang diberikan dalam bentuk
garamnya (atropin sulfat) dengan dosis 2 mg melalui injeksi (IV,
IM), pemberian dapat diulang tergantung pada tingkat keparahan
Pralidoksim adalah suatu reaktivator kolinesterase yang biasanya
ditambahkan pada atropin sulfat pada keracunan pestisida
sedang hingga berat. Dosis umumnya sebesar 30mg/KgBB
dilarutkan dalam 10-15ml air, diberikan secara IV.
c) N-Asetil Sistein dan metionin
Asetil sistein merupakan suatu obat yang digunakan sebagai
antioksidan dan ekpektoran dan juga dapat berikatan
dengan NABQI membentuk senyawa non toksik.
NABQI (N-Acetyl-p-benzoquinoneimine) merupakan hasil
metabolisme dari toksisitas paracetamol. NABQI dapat
menyebabkan kerusakan sel, terutama sel hepar.
Metionin dalam tubuh akan mengalami metabolisme
menjadi homosistein berfungsi sebagai donor sulfur untuk
diikat oleh NABQI sehingga dapat sebagai alternatif asetil
sistein.
b. Antidotum yang bekerja secara farmakologi
Adalah suatu antidotum yang bekerja mirip dengan zat toksik,
bekerja pada reseptor yang sama atau berbeda.
1) Nalokson hidroklorida
Nalokson adalah antagonis opioid yang bekerja pada reseptor
yang sama sehingga berkompetisi dalam memperebutkan
reseptor opioid. Oleh karena itu nalokson biasa diberikan pada
kasus keracunan opioid.
Contoh obat golongan opioid yang sering menyebabkan
keracunan yaitu morfin, diamorfin (heroin), fentanyl,
metadon, pentazosin, petidin, tramadol dan alkohol.
Kerja dari nalokson sangat singkat maka dari itu, diperlukan
pemberian berulang sesuai dengan frekuensi nafas. Alternatif
lain nalokson dapat diberikan melalui infus. Dosis pemberian
IV adalah 0,8-2mg setiap 2-3 menit sampai dosis maksimum
10mg.
2) Flumazamil
Pemberian obat ini biasanya diberikan pada pasien yang
mengalami konvulsi akibat ketergantungan obat-obat
benzodiazepin seperti diazepam, nitrazepam atau lorazepam.
Karena flumazamil merupakan suatu antagonis
benzodiazepin.
3) Oksigen
Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan keracunan
karena kemampuan dalam mengikat hemoglobin (Hb) dan
membentuk zat komplex yang tidak dapat berfungsi mengikat
oksigen lagi. Afinitas ikatan Hb dengan CO 200 kali lebih kuat
dibanding ikatan Hb dengan oksigen. Namun dengan
pemberian oksigen dalam jumlah banyak dan murni dapat
mendesak ikatan Hb-CO dan menggantikan posisi CO kembali
ke oksigen.
Daftar zat toksik dan antidotum spesifik

No Zat Toksik Antidotum


1. Parasetamol N-Asetil sistein
2. Arsen, Hg, Pb, Au BAL (dimercaprol)
3. Benzodiazepin Flumazemil
4. CO Oksigen, hiperbarik oksigen
5. Digoksin Digoksin-Fab Fragment
6. Methanol dan etilen glikol Etanol
7. Heparin Protamine
8. Zat besi Deferoksamin
9. Narkotika (opioid) Nalokson
10. Organofosfat dan karbamat Atropin, pralidoxim
11. Amfetamin Amonium clorida
12. Aspirin Na bikarbonat
13. Phenobarbital Na bikarbonat
wq
Uji toksisitas

 Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek


toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk
memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan
uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk
memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan
uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia,
sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya
demi keamanan manusia.
Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik
secara in vivo

Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik secara in vivo


digunakan sebagai acuan
dalam pelaksanaan kegiatan uji keamanan
pengembangan obat baru, obat
tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, dan pangan.
A. UJI TOKSISITAS AKUT ORAL (LD50)
 Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan
uji yang diberikan secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis
berulang yang diberikan dalam waktu 24 jam.
 Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa
tingkat dosis diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan
satu dosis per kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap
adanya efek toksik dan kematian. Hewan yang mati selama
percobaan dan yang hidup sampai akhir percobaan diotopsi untuk
dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas.
 Tujuan uji toksisitas akut oral adalah untuk mendeteksi toksisitas
intrinsik suatu zat, menentukan organ sasaran, kepekaan spesies,
memperoleh informasi bahaya setelah pemaparan suatu zat secara
akut, memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk
menetapkan tingkat dosis, merancang uji toksisitas selanjutnya,
memperoleh nilai LD 50 suatu bahan/ sediaan, serta penentuan
penggolongan bahan/ sediaan dan pelabelan.
 LD50 adalah besarnya dosis yang dapat membunuh 50%
hewan percobaan. Metoda penentuan LD50 umumnya
digunakan ada 2 macam, yaitu
 Metoda Grafik
 Metoda Farmakope Indonesia
 Menurut farmakope indonesia persyaratan yang harus
dipenuhi agar dapat menggunakan metode menurut
farmakope indonesia adalah :
1. Menggunakan seri dosis dengan pengenceran
berkelipatan tetap
2. Jumlah hewan percobaan/jumlah biakan jaringan tiap
kelompok harus sama
3. Dosis diatur sedemikian rupa sehingga memberikan efek
dari 0-100% dan perhitungan dibatasi pada kelompok
percobaan yang memberikan efek dari 0-100%
Tabel Nilai LC50 (letal Consentrasi)

Tingkat toksisitas LC50 (pada ikan) klasifikasi


1 < 1mg/ml Sangat beracun
2 1-100 mg/ml beracun
3 100-1.000mg/ml Cukup beracun
4 1.000-10.000 mg/ml Beracun ringan
5 10.000-100.000 mg/ml Hampir tidak beracun
6 > 100.000 mg/ml Tidak beracun
B. UJI TOKSISITAS SUBKRONIS ORAL

 Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk


mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan
uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan
uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10%
seluruh umur hewan.
 Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral adalah sediaan uji dalam
beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa
kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28
atau 90 hari, bila diperlukan ditambahkan kelompok satelit
untuk melihat adanya efek tertunda atau efek yang bersifat
reversibel. Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus
diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas.
C. UJI TOKSISITAS KRONIS ORAL

 Uji toksisitas kronis oral adalah suatu pengujian untuk


mendeteksi efek toksik yang muncul setelah
pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh
umur hewan.
 Prinsipnya sama dengan uji toksisitas subkronis,
tetapi sediaan uji diberikan selama tidak kurang dari
12 bulan.
D. UJI TERATOGENISITAS

 Uji teratogenisitas adalah suatu pengujian untuk


memperoleh informasi adanya abnormalitas fetus yang
terjadi karena pemberian sediaan uji selama masa
pembentukan organ fetus (masa organogenesis).
 Prinsip uji teratogenisitas adalah pemberian sediaan uji
dalam beberapa tingkat dosis pada beberapa kelompok
hewan hamil selama paling sedikit masa organogenesis
dari kehamilan, satu dosis per kelompok. Satu hari sebelum
waktu melahirkan induk dibedah, uterus diambil dan
dilakukan evaluasi terhadap fetus.
E. UJI SENSITISASI KULIT

 Uji sensitisasi kulit adalah suatu pengujian untuk


mengidentifikasi suatu zat yang berpotensi
menyebabkan sensitisasi kulit
 Prinsip uji sensitisasi kulit adalah hewan uji diinduksi
secara injeksi intradermal dan topikal untuk
membentuk respon imun, kemudian dilakukan uji
tantang (challenge test)
F. UJI IRITASI MATA

 Uji iritasi mata adalah suatu uji pada hewan uji (kelinci
albino) untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah
pemaparan sediaan uji pada mata.
 Prinsip uji iritasi mata adalah sediaan uji dalam dosis
tunggal dipaparkan kedalam salah satu mata pada
beberapa hewan uji dan mata yang tidak diberi perlakuan
digunakan sebagai kontrol. Derajat iritasi/korosi dievaluasi
dengan pemberian skor terhadap cedera pada konjungtiva,
kornea, dan iris pada interval waktu tertentu.
G. UJI IRITASI AKUT DERMAL

 Uji iritasi akut dermal adalah suatu uji pada hewan (kelinci
albino) untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah
pemaparan sediaan uji pada dermal selama 3 menit sampai
4 jam.
 Prinsip uji iritasi akut dermal adalah pemaparan sediaan uji
dalam dosis tunggal pada kulit hewan uji dengan area kulit
yang tidak diberi perlakuan berfungsi sebagai kontrol.
Derajat iritasi dinilai pada interval waktu tertentu yaitu
pada jam ke 1, 24, 48 dan 72 setelah pemaparan sediaan uji
dan untuk melihat reversibilitas, pengamatan dilanjutkan
sampai 14 hari.
H. UJI IRITASI MUKOSA VAGINA

 Uji iritasi mukosa vagina adalah suatu uji yang digunakan


untuk menguji sediaan uji yang kontak langsung dengan
jaringan vagina dan tidak dapat diuji dengan cara lain.
 Prinsip uji iritasi mukosa vagina adalah sediaan uji dibuat
ekstrak dalam larutan NaCl 0,9% atau minyak zaitun dan
selanjutnya ekstrak dipaparkan kedalam lapisan mukosa
vagina hewan uji selama tidak kurang dari 5 kali pemaparan
dengan selang waktu antar pemaparan 24 jam.
I. UJI TOKSISITAS AKUT DERMAL

 Uji toksisitas akut dermal adalah suatu pengujian untuk


mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat
setelah pemaparan suatu sediaan uji dalam sekali
pemberian melalui rute dermal.
 Prinsip uji toksisitas akut dermal adalah beberapa
kelompok hewan uji menggunakan satu jenis kelamin
dipapar dengan sediaan uji dengan dosis tertentu, dosis
awal dipilih berdasarkan hasil uji pendahuluan. Selanjutnya
dipilih dosis yang memberikan gejala toksisitas tetapi yang
tidak menyebabkan gejala toksik berat atau kematian.
J. UJI TOKSISITAS SUBKRONIS DERMAL

 Uji toksisitas subkronis dermal adalah suatu pengujian


untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah
pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang
diberikan melalui rute dermal pada hewan uji selama
sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh
umur hewan.
 Prinsip uji toksisitas subkronis dermal adalah sediaan uji
dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari yang
dipaparkan melalui kulit pada beberapa kelompok hewan
uji. Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus
diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas.
Uji Klinis
 Uji klinis terdiri dari 4 fase :
1. fase I
bertujuan untuk menentukan dosis tunggal yang dapat
diterima. Uji ini dilakukan pada manusia sehat.
2. Fase II
bertujuan untuk untuk melihat apakah efek farmakologik
yang tampak pada fase I berguna atau tidak untuk pengobatan.
Dilakukan pada 100-200 orang penderita
3. Fase III
bertujuan untuk mematikan bahwa suatu obat baru benar-
benar berkhasiat. Dilakukan pada 500 orang penderita.
4. Fase III
bertujuan untuk menentukan pola penggunaan obat di
masyarakat serta pola efektifitas dan keamanannya pada
penggunaan yang sebenarnya. Dilakukan setelah dipasarkan.
Daftar obat Fitofarmaka, OHT dan
1. Fitofarmaka
Jamu
 Stimuno 3. Jamu
 Tensigard 2. OHT  Antangin
• Diapet tablet
 Vipalbumin
• Mastin  Garcia
 Diabmeneer • Antangin JRG cair  Batugin elixir
nyonya meneer • Herbakof  Slimming tea
 Rheumeneer • Niran kapsul  Darsi kapsul
nyonya meneer • Lelap  Foredi gel
 X-gra • Herbacold  Pil tuntas
 Nodiar • Psidii capsul
• Tolak angin
 Inlacin tablet
 Diabetadex tablet
PUSTAKA

Barile, A, Frank, 2004. Clinical Toxicology principles and


mechanism, CRC Press LLC; New York
BPOM. 2014. Uji Toksisitas. Non Klinik. In Vivo.
Pedoman.
Ganiswarna,G,Sulistia, Dkk. 1995. Farmakologi Dan
Terapi Edisi 4. Gaya Baru ; Jakarta
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai