Anda di halaman 1dari 10

REAL ESTATE

NAMA: DODY TOSINDA


NIM : DBB 114 009
Warga Pasuruan istigosah. ©2012 Merdeka.com TNI AL Baret ungu menggelar latihan. ©2012
Merdeka.com
Merdeka.com - Gelar mediasi sengketa tanah antara warga Desa Sumberanyar, Dusun Curah
Timo, Nguling, Pasuruan, Jawa Timur dengan TNI AL, menghasilkan kesepakatan mediasi ulang setelah
lebaran. Warga bersikukuh lahan seluas 543 hektar di Desa Sumberanyar tetap berada dalam penguasaan
warga, bukan TNI AL.Sementara TNI AL, yang diwakili Letkol Laut (P) Sa'ban Nur S, tetap akan
menempati lahan tersebut sesuai dengan perintah negara."Pada intinya, kami tunduk pada negara. Kalau
negara memberikan tempat latihan di situ (Desa Sumberanyar) ya kami akan menempatinya. Kalau
pemerintah memberikan lahan untuk latihan di tempat lain, ya kami akan melaksanakannya," kata Sa'ban
usai gelar mediasi di Kantor Gubernur Jawa Timur, Senin, (9/7). TNI AL dan Lantamal, lanjut dia,
menyambut baik aspirasi warga. "Tapi bukan dengan cara demonstrasi turun jalan seperti ini. Kalau begini,
justru tidak akan menyelesaikan masalah," keluh dia.

Dia juga mengatakan, kalau pihaknya menyambut baik kedatangan warga duduk satu meja
untuk menyelesaikan masalah. "Dengan begitu, konsekuensi hukumnya jelas. Kalau sesuai dengan prosedur
hukum putusannya jelas, dan kami akan mentaati aturan hukum.

“Sementara itu, Kepala Desa Sumberanyar, Purwo Eko mengatakan, warga meminta lahan
dikembalikan fungsinya kepada warga. "Kami memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut berupa
patok. Dan tanah itu merupakan warisan nenek moyang kami secara turun temurun yang dipergunakan
untuk kepentingan bersama," kata dia.

Purwo menyebut, dari hasil mediasi yang dihadiri pihak TNI AL, BPN Jawa Timur dan Pasuruan
itu, menghasilkan kesepakatan, kalau Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur akan mengadakan
mediasi kembali usai lebaran. "Kami tidak tahu kapan mediasinya digelar lagi. Katanya selesai Hari Raya,"
pungkas dia. Seperti diberitakan sebelumnya, ratusan warga Desa Sumberanyar, Dsn Curah Timo, Nguling,
Pasuruan, Jawa Timur gelar istighosah di depan pintu masuk Kantor Gubernur Jawa Timur.Warga
Pasuruan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Tani Sumberanyar (FKTS) itu, menuntut pihak
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur untuk segera menindaklanjuti permasalahan sengketa tanah
di Desa Sumberanyar. [ian]
Sengketa tanah pada studi kasus yang terjadi
dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya
merupakan konflik laten. Dari berbagai kasus yang
terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa tanah
tidaklah terjadi seketika, namun tumbuh dan terbentuk
dari benih-benih yang sekian lama memang telah
terendap.
Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian
besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir seluruhnya
bukan hanya individual, namun melibatkan tataran
komunal. Keterlibatan secara komunal inilah yang
memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi
kerusuhan massal yang menelan banyak korban.
Tatkala kerusuhan meledak, rakyat lah yang kerap
menanggung akibat yang paling berat.
Pada konteks kasus-kasus sengketa tanah ini, kiranya bukan sekadar desas-desus jika ada
cerita, negara justru kerap bersekongkol dengan para pemilik modal. Rakyat cukup diberi
ilusi semua demi negeri ini, demi terwujudnya kehidupan masyarakat. Mereka yang menolak
ilusi tersebut, gampang saja solusinya tinggal memberinya shock therapy dengan teror,
intimidasi, dan tindakan refresi.
• Dalam Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
telah mengamatkan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia” adalah
salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam penanganan sengketa
agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang ditempuh oleh (aparat)
negara itu tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis.

• Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya
termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki
tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu
dan juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan
Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang
dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika
warga negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah
mereka. Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun
ternyata bukan solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat
lebih dari satu, pada kasus Meruya yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan, pada
beberapa kasus, sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi
salah prosedur).
a) Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres.
Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin pula
karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah.

b) Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi


kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan
ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah,
khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi
tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.

c) Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat),
tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak
tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah
membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan
begitu saja.Ironisnya ketika masyarakt miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut
dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampanya mereka
dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul sengketa.
Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan
masyarakat, masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan
pemerintah yang kerap berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan
perlu dilakukan penyelesaian sengketa alternatif (PSA). Saat ini di Indonesia
belum ada langkah PSA, selama ini permasalahan sengketa pertanahan selalu di
selesaikan di pengadilan dimana biasanya dalam proses pengadilan tersebut
membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup mahal dan tidak bisa
langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke pengadilan
perlu dibuat mekanisme PSA. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan
membuat arbitrase pertanahan, dimana lembaga mediasi bertugas
mempertemukan pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai
tugas untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada di
pengadilan
https://www.merdeka.com/peristiwa/sengketa-lahan-tni-al-dan-warga-di-
pasuruan-belum-usai.html

Anda mungkin juga menyukai