Research Fields & Date of Origins Main Discipline(s) Key themes
1910s: Environmental determinism Geography
Understanding the 1930s: Environmental possibilism Anthropology, History human-environment 1950s: Cultural ecology Anthropology interaction 1960s: Ecosystem-based model Anthropology Cultural adaptation to environment 1970s: Actor-based model Anthropology 1980s: Systems model Anthropology 1980s: Progressive contextualization Anthropology Geography, Sociology & Political economy of 1980s: Political Ecology Anthropology, environmental change Culture and nature 1990s: Coevolutionary process Anthropology, Sociology coevolve and response each other Geography, Sociology & Environment, development 1990s: Liberation ecologies Anthropology & social movements
Human Ecology Field
Determinisme Lingkungan (Environmental Determinism)
• Ellen C. Semple (1911): seluruh kebudayaan & perilaku manusia
pada dasarnya dipengaruhi langsung oleh faktor-faktor lingkungan (iklim, topografi, sumber daya alam, geografi). • Bangsa Inggris menjadi pelaut handal karena secara geografis Kerajaan Inggris merupakan daratan (kepulauan) yang dikelilingi laut. Bangsa Arab merupakan penganut agama monoteis karena bermukim di gurun pasir yang kosong yang mendorong mereka hanya menyembah kepada Tuhan yang Maha Esa. Bangsa Eskimo merupakan masyarakat primitif, nomaden & miskin karena kondisi alam yang keras & keterbatasan sumber daya alam. • Pandangan ini mendominasi kalangan ilmuwan geografi hingga tahun 1920an. Banyak kontroversi, dan terkesan sangat reduksionis Posibilisme Lingkungan (Environmental Possibilism)
• Muncul sebagai kritik terhadap pendekatan deterministik.
Alam bukan penentu terbentuknya elemen atau pola kebudayaan tertentu, melainkan sebagai pembatas bagi hadir tidaknya elemen atau pola kebudayaan dimaksud. • A.L Kroeber (1939): suku Indian yang bermukim di belahan Utara Amerika tidak dapat mengembangkan budidaya jagung seperti saudara mereka di belahan Selatan Amerika karena iklim di belahan Selatan lebih cocok dibanding di Utara. • Arnold Toynbee (1947): respon masyarakat terhadap lingkungan alam menjadi penentu berkembang tidaknya peradaban di masyarakat bersangkutan. Contoh, masyarakat eskimo vs masyarakat tropis. Ekologi Budaya (Cultural Ecology)
• Julian Steward (1968): Ekologi budaya adalah studi yang
mempelajari bagaimana suatu masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya. Persoalan utamanya: sejauh mana adaptasi tersebut mendorong terjadinya transformasi sosial internal, atau perubahan yg bersifat evolusioner. • Postulat: adaptasi lingkungan tergantung pada teknologi, kebutuhan, struktur masyarakat, dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Termasuk dalam hal ini adaptasi terhadap lingkungan sosial • Dalam konteks ekologi budaya, maka kebudayaan dipahami sbb: 1) dalam proses adaptasi, berbagai komponen kebudayaan seperti teknologi, bahasa, masyarakat, dan gaya hidup, memberi respon yang berbeda-beda; 2) sistem sosio-budaya dari berbagai level integrasi yang berbeda, akan mempunyai pengaruh yang berbeda- beda terhadap interaksi faktor biologi, lingkungan fisik, dan kebudayaan Lanjutan…
• Studi Steward ttg komunitas Indian Shosone: bahwa kepadatan
penduduk yang rendah, populasi yang sangat tersebar, organisasi sosial yang berukuran kecil (band), pola pemukiman yang fleksibel, batas teritori yg tidak jelas, serta tidak adanya pemimpin yang kuat; merupakan buah atau refleksi tidak adanya teknologi dikalangan Shosone yang mampu memanfaatkan sumber daya yang tersedia sporadis dan tersebar di berbagai lokasi, menjadi sumber pangan dalam jumlah yang besar dan kontinyu. • Tidak semua elemen budaya komunitas Shosone lahir karena atau dapat dijelaskan dari sudut ekologi. Ada banyak elemen budaya yang lahir karena proses difusi dgn kebudayaan lain. Elemen yang secara signifikan merupakan hasil adaptasi dengan lingkungan alam inti kebudayaan (cultural core). • Walau masih harus dikaji lebih lanjut, Steward memandang teknologi, ekonomi, populasi dan organisasi sosial merupakan bagian dari inti kebudayaan Pendekatan Ekosistem
• Di komunitas suku Tsembaga Maring, Papua Nugini, upacara
adat merupakan elemen penting untuk memelihara jumlah populasi agar seimbang dgn sumberdaya yang tersedia disekitarnya. Dalam konsep Steward, elemen ini tidak tergolong sebagai inti budaya. • Dikalangan antropolog sering timbul pertanyaan: mengapa banyak komunitas di Papua Nugini yang mengkonsumsi babi hanya pada saat acara adat? Bukankah untuk kebutuhan protein hewani lebih baik mengkonsumsi sedikit tetapi sering? • Hasil riset Rappaport: 1) memaksimumkan kebutuhan protein disaat puncak kebutuhan komunitas Tsembaga; 2) untuk memelihara jumlah populasi penduduk seimbang dengan sumber daya alam di sekitarnya. Lanjutan….
• Upacara adat (pesta babi) dilakukan bila ada penyakit,
luka-luka, perang suku (sebelum & sesudah perang), & pernikahan. • Bila jumlah populasi babi sudah tinggi pesta babi perang suku pesta babi (babi dibagikan juga kpd suku lain yang menjadi sekutu) populasi babi & penduduk turun masa produksi populasi babi & populasi penduduk mulai meningkat populasi babi meningkat siklus berulang • Upacara adat merupakan regulator ekosistem alam dan populasi penduduk Pendekatan Aktor Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipisahkan dari konteks ekonomi dan politik. Bryant and Beiley (2000) dalam pendekatan aktor menyebutkan bahwa; 1.Pengelolaan SDA sesungguhnya merupakan ajang pertarungan kepentingan berbagai pihak untuk akses, penguasaan dan kontrol atas SDA. 2.Kerusakan SDA timbul ketika terjadi ketidaksetaraan kekuasaan (power) dikalangan para pihak yang terlibat 3.Dampak sosial-ekonomi yang tidak setara diantara berbagai aktor yang terlibat Pendekatan Sistem • Pendekatan system merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. • Pendekatan system umumnya ditandai oleh dua hal: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) membuat suatu model untuk membantu keputusan secara rasional. Progressive Contextualization
• Progressive contextualization (PC) is a scientific method
pioneered and developed by professor Andrew P. Vayda and research team between 1979 and 1984. • The method was developed to help understand cause of damage and destruction of forest and land during the New Order Regime in Indonesia, as well as practical ethnography. Vayda proposed the Progressive contextualization method due to his dissatisfaction with several conventional anthropological methods to describe accurately and quickly cases of illegal logging, land destruction and the network of actor-investor protecting the actions, as well as various consequences detrimental to the environment and social life Pendekatan Ekologi Kritis Pertengahan 1980an mencari jawaban yang lebih mendalam apa sesungguhnya yang menjadi penyebab (driver) kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan, serta mencari cara pandang (paradigma) serta jawaban yang lebih tepat atas hal tersebut.
Pendekatan dan teori-teori yang muncul antara lain:
Ekologi politik Sosiologi lingkungan Ekologi sosial Modernisasi ekologi Ekofeminisme Ekologi Politik
• The phrase “political ecology” combines
the concerns of ecology and a broadly defined political economy. Together this encompasses the constantly shifting dialectic between society and land-based resources, and also within classes and groups within society itself. Blaikie dan Brookfield (1987) Structural-Radical Political Ecology • Developed 1970s – 1980s. Much influenced by the Neo- Marxism approach (Peet and Watts 1996:2; Bryant and Bailey 1997:3). Local conflict/change of resource use is the outcome of the global production process The political economy of soil erosion in Developing Countries (Blaikie 1985). • 1990s: the Neo-Weberian approach dominated the structural- radical political ecology. Conflict/change of resource use is the outcome of unequal power relations between various actors rather than as an outcome of global production process. • Peluso combined the Neo-Marxian and Neo-Weberian approach Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java (1992) Post Structural Political Ecology • The interpretation, notice and meanings to nature comes from direct experience and cultural repertoire (value system, traditions, religions, education, etc), economics, technology, science and myths of all kind Nature is “socially constructed”. • Post-structural political ecology questions the powerful environmental knowledge (scientific, formal, state sponsored) that controlled, immiserated and impoverished (both materially and culturally) peoples in many places. • Post-structural focuses its attention on how, by whom, and why environmental knowledge, discourses and narratives are produced, represented, contested and entered into politics (Blaikie 1995: 143; Peet and Watts 1996). EKONOMI POLITIK • Caporaso dan Levine (1992, 2003) periode klasik dalam ekonomi politik dimulai sejak terbitnya Wealth of Nation karya Adam Smith pada tahun 1776 sampai terbitnya buku Principle of Political Economy karya John S. Mill pada tahun 1848. Dari berbagai mahakarya para pemikir ekonomi politik klasik, Karl Marx di yakini sebagai tokoh ekonomi politik penting yang terakhir. • Akumulasi Primitif • Studi Agraria sebagai anak kandung ekonomi politik, dengan demikian, maka studi agraria akan selalu menggunakan pendekatan ekonomi politik. Irisan Ekologi – Ekonomi Politik • Baik Ernst Haeckel (Ekologi), maupun Marx (Ekonomi Politik) mengakar pada tradisi Darwinisme (sosial) • Richard Hofstadter pada tahun 1944. Hofstadter (1944, 1955) dalam Weikart (1993) mendefinisikan Darwinisme Sosial sebagai sebuah ideologi yang menggunakan pandangan kompetitif dalam melihat dunia dan konsep Darwin tentang "the struggle for existence" yang diterapkan dalam teori sosial sebagai dasar ideologinya. Persimpangan Eko – Eko Politik • Ekologi Politik mampu memiliki perspektif yang tidak tunggal, Strukturalisme dan Post-Strukturalisme. • Sementara Ekonomi Politik terbatas pada perspektif tunggal. Strukturalisme ! Sekalipun ada tokoh pemikir yang menggunakan analisis Post-Strukturalisme dalam studi Agraria, seharusnya ia tidak lagi di sebut Ekonomi Politik, tetapi Ekologi Politik. Kritik; Eko-Anarkisme sebagai Ekologi Politik yang melampauinya
• Eko-Anarkisme mengakar pada teori
Kropotkin (1902) tentang Mutual Aid. • Bookchin adalah orang yang meneruskan (sekaligus melampaui) Kropotkin dengan membuat teori Ekologi Sosial. • Gagasan utamanya adalah tentang dominasi alam oleh manusia, berasal dari dominasi yang sangat nyata dari manusia terhadap manusia. Lanjutan... • Jika bagi Marxis ortodoks “kepemilikan pribadi” merupakan sumber segala bentuk ketidakadilan sosial (termasuk pada alam), dimana bagi Anarkis ortodoks hal tersebut terletak pada “Negara”, Maka Bookchin melekatkan dosa tersebut kepada “Hirarki” • Pandangan tersebut secara langsung menyadarkan bahwa dibutuhkan Demokrasi langsung, Desentralisasi, Swadaya pemenuhan kebutuhan, Swadaya pemberdayaan dalam bentuk komunal dalam kehidupan sosial. Yang akan membentuk komune yang non-authoritarian. ANARKISME - EKOLOGI • Eckerslay (1992) dalam Papper (1993) Eko-Anarkisme terbagi menjadi Ekologi Sosial dan Eko-Komunalisme : Dasar Prinsip Ekologi Sosial • Mutual Aid • Tindakan Kolektif • Pengelolaan Bersama • Kepemilikan Komunal
Menariknya pemikiran Kropotkin tentang teori Mutual Aid
sering kali terlupakan, dan kemudian “dicaplok” oleh Negara dengan berbagai program “ilusi” kemitraan maupun pemberdayaan-pemberdayaan “semu” nya, padahal sejarah mutual aid dan tindakan kolektif sudah ada sekuno kehidupan manusia itu sendiri. Selama ribuan tahun manusia telah membangun strategi nafkahnya dengan meramu, berburu dan menangkap ikan secara kolektif. Sharing Power; Paktik Ekologi Anarkis
Gambar 1. Empat Tipe Transfer Kewenangan (Meinzen- Dick dan Knox 2001; Adiwibowo 2013) Sekian Terimakasih