HUKUM ISLAM
KELOMPOK 6 :
a) Ijmali : yaitu ayat Al-Qur’an yang kandungannya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut
dalam pelaksanaannya. Artinya, penjelasan dalam ayat tersebut tidak implementatif, tidak bisa
langsung diamalkan karena penjelasannya yang masih umum. Untuk mempraktekkanya
diperlukan petunjuk lain yang berasal dari hadis Nabi. Contoh : masalah sholat.
b) Tafshili : yaitu ayat yang kendungannya sudah jelas dan sempurna, dalam arti dapat langsung
diamalkan. Ayat yang termasuk kategori ini tidak memerlukan lagi penjelasan dari dalil lain.
Termasuk dalam kelompok ini adalah ayat ayat tentang masalah akidah, hukum waris,
dan sebagainya.
Persoalan lain yang mendapat perhatian khusus dalam kajian fiqh dan ushul fiqh adalah
tentang konsep Qat’y dan Zhanny. Konsep ini berhubungan dengan dalalah atau petunjuk yang
terdapat dalam ayat ayat Al-Qur’an. Dalam penerapannya, konsep ini menyangkut dua hal ; yaitu
al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan makna)
Qat’y adalah lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami dengan
makna lainnya, yang tidak memerlukan ijtihad dan ta’wil. Sedangkan Zanny adalah lafal yang meng
andung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwil dan dapat diijtihadi, artinya
ayat ini dapat menimbulkan makna yang bervariasi, sehingga terbukalah ruang untuk berijtihad
untuk menentukan makna yang tepat.
Qat’y dan Zanny adalah konsep atau teori untuk memahami nas Al-Qur’an dalam rangka
penalaran fiqh. Konsep ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi dirumuskan oleh ulama fiqh dan
ushul fiqh dengan penekanan pada sudut bahasa dan bukan pada ide. Konsep ini pada mulanya
berakar dari pemikiran Imam Syafi’I dalam kitab Ar-Risalah, yaitu dalam pembahasan tentang
pengetahuan hukum yang diperoleh berdasarkan khabar ahad dan penjelasan tentang otoritas
qiyas
2. Al-Hadist
A. Kedudukan Hadist
Kedudukan Hadist sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada
keterangan ayat-ayat Alquran dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan
para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti
hadist, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat. Menurut
bahasa Hadist artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik d
an ada pula yang buruk. Pengertian Hadist seperti ini sejalan dengan makna hadis Nabi
yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala
bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakannya; dan barang
siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang
buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Hadist memiliki fungsi yang
pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari
adanya sebagian ayat Alquran : Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan
perincian, Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian, Yang
bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula Isyarat Alquran
yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang menghendaki penetapan makna
B. Kesahihan Hadist
Para ulama Hadis mebagi jenis jenis hadis berdasarkan kuantitas dan kualitas
rawinya. Berdasarkan kuantitas rawi, hadis dibagi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
Jumhur muhaddisin menerima secara langsung hadis mutawatir sebagai dalil, sedangkan
terhadap hadis ahad penerimaannya sebagai dalil harus melalui takhrij atau penelitian
kesahihan.
Berdasarkan kualitasnya, maka hadis dibagi menjadi tiga, yaitu hadis sahih, hasan,
dan da’if. Dari jenis jenis hadis diatas, jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa yang dapat
digunakan sebagai sumber hukum adalah hadis mutawatir, hadis sahih dan hadis hasan.
Hadis dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujah hukum. Namun sebagian ulama, seperti
Imam Hambal Ibn Hambal dan Ibnu Hajar al-Asqalani membolehkan menggunakan hadis
dhaif sebagai dalil dengan syarat kedha’ifanya tidak terlalu lemah, memiliki beberapa jalur
sanad, dan tidak mengatur masalah yang pokok, hanya sampai hukum sunnah atau makruh.
Dalam kajian fiqh ushul fiqh, hadis yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum,
disamping tiga jenis yang sudah disebutkan di atas, juga isinya mengandung ketetapan
hukum. Hadis kategori ini disebut dengan istilah hadis hukum. Para ulama menyusun kitab
hadis yang khusus berisi tentang persoalan hukum. Kitab ini disebut dengan Kitab Hadis
Ahkam, yaitu karena disusun dengan menggunakan sistematika fiqh.
C. Fungsi Hadis terhadap Al-Qur’an
Sebagai sumber hukum Islam, Al-Qur’an dan Hadis memiliki hubungan tertentu.
Berdasarkan kedudukannya, hadis berfungsi sebagai penjelas ayat ayat Al-Qur’an. Para
ulama membagi fungsi hadis terhadap Al-Qur’an sebagai berikut :
Di sisi lain terdapat Hadist yang menjelaskan hal yang sama yaitu :
“tidak diterima salat seseorang yang berhadas sampai ia berwudhu”.
Hadis ini menjelaskan tentang status hukum wudhu sebagai syarat sah salat, hal mana juga
ditegaskan dalam Al-Qur’an. Penjelasan inilah yang menempatkan hadis tersebut sebagai
bayan taqrir.
III. Bayan Tasyri’
yaitu hadist yang menetapkan berlakunya hukum baru yang belum ada
ketetapannya di dalam Al-Qur’an. Contohnya : hadist yang menjelaskan tentang penetapan
zakat fitrah yang berbunyi :
“bahwasanya Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan
Ramadhan (sebanyak) satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik yang merdeka,
atau budak, laki-laki maupun perempuan.”
Dalam penggunaannya sebagai sumber ijtihad, para ulama cenderung
menganggap Al-Qur’an dan Hadist sebagai satu kesatuan. Ayat mana saja boleh ditafsirkan
dengan hadist mana saja tanpa memperhatikan unsur waktu dan keterkaitan antara
keduanya. Disamping itu terdapat ulama yang memandang kedudukan hadist lebih rendah
dari Al-Qur’an. Hal ini berseberangan dengan fungsi hadist sebagai penjelas Al-Qur’an, yang
mana antara penjelas dengan yang dijelaskan harus memiliki hubungan sebab akibat. Oleh
karena itu, pemahaman terhadap fungsi hadis sebagai penjelas Al-Qur’an dalam tataran
praktisnya, bukanlah sesuatu yang mudah. Diperlukan berbagai ilmu pendukung, khususnya
aspek historis, guna melihat keterkaitan antara penjelasan dalam hadis dengan ketentuan
dalam Al-Qur’an.
Sumber Hukum Islam Sekunder
1. Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran
atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala
kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Al-Qur’an
dan hadist. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist.
Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam
Al-Qur’an maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran
dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist.
Ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu : Ijma’, yaitu menurut bahasa
artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan
pendapat ahli Ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa,
tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu
keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Macam-macam Ijtidah yang Dikenal Dalam Syariat Islam
I. Qiyas
Yang secara etimologis berarti “mengukur”, “membandingkan” sesuatu dengan sesuatu
yang lain, didefinisikan oleh para ahli hukum Islam dengan menyamakan hukum cabang
kepada hukum asal, karena sama alasannya. Qiyas adalah menganalogikan suatu masalah
yang belum ada ketetapan hukumnya (nash/dalil) dengan masalah yang sudah ada
ketetapan hukumnya karena adanya persamaan ‘illat.
Dalam pelaksanaanya, qiyas harus memenuhi rukun-rukun sebagai berikut:
֍ Ashl (Maqis alaih): yaitu masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya atau sudah ada
nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadist.
֍ Furu’ (Maqis): yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan hukumnya.
֍ Hukm Ashl: yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan oleh nash.
֍ ‘illat: yaitu sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat: sifatnya nyata dan dapat
dicapai dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai.
Para ulama membagi tingkatan qiyas berdasarkan kekuatan hukum pada furu’ jika
dibandingkan dengan hukum pada ashl. Tingkatan tersebut adalah:
Qiyas Aulawi
Jika hukum pada furu’ lebih kuat daripada ashl, seperti mengqiyaskan memukul dengan
kata “ah”. Hukum pada ashl adalah larangan berkata “ah” kepada orang tua, sedangkan
hukum yang sedang dicari ketetapannya (furu’) adalah “memukul” orang tua. Dalam
kasus ini hukum “memukul” dianggap lebih kuat daripada berkata “ah”.
Qiyas Musawi
Jika hukum pada furu’ sama kuatnya dengan hukum pada ashl, seperti hukum memakan
harta anak yatim diqiyaskan dengan hukum membakar harta anak yatim. Antara hukum
“memakan” dengan “membakar” sama kuatnya, yaitu sama-sama menghabiskan.
Qiyas Adna
Jika hukum pada furu’ lebih lemah dari pada hukum ashl, seperti mengqiyaskan apel
dengan gandum dalam halzakat fitrah. Hukum ashlnya adalah membayar zakat fitrah
dengan gandum, sedangkan hukum furu’ yang sedang dicari ketetapannya adalah
berzakat dengan apel. Kedudukan “apel” dianggap lebih lemah daripada “gandum”
karena gandum adalah jenis makanan pokok, sedangkan apel hanya jenis buah-buahan
yang tidak termasuk makanan pokok.
II. Istihsan
Secara etimologi, ‘urf berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima
akal sehat. Menurut ulama usul fiqh, ‘urf adalah kebiasaan mayoritas masyarakat baik dalam
perkataan maupun perbuatan. Atas dasar definisi ini ulama membagi ‘urf dalam tiga macam :
1) Daris segi objeknya, ‘urf lafzi dan ‘urf lafdi adalah kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal tertentu untuk maksud tertentu.
2) Dari segi cakupannya, ‘urf duibagi dua : urf am dan urf khas. Urf am artinya
kebiasaan yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan, Urf khas artinya
kebiasaan yang berlaku di daerah atau masyarakat tertentu.
3) Dari segi kebasahannya menurut hukum syara’, urf dibagi dua : urf sahih dan urf
fasid. Urf sahih adalah kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash,
sedang urf fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan nash.
VI. Saddudz Dzari’ah
Secara bahasa Saddudz Dzari’ah berarti melarang jalan yang menuju kepada
sesuatu. Para ulama mendifinisikannya dengan “mencegah sesuatu yang menjadi jalan
kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan”.
Jika ada suatu perbuatan baik tetapi dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka
menurut metode ini perbuatan tersebut harus dicegah atau dilarang.
۞ Kesimpulan
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang
menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah
Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya
sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu terdapat beberapa
bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab,
istislah, istihsun, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
Al-Qur’an adalah sumber hukum utama yang menjadi panutan atau pedoman bagi
umat islam tetapi disamping itu hadist merupakan sumber hukum pendukung dari Al-Qur-an
itu sendiri. Jadi, pedoman hukum tidak harus di Al-Qur’an saja tetapi bisa menggunakan
hadist shahih sebagai sarana pendukung.
Thank you