Anda di halaman 1dari 54

Textbook Reading

Subdural Hematoma
Rezky Ilham Saputra
Khairunisa Sinulingga
Thariq May Ulfa
Yohanna Fransisca Sinuhaji
Daniel Ivan Sembiring
Zoe Badawi

Pembimbing: dr. Abdurrahman Mousa Arsyad, M.Ked(Neurosurg), Sp.BS


Anatomi Kepala
SCALP
Tulang Tengkorak
Vaskularisasi kulit kepala
Meningens
• Duramater
• Arakhnoid
• Piamater
Duramater
• Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
• Merupakan selaput otak terluar yang terdiri dari dua lapisan
• Lamina eksterna  jaringan fibrosa padat yang melekat erat pada periosteum kalvaria dan
banyak mengandung pembuluh darah dan saraf.
• Lamina interna  lapisan sel pipih yang membentuk sekat-sekat otak (falks serebri,
tentorium serebelli, falks serebelli, diafragma sela dan kavum trigeminal Meckeli)
• Oleh karena duramater tidak melekat erat pada
selaput arachnoid dibawahnya, maka terdapat
suatu rongga potensial (ruang subdura) yang
terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana pada ruang dapat dijumpai perdarahan
subdural.

• Pada cedera otak, pembuluh vena yang


berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah disebut
Bridging veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural.
• Arteri meningea terletak antara duramater
dan permukaan dalam dari cranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural.

• Yang paling sering mengalami cedera


adalah arteri meningea media yang
terletak paa fossa temporalis (fossa
media)
• Persarafan duramater ini terutama • Sinus-sinus venosus dalam rongga
berasal dari cabang n.trigeminus, tiga kranialis terletak diantara lapisan-
saraf servikalis bagian atas, bagian lapisan duramater. Fungsi utamanya
servikal trunkus simpatikus dan adalah menerima darah dari otak
n.vagus. melalui vena-vena serebralis dan
cairan serebrospinal dari ruang-ruang
• Arteri mensuplai duramater, yaitu subarachnoidea melalui villi
arteri karotis interna, arteri arachnoidalis. Darah dalam sinus-
maxillaries, arteri paringeal asenden, sinus duramater akhirnya mengalir ke
arteri occipitalis dan arteri vetebralis. dalam vena-vena jugularis interna di
Arteri meningea media berasal dari leher.
arteri maxillaries dalam fossa
temporalis, memasuki rongga
kranialis melalui foramen spinosum
dan kemudian berjalan antara lapisan
meningeal dan endosteal duramater
Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah
Dalam perjalananya sinus sagitallis superior yang bebas dari falx serebri, berjalan kebelakang
menerima vena serebralis superior. Pada dan bersatu dengan vena serebri magna pada
protubereantia occipitalis interna, sinus sagitalis tepi bebas tentorium cerebelli membentuk sinus
berdilatasi membentuk sinus konfluens. Dari sini rektus. Sinus rektus menempati garis
biasanya berlanjut dengan sinus tranversus yang persambungan falx serebri dengan tentorium
berlawanan dan menerima sinus occipitalis. serebelli, terbentuk dari persatuan sinus sagitalis
inferior dengan vena serebri magna, berakhir
membelok kekiri membentuk sinus transversus.

Sinus kanan biasanya berlanjut dengan sinus


sagitalis superior, dan bagian kiri berlanjur dengan
sinus rektus. Sinus sigmodeius merupakan lanjutan
langsung dari sinus transversus yang akan
melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis
interna.
Arakhnoid
Lapisan avascular yang berada di bawah lapisan duramater. Di
bawah lapisan arachnoid terdapat rongga subarachnoid yang
mengandung trabekula, pembuluh arah, nervus kranialis, dan
dialiri oleh cairan serebrospinal.
Piamater
Lapisan ini berada di bawah arachnoid dan dihubungkan
dengan jaringan ikat tipis. Lapisan ini terdiri dari lapisan
tipis sel-sel mesoderm yang mirip endothelium.
Perlekatan piamater dengan korteks otak melalui astrosit
marginal, yang membuatnya menempel mengikuti
lekukan korteks dalam sulkus.
Subdural Hematoma
• Subdural hematoma adalah akumulasi arah yang terjadi antara bagian dalam
duramater dengan arakhnoid.
• Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau vena-vena kecil di
permukaan korteks serebri.
• Subdural hematoma lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita yaitu
2:1
• Insiden subdural hematoma kronis meningkat tinggi pada dekade kelima hingga
ketujuh kehidupan.
• Subdural hematoma akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera
kepala berat.
• Tingkat mortalitas SDH akut berkisar 45-63%
Klasifikasi
• SDH akut
48-72 jam setelah cedera
• SDH subakut
3-20 hari setelah cedera
• SDH kronik
3 minggu-beberapa bulan
Mekanisme Cedera
• Trauma kapitis
• Trauma di tempat lain yang mengakibatkan geseran atau putaran otak terhadap
duramater
• Trauma pada leher karena guncangan pada badan
• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di ruang subdural
• Gangguan pembekuan darah
• Pasca operasi
• Pada orangtua, alkoholik, dan gangguan hati
Pemeriksaan Umum
1. Anamnesis
• riwayat trauma ada atau tidak
• Riwayat penurunan kesadaran
• Riwayat sadar di antara dua fase tidak sadar
• Apakah ada muntah
• Apakah ada kejang
• Apakah ada kelemahan anggota gerak
• Penyakit penyerta lain, obat-obatan, riwayat alkohol
2. Pemeriksaan Fisik
• Primary survey : A B C D E
• Pemeriksaan neurologik : GCS, pupil, tanda-tanda defisit neurologis fokal
3. Pemeriksaan penunjang
• Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, profil hemostasis
• Foto tengkorak schedel
• CT scan
• MRI
SUBDURAL HEMATOMA AKUT
Hematoma Subdural
• Perdarahan terjadi di antara duramater-arakhnoid
akibat robeknya “bridging vein”
• Jenis :
• Akut : 48-72 jam setelah cidera
• Subakut : 3-20 hari setelah cidera
• Kronik : 3 mingg-beberapa bulan
Patofisiologi
SDH akut akibat robekan kapiler cortical yang disebabkan akselerasi otak dalam kranium
Sumber perdarahan lain :laserasi atau ruptur arteri dan vena kecil di korteks
Subdural hematoma di sepanjang konveksitas cerebral (temporal, frontal, parafalcine
subdural hematom)
Tekanan vena cerebral membuat SDH bertambah besar
Gejala Klinis
Gambaran klinis tergantung letak lokasi dan luasnya perdarahan
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik 24 sampai 48 jam setelah
cedera
Gangguan neurologik progresif akibat penekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak
Apabila tekanan batang otak telah terjadi, terjadi henti napas, hilangnya kontrol denyut
nadi dan tekanan darah
Gejala klinis pasien dengan SDH akut supratentorial, yaitu pupil abnormal, hemiparese,
kejang, afasia, deserebrasi dan lateralisasi
Subdural Hematoma

• Diagnostik : CT Scan otak ditemukan


gambaran hiperdens diantara
duramater dan araknoid, umumnya
karena robekan dari bridging vein dan
tampak seperti bulan sabit (crescent
shape).
A B

• A= Subdural
Hematoma
• B=Parafalcine Subdural
Hematoma
• C=Gambaran SDH akut
C dengan herniasi
subfalcine dan
herniasi uncal
Tatalaksana
Dalam menentukan terapi, harus memperhatikan kondisi klinis dengan gambaran
radiologisnya
Dalam masa persiapan tindakan operasi, digunakan medikamentosa untuk menurunkan
TIK, seperti: manitol 0,25 g/kgBB atau furosemid 10 mg intravena dan hiperventilasi
Kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc atau kurang), edema otak minimal,midline
shift <5 mm dilakukan tindakan konservatif
iIndikasi Pembedahan:
• Suatu subdural hematoma akut dengan keebalan >10 mm atau pergeseran midline shift >5 mm pada
gambaran CT SCAN, harus dilakukan tindakan operasi tanpa melihat derajat kesadaran pasien (GCS)
• Semua pasien dengan subdural hematoma akut dalam keadaan koma (nilai GCS lebih rendah daripada 9)
harus menjalani pemantauan tekanan intrakranial
• Pasien koma (nilai GCS lebih rendah dari 9) dengan ketebalan SDH <10 mm dan peregeseran midline shift <5
mm merupakan indikasi operasi untuk evakuasi hematoma, bilamana nilai GCS menurun 2 angka atau lebih
pada waktu antara trauma dan ketika masuk ruma sakit. Demikian pula bila pada pasien ditemukan pupil
asimetris atau dilatasi dan atau tekanan intrakranial >20 mmHg

Waktu pelaksanaan:
• Pasien dengan SDH akut yang terindikasi operasi, harus menjalani tindakan operasi evakuasi hematoma
secepatnya
Metode
• Pada pasien koma (GCS <9) terindikasi tindakan operasi, harus menjalani tindakan kraniotomi dengan atau
tanpa pengangkatan tulang kranium dan duraplasti
SUBDURAL HEMATOMA KRONIK
Epidemiologi
• 5-25% pasien dengan cedera kepala berat.

• 1,5-3 kasus per 100.000 penduduk pertahun.

• Laki-laki > Perempuan (3:1)

• Tertinggi terjadi pada usia 50-70 tahun

• Pada kasus infant dapat terjadi SDH interhemisphere pada kejadian child abuse
Patofisiologi
• Virchow (1857) “pachymeningitis haemorrhagica interna “

Diperkirakan bahwa infeksi bakteri (meningitis) dikendalikan respon inflamasi kronis di


duramater, menghasilkan eksudat fibrin dan pertumbuhan kapiler baru.

• Inflamasi terjadi juga pada proses cedera kepala.

• Sel-sel inflamasi direkrut masuk kedalam ruang subdural untuk memperbaiki dural
border cells → terbentuk membrane baru dan pembuluh darah baru → terjadi
kebocoran atau perdarahan kecil yang masuk ke ruang subdural
• Bridging vein akan meregang ketika volume otak mengecil walaupun hanya
trauma kecil sehingga dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.

• Perdarahan akibat robekan vena terjadi secara perlahan.

• Hematoma yang besar dapat menyebabkan terbentuknya membrane vaskuler yang


membungkus hematoma tersebut.

• Pembuluh darah pada membrane tersebut sangat rapuh, sehingga dapat berperan
dalam pertambahan volume dari perdarahan subdural.

• Saat tekanan intracranial terlalu tinggi dan tidak dapat lagi dikompensasi vena,
memicu penurunan perfusi serebral dan iskemia serebral, bahkan dapat pula
terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin .
Gejala Klinis
• Dapat terjadi tanpa ada riwayat trauma.
• Gejala umum → sakit kepala yang diikuti dengan penurunan kesadaran
.
• Gejala tidak langsung muncul, bisa dalam hitungan hari, minggu bahkan
beberapa bulan setelah cedera pertama.
• Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan
lebih lanjut dengan merobek membrane atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
• Kerusakan lobus frontalis
- Kerusakan kecil → tidak ada perubahan perilaku yang nyata, namun bisa ada kejang

- Kerusakan luas → menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan inkontinensia.

Kerusakan yang luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan
perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan
kejam
• Kerusakan lobus parietalis
- Kerusakan kecil → mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.

- Kerusakan luas → apraksia, ketidakmampuan menentukan arah kanan atau kiri, sulit mengenali
bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk
yang sebelumnya dikenal dengan baik ( misalnya bentuk kubus atau jam dinding)

- Linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari
lainnya.

• Kerusakan lobus temporalis


- Kanan → Terganggunya ingatan akan suara dan bentuk

- Kiri → gangguan pemahaman Bahasa, menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.


Diagnosis
• Adanya gangguan neurologis merupakan langkah pertama untuk mengetahui tingkat
keparahan dari trauma kapitis.
• Pada fase kronis lesi subdural menjadi hipodens dan semua dilihat pada gambaran
CT tanpa kontras
• MRI sangat berguna untuk mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral
• Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk
mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis.
• MRI lebih sensitive untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio dan cedera
axonal difus.
Tatalaksana
• medical management : istirahat, diuretic osmotic, dan kortikosteroid

• Konservatif: pada pasien dengan deficit neurologis minimal dan volume SDH kronis minimal

• Pilihan operasi:

- 2 burr hole dengan irigasi dan aspirasi

- 1 burr hole dengan irigasi dan aspirasi

- 1 burr hole dengan meninggalkan subdural drain

- Twist drill craniostomy

- Kraniotomi denan eksisi membrane subdural.


Teknik Operasi
• Pasien diposisikan supine, kepala dirotasi kearah lateral sesuai letak posisi
hematoma.

• Dilakukan insisi 2 garis linier di frontal dan parietal mengikuti kelengkungan


atau konveksitas sesuai letak hematoma.

• Burr hole diameter 1,5cm, burr hole pertama di posteroinferior, burr hole
kedua pada anterior burr hole sebelumnya, duramater dibuka.

• Dilakukan irigasi dengan normal saline, drain dimasukkan kedalam subdural.


Perawatan Pasca-bedah
• Jahitan dibuka pada hari ke 5-7
• Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dilakukan setelah 6-8 minggu
kemudian
• pada sebagian pasien dapat terjadi
• perdarahan ulang yang berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk,
• subdural empiema,
• irigasi yang kurang baik,
• pergeseran otak yang tiba-tiba,
• kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan
terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.
Perawatan Pasca-bedah
• Pemantauan kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan segera sejak pasca
operasi.
• Serial scanning tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan
• Apabila pasca operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai apakah masih
terjadi hematoma atau hal lainnya yang timbul kemudian, scan otak mutlak
dilakukan
Komplikasi dan Prognosis
• Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala
akibat Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi.
• Pada pasien dengan subdural hematoma kronik yang menjalani operasi drainase,
sebanyak 5,4-19% mengalami lomplikasi medis atas operasinya.
• Pada pasien,timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap, usia pasien,
dan kondisi medis secara bersamaan.
Komplikasi dan Prognosis
• Tindakan operasi pada SDH memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90%
kasus pada umumnya akan sembuh total.
• hal yang paling penting untuk meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio
parenkim otak.
Komplikasi dan Prognosis
• Derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan operasi adalah satu-satunya faktor
penentu terhadap prognosa (outcome) penderita SDH akut.
• Tetapi Richards dan Hoff tidak menemukan hubungan yang bermakna antara derajat
kesadaran dan prognosa akhir.
• Abnormalitas pupil, bilateral midriasis berhubungan dengan mortalitas yang sangat
tinggi.
Kasus SDH di RSUP HAM
• Kasus SDH di RSUP Haji Adam Tahun Jumlah

Malik sebanyak 195 dari 2013 46


tahun 2013-2017 dengan 77% 2014 38
terjadi pada laki-laki dan 49% 2015 35
terjadi pada usia Tua (> 40 2016 53
tahun).
2017 23

• Paling banyak didapati SDH


beronset akut sekitar 69 %
Thank You

Anda mungkin juga menyukai