Anda di halaman 1dari 65

Kegawatdaruratan Psikiatri

Dr. Taufik Ashal, SpKJ


Pengertian

• Kegawatdaruratan Psikiatri: merupakan


cabang ilmu kedokteran jiwa dan kedokteran
kedaruratan untuk kasus kedaruratan yang
memelukan intervensi psikiatrik
• Kedaruratan Psikiatri  meliputi tiap gangguan pada
pikiran, perasaan dan tindakan seseorang yang
memerlukan intervensi terapeutik segera
Evaluasi pd Ga-Dar psikiatrik
Tujuan :
• Menilai kondisi pasien yg sedang krisis secara cepat dan tepat.
• Menentukan diagnosis awal.
• Identifikasi faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien.
• Mulai terapi dan rujuk pasien ke fasilitas yg sesuai
Tindakan pd Evaluasi Ga-Dar
• Wawancara kedaruratan psikiatrik (
• Terstruktur
• dlm waktu yg cepat,
• keterangan tambahan dr orang lain,
• sikap tenang dan jujur,
• dokter pegang kendali untuk keputusan dan tindakan
• Pemeriksaan fisik tanda vital
• Perjalanan penyakit
• Status mental
• Status internus & neurologikus
• Pem penunjang
Keadaan yang termasuk Gadar psikiatri diantaranya
adalah
– Violence and assaultive behavior (Perilaku kekerasan dan
menyerang).
– Suicide (Bunuh diri)
– Sindrom neuroleptic maligna
– Delirium
1. Perilaku Kekerasan & Menyerang

• Agresi fisik thd org lain atau diri sendiri.


• Gambaran klinis dan diagnosis :
– Ggn psikotik (skizofrenia, gangguan waham)
– Intoksikasi dan putus zat,
– Gangguan Manik/Episode Manik
– Depresi agitatif,
– Gangguan Kepribadian tertentu,
– Gangguan Mental Organik Adanya penyakit di
Otak (terutama di lobus frontal )
Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam

• Kata-kata keras/kasar atau ancaman akan kekerasan


• Perilaku agitatif
• Membawa benda-benda tajam atau senjata
• Adanya pikiran dan perilaku paranoid
• Adanya penyalah gunaan zat/intoksikasi alkohol
• Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk
melakukan tindak kekerasan
Hal yang perlu diperhatikan

• Adanya ide-ide kekerasan disertai rencana dan sarana


yang tersedia
• Adanya riwayat kekerasan sebelumnya
• Adanya riwayat gangguan impuls termasuk penjudi,
pemabuk, penyalahgunaan zat psikoaktif,percobaan
bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, Psikosis.
• Adanya masalah dalam kehidupan pribadi yang nyata
Pertimbangan dalam diagnosis dan terapi
• Diagnosis (penapisan toksikologi, pem radiologi, EKG, Lab)
• Gunakan Instrumen PANNS EC (Positive and Negative Syndrome Scale -
Excited Component )
– untuk menilai derajat keparahan agitasi
– terdiri dari 5 item penilaian,
• gaduh gelisah,
• ketegangan,
• permusuhan,
• ketidak kooperatifan, dan
• pengendalian impuls yang buruk
• Terapi (obat dan fiksasi)  maximum tranquilization with minimum sedation)
 bantu px kendali diri, kurangi atau hilangkan penderitaan, lanjutan
evaluasi.
• Bila score salah satu komponen PANNS EC
– > 5  lakukan restrain dan berikan Injeksi
– < 5  cukup dengan de-Eskalasi /persuasi verbal
Tatalaksana
1. Menjaga keamanan
• Jangan membuat pasien menunggu lama. Menunggu membuat pasien agitasi semakin
gelisah dan tidak nyaman, bahkan menyebabkan amarah.
• Jika pasien memegang benda-benda yang berpotensi digunakan sebagai senjata, lucuti
dengan cara yang bersahabat dan tidak mengancam.
• Akan lebih baik pasien dengan agitasi mendapatkan ruang atau bed tersendiri. Hal ini
dilakukan untuk meminimalisir stimulus pada pasien agtasi, termasuk diantaranya
pasien lain / pengunjung, suara-suara / bising,
• Ruangan harus aman dari benda-benda yang dapat dijadikan senjata bagi pasien agitasi.
• Biarkan pintu tetap terbuka.
• Siapkan petugas keamanan di dekat ruangan agar petugas dapat sigap melakukan
pengamanan jika diperlukan
• Jaga jarak pasien dan dokter sama jaraknya ke pintu. Sehingga dokter memiliki
kesempatan yang paling tidak sama untuk menyelamatkan diri dari pasien.
2. De-eskalasi.
De-eslalasi merupakan suatu usaha untuk menurunkan tingkat agitasi pasien.
Dengan de-eskalasi dokter / tenaga kesehatan berperan sebagai pendukung pasien,
membuat pasien merasa lebih nyaman, menguatkan hubungan terapeutik.
Terdapat 10 hal penting pada de-eskalasi :
– Menghormati ruang personal pasien.
– Tidak bersikap provokatif
– Membangun kontak verbal
– Bicara singkat namun padat
– Mengenali perasaan dan keinginan pasien
– Mendengarkan pasien
– Setuju atau setuju untuk tidak setuju
– Menjelaskan peraturan dan membuat batas yang jelas
– Menawarkan pilihan dan optimisme
– Debriefing pasien dan staff
3. Restrain dan seklusi
• Tujuan dari seklusi dan restrain adalah untuk mencegah
perilaku berbahaya terhadap diri pasien sendiri dan orang lain,
dan untuk mencegah hambatan atau gangguan dalam
pengobatan.
• Seklusi dan restrain tidak boleh digunakan sebagai hukuman
untuk pasien, untuk kenyamanan staff, atau untuk
mengkompensasi ketidakadekuatan staff. Restrain dan seklusi
tidak boleh dilakukan oleh staff yang tidak terlatih. Jika
dipandang perlu untuk dilakukan seklusi dan restrain, maka
otonomi dan harga diri pasien harus tetap dijaga sebaik
mungkin.
Restrain
Penggunaan restrain diklasifikasikan menjadi tiga kategori:
• Restrain lingkungan; yang merupakan barrier atau halangan akan
kebebasan bergerak seseorang yang menahan pasien pada area tertentu,
seperti ruang seklusi, atau institusi perawatan itu sendiri.
• Restrain fisik : Merupakan metode manual, menggunakan peralatan fisik
atau mekanik atau material apapun, yang mengimmobilisasi atau
mengurangi kemampuan pasien untuk mengerakkan lengan, tungkai,
tubuh, atau kepalanya dengan bebas.
• Restrain kimia : Merupakan penggunaan obat atau medikasi sebagai
penahan untuk menangani perilaku pasien atau menahan kebebasan
pasien untuk bergerak dan bukan merupakan standar pengobatan atau
dosis untuk kondisi pasien.
Obat-obat (restrain kimia)
• Dibutuhkan efek segera dari obat.
• Antipsikotik injeksi IM
– Typical antipsyhotics (haloperidol 5 mg, trifluoperazine,
Clorpromazine) injeksi.
– Atypical antipsychotic (olanzapine 10 mg IM, aripiprazole 10 mg IM)
injeksi.
• Benzodiazepine injeksi  lorazepam atau diazepam 5 mg.
Psikoterapi
• Psikoterapi  bila telah tenang
• Brief psikoterapi. (pasien trust terhadap terapis, harapan
pasien untuk berubah, ada motivasi berubah,)
• Atasi keluhan utama, formulasikan problem, tentukan tujuan
spesifik.
• Bila butuh psikoterapi lebih dalam  pindahkan ke klinik yang
cocok.
2. Bunuh diri
• Di Amerika tiap tahun kasus bunuh diri yang berhasil mencapai 30.000 orang per
tahun  yang mencoba bunuh diri sekitar 8 – 10x
• Di Indonesia belum ada data
• Literatur menunjukkan  95% kasus bunuh diri berkaitan dengan masalah
kesehatan jiwa diantaranya
– 80% Depresi
– 10% Skizofrenia
– 5% Dementia/Delirium
– 5% diagnosa ganda yang berkaitan dengan Ketergantungan Alkohol
Epidemiologi

• AS: 30.000 kematian pertahun karena bunuh diri

• Insidens tertinggi di akhir 90-an; kemudian terus


menurun  meningkatnya deteksi dan tata
laksana gangguan mental.

• Tertinggi pada usia remaja dan dewasa muda


Jenis Kelamin

• Bunuh Diri Komplit lebih besar 3x lipat pada pria.

• Usaha bunuh diri pada perempuan 3x lebih besar.

• Perempuan  metode yang kurang mematikan,


kurang merasa sakit (cth : pil)

• Pria  Lebih mematikan ( cth : pistol )


Usia
• Jarang sebelum pubertas.
• Pada pria kulit putih di AS  tertinggi saat usia 30-40 th.
• Adanya peningkatan insidens pada usia remaja
dimungkinkan karena pengaruh media, penyalahgunaan
obat dan alkohol, penggunaan senjata api,perpecahan
keluarga dan berkurangnya ikatan keagamaan.
Ras

• Ras kulit putih  2-3x lebih tinggi daripada Afro-


amerika

• Hipotesis:

harapan vs kekecewaan

Ikatan keluarga dan keagamaan


Faktor lain
• Agama: Katolik < Protestan dan Yahudi
• Iklim: meningkat pada musim semi dan gugur
• Kesehatan fisik: 11-51% dari bunuh diri
• Kesehatan mental: 95% memiliki ggn.mental yang
terdiagnosis, 80%nya adl depresi, 10% skizofrenia, 5%
demensia atau delirium
ETIOLOGI
FAKTOR GENETIK

• Kembar monozigotik memiliki kecenderung untuk


bunuh diri lebih tinggi, dibandingkan kembar
dizigotik
• Resiko untuk bunuh diri juga lebih tinggi pada
keluarga dari penderita dengan gangguan mood
dibandingkan keluarga penderita skizofrenia
FAKTOR BIOLOGIS

• Dipengaruhi kadar serotonin (5-HT), NorEpinefrin, GABA,


dll.
• Ps depresi : penurunan serotonin 5-HT dan 5 HIAA
• Korelasi yang kuat antara rendahnya kadar 5-HT dengan
fatalitas dan tipe bunuh dirinya.
FAKTOR BIOPSIKOSOSIAL

• Hubungan genetik, riwayat prenatal atau awal kehidupan


berpengaruh terhadap munculnya impulsifitas.

• Trauma masa kecil, kekerasan fisik / seksual  depresi


dan impulsif.

• Juga adanya riwayat penyalahgunaan alkohol, riwayat


dalam keluarga, dll.
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menduga adanya resiko
bunuh diri
• Adanya ide bunuh diri/percobaan bunuh diri sebelumnya
• Adanya kecemasan yang tinggi, depresi yang dalam & kelelahan
• Adanya ide bunuh diri yang diucapkan
• Ketersediaannya alat atau cara untuk bunuh diri
• Mempersiapkan warisan terutama pada pasien depresi yang agitatif
• Adanya krisis dalam kehidupan baik fisik maupun mental
• Adanya riwayat keluarga yang melakukan bunuh diri
• Adanya kecemasan terhadap keluarga jika terjadi bunuh diri
• Adanya keputus-asaan yang mendalam
Tatalaksana

– Jangan tinggalkan pasien sendiri


• Menyingkirkan alat , benda dan zat yang dapat membahayakan
• Tempatkan pasien di tempat yang aman dan mudah diawasi
• Evaluasi faktor resiko

• Rencanakan untuk :
- psikoterapi
- farmakoterapi anti depresan, antiansietas, Anti psikotik
- terapi keluarga sesuai yang diindikasikan
ECT
• Depresi berat,
• Menolak makan dan minum dan minum obat
3. Sindroma Neuroleptik Maligna
sindrom yang terjadi akibat komplikasi serius dari penggunaan
obat anti psikotik
• Karakteristik dari SNM adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi
otonom dan perubahan kesadaran
• Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder
dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal
• Cina  RCT: 0,12 %
India retrospektif: 0,14%
Amerika  0,2% - 1,9%
• Jenis Neuroleptik haloperidol, fluphenazin, lebih sering menyebabkan SNM
• Obat anti psikotik lain, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan sindrom ini:
- prochlorperazine (Compazine)
- promethazine (Phenergan)
- clozapine (Clozaril)
- risperidone (Risperdal)
• Obat-obat non neuroleptik yang dapat memblok dopamin dapat menyebabkan SNM juga:
- metoclopramide (Reglan)
- amoxapine (Ascendin)
- lithium

Deteksi awal yang cepat  penting  komplikasi : kematian (21%)


Definisi
• DSM IV:
gangguan rigiditas otot berat, peningkatan
temperatur dan gejala lainnya yang terkait
(misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia,
perubahan tingkat kesadaran dari konfusi
sampai dengan koma, mutisme, tekanan
darah meningkat atau tidak stabil,
peningkatan kreatin phosphokinase (CPK)
yang berkaitan dengan pengunaan
pengobatan neureptik
• Sindrom ini mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom

• Sistem syaraf otonom adalah sistem syaraf yang bertanggung


jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak dikendalikan secara
sadar, seperti denyut jantung, tekanan darah, pencernaan,
berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh
Etiologi
1. Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM
termasuk neuroleptik potensi rendah, neuroleptik potensi
tinggi dan antipsikotik atipikal.

2. Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptik


potensi tinggi), antipsikotik aksi cepat dengan dosis dinaikan
dan penggunaan antipsikotik injeksi long acting

3. Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan


neuroleptic yang tidak konsisten dan penggunaaan obat
psikotropik lainnya, terutama lithium.
Patofisiologi
• Mekanisme pastinya belum diketahui
• Hipotesis: Defisiensi dopamin atau blokade dopamin 
Pengurangan aktivitas dopamin di area otak (hipothamalmus,
sistem nigrostartial, traktus kortikolimbik)  gejala klinis SNM
• Pengurangan dopamin di:
- Hipothalamus  demam dan ketidakstabilan
otonom
- Sistem nigrostratial  rigiditas
- Sistem traktus kortikolimbik  perubahan
kesadaran
• Perubahan status mental disebabkan karena blokade reseptor
dopamin di sistem nigrostartial dan mesokortikal
Gambaran Klinis
• Merupakan reaksi idiosinkratik yang tidak tergantung pada kadar
awal obat dalam darah
• Sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah pemberian
obat neuroleptik atau perubahan dosis (biasanya karena
peningkatan)
• Gejala disregulasi otonom: demam, diaphoresis, tachipnea,
takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil
• Gejala ekstrapiramidal: rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur,
distonia dan diskinesia
• Tremor dan aktivitas motorik berlebihan  agitasi psikomotorik
• Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia dan delirium  perubahan
tingkat kesadaran
Pemeriksaan Laboratorium
• Rigiditas dan hipertermi  karena kerusakan otot dan nekrosis
• Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan:
1. Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah  mencapai 2000 –
15.000 U/ L Peningkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi
untuk SNM
2. Peningkatan Aminotransferases (aspartate aminotransferase [AST],
alanine aminotransferase [ALT]), and lactate dehydrogenase (LDH )
3. Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 –
30.000 x 103/ mm3), trombositosis dan dehidrasi.
4. Protein serebrospinal dapat meningkat.
5. Konsentrasi serum besi dapat menurun
Kriteria diagnosis menurut DSM IV:

Memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2

Kriteria A
1. Rigiditas otot
2. Demam
Kriteria B
1. Diaphoresis
2. Disfagia
3. Tremor
4. Inkontinensia
5. Perubahan kesadaran
6. Mutisme
7. Takikardi
8. Tekanan darah meningkat atau labil
9. Leukositosis
10. Hasil laboratorium menunjukkan cedera otot
Kriteria C
Tidak ada penyebab lain (Misal: encephalitis virus)
Kriteria D
Tidak ada gangguan mental

• Hal terpenting sumber infeksi dari demam harus di


singkirkan
• Pungsi lumbal harus dipertimbangkan untuk
membedakan SNM dengan encephalitis virus atau
encephalomyelitis post infeksi
• SNM harus dibedakan dari sindrom yang disebabkan
oleh pengobatan lain seperti sindrom serotonin dan
hipertermi maligna
Penatalaksanaan
1. Terapi suportif
• Menghentikan semua anti psikotik
• Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi
lebih lanjut dan memelihara fungsi organ yaitu:
Pasien harus mendapat dukungan ventilasi & sirkulasi
Selimut pendingin & antipiretik untuk kontrol suhu
Resusitasi cairan agresif dan alkalinisasi urin untuk mencegah
gagal ginjal akut dan memperbanyak ekskresi produk kerusakan
otot
Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri
Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resusitasi cairan,
2. Terapi farmakologik
• Agonis dopamin (bromocriptin dan amantadin)  diperkirakan
berguna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin
• Dantrolene  untuk mengurangi rigiditas otot, metabolisme dan
peningkatan panas
• Agonis dopamin, clantralene maupun kombinasi keduanya dapat
mengurangi mortalitas atau memperpendek durasi sakit 
Peneliti lain melaporkan tidak ada manfaat  meningkatkan
komplikasi dan pemanjangan gejala karena pemakaian obat-obat
tersebut
• Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam
beberapa kasus  Penelitian Francis et all menyatakan
benzodiazepin efektif dalam penanganan SNM dengan mengurangi
durasi menjadi 2 – 3 hari
Komplikasi
• Rhabdomiolisis  akibat dari rigiditas otot terus menerus dan
akhirnya terjadi kerusakan otot
• Gagal ginjal, pneumonia aspirasi, emboli pulmo, edema pulmo,
sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated intravascular
coagulation, seizure, infark miocardial
• Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi  karena
psikotik yang tidak terkontrol
• Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik dengan
riwayat gangguan psikiatri berat atau persiten kemungkinan relaps
tinggi jika anti pskotik dihentikan
Prognosis
1. Mortalitas sekitar 10-20%  sebagian besar
pada pasien dengan nekrosis berat otot yang
menjadi rhabdomyolisis

2. Pasien dengan riwayat SNM dapat terjadi


rekurensi. Resiko terjadi rekurensi
berhubungan dengan jeda waktu antara SNM
dan dimulainya kembali pengobatan
antipsikotik
4. Delirium
• Didefenisikan sebagai onset akut gangguan
dari kesadaran dan kerusakan kognitif yang
fluktuatif.
• Merupakan sindrom, bukan penyakit
• Mempunyai banyak penyebab
• Gambaran kliniknya bervariasi untuk setiap
individu
• Perbaikannya cepat bila faktor penyebab
diidentifikasi dan dieliminasi
EPIDEMIOLOGY
10% -Hospitalized patients
20%- patients with burns
30%- ICU patients
30%- Hospitalized AIDS patients
Young and elderly patients
Delirium Incidence and Prevalence in Multiple Settings
Population Prevalence Range (%) Incidence Range (%)

General medical inpatients 10 -30 3-16


Medical and surgical inpatients 5-15 10-55
General surgical inpatients N/A 9-15 postoperatively
Critical care unit patients 16 16-83
Cardiac surgery inpatients 16-34 7-34
Orthopedic surgery patients 33 18-50
Emergency department 7-10 N/A
Terminally ill cancer patients 23-28 83
Institutionalized elderly 44 33

N/A: not available.


Etiologi

Adanya penyakit fisik yang mendasari seperti:


• penyakit sistem saraf pusat (spt epilepsy, tumor otak)
• penyakit sistemik dan metabolik (spt gagal jantung, ginjal,
ketoasidosis DM)
• Intoksikasi atau putus obat
Common Causes of Delirium
Central nervous system Seizure (postictal, nonconvulsive status, status), Migraine
disorder Head trauma, brain tumor, subarachnoid hemorrhage, subdural, epidural hematoma, abscess,
intracerebral hemorrhage, cerebellar hemorrhage, nonhemorrhagic stroke, transient ischemia

Metabolic disorder Electrolyte abnormalities


Diabetes, hypoglycemia, hyperglycemia, or insulin resistance

Systemic illness Infection (e.g., sepsis, malaria, erysipelas, viral, plague, Lyme disease, syphilis, or abscess)
Trauma
Change in fluid status (dehydration or volume overload)
Nutritional deficiency
Burns, Uncontrolled pain, Heat stroke
High altitude (usually >5,000 m)

Medications Pain medications (e.g., postoperative meperidine [Demerol] or morphine [Duramorph])


Antibiotics, antivirals, and antifungals
Steroids, Anesthesia
Cardiac medications
Antihypertensives
Antineoplastic agents
Anticholinergic agents
Neuroleptic malignant syndrome
Serotonin syndrome
Common Causes of Delirium

Over-the-counter Herbals, teas, and nutritional supplements


preparations
Botanicals Jimsonweed, oleander, foxglove, hemlock, dieffenbachia, and Amanita
phalloides
Cardiac Cardiac failure, arrhythmia, myocardial infarction, cardiac assist device,
cardiac surgery
Pulmonary Chronic obstructive pulmonary disease, hypoxia, SIADH, acid base
disturbance
Endocrine Adrenal crisis or adrenal failure, thyroid abnormality, parathyroid
abnormality
Hematological Anemia, leukemia, blood dyscrasia, stem cell transplant
Renal Renal failure, uremia, SIADH
Hepatic Hepatitis, cirrhosis, hepatic failure
Neoplasm Neoplasm (primary brain, metastases, paraneoplastic syndrome)

Drugs of abuse Intoxication and withdrawal


Toxins Intoxication and withdrawal
Heavy metals and aluminum
Factors that Predispose Patients to Delirium
Vision impairment Hypertension Use of bladder catheter

Medical illnesses (severity and Chronic obstructive pulmonary Preoperative cognitive


quantity) disease impairment

Cognitive impairment Alcohol abuse Functional limitations

Older than 70 years Smoking history History of delirium

Any iatrogenic event Abnormal sodium level Abnormal potassium, sodium,


or glucose test

Use of physical restraints Abnormal glucose level Preoperative use of


benzodiazepines

Malnutrition Abnormal bilirubin level Preoperative use of narcotic


analgesics

More than three medications Blood urea nitrogen to Epidural use


added creatinine ratio >18
Diagnosis dan Gejala Klinis
• DSM IV TR membedakan kriteria diagnostik berdasarkan tipe delirium:
– Delirium karena kondisi medis umum
– Delirium karena intoksikasi zat
– Delirium karena putus zat
– Delirium karena multiple etiologi
– Delirium yang tidak spesifik
• Gejalanya sama tanpa pemperhatikan penyebab
– Perubahan kesadaran (penurunan)
– Perubahan atensi (tidak fokus, menetap)
– Gangguan fungsi kognitif (disorientasi, ↓memori, Onset relatif cepat)
– Disorganisasi proses fikir (mild tangensial – inkoheren)
– Gangguan persepsi
– Hiper/hipoaktivitas psikomotor
– Perubahan mood
– Gejala lain perubahan fungsi saraf (hiperaktivitas otonom, mioklonus,
disatria)
– Gambaran EEG: perlambatan diffus dari backround activity
DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Delirium Due to General
Medical Condition
A. Disturbance of consciousness (i.e., reduced clarity of awareness of the environment) with
reduced ability to focus, sustain, or shift attention.

B. A change in cognition (such as memory deficit, disorientation, language disturbance) or the


development of a perceptual disturbance that is not better accounted for by a preexisting,
established, or evolving dementia.

C. The disturbance develops over a short period of time (usually hours to days) and tends to
fluctuate during the course of the day.

D. There is evidence from the history, physical examination, or laboratory findings that the
disturbance is caused by the direct physiological consequences of a general medical
condition.

Coding note: If delirium is superimposed on a preexisting vascular dementia, indicate the


delirium by coding vascular dementia, with delirium.

Coding note: Include the name of the general medical condition on Axis I, e.g., Delirium due to
hepatic encephalopathy; also code the general medical condition on Axis III.
DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Substance
Intoxication Delirium
D. There is evidence from the history, physical examination, or laboratory findings of either (1)
or (2):
A. the symptoms in Criteria A and B developed during substance intoxication
B. medication use is etiologically related to the disturbance*
Note: This diagnosis should be made instead of a diagnosis of substance intoxication
only when the cognitive symptoms are in excess of those usually associated with the
intoxication syndrome and when the symptoms are sufficiently severe to warrant
independent clinical attention.
*Note: The diagnosis should be recorded as substance-induced delirium if related to
medication use.

Code (Specific substance) intoxication delirium:


(Alcohol; Amphetamine [or amphetaminelike substance]; Cannabis; Cocaine; Hallucinogen;
Inhalant; Opioid; Phencyclidine [or phencyclidinelike substance]; Sedative, hypnotic, or
anxiolytic; Other [or unknown] substance [e.g., cimetidine, digitalis, benztropine])
DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Substance Withdrawal Delirium

D. There is evidence from the history, physical examination, or laboratory findings that the
symptoms in Criteria A and B developed during, or shortly after, a withdrawal syndrome.

Note: This diagnosis should be made instead of a diagnosis of substance withdrawal only
when the cognitive symptoms are in excess of those usually associated with the withdrawal
syndrome and when the symptoms are sufficiently severe to warrant independent clinical
attention.
Code (Specific substance) withdrawal delirium:
(Alcohol; Sedative, hypnotic, or anxiolytic; Other [or unknown] substance)

DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Delirium Due to Multiple Etiologies

D. There is evidence from the history, physical examination, or laboratory findings that the
delirium has more than one etiology (e.g., more than one etiological general medical
condition, a general medical condition plus substance intoxication or medication side effect).

Coding note: Use multiple codes reflecting specific delirium and specific etiologies, e.g.,
Delirium due to viral encephalitis; Alcohol withdrawal delirium.
DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Delirium Not Otherwise
Specified
1. This category should be used to diagnose a delirium that does not meet criteria for any
of the specific types of delirium described in this section.
Examples include A clinical presentation of delirium that is suspected to be due to a
general medical condition or substance use but for which there is insufficient evidence to
establish a specific etiology

2. Delirium due to causes not listed in this section (e.g., sensory deprivation)
Patofisiologi
• Mekanisme  ?
• Hipotesis: neurotransmiter yang terlibat: asetilcolin,
neuronatomi yang terlibat: formasio retikular dan dorsal
tegmented pathway
• Adanya penurunan aktivitas asetilkolin pada otak
• Pada delirium toxicity: karena aktivitas antikolinergik yang
tinggi.
• Pada delirium ketergantungan alkohol: berhubungan dengan
hiperaktivitas locus serileus dan noradrenergik neuron
• Neurotransmiter lain: serotonin dan glutamat
Sub-tipe Klinis
A. Delirium Hiperaktif
- paling sering terjadi dan mudah dikenali
- dgn gejala agitasi, psikosis, labilitas mood, dll
- disebabkan oleh intoksikasi, obat antikolinergik,
ketergantungan alkohol

B. delirium Hipoaktif
- sering terjadi namun sulit dikenali
- gejala : bingung, lethargi dan malas
- disebabkan oleh ggn metabolit dan encephalopati
• Demensia
• Depresi
• Psikosis
DD Delirium VS Demensia
GAMBARAN DEMENSIA DELIRIUM

Onset Lambat Cepat

Durasi Bulan s/d Tahun Jam s/d Minggu

Atensi Dipertahankan Fluktuatif

Daya Ingat Kelemahan Daya Ingat Jangka Kelemahan Daya Ingat


Panjang Segera dan Menengah
Pembicaraan Sulit Menemukan Kata-kata Inkoheren

Siklus Tidur Tidur Terpecah Sering Dijumpai Gangguan

Pikiran Miskin Disorganisasi

Kesadaran Tidak berubah Menurun

Kewaspadaan Biasanya normal Hipervigilensi


Penatalaksanaan
• Identifikasi penyebabnya (penyakit fisik)
• Antikolinergik intosikasi prostigmin salisilat (antilirium) 1-
2mg IV/IM
• Berikan physical support  menghindari accident
• Stimulasi sensory, reorientasi: foto keluarga, jam dinding,
kalender,
Farmakoterapi
Dua gejala utama delirium
• Psikosis  Haloperidol dosis inisial 2-6 mg IM, diulangi 1 jam
bila psien masih agitasi. Bila pasien tenang lanjutkan dengan
oral 2xsehari.
• Insomniabenzodiazepin (spt lorazepam (ativan) 1-2 mg akan
tidur
er
Prognosis
• Setelah diidentifikasi dan diatasi penyebabnya, delirium akan
membaik dalam 3-7 hari, beberapa gejala baru bisa hilang
dalam 2 minggu.
• Pasien lansia dan yang mengalami delirius lama  masa
penyembuhan lebih lama.
• Tingginya angka kematian pertahun pada delirium karena
kondisi medis umum yang serius.
• Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai