Anda di halaman 1dari 43

BAB II

PRESIPITASI
Pengertian

Hujan merupakan suatu bentuk


presipitasi yang berwujud cairan.

Presipitasi sendiri dapat berwujud


padat (misal salju dan hujan es) atau
aerosol (misal embun atau kabut).
1. BENTUK-BENTUK PRESIPITASI
a. Hujan
b. Embun, hasil kondensasi di permukaan
tanah/tumbuh2an dan kondensasi dlm tanah
c. Kondensasi, kondensasi diatas lapisan es terjadi
jika ada massa udara panas bergerak diatas
lapisan es tersebut
d. Kabut, pada saat ada kabut pertikel2 air
diendapkan diatas permukaan tanah dan
tumbuh2an.
e. Salju dan Es
Hujan
5 unsur penting adalah :
1. intensitas, I adalah laju hujan = tinggi air persatuan
waktu mis; mm/menit, mm/jam, mm/hari
2. Durasi, t adalah lamanya curah hujan dalam menit
atau jam
3. Tinggi hujan, d adalah jumlah atau banyaknya hujan
yang dinyatakan dalam ketebalan air diatas
permukaan datar, mm
4. Frekuensi, frekuensi kejadian, waktu ulang(return
period) mis sekali dalam T tahun
5. Luas adalah luas geograis curah hujan.
JENIS-JENIS HUJAN
• Berdasarkan terjadinya :
 Hujan siklonal, hujan yang terjadi karena udara
panas yang naik disertai dengan angin berputar.

 Hujan zenithal, hujan yang sering terjadidi daerah


sekitar ekuator, akibat pertemuan Angin Pasat Timur
Laut, dengan Angin Pasat Tenggara.

 Hujan orografis, hujan yang terjadi karena angin


yang mengandung uap air yang bergerak horizontal
.
 Hujan frontal, hujan yang terjadi apabila massa
udara dingin bertemu dengan massa udara panas.
 Hujan muson, hujan yang terjadi akibat angin musim.
• Berdasarkan ukuran butirnya :

Hujan gerimis, diameter butirannya kurang


dari 0,5 mm.
Hujan salju, terdiri dari kristal-kristal es yang
suhunya dibawah nol derajat celcius.
Hujan batu es, curahan batu es yang turun
dalam cuaca panas dari awan yang
suhunya dibawah nol derajat celcius.
Hujan deras, curahan air yang turun dari
awan dengan suhu di atas nol derajat
celcius dengan diameter kurang lebih 7mm.
• Berdasarkan besarnya curah hujan :

Hujan sedang, 20-50 mm per hari.


Hujan lebat, 50-100 mm per hari.
Hujan sangat lebat, di atas 100 mm
per hari.
TEKNOLOGI HUJAN BUATAN
Hujan buatan adalah usaha manusia
untuk meningkatkan curah hujan yang
turun secara alami dengan
mengubah proses fisika yang terjadi di
dalam awan. Proses fisika yang dapat
diubah meliputi proses tumbukan dan
penggabungan, proses pembentukan
es. Jadi jelas bahwa hujan buatan
sebenarnya tidak menciptakan
sesuatu dari yang tidak ada.
Intensitas hujan,

• I = d/t = mm/det
Causes of Precipitation
Pengukuran Hujan

– Kantor Kecamatan, dengan menempatkan


penakar hujan di halaman kantornya, dimana
setiap pagi air hujan ditakar dan dicatat dalam
buku hujan dan dikirim kepada instansi yang
memerlukannya.
– Lapangan terbang, Pabrik Gula, Perkebunan,
dll. Bersama data meteorologi lainnya, curah
hujan yang ditakar dipakai untuk keperluan
sendiri. Biasanya bekerja sama dengan LMG
Jakarta.
- Kantor Cabang LMG (Lembaga Meteorologi dan
Geofisika), biasanya alat penakar hujan
ditempatkan dihalaman kantor dan cabangnya
tersebar di seluruh Indonesia . Pada lembaga ini
ada dua seksi yang dapat dihubungi untuk
mendapatkan data intensitas hujan yaitu :
• Seksi pengolahan data, yang menerima
gulungan kurva hujan dan catatan curah hujan
harian dari berbagai daerah di Indonesia. Data
tersebut dipilah , diolah hingga siap dipakai
untuk berbagai kebutuhan.
• Seksi Perpustakaan/Penerbitan, yang
menyediakan data yang telah diolah dalam
bentuk buku.
Penakar Hujan :
1. Manual
2. Otomatis (ARR/Automatic Rainfall Recorder)
 ARR dengan weighing bucket
 ARR dengan tipping bucket
 ARR dengan float
 Standard Rain Gages (SRG)
Analisis hujan :
1. Hujan Kawasan (DTA)
Metode :
a. Rata-rata Aljabar
P1+P2+P3+…+Pn ∑ Pi
n i=1
dimana :
P1,P2,…..,Pn = curah hujan yang tercatat di
pos penakar hujan 1,2,…,n
n = banyaknya pos penakar hujan
2. Metode polygon Thiessen

P1 A1  P2 A2  ......Pn An PA i i
P  i 1
A1  A2  ......  An n

A
i 1
i
3. Metode Isohyet
 P1  P2   P2  P3   Pn 1  Pn 
A1    A2    ......  An  
 2   2   2 
P
A1  A2  ......  An 1
  P 1  P2  
  A 
  2 
P 
A
cara memilih Metode
Faktor Kondisi Metode
pertimbangan

jumlah pos penakar hujan cukup Meode isohyet, Thiessen


atau Rata-rata Aljabar
1. Jaring-jaring pos Jumlah pos penakar hujan terbatas Metode Rata-rata aljabar
penakar hujan atau Thiessen

Pos penakar hujan tunggal Metode hujan titik


DAS besar (>5000 km2) Metode Isohyet

Luas DAS DAS sedang (500 s/d 5000 km2) Metode Thiessen
DAS kecil (<500 km2) Metode Rata-rata Aljabar

Pegunungan Metode Rata-rata Aljabar

Topografi DAS Dataran Metode Thiessen


Berbukit dan tidak beraturan Metode Isohyet
Kualitas Data
1. Pengisian data hilang
Dalam praktek di lapangan sering dijumpai
rangkaian data yang tidak lengkap karena:
kerusakan alat
kelalaian petugas

Untuk mengatasi hal tersebut dapat diisi dengan


cara yang ada misal:
a. Normal Ratio Method
b. Reciprocal Square Distance Method
a. Normal Ratio Method
1  p1 p2 p3 pn 
Px      ....
n  N1 N2 N3 Nn 

dengan
n : banyaknya stasiun hujan di sekitar stasiun x
Px : hujan yang hilang di stasiun x
P1,P2,Pn : kedalaman hujan di stasiun n
Nx : hujan tahunan di stasiun x
N1,N2,Nn=hujan tahunan di sekitar x
b. Reciprocal Square Distance Method
n
1 Pi
Px  2  d xi 2
n
 1  i 1
 
i 1  d xi


dengan n : banyaknya stasiun hujan
dxi : jarak stasiun X ke stasiun i,
Px : kedalaman hujan yang diperkirakan di stasiun X,
Pi : kedalaman hujan di stasiun i,
2. Ketidakpanggahan Data (inconsistency)
karena:
alat diganti dengan spesifikasi berbeda,
lokasi alat dipindahkan,
perubahan lingkungan yang mendadak.

Pengujian dapat dilakukan dengan double mass


analysis.
Hujan
kumulatif
sta. uji

Hujan rerata kumulatif sta. acuan


ANALISA KURVA MASA GANDA
No Thn Tinngi Curah Hujan Harian Rerata Sta Psr Mingg Kumlatif Sta
Maks pada Sta dan Depok Jkt Referensi
Jkt Pasar Minggu Depok
1 1980 100 64 87 75,5 100 75,5
2 1981 122 117 120 118,5 222 194
3 1982 63 128 61 94,5 285 288,5
4 1983 90 68 53 60,5 375 349
5 1984 80 50 78 64 455 413
6 1985 114 45 100 72,5 569 485,5
7 1986 107 110 112 111 676 596,5
8 1987 171 90 50 70 847 666,5
9 1988 49 54 45 49,5 896 716
10 1989 80 71 75 73 976 789
11 1990 109 106 80 93 1085 882
12 1991 140 100 63 81,5 1225 963,5
13 1992 98 148 96 122 1323 1085,5
14 1993 78 154 112 133 1401 1218,5
15 1994 93 214 86 150 1494 1368,5
16 1995 90 135 134 134,5 1584 1503
17 1996 113 300 106 203 1697 1706
18 1997 74 170 101 135,5 1771 1841,5
19 1998 162 134 151 142,5 1933 1984
20 1999 147 115 91 103 2080 2087
21 2000 80 180 107 143,5 2160 2230,5
2400

2100

1800
KUMULATIF STASIUN REFERENSI

1500

1200
Referensi
Linear (Referensi)
900

600

300

0
0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400
KUMULATIF STASIUN JAKARTA
a = kemiringan kurva sebelum patahan
= 349- 75,5
375- 100

= 0,995

b = kemiringan kurva sesudah patahan

2230-
= 349
2160-375

= 1,054

faktor koreksi = b
a

= 1,060
ANALISA KURVA MASA GANDA
No Thn Tinngi Curah Hujan Harian Rerata Sta Psr Mingg Kumlatif Sta
Maks pada Sta dan Depok Jkt Referensi
Jkt Pasar Minggu Depok
1 1980 94,4 64 87 75,5 94,4 75,5
2 1981 115,1 117 120 118,5 209,5 194
3 1982 59,4 128 61 94,5 268,9 288,5
4 1983 84,9 68 53 60,5 353,8 349
5 1984 75,5 50 78 64 429,3 413
6 1985 107,6 45 100 72,5 536,9 485,5
7 1986 101,0 110 112 111 637,8 596,5
8 1987 161,3 90 50 70 799,2 666,5
9 1988 46,2 54 45 49,5 845,4 716
10 1989 75,5 71 75 73 920,9 789
11 1990 102,8 106 80 93 1023,7 882
12 1991 132,1 100 63 81,5 1155,8 963,5
13 1992 92,5 148 96 122 1248,3 1085,5
14 1993 73,6 154 112 133 1321,9 1218,5
15 1994 87,7 214 86 150 1409,6 1368,5
16 1995 84,9 135 134 134,5 1494,6 1503
17 1996 106,6 300 106 203 1601,2 1706
18 1997 69,8 170 101 135,5 1671,0 1841,5
19 1998 152,9 134 151 142,5 1823,9 1984
20 1999 138,7 115 91 103 1962,6 2087
21 2000 75,5 180 107 143,5 2038,0 2230,5
• Selanjutnya dilanjutkan koreksi terhadap data
stasiun BMG Jakarta dari tahun 1983 sampai
dengan tahun 2000 dengancara membagidata
tersebut dengan faktor koreksi sehingga
diperoleh data seperti pada tabel.
ESTIMATION OF PRECIPITATION
OVER AN AREA
Effective Depth of Drecipitation (EUD)

1. Arithmetic average:
for evenly distribute stations (uniform
density)

3. Thiessen method
area-weighted averaging
2. Isohyetal lines
contouring
Areal Estimation of P from a network of gages

13.97 mm

22.1 mm

137.2 mm
59.2 mm

48 mm
(1) Arithmetic average

Pa = 1/N ∑ Pi

(13.97 + 22.1 + 59.2 + 48.0+ 137.2)/5


= 56.1
(2) Thiessen Polygon Method
• Area-weighted average
(every gage represents best the area
immediately around the gage)
Constructing Thiessen Network:
1. Plot stations on a map
2. Connect adjacent stations by straight
lines
3. Bisect each connecting line
perpendicularly
4. Perpendicular lines define a polygon
around each station
5. P at a station is applied to the polygon
closest to it
St.No P Polygon Weighte Weigh
area d area t-ed P
1 13.97 15 0.128 1.788

2 22.1 33 0.281 9.273

3 59.2 28.8 0.245 14.5

4 48 16.4 0.139 6.672

5 137.2 24.3 0.207 28.4

Totals 280.4 117.5 1.00 60.633


7
)3) isohyetal method
Based on areas calculated from contoured P map
(check first for effect of elevation by plotting P vs
elevation)
STEPS:
1. Plot a contour map of P based on gage readings
at station
2. Compute area between each successive contour
lines
Pa = PaiAi/  Ai
Isohyetal method
Isohyetal method procedure
• Determine contours of 30
25
equal P: 20
28
(Isohyetal lines) 26
15
(4)
• Estimate representative 22
(3)
P for each region 17

• Calculate Pav (2)


(1)
P = Pi*Ai/AT 11

= P(1)*A(1)/AT + P(2)*A(2)/AT
+ P(3)*A(3)/AT +P(4)*A(4)/AT
Example
• P was measured at several
stations.
Characterize the precipitation
over the area as the
arithmetic average,
Thiessen-weighted average,
and isohyetal average.
Example, solution
1. Arithmetic average:

Pa =
(4.5+4.4+4.4+4.1+4.0+3.7+
3.5+2.5+2.7)/9 = 3.76 in
Example, solution
2. Thiessen-Weighted average:
Example, solution
3. Isohyetal Method:

Anda mungkin juga menyukai