Anda di halaman 1dari 15

ANTIBODI MONOKL0NAL

DISUSUN OLEH :
ARFIANTI WIONITA 14330144
ARDINI ENGGARWATI 14330118
ANGGRAINI WULANDARI 14330079
RICKY JULIANTO 11330044
ANTIBODI MONOKLONAL
 Antibodi merupakan campuran protein di dalam darah dan disekresi mukosa
menghasilkan sistem imun bertujuan untuk melawan antigen asing yang
masuk ke dalam sirkulasi darah. Antibodi dibentuk oleh sel darah putih yang
disebut limfosit B.
 Antibodi monoklonal adalah antibodi buatan identifik karena diproduksi oleh
salah satu jenis sel imun saja dan semua klonnya merupakan sel single parent.
 Antibodi monoklonal dapat diperoleh dari sel yang dikembangkan di
laboratorium, reagen tersebut sangat berguna untuk penelitian terapi dan
diagnostik laboratorium.
 Antibodi monoklonal tidak hanya mempertahankan tubuh untuk melawan
organisme penyakit tetapi juga dapat menarik molekul target lainnya di
dalam tubuh seperti reseptor protein yang ada pada permukaan sel normal
atau molekul yang khas terdapat pada permukaan sel kanker.
JENIS-JENIS ANTIBODI MONOKLONAL

1. Antibodi monoklonal murine (fully mouse)


Yaitu antibodi murni yang didapatkan dari tikus. Antibodi ini dapat
menyebabkan human anti mouse antibodies (HAMA). Biasanya antibodi ini
memiliki akhiran dengan nama “momab” (contohnya Ibritumomab®).
2. Antibodi monoklonal kimera (chimaric)
Antibodi monoklonal ini dibuat melalui teknik rekayasa genetika untuk
menciptakan galur mencit atau tikus transgenik yang dapat memproduksi sel
hybrid mencit-manusia yang disebut kimera (chimaric). Bagian variabel
molekul antibodi (Fab), termasuk bagian antigen binding site, berasal dari
mencit, sedangkan bagian lainnya, yaitu bagian yang constant (Fc) berasal
dari manusia. Memiliki akhiran dengan nama “ximab” (Rituximab®).
3. Antibodi monoklonal manusiawi (humanized)
Antibodi ini dibuat secara rekayasa genetika dimana bagian protein yang
berasal dari mencit hanya terbatas pada antigen binding site saja, sedangkan
bagian yang lainnya yaitu bagian variable dan bagian konstan berasal dari
manusia. Antibodi ini memiliki akhiran nama “zumab” (Transtuzumab®).
4. Antibodi monoklonal manusia (fully human)
Antibodi ini merupakan antibodi yang paling ideal untuk menghindari
terjadinya respon imun karena protein antibodi yang disuntikkan kedalam
tubuh seluruhnya merupakan protein yang berasal dari manusia. Salah satu
pendekatan yang dilakukan untuk merancang pembentukan antibodi
monoklonal yang seluruhnya mengandung protein manusia tersebut adalah
dengan teknik rekayasa genetika untuk menciptakan mencit transgenik yang
membawa gen yang berasal dari manusia, sehingga mampu memproduksi
antibodi yang diinginkan. Pendekatan lainnya adalah merekayasa suatu
binatang transgenik yang dapat mensekresikan antibodi manusia dalam air
susu yang dikeluarkan oleh binatang tersebut. Antibodi yang 100%
mengandung protein manusia memiliki akhiran nama “mumab”
(Panitumumab®).
Struktur antibodi monoklonal
rekombinan
Skema pembuatan antibodi monoklonal
dari kultur tikus
Proses pembuatan antibodi monoklonal
melalui 5 tahapan yaitu:
1. Imunisasi tikus dan seleksi tikus donor untuk pengembangan sel hybridoma
tikus diimunisasi dengan antigen tertentu untuk menghasilkan antibodi yang
diinginkan. Tikus dimatikan jika titer antibodinya sudah cukup tercapai
dalam serum kemudian limpanya digunakan sebagai sumber sel yang akan
digabungkan dengan sel myeloma.
2. Penyaringan produksi antibodi tikus Serum antibodi pada darah tikus itu
dinilai setelah beberapa minggu imunisasi. Titer serum antibodi ditentukan
dengan berbagai macam teknik seperti enzyme link immunosorbent assay
(ELISA) dan flow cytometry. Fusi sel dapat dilakukan bila titer antibodi sudah
tinggi jika titer masih rendah maka harus dilakukan booster sampai respons
yang adekuat tercapai. Pembuatan sel hybridoma secara in vitro diambil dari
limpa tikus yang dimatikan.
3. Persiapan sel myeloma Sel myeloma yang didapat dari tumor limfosit abadi tidak
dapat tumbuh jika kekurangan hypoxantine guanine phosphoribosyl transferase
(HGPRT) dan sel limpa normal masa hidupnya terbatas. Antibodi dari sel limpa yang
memiliki masa hidup terbatas menyediakan HGPRT lalu digabungkan dengan sel
myeloma yang hidupnya abadi sehingga dihasilkan suatu hybridoma yang dapat
tumbuh tidak terbatas. Sel myeloma merupakan sel abadi yang dikultur dengan 8-
azaguanine sensitif terhadap medium seleksi hypoxanthine aminopterin
thymidine (HAT). Satu minggu sebelum fusi sel, sel myeloma dikultur dalam 8-
azaguanine. Sel harus mempunyai kemampuan hidup tinggi dan dapat tumbuh
cepat. Fusi sel menggunakan medium HAT untuk dapat bertahan hidup dalam
kultur.
4. Fusi sel myeloma dengan sel imun limpa Satu sel limpa digabungkan dengan sel
myeloma yang telah dipersiapkan. Fusi ini diselesaikan melalui sentrifugasi sel limpa
dan sel myeloma dalam polyethylene glycol suatu zat yang dapat menggabung-kan
membran sel. Sel yang berhasil mengalami fusi dapat tumbuh pada medium
khusus. Sel itu kemudian didistribusikan ke dalam tempat yang berisi makanan,
didapat dari cairan peritoneal tikus. Sumber makanan sel itu menyediakan growth
faktor untuk pertumbuhan sel hybridoma.
5. Pengembangan lebih lanjut kloning sel hybridoma kelompok kecil sel hybridoma
dapat dikembangkan pada kultur jaringan dengan cara seleksi ikatan antigen atau
dikembangkan melalui metode asites tikus. Kloning secara limiting dilution akan
memastikan suatu klon itu berhasil. Kultur hybridoma dapat dipertahankan secara in
vitro dalam tabung kultur (10-60 ug/ml) dan in vivo pada tikus, hidup tumbuh di
dalam suatu asites tikus. Konsentrasi antibodi dalam serum dan cairan tubuh lain 1-
10 ug/ml.
MEKANISME KERJA
Antibodi monoklonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk meningkatkan efek
sitotoksik sel tumor.
Mekanisme komponen sistem imun adalah;
• Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC)
Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) terjadi jika antibodi mengikat
antigen sel tumor dan Fc antibodi melekat dengan reseptor Fc pada permukaan sel
imun efektor. Interaksi Fc reseptor ini berdasarkan kemanjuran antitumor dan sangat
penting pada pemilihan suatu antibodi monoklonal. Sel efektor yang berperan masih
belum jelas tapi diasumsikan sel fagosit mononuklear dan atau natural killer (NK).
Struktur Fc domain dimanipulasi untuk menyesuaikan jarak antibodi dan interaksi
dengan Fc reseptor. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) dapat
meningkatkan respons klinis secara langsung menginduksi destruksi tumor melalui
presentasi antigen dan menginduksi respons sel T tumor. Antibodi monoklonal
berikatan dengan antigen permukaan sel tumor melalui Fc reseptor permukaan sel NK.
Hal ini memicu penglepasan perforin dan granzymes untuk menghancurkan sel tumor
(gambar a). Sel-sel yang hancur ditangkap antigen presenting cell (APC) lalu
dipresentasikan pada sel B sehingga memicu penglepasan antibodi kemudian antibodi
ini akan berikatan dengan target antigen (gambar b-d). Sel cytotoxic T lymphocytes
(CTLs) dapat mengenali dan membunuh sel target antigen (gambar d).
• Complement dependent cytotoxicity (CDC)
Pengikatan antibodi monoklonal dengan antigen permukaan sel akan
mengawali kaskade komplement. Complement dependent cytotoxicity (CDC)
merupakan suatu metode pembunuh sel tumor yang lain dari antibodi.
Imunoglobulin G1 dan G3 sangat efektif pada CDC melalui jalur klasik aktivasi
komplemen (gambar a). Formasi kompleks antigen antibodi merupakan
komplemen C1q berikatan dengan IgG sehingga memicu komplemen protein lain
untuk mengawali penglepasan proteolitik sel efektor kemotaktik/agen aktivasi
C3a dan C5a (gambar b). Kaskade komplemen ini diakhiri dengan formasi
membrane attack complex (MAC) (gambar c) sehingga terbentuk suatu lubang
pada sel membran. Membrane attack complex (MAC) memfasilitasi keluar
masuknya air dan Na+ yang akan menyababkan sel target lisis (gambar d).
• Perubahan transduksi signal
Reseptor growth factor merupakan suatu antigen target tumor, ekspresinya
berlebihan pada keganasan. Aktivasi transduksi signal pada kondisi normal akan
menginduksi respons mitogenik dan meningkatkan kelangsungan hidup sel, hal ini
diikuti dengan ekspresi perkembangan sel tumor yang berlebihan yang juga
menyebabkan tumor tidak sentitif terhadap zat kemoterapi. Antibodi monoklonal
sangat potensial menormalkan laju perkembangan sel dan membuat sel sensitif
terhadap zat sitotoksik dengan menghilangkan signal reseptor ini. Target antibodi
EGFR merupakan inhibitor yang kuat untuk transduksi signal. Terapi antibodi
monoklonal memberikan efek penurunan densitas ekspresi target antigen
contohnya penurunan konsentrasi EGFR permukaan sel tumor atau membersihkan
ligan seperti VEGF. Pengikatan ligand reseptor growth factor memicu dimerisasi
dan aktivasi kaskade signal (gambar a) sehingga terjadi proliferasi sel dan
hambatan terhadap zat sitotoksik (gambar b). Antibodi monoklonal menghambat
signal dengan cara menghambat dimerisasi atau mengganggu ikatan ligand
(gambar c).
• Imunomodulasi
Beberapa percobaan menunjukkan antibodi yang langsung melawan cytotoxic
T lymphocyte antigen 4 (CTLA 4) terbukti dapat menginduksi regresi imun. Pola
toksisitas yang diteliti pada uji klinis memperlihatkan hubungan perlekatan CTLA
4 dengan ligand dapat menginduksi respons autoimun, hal ini terlihat pada
aktivasi sel T dependent. Gabungan antibodi anti-CTLA 4 dengan antibodi
monoklonal menginduksi ADCC, kemoterapi sitotoksik atau radioterapi sehingga
dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen spesifik tumor.
Antibodi monoklonal pada terapi kanker akan melawan target sel tumor
dengan cara mengikat sel spesifik tumor dan menginduksi respons imun. Antibodi
monoklonal telah digunakan secara luas dalam percobaan sebagai zat sitotoksik
sel - sel tumor. Modifikasi antibodi monoklonal dilakukan dengan tujuan sebagai
zat penghantar radioisotop, toksin katalik, obat – obatan, sitokin, enzim atau zat
konjugasi aktif lainnya. Pola antibodi bispesifik pada kedua bagian Fab
memungkinkan untuk mengikat target antigen dan sel efektor.
• Antibodi directed enzyme prodrug therapy (ADEPT)
Antibodi directed enzyme prodrug therapy (ADEPT) menggunakan antibodi
monoklonal sebagai penghantar untuk sampai ke sel tumor kemudian enzim
mengaktifkan prodrug pada tumor, hal ini dapat meningkatkan dosis active drug
di dalam tumor. Konjugasi antibodi monoklonal dan enzim mengikat antigen
permukaan sel tumor (gambar a) kemudian zat sitotoksik dalam bentuk inaktif
prodrug akan mengikat konjugasi antibodi monoklonal dan enzim permukaan sel
tumor (gambar b-c) akhirnya inaktivasi prodrug terpecah dan melepaskan active
drug di dalam tumor (gambar d).

Anda mungkin juga menyukai