Anda di halaman 1dari 268

PEMICU 4 REPRODUKSI

RETENSIO PLASENTA
Definisi
• Bila plasenta tetap tinggal dalam uterus setengah jam setelah
anak lahir disebut sebagai retentio plasenta
Etiologi
• Disebabkan adanya adhesi yang kuat antara plasenta dan
uterus
– Plasenta akreta: bila implantasi menembus desidua basalis
– Plasenta inkreta: bila implantasi menembus miometrium
– Plasenta prekreta: bila implantasi menembus perimetrium
Faktor Predisposisi
• Plasenta previa
• Riwayat seksio sesarea
• Riwayat kuretase
• Multiparitas
Tanda dan Gejala

• Plasenta tidak lahir setelah setengah jam anak dilahirkan


• Ada kotiledon tidak lengkap pada saat melakukan
pemeriksaan plasenta
• Masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum walaupun
kontraksi rahim baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit
(perdarahan pasca persalinan)
Patofisiologi
• Proses kala III yang normal didahului oleh tahap pelepasan/separasi
plasenta yang normal:
– Cara pelepasan Duncan: pelepasan dari perifer ke sentral, ditandai oleh
perdarahan per vaginam
– Cara pelepasan Schultze: pelepasa dari sentral ke perifer, tidak ditandai
oleh perdarahan per vaginam
• Pelepasan plasenta akhirnya diikuti oleh ekspulsi dari plasenta
keluar dari rahim
• Pada retentio plasenta terjadi gangguan dari pelepasan/separasi
plasenta
Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan abdomen: uterus kontraksi kuat dan baik, tinggi
fundus uteri sudah turun
• Pemeriksaan dalam: darah masih mengalir dari ostium uteri
eksternum, tidak ada robekan jalan lahir
Diagnosis Banding
• Atonia uteri
• Robekan jalan lahir
• Inversi uterus
• Gangguan pembekuan darah
Tatalaksana
• Singkirkan penyebab lain daripada perdarahan pasca
persalinan
• Plasenta manual: eksplorasi rahim dengan menggunakan
tangan
• Kuretase
• Plasenta manual dan kuretase dilakukan dengan pemberian
uterotonika
• Bila terdapat anemia setelah perdarahan dapat
dipertimbangkan pemberian transfusi darah
Komplikasi
• Anemia
• Ruptur uteri
Referensi
• Buku merah Sarwono
• Buku saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan WHO
PROLAPS TALI PUSAT
Prolaps Tali Pusat

Tali pusat • Tali pusat berada di bawah bagian terendah janin dan ketuban
terkemuka masih intak

Tali pusat • Tali pusat keluar melalui ketuban yang sudah pecah, ke serviks, dan
turun ke vagina
menumbung
• Tali pusat berada di samping bagian terendah janin turun ke vagina.
Occult Prolapse • Tali pusat dapat teraba atau tidak, ketuban dapat pecah atau tidak.
Diagnosis Prolaps Tali Pusat
• Melihat tali pusat keluar dari introitus vagina
• Teraba secara kebetulan tali pusat pada waktu pemeriksaan dalam
• Auskultasi terdengar jantung janin iregular, sering dengan bradikardi
yang jelas, terutama berhubungan dengan kontraksi uterus
• Monitoring DJJ berkesinambungan memperlihatkan adanya deselerasi
variabel
• Tekanan pada bagian terendah janin oleh manipulasi eksterna terhadap
pintu atas panggul menyebabkan menurunnya detak jantung secara
tiba-tiba yang menandakan kompresi tali pusat
Tatalaksana
• Terapi definitif : melahirkan janin segera
• Boleh persalinan spontan pervaginam bila:
– Pembukaan lengkap
– Bagian terendah janin telah masuk panggul
– Tidak ada CPD
• Buku Merah Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo 2010

Sumber
PERSALINAN LAMA
PERSALINAN LAMA

Kelainan Tenaga • Abnormalitas kekuatan


/ His • Abnormalitas sifat

• Letak janin
Kelainan Janin • Bentuk janin

Kelainan Jalan • Ukuran


Lahir • Bentuk
Kelainan His

• Lebih singkat dan jarang daripada


Inersia Uteri biasa

His terlampau • Bahayanya : laserasi luas jalan lahir,


kuat perdarahan intrakranial fetus

Incoordinate • Kontraksi bagian atas tengah


uterine action bawah tidak sinkron
Kriteria Diagnostik Persalinan Lama dan Macet
Pola Persalinan Nulipara Multipara
Persalinan Lama
Pembukaan < 1,2 cm/jam < 1,5 cm/jam
Penurunan < 1,0 cm/jam < 2,0 cm/jam
Persalinan Macet
Tidak ada pembukaan > 2 jam > 2 jam
Tidak ada penurunan > 1 jam > 1 jam
• Buku Merah Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo 2010

Sumber
PERSALINAN PRETERM
Referensi
• Buku saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan WHO
PERDARAHAN POST PARTUM
Postpartum Hemorrhage
• Definition: primer occurs in first 24 hours after delivery,
secondary occurs between 24 hours until 12 weeks.

• Diagnosis: blood loss ≥500mL after delivery or which potential


to disrupt maternal hemodynamic
Table 35-2. Predisposing Factors and Causes of Immediate Postpartum Hemorrhage

Bleeding from Placental Implantation Site


Hypotonic myometrium—uterine atony
Some general anesthetics—halogenated hydrocarbons
Poorly perfused myometrium—hypotension
Hemorrhage
Conduction analgesia
Overdistended uterus: large fetus, twins, hydramnios
Prolonged labor
Very rapid labor
Induced or augmented labor
High parity
Uterine atony in previous pregnancy
Chorioamnionitis
Retained placental tissue
Avulsed lobule, succenturiate lobe
Abnormally adhered: accreta, increta, percreta
Trauma to the Genital Tract
Large episiotomy, including extensions
Lacerations of perineum, vagina, or cervix
Ruptured uterus
Coagulation Defects
Intensify all of the above
Management
1. Atonia uteri
- Massase uterus
- Pastikan plasenta lahir lengkap
- Beri 20-40 U oksitosin dalam 1 L Nacl 0.9%/RL dengan v=60tts/min dan 10 U IM  lanjut
20 U oksitosin dalam 1 L Nacl 0.9%/RL dengan v=40 tts/min hingga pendarahan stop
- Jika pendarahan lanjut  ergometrin 0.2mg IM/IV max 5 dosis (1 mg)
- Masih pendarahan  as traneksamat 1 gr IV (bolus 1 min, dapat diulang setelah 30 min)
- Lakukan kompresi bimanual internal selama 5 min
- Rujuk untuk tindakan operatif
Kompresi Bimanual
Management
2. Robekan jalan lahir
- Ruptur perineum dan robekan dinding vagina
- Eksplorasi sumber pendarahan
- Irigasi, disinfeksi, hentikan sumber pendarahan dengan klem kemudian diikat dengan benang
absorbable
- Bila masih pendarahan: as traneksamat 1 gr IV (bolus 1 min, dapat diulang setelah 30 min),
RUJUK!
- Robekan serviks
- Sering pada lateral bawah kiri dan kanan porsio
- Jepit dengan klem ovari
- Jahit
- Bila masih pendarahan: as traneksamat 1 gr IV (bolus 1 min, dapat diulang setelah 30 min),
RUJUK!
Management
3. Retensi plasenta
- Beri 20-40 U oksitosin dalam 1 L Nacl 0.9%/RL dengan
v=60tts/min dan 10 U IM  lanjut 20 U oksitosin dalam 1 L Nacl
0.9%/RL dengan v=40 tts/min hingga pendarahan stop
- Lakukan tarikan tali pusat terkendali
- Gagal  plasenta manual
- AB profilaksis single dose (Ampicillin 2g IV + metro 500mg IV)
- Rujuk
Management
4. Sisa plasenta
- Beri 20-40 U oksitosin dalam 1 L Nacl 0.9%/RL dengan v=60tts/min
dan 10 U IM  lanjut 20 U oksitosin dalam 1 L Nacl 0.9%/RL dengan
v=40 tts/min hingga pendarahan stop
- Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) atau aspirasi vakum
manual/ DC (bila serviks sempit)
- AB profilaksis single dose (Ampicillin 2g IV + metro 500mg IV)
- Jika pendarahan lanjut, lih tatalaksana atonia uteri
Management
5. Inversi uteri
- Segera reposisi uterus  rujuk untuk laparotomi  gagal 
histerektomi
- Jika ibu sangat sakit, petidin 1 mg/kgBB (max 100mg) IM/IV
perlahan atau morfin 0.1mg/kgBB IM
Reposisi Uterus
Management
6. Gangguan pembekuan darah
- Tatalaksana resusitasi cairan pendarahan akut
- Atasi penyebab (solusio plasenta, eklampsia)
- Berikan darah lengkap segar untuk mengganti faktor pembekuan dan
RBC
- Jika tidak tersedia, pilihannya:
- Fresh frozen plasma
- Packed red cells
- Kriopresipitat
- Konsentrasi trombosit (AT<20.000)
- Darah gol O untuk penyelamatan jiwa
Management
• Resuscitation and Acute Management
Whenever there is an excessive blood loss after delivery, it is essential to immediately
identify uterine atony, retained placental fragments, or genital tract lacerations. It is
imperative that at least one or two intravenous infusion systems of large caliber be
established promptly to allow rapid administration of crystalloid solutions and blood.

• Fluid Replacement
Treatment of serious hemorrhage demands prompt and adequate refilling of the
intravascular compartment. Crystalloid solutions typically are used for initial volume
resuscitation. Initial fluid infusion should involve about three times as much crystalloid
as the estimated blood loss.
Fluid Replacement
INVERSIO UTERI
Definisi
• Inversio uteri adalah keadaan di mana lapisan dalam uterus
(endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri
eksternum
• Merupakan kegawatdaruratan pada kala III yang dapat
menimbulkan perdarahan
Klasifikasi
Etiologi
• Atonia uteri
• Plasenta akreta/inkreta/perkreta
• Traksi umbilikus pada pertolongan aktif kala III terlalu kuat
Tanda dan Gejala
• Kesakitan
• Syok
• Perdarahan banyak bergumpal
• Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa
plasenta yang masih melekat
Patofisiologi
• Yang memungkinkan terjadinya inversi uteri adalah adanya
atonia uteri, serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya:
– Kekuatan yang menarik fundus ke bawah misalnya karena plasenta
akreta/inkreta/perkreta yang tali pusatnya ditarik keras dari bawah
– Tekanan pada fundus uteri dari atas
– Tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba misalnya batuk
keras atau bersin
Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan keadaan umum: syok
• Pemeriksaan abdomen: kontraksi uterus lemah dan tidak
baik/teraba lembek
• Pemeriksaan dalam: tampak endometrium terbalik
Tatalaksana
• Memanggil bantuan anastesi dan memasang infus untuk cairan/darah pengganti
dan pemberian obat
• Memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang terbalik
• Reposisi manual: mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam vagina dan
terus melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi
normalnya
• Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan keperluan
• Bila reposisi manual gagal atau tidak dapat dilakukan karena jepitan serviks yang
keras maka dilakukan laparotomi untuk reposisi
• Bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis maka dilakukan histerektomi
• Bila inversio uteri sudah lama terjadi maka jepitan serviks yang
mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis,
dan infeksi
Komplikasi
Referensi
• Buku merah Sarwono
• Buku saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan WHO
Endometritis & Subinvolusi Uterus
Endometritis
• Definisi : infeksi pada uterus setelah persalinan.
– Keterlambatan terapi akan menyebabkan abses, peritonitis, syok, trombosis vena, emboli paru,
infeksi panggul kronik, sumbatan tuba, infertilitas.

• Faktor Predisposisi
– kurangnya tindakan aseptik saat melakukan tindakan
– kurangnya higien pasien
– kurangnya nutrisi
Tanda dan Gejala
– Demam >38oC dapat disertai menggigil
– Nyeri perut bawah
– Lokia berbau dan purulen
– Nyeri tekan uterus
– Subinvolusi uterus
– Dapat disertai perdarahan pervaginam dan syok
Pemeriksaan Penunjang

– Pemeriksaan darah perifer lengkap termasuk hitung jenis leukosit


– Golongan darah ABO dan jenis Rh
– Gula Darah Sewaktu (GDS)
– Analisis urin
– Kultur (cairan vagina, darah, dan urin sesuai indikasi)
– Ultrasonografi (USG) untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
sisa plasenta dalam rongga uterus atau massa intra abdomen-
pelvik
– Periksa suhu pada grafik (pengukuran suhu setiap 4 jam) yang
digantungkan pada tempat tidur pasien.
Tatalaksana
• Berikan antibiotika sampai dengan 48 jam bebas demam:
• Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam + gentamisin 5 mg/kgBB IV tiap 24 jam + metronidazol 500 mg IV
tiap 8 jam
• Jika masih demam 72 jam setelah terapi, kaji ulang diagnosis dan tatalaksana
• Cegah dehidrasi. Berikan minum atau infus cairan kristaloid.
• Pertimbangkan pemberian vaksin tetanus toksoid (TT) bila ibu dicurigai terpapar tetanus.
• Jika diduga ada sisa plasenta, lakukan eksplorasi digital dan keluarkan bekuan serta sisa kotiledon.
Gunakan forsep ovum atau kuret tumpul besar bila perlu
• Jika tidak ada kemajuan dan ada peritonitis (demam, nyeri lepas dan nyeri abdomen), lakukan
laparotomi dan drainase abdomen bila terdapat pus.
• Jika uterus terinfeksi dan nekrotik, lakukan histerektomi subtotal.
Pasien pulang jika suhu < 37,50 C selama minimal 48 jam dan hasil pemeriksaan leukosit < 11.000/mm3.
Subinvolusi Uterus
• Definition: Uterine subinvolution is a slowing of the process of involution or
shrinking of the uterus.
• Causes:
– Endometritis
– Retained placental fragments
– Pelvic infection
– Uterine fibroids
• Signs and Symptoms
(1) Prolonged lochial flow.
(2) Profuse vaginal bleeding.
(3) Large, flabby uterus.
Subinvolusi Uterus
• Treatment
(1) Administration of oxytocic medication to improve uterine muscle tone. Oxytocic medication
includes :
(a) Methergin (drug of choice since it can be given orally)
(b) Oxytocin
(c) Ergotamine
Currently, many medical centers would include misoprostol.
(2) Dilation and curettage (D&C) to remove any placental fragments.
(3) Antimicrobial therapy for endometritis.
• Interventions:
(1) Early ambulation postpartum.
(2) Daily evaluation of fundal height to document involution.
Reference
1. Cunningham F.G., et al. Williams Obstertrics. 23rd ed. United
States of America: The McGraw-Hill Companies,Inc.; 2010.
2. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: Bakti Husada; 2013.
3. U.S Army Medical Department. Obstetric and Newborn Care
II. US: The Brookside Associates; 2015.
http://brooksidepress.org/ob_newborn_care_2/?page_id=32
3
DISTOSIA BAHU
DISTOSIA BAHU
• Kegawatdaruratan persalinan pervaginam yang terjadi ketika
bahu fetus tidak dapat dilahirkan setelah kepala lahir, tanpa
manuver khusus.
• Terjadi ketika bahu anterior tertahan pada simfisis pubis / bahu
posterior tertahan pada sakrum.
Faktor Resiko

• Panggul sempit
• DM gestasional

Maternal • Hamil post term


• Perawakan tubuh pendek
• Obesitas / kenaikan BB > 17kg selama
kehamilan

• Makrosomia (TBJ > 4000gr)


• Kala dua memanjang
Fetus
Manifestasi Klinis

Turtle sign (+)


• Kepala bayi yang sudah keluar tertarik kembali ke
belakang seperti kura-kura dan terbentuk double chin
Wajah bayi tampak kemerahan dan sembab
Tatalaksana

• H-E-L-P-E-R

• By Advanced Life Support in Obstetric


Provider (ALSO) 2004
• Konsul tim ahli
Help • Penolong bersiap melakukan manuver
• Meminta bantuan ibu dan keluarga

Evaluate for • Hanya dilakukan bila perlu “ruang” lebih untuk


memasukkan tangan penolong ke dalam vagina
Episiotomy

• Posisi paha ibu fleksi dan abduksi


Legs (Manuver • Tarik tungkai ke arah perut ibu sedekat mungkin
Mc Roberts) • Dapat digabungkan dengan tekanan pada
suprapubik
• Tekanan penolong di suprapubik, tepat atas bahu anterior
Pressure on fetus
• Tekan dari arah posterior bahu anterior fetus ke arah
suprapubic bawah lateral
• Tarikan pada kepala bayi tetap dilakukan hati-hati

(Manuver Rubin I)

Enter (Manuver • Rotasi internal : merubah sumbu fetus dari AP menjadi


diagonal supaya diameter lebih lebar

Rotasi Internal, • Rubin II: 2 jari penolong masuk vagina, ditempatkan di sisi
posterior bahu anterior fetus, dorong ke arah dada supaya
adduksi
Rubin II & Woods • Woods: mirip dengan rubin II, tapi ditambah 2 jari tangan
lain dimasukkan vagina di sisi anterior bahu posterior dan
Corkscrew) dorong ke arah sebaliknya dari rubin II
• Lengan posterior
Remove difleksikan dengan
menyentuh sisi ventral
posterior siku
arm
• Lengan dikeluarkan
(Manuver dari sisi anterior fetus
dengan menyapu sisi
Jacquemier) dada dan wajah fetus
Komplikasi

Ibu
• Perdarahan post partum, ruptur perineum

Fetus
• Trauma pleksus brakialis (C5-T1), fraktur klavikula
/ humerus
Sumber
• ACOG shoulder dystocia november 2002
• RCOG shoulder dystocia 2005
Deep Vein Thrombosis
on Pregnancy
Overview
• Pregnancy increases the risk of venous
thromboembolism (VTE) 4- to 5-fold over that in the
nonpregnant state.
• The 2 manifestations of VTE are deep venous
thrombosis (DVT) and pulmonary embolus (PE).
• Although most reports suggest that VTE can occur at
any trimester in pregnancy, studies suggest that VTE is
more common during the first half of pregnancy.
• Sequelae of DVT and PE include complications such as
pulmonary hypertension, post-thrombotic syndrome,
and venous insufficiency.
Definition
• In pregnancy, deep venous thrombosis (DVT) is much more likely to
occur in the left leg compared with the right leg.
• The predilection for left lower extremity DVT is postulated to be the
consequence of May-Thurner syndrome, in which the left iliac vein is
compressed by the right iliac artery.
• Another special consideration relevant to accurate diagnosis in
pregnancy is that 12% of DVTs in pregnancy are in pelvic veins, whereas
only 1% of DVTs in the general population are in pelvic veins.
• This predilection for pelvic site DVTs in pregnancy warrants special
consideration when Doppler ultrasound studies of the lower extremities
do not demonstrate noncompressible regions of lower extremity veins,
yet suspicion for VTE is high or Doppler flow analysis of venous flow is
abnormal.
Pathophysiology
• Pregnancy is a state characterized by Virchow’s triad
1: hypercoagulability,
2: venous stasis and turbulence,
3: endothelial injury and dysfunction
• Pregnancy is a state of hypercoagulability due to alterations of coagulation proteins. Factors I, II, VII,
VIII, IX, and X increase in pregnancy. Pregnancy increases resistance to the anti-thrombotic factors
such as protein C and protein S. Thrombophilias can exacerbate these changes in coagulation
proteins, further increasing the patient’s risk for VTE.
• Venous stasis also increases as dilation of lower extremity veins occurs followed by venous
compression by the gravid uterus and enlarging iliac arteries. Situations of decreased mobility (eg,
surgery, cesarean delivery, bed rest, prolonged travel or air travel) may exacerbate these factors.
Endothelial injury may transpire at time of delivery. These factors work together to increase risk of
VTE in the pregnant and postpartum patient.
Clinical Findings

• Signs and symptoms of VTE are nonspecific and common


in pregnancy.
• Most pregnant women experience mild tachycardia,
tachypnea, dyspnea, and lower extremity edema.
• Diagnosis of VTE by physical examination is frequently inaccurate.
• The 2 most common symptoms of DVT are pain and swelling of the
lower extremity.
• Up to 70% of women experience dyspnea in pregnancy,
although
• only a few have PE.
Laboratory Finding
• D-dimer is often used in non-pregnant patients due to its high
negative predictive value.
• D-dimer increases progressively throughout gestation, adding to
the difficulty in selecting an appropriate cut off value for
reasonable specificity in pregnancy.
• The high negative predictive value of d-dimer for DVT in
pregnancy has also been demonstrated prospectively.
• Note, however, data to support its use in the setting of suspected
PE is sparse, and D-dimer may have lower sensitivity in pregnancy.
Imaging
• The current initial test of choice in the evaluation of VTE is compression ultrasound (CUS)
of the lower extremity veins.
• CUS has been shown to be more than 95% sensitive and specific for proximal lower
extremity DVT.
• In pregnancy, CUS should be performed with the patient in the left lateral decubitus position
and with Doppler analysis of flow variation during respiration to maximize the studies ability
to diagnose pelvic DVT.
• If pelvic DVT is not suspected and the results of CUS with Doppler analysis are negative, the
patient may return to routine observation.
• However, if the study is equivocal, if Doppler testing is abnormal, or if one’s suspicion of
pelvic DVT is high, further evaluation with MRI is recommended.
Therapy
• When a high level of suspicion exists for an acute PE, empiric anticoagulation is recommended
(unless contraindicated for other reasons) prior to the diagnostic evaluation.
• In patients with low or intermediate suspicion for PE or DVT, anticoagulation may await
conclusive expeditious diagnostic testing.
• Once the diagnosis of VTE is made, therapeutic anti-coagulation should be initiated in the
absence of contraindications. The common classes of anti-coagulation drugs are as follows:
– Indirect thrombin inhibitors: These include unfractionated heparin and low molecular
weight heparins (eg, enoxaparin), as well as synthetic heparin pentasaccharides (eg,
fondaparinux) and the new orally administered Factor Xa inhibitors (eg, rivaroxaban,
apixaban, edoxaban).
– Direct thrombin inhibitors: These include argatroban, lepirudin, and bivalirudin. This class
also includes the oral medication dabigatran.
– Vitamin K antagonist: This includes warfarin, however this is NOT recommended as initial
anti-coagulation therapy for VTE.
Therapy
• Heparins (unfractionated and low molecular weight) are the
preferred drugs for management of VTE in pregnancy.
• UFH is listed as a category C drug in pregnancy and LMWH is
category B.
• Both are large molecular weight molecules and neither crosses
the placenta.
Therapy : Heparin

• Low molecular weight heparin: Enoxaparin


– Subcutaneous low molecular weight heparin (LMWH) is the preferred treatment for most
patients acute VTE.
– The most commonly used LMWH is enoxaparin (Lovenox). The recommended dosing of
enoxaparin for acute VTE in pregnancy is 1 mg/kg every 12 hours. Some authors have
suggested that LMWH dosing should be evaluated by monitoring anti-Xa level in pregnancy
because of the effects of increased plasma volume and glomerular filtration rate on
pharmacokinetics.
Therapy : Heparin
• Unfractionated heparin
– Unfractionated heparin (UFH) may be preferred if the patient is likely to have immediate surgery because of
its shorter half-life and reversibility with protamine compared with LMWH. As noted above, UFH may be
preferred if creatinine clearance is less than 30 mL/min or if the patient weights >150kg.
– In the setting of acute VTE, UFH is administered by IV bolus, followed by IV infusion, with titration of the
dose to an aPTT. The target aPTT is laboratory dependent. Many institutions have a normogram available to
assist in the initial dose and titration of heparin infusions to therapeutic aPTT.
– After achieving a therapeutic and stable aPTT, the heparin can be converted to either subcutaneous UFH or
LMWH. Subcutaneous UFH is less predictable for anti-coagulation as significant dosing variability exists to
maintain therapeutic response compared to LMWH.
– If subcutaneous heparin is used, one may start at 17,500 every 12 hours, then check aPTT 6 hours after the
second dose. The dose may be increased or decreased by 10-30% to titrate to therapeutic range. After aPTT
is stable, it may be checked again in 3-4 days, then at least weekly thereafter.
Therapy
• Warfarin and direct thrombin inhibitors
– Warfarin freely crosses the placenta and is classified as category X by the
FDA. Teratogenic effects including chondromalacia punctate, mid-face
hypoplasia, stippled chondral calcification, scoliosis, short proximal limbs,
and short fingers have been described when warfarin is given in the first
trimester.
– Warfarin is rarely used in pregnancy. One exception is the use of warfarin
after the first trimester in women with prosthetic heart valves.
– There is insufficient experience to evaluate the risks and benefits of direct
thrombin inhibitors in pregnancy.
Prophylaxis for VTE
• Decisions to provide prophylaxis for VTE in pregnancy must be
based on the patient’s history.
• Pertinent to the decision is (1) if the patient has experienced VTE
previously, (2) whether the patient has experienced more than one
VTE in the past, (3) whether or not a prior VTE occurred with a
transient risk factor (e.g. prolonged immobility or surgery), (4)
whether or not a prior VTE occurred in association with a
pregnancy or estrogen-related state, (5) whether or not a low or
high risk thrombophilia is present, and (6) whether or not the
patient was receiving long-term anti-coagulation therapy prior to
pregnancy.
Prophylaxis for VTE
• Patients undergoing cesarean delivery have twice the risk of VTE as
patients in the setting of vaginal delivery.
• Sequential compression devices may be used during cesarean
delivery and continued until the patient is ambulatory.
• Early ambulation is a recommended strategy for
thromboprophylaxis in women undergoing cesarean delivery.
• In the absence of other risk factors, medical thromboprophylaxis
with heparin or LMWH is not recommended because the overall
risk of VTE is low and is comparable to other surgical procedures
where prophylaxis is not recommended.
References
Thrombophlebitis in Pregnancy
Venous
Disorders
• Varicose Veins
 Superficial Venous Thrombosis
(Thrombophlebitis)

 Deep Vein Thrombosis (DVT)


 Pulmonary Thromboembolism (PTE)
Varicose
Veins
• Pregnancy

– Increased blood volume

– Pressure on veins

– Relaxation effect of hormones


Varicose
Veins
• Management

– Non Operative
• Self resolving (within six weeks)

– After 6 weeks
• if problematic/ unacceptable
– Graduated Compression Stockings
– Surgery
Superficial Venous Thrombosis
(Thrombophlebitis)
 Benign / Self limiting Disease

 1% of patients; always in existing


varicous veins

 Can progress to deep vein


thrombosis (11%)

 Associated with abnormalities


in blood coagulation
Superficial
Thrombophlebitis
Etiologic factors
• Traumatic
• Varicose Veins
• Pregnancy
• Infection (e.g. Staph., Pseud., Klebs., Anaerobes)
Superficial
Thrombophlebitis
• Diagnosis
– Painful cord like structure
– Redness along the vein
– Tenderness
– Fever
• Investigations
– Duplex ultrasonography (duplex scan)
Superficial
Thrombophlebitis
• Management
– Underlying disorder
– Remove offending agents (e.g. IV cannula)
– Antibiotics
– NSAIDs
– Excision of the suppurating vein
– Elevation of the extremity
– Anticoagulants
DEEP VENOUS THROMBOEMBOLISM
DURING PREGNANCY
• LEADING CAUSE OF DEATH

• 2 /1000 PREGNANCIES

• 5 times higher in pregnancy


•  venous stasis of pregnancy
• Physiological changes associated with pregnancy
DEEP VENOUS THROMBOEMBOLISM
DURING PREGNANCY -
Pathophysiology
Independent risk factors Alteration in Coagulation /
• Prolonged bed rest Fibrinolytic System
• Multiparity (>3) • Factor II, VII, X  (middle of pregnancy)
• Advanced maternal age (>35yrs) • Fibrin
• Overweight • Protein S
• Personal or family history of VTE • Protein C
• Pre-eclampsia • Fibrinolytic System inhibited (mostly 3rd
trimester)
DEEP VENOUS THROMBOEMBOLISM
DURING PREGNANCY
• Diagnosis
– Calf veins or ilio-femoral segment
– Predilection for left side

Signs and symptoms


• swelling
• tenderness
• skin discoloration
• warm to touch
• unusual firmness /hardness in the leg
• calf discomfort on dorsiflexion (Homans’ sign)
• prominent tender cord like subcutaneous vein
VENOUS THROMBOEMBOLISM
DURING PREGNANCY
• Diagnostic tests

1. Venography
(Phlebography)
VENOUS THROMBOEMBOLISM DURING
PREGNANCY
• Diagnostic tests
2. Duplex ultrasonography
Duplex US:
combines Doppler flow information & conventional imaging information.
Shows how blood is flowing through vessels & measures the speed of blood flow
Estimate the diameter of a blood vessel as well as the amount of obstruction
VENOUS THROMBOEMBOLISM
DURING PREGNANCY
• Diagnostic tests
3. Spiral CT Venography

No filling of calf veins Opacification of collaterals


VENOUS THROMBOEMBOLISM DURING
PREGNANCY
• Diagnostic tests
4. Impedance plethysmography (IPG)
5. MRI
6. D-dimer test
→ fibrin degradation product (or FDP) = a small protein fragment present in
the blood after a blood clot is degraded by fibrinolysis
→ contains two crosslinked D fragments of the fibrinogen protein
D-dimer concentration → to help diagnose
thrombosis and disseminated intravascular
coagulation.
Pulmonary
Embolism
• Major non-obstetric cause of maternal
mortality
• Cause of Death
• – 2 / 100,000 maternities
• Maximum – Peripartum
• More after operative intervention
• Subtle presentation
DVT is suspected by:
• Acute leg pain,
• Swelling,
• Redness
• Tenderness.

PTE is suspected by
• Acute chest pain
• Shortness of breath.
• Haemoptysis
• Hypotension
• Cyanosis occur in massive PTE.
Pulmonary
Embolism
• Diagnostic tests

1. Pulmonary Angiography

2. Spiral CT Scan
Pulmonary
Embolism
 Diagnostic tests

3.Nuclear Imaging (Ventilation-Perfusion Scan)


VENOUS THROMBOEMBOLISM
DURING PREGNANCY

• PROPHYLAXIS

– Risk Assessment

– Present status
VENOUS THROMBOEMBOLISM
DURING PREGNANCY
• Management
– Medical/Pharmacological
• Anticoagulation
• Anti-platelet agents
– Surgical
• Venous Thrombectomy (Ilio-femoral DVT), Pulmonary Embolectomy
• Thrombolysis
– Endovascular
• Inferior vena cava filter placement (IVC Filter placement)
– Others
• Hydration
• Early Mobilization
• Graduated Compression Stockings
• Pneumatic compression devices
VENOUS THROMBOEMBOLISM
DURING PREGNANCY
• Surgical – Thrombolysis
• Medical/Pharmacological
– Unfractionated Heparin/LMWH
– Oral Anticoagulation

– Antiplatelet agents

– New Molecules
• Direct Thrombin Inhibitors (Lepirudin,
Desirudin, Argatroban, Ximelagatran)
VENOUS THROMBOEMBOLISM
DURING PREGNANCY
• PROPHYLAXIS IN CESARIAN SECTION
– Low Risk
• Early Mobilization
• Hydration
– Moderate Risk
• One of variety of prophylactic measures
– Subcutaneous Heparin
– Mechanical devices
– High Risk
• Heparin Prophylaxis +/- Leg Stockings
References
Urinary and Fecal Incontinence
URINARY INCONTINENCE
Classification

• Chronic Urinary Incontinence • Transient Urinary Incontinence


• Classified into 5 types: • Incontinence which resolves after fixing
– Stress • : sphincter weakness the underlying cause
– Urgency • : detrusor overactivity • Possible causes:
• (sensory/neurologic) – Delirium/confusional state
– Mixed : stress + urgency symptoms co- – Infection – urinary (symptomatic)
manifestation – Atrophic urethritis/vaginitis
– Overflow : bladder overdistention due to – Pharmaceuticals
detrusor malfunction, obstruction, etc – Psychological, esp. depression
– Functional : cognitive, functional, or mobility – Excessive urine output e.g. CHF,
impairment without organic impairment in
hyperglycemia
urinary tract organs
– Restricted mobility
– Stool impaction
Epidemiology
and Symptoms
More
common
type

Caused
by
volume
overload
RISK FACTORS
Diagnostic Approach
• History
– Explore possibility of transient incontinence (recent intake of sedatives, alcohol,
immobilization, etc)
– Symptoms for differentiating possible type of incontinence
– possible risk factors e.g. childbirth, obesity, prostatectomy, recurrent UTI,
cognitive impairment, etc
• Physical examination
– Limited function in diagnosis
– Several findings which may present:
• Enlarged bladder
• Abdominal mass
• Perineal and digital examination
• Pelvic organ prolapse
• Cough test  positive result may indicate stress incontinence
Diagnostic approach
• Questionnaire  3 incontinence
questions (3QI), Quality of life (QOL)
• Voiding diary
Record information of fluid intake, times
of voiding, voided volumes, episodes of
incontinences, use of pad, degree of
urgency for 1-3 days
• Urinalysis
May detect signs of UTI, glycosuria,
proteinuria, haematuria
• Post-void residual volume
Large post void residual volume may
indicate obstruction
• Urodynamics
Management
• Conservative management
– Manage underlying disease/cognitive impairment (e.g. diabetes, CKD,
stroke, depression, obesity, stool impaction, etc)
– Lifestyle intervention  reduce caffeine/tea, physical activities, stop
smoking, weight loss
– Behavioral/physical therapies
• Bladder training  Scheduled voiding; fixed time intervals between toileting
• Pelvic floor muscle straining (PFMT)
• Electric stimulation  stimulation of pelvic floor; methods may vary considerably
– Containment devices
• Disposable Pad
• Urethral occlusive device
• Catheter (intermittent, indwelling urethral, or suprapubic)  if caused by retention
Management
• Pharmacological management
Offered for patients who failed conservative treatment; no evidence of benefit for
combination therapy of PFMT + drug treatment
For urge UI:
• Anti-muscarinic
– Oxybutinin (immediate release) 2-3 x 5 mg
– Tolterodine (immediate release) 2 x 2 mg
– Darifenacine 1 x 7.5 mg
Side effect: dry mouth, cognitive deterioration in elderly
• Beta3 agonist  mirabegron 1 x 25 mg
• Vaginal oestrogen therapy  beneficial for post-menopausal women
– For stress UI:
• Alpha-adrenergic agonist (e.g. pseudoephedrine 4 x 60 mg, phenylephrine)
• Duloxetine 2 x 40 mg
• Desmopressin  vasopressin analogue, short term symptom relief
Management
• Surgical therapy
– Transcutenous Posterior tibial/sacral nerve stimulation
– Synthetic mid-urethral tape
– Open colposuspension
– Autologous rectus fascial sling
FECAL INCONTINENCE
Definition
• Uncontrolled passage of faeces or gas over at least 1 month’s duration,
in an individual of at least 4 years of age, who had previously achieved
control.
• It is a sign/symptom, not a diagnosis  underlying cause may be
different for each individual
• A highly stigmatising problem, estimated to affect 1%-10% of adults
• Mechanisms are often multifactorial; ranging from anal spinchter
disruption/weakness, pudendal neuropathy, impaired anorectal
sensation, to incomplete evacuation
Classification
• No international consensus on classification of fecal
incontinence, but often described based on the description of
symptom:
– Passive incontinence
Involuntary discharge without awareness
– Urge incontinence
discharge of fecal matter or flatus despite active attempts to hold the contents
– Fecal seepage
undesired leakage of stool, often after a bowel movement with normal
continence and evacuation
Diagnostic
Approach
• Anamnesis
– Identify the nature of
fecal incontinence –
duration, progression,
content (flatus, solid, or
liquid stool), impact on
quality of life
– Identification of risk
factors
– Bowel habit
Diagnostic approach
• Physical examination
– General examination  identify signs of cognitive impairment,
neurological deficit, new/previous perineal laceration for female, etc
– Perineal inspection and Anorectal examination
• identify fecal matter (impaction, liquid stool), prolapsed haemorrhoids,
dermatitis, scars, skin excoriation, gaping anus, rectal polyp/mass, bloody
discharge
• Resting and maximum External anal spinchter tone
• Anocutaneous reflex stroking perianal skin with cotton bud causes external
anal spinchter to contract
Diagnostic approach
• Supportive examination
– Anorectal manometry
• assess anal sphincter pressure together with rectal sensation, rectoanal reflexes, and
rectal compliances
– Anal endosonography
• imaging of anal sphincter structure via USG
– Balloon expulsion test
• testing fecal evacuation using 50 ml water-filled balloon or silicon-filled artificial stool
– Others, e.g. defecography, pudendal nerve terminal latency, pelvic MRI
Management
• Management of underlying cause
• Conservative management
– Dietary modification
• Supplemental fibers for liquid stool (may aggravate incontinence in impaired sphincter
function)
• Restrict caffeine, sugar substitute, lactose, or other diet causing fecal urgency
• Fluid management
• Dietary assessment and management by specialist
– Bowel habit intervention
• encourage bowel emptying after a meal, ensuring toilet facilities are easily found, encourage
sitting or squatting position, avoid straining
• Create bowel habit diary
Management
– Pelvic floor muscle training + Biofeedback
– Electrical stimulation
– Rectal irrigation
– Bowel retraining
– Use of disposable pad
– Manual fecal removal or laxative (for patient with fecal loading due to impaction,
lower spinal injury)
• Pharmacologic therapy
– Loperamide hydrochloride 1 x 2 mg – 1 x 16 mg
• Addressed for patients with loose stool after other cause is excluded
• Not for patient for hard/infrequent stool, acute diarrhea without diagnosed cause, or acute
flare-up of ulcerative colitis
• Alternative : codeine phosphate
– Estrogen replacement therapy may benefit postmenopausal women
Management
• Invasive therapy
– Sacral nerve stimulation
– Surgery
• Neosphincter, either by graciloplasty or artificial anal sphincter
• Antegrade irrigation via appendicostomy
• Colostomy and establishing stoma

• Notes:
– Patient should be given psychological and emotional support, possibly
including referral to counsellor or therapist
– At least 6-montly review of symptoms
Reference
• Burkhard FC, Bosch JLHR, Cruz F, Lemack GE, Nambiar AK, Thiruchelvam N, et al. EAU Guidelines on
Urinary Incontinence in Adults. 2017
• Khandelwal C, Kistler C. Diagnosis of Urinary Incontinence. Am Fam Physician. 2013;87(8):543–50.
Available from: https://www.aafp.org/afp/2013/0415/p543.htm
• Kasper D, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson J, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
Star. 2015. 2958 p.
• Rao SSC. Diagnosis and Management of Fecal Incontinence. Am J Gastroenterol. 2004;99(8):1585–
604. Available from: http://www.nature.com/doifinder/10.1111/j.1572-0241.2004.40105.x
• Paquette IM, Varma MG, Kaiser AM, Steele SR, Rafferty JF. The American Society of Colon and Rectal
Surgeons’ clinical practice guideline for the treatment of fecal incontinence. Dis Colon Rectum.
2015;58(7):623–36.
• Madoff RD, Parker SC, Varma MG, Lowry AC. Faecal incontinence in adults. Lancet.
2004;364(9434):621–32. Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0140673604168566
Sectio Caesaria
Definisi dan Jenis SC
Indikasi
Kepustakaan
• Sarwono. Ilmu Bedah Kebidanan. Bab 14: Seksio Sesarea.
EKSTRAKSI VAKUM DAN FORCEPS
EKSTRAKSI VAKUM
Definisi
• Ekstraksi vakum adalah suatu persalinan buatan di mana janin
dilahirkan dengan ekstraksi tenaga negatif (vakum) pada
kepalanya.
• AIat ini dinamakan ekstraktor vakum atau ventouse.
Bentuk dan Bagian Ekstraktor Vakum
• Mangkuk (Cup)
Bagian yang dipakai untuk membuat kaput suksedaneum artifisialis. Dengan mangkuk inilah
kepala diekstraksi. Diameter mangkuk: 3, 4,5,6 cm. Pada dinding belakang mangkuk
terdapat tonjolan, untuk tanda letak denominator.
• Botol.
Tempat membuat tenaga negatif (vakum). Pada tutup botol terdapat manometer, saluran
menuju ke pompa penghisap, dan saluran menuju ke mangkuk yang dilengkapi dengan
pentil.
• Karet penghubung.
• Rantai penghubung antara mangkuk dengan Pemegang
• Pemegang (extraction handle).
• Pompa penghisap (vacumm Pump).
Indikasi
• Ibu
– Untuk memperpendek kala Il; misalnya:
• Penyakit jantung kompensata.
• Penyakit paru-paru fibrotik.
– Waktu: kala II yang memanjang.
• Janin
– Gawat janin (masih kontroversi).
Kontraindikasi
• Ibu
– Ruptura uteri membakat
– Pada penyakit-penyakit di mana ibu secara mutlak tidak boleh
mengejan, misalnya payah jantung, preeklampsia berat.
• Janin
– Letak muka.
– After coming bead.
– Janin preterm.
Syarat
• Syarat ekstraksi vakum sama dengan ekstraksi cunam, hanya di
sini syarat lebih luas, yaitu:
– Pembukaan lebih dari 7 cm (hanya pada multigravida).
– Penurunan kepala janin boleh pada Hodge II.
• Harus ada kontraksi rahim dan ada tenaga mengejan.
Kriteria ekstraksi vakum gagal
• Waktu dilakukan traksi, mangkuk terlepas sebanyak 3 kali.
Mangkuk lepas pada waktu traksi, kemungkinan disebabkan:
– Tenaga vakum terlalu rendah.
– Tekanan negatif dibuat terlalu cepat, sehingga tidak terbentuk kaput suksedaneum yang sempurna yang
mengisi seluruh mangkuk.
– Selaput ketuban melekat antara kulit kepala dan mangkuk sehingga mangkuk tidak dapat mencengkam
dengan baik.
– Bagian-bagian jalan lahir (vagina, serviks) ada yang terjepit ke dalam mangkuk.
– Kedua tangan kiri dan tangan kanan penolong tidak bekerja sama dengan baik.
– Traksi terlalu kuat
– Cacat (defek) pada alat, misalnya kebocoran pada karet saluran penghubung.
– Adanya disproporsi sefalo-pelvik. Setiap mangkuk lepas pada waktu traksi, harus diteliti satu persatu
kemungkinan-kemungkinan di atas dan diusahakan melakukan koreksi.
• Dalam waktu setengah jam dilakukan traksi, janin tidak lahir.
Komplikasi
• Ibu
– Perdarahan
– Trauma jalan lahir.
– Infeksi.
• Janin
– Ekskoriasi kulit kepala.
– Sefalhemaroma.
– Subgaleal hematoma. Hematoma ini cepat diresorbsi tubuh janin. Bagi janin yang
mempunyai fungsi hepar belum matur dapat menimbulkan ikterus neonatorum yang
agak berat.
– Nekrosis kulit kepala (scalpnecrosis), /ang dapat menimbulkan alopesia.
Kerugian ekstraksi vakum dibandingkan
dengan cunam
• Persalinan janin memerlukan waktu yang lebih lama.
• Tenaga traksi tidak sekuat seperti pada cunam. Sebenarnya
hal ini dianggap sebagai keuntungan, karena kepala janin
terlindung dari traksi dengan tenaga yang berlebihan.
• Pemeliharaannya lebih sukar, karena bagian-bagiannya banyak
terbuar dari karet dan harus selalu kedap udara.
FORCEPS / CUNAM
Definisi

• Suatu persalinan
buatan di mana
janin dilahirkan
dengan suatu
tarikan cunam
yang dipasang
pada kepalanya.
Indikasi
Indikasi
Kontraindikasi dan Syarat
Ekstraksi Cunam Gagal
Komplikasi
Kepustakaan
• Sarwono. Ilmu Bedah Kebidanan. Bab 10: Ekstraksi Vakum.
• Sarwono. Ilmu Bedah Kebidanan. Bab 11: Ekstraksi Cunam.
RUPTUR UTERUS
Definisi
• Ruptura uteri komplit adalah keadaan robekan pada Rahim dimana
telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga
peritoneum
• Peitoneum viserale dan kantong ketuban keduanya ikut rupture
demikian janin sebagian atau seluruh tubuhnya telah keluar oleh
kontraksi terakhir Rahim dan berada dalam kavum peritoneum atau
rongga abdomen
• Pada rupture uteri inkomplit hubungan kedua rongga tersebut masih
dibatasi oleh peritoneum viserale
Definisi
• Pada dehisens dari parut bekas SC kantong ketuban juga belum robek,
tetapi jika kantong ketuban ikut robek maka disebut telah terjadi rupture
uteri pada parut.
• Dehisens bisa berubah menjadi rupture pada waktu partus atau akibat
manipulasi lain pada Rahim yang berparut, biasanya bekas SC.
• Dehisens terjadi secara perlahan, sedangkan rupture uteri terjadi secara
dramatis.
• Pada dehisens perdarahan minimal atau tidak berdarah, tetapi pada
rupture uteri perdarahannya banyak yang berasal dari pinggir parut atau
robekan baru yang meluas
Klasifikasi penyebab rupture uteri
• Kerusakan atau anomaly uterus yang telah ada sebelum hamil :
Pembedahan pada myometrium : SC, miomektomi yang sampai
menembus seluruh ketebalan otot uterus, reseksis pada kornu uterus atau
bagian interstitial
Trauma uterus koinsidental : instrumentasi sendok kuret atau sonde pada
penanganan abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau peluru,
rupture tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya (silent rupture in
previous pregnancy)
Kelainin bawaan : kehamilan dalam bagian Rahim yang tidak berkembang
Klasifikasi penyebab rupture uteri
• Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan
 Sebelum kelahiran anak : his spontan yang kuat dan terus menerus, pemakaian
oksitosin atau prostaglandin untuk merangsang persalinan, instilasi cairan ke dalam
kantong gestasi atau ruang amnion seperti larutan garam fisiologi atau
prostaglandin,trauma luar tumpul atau tajam, pembesaran Rahim yang berlebihan
misalnya hidroamnion dan kehamilan ganda
 Dalam periode intrapartu : versi-ekstraksi, ekstraksi cunam yang sukar, ekstraksi bokong,
anomali janin yang menyebabkan distensi berlebihan pada segmen bawah raahim,
tekanan kuat pada uterus dalam persalinan, kesulitan dalam melakukan manual plasenta
 Cacat Rahim yang didapat : plasenta inkreta atau perkrreta, neoplasia trofoblas
gestasional, adenomiosis
Gambaran Klinik
• Bila telah terjadi ruptur uteri komplit sudah pasti ada perdarahan
yang bisa dipantau pada Hb dan tekanan darah yang menurun,
nadi yang cepat dan kelihatan anemis dan tanda lain dari
hypovolemia serta pernapasan yang sulit
• Pada palpasi ibu merasa sangat nyeri dan bagian tubuh janin
mudah teraba di bawah dinding abdomen ibu dan kekuatan his
yang sudah sangant menurun seolah dirasakan his telah hilang
• Hemoperitoneum yang terbentuk bisa merangsang diafragma dan
menimbulkan nyeri memancar ke dada menyerupai nyeri dada
pada emboli paru atau emboli air ketuban
Gambaran Klinik
• Nyeri abdomen bisa menyerupai gejala solusio plasenta.
• Pada auskultasi sering tidak terdengan DJJ, tetapi jika janin belum meninggal
bisa terdeteksi deselarasi patologik pada CTG
• Pada dehisens bekas SC atau dehisens yang berlanjut menjad rupture rasa nyeri
dan perdarahan tidak seberapa
• Dalam keadaan demikian diperlukan pemeriksaan USG secara langsung.
• Pada periksa dalam teraba bagian terbawah janin berpindah atau naik kembali
ke luar pintu atas panggul dan jari pemeriksa bisa menemui robekan yang
berhubungan dengan rongga peritoneum dan melalui dimana terkadang dapat
meraba usus
Diagnosis
• Ruptura uteri iminens mudah dikenali pada ring vand Bandl
yang semakin tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis dan
keadaan ibu yang gelisah takut karena nyeri abdomen atau his
kuat yang berkelanjutan disertai tanda gawat janin.
• Gambaran klinik rupture uteri adalah khas sekali.
• Untuk menentukan apakah rupture itu komplit perlu dilakukan
pemeriksaan dalam.
Diagnosis
• Pada rupture uteri komplit jari – jari tangan pemeriksa dapat melakukan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Jari – jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding perut
yang licin
2. Dapat meraba pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di
segmen bawah Rahim
3. Dapat memegang usus halus atau omentum melalui robekan
4. Dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung jari – jari
tangan dalam sehingga ujung jari tangan luar saling mudah meraba ujung
jari tangan dalam
Komplikasi
• Syok hipovolemik
Karena perdarahan yang hebat.
• Sepsis
 akibat infeksi.
Penanganan
• Pasien risiko tinggi haruslah dirujuk agar persalinannya
berlangsung dalam rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang
cukup dan diawasi
• Bila telah terjadi rupture uteri tindakan terpilih hanyalah
histerektomi dan resusitasi serta antibiotika yang sesuai
• Diperlukan infus cairan kristaloid dan transfuse darah yang banyak,
tindakan antisyok, serta pemberian antibiotika spektrum luas.
• Jarang dapat dilakukan histerorafia kecuali bila luka robekan masih
bersih dan rapi dan pasiennya belum punya anak hidup.
Daftar Pustaka
• Anwar M, Baziad A, Prabowo P. Ilmu Kandungan. 3rd ed.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011.
RUPTUR PERINEUM
RUPTUR PERINEUM
Terdapat 4 tingkat robekan yang dapat terjadi pada persalinan:
• Tingkat I mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat, tidak
perlu dijahit.
• Tingkat II mengenai mukosa vagina, jaringan ikat, dan otot di
bawahnya.
• Tingkat III mengenai m. sfingter ani.
• Tingkat IV mengenai mukosa rektum.
RUPTUR PERINEUM TINGKAT I
RUPTUR PERINEUM TINGKAT II
RUPTUR PERINEUM TINGKAT III
RUPTUR PERINEUM TINGKAT IV
Tatalaksana
Ruptur Perineum dan Robekan Dinding Vagina
• Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.
• Lakukan irigasi pada tempat luka dan bersihkan dengan antiseptik.
• Hentikan sumber perdarahan dengan klem kemudian ikat dengan
benang yang dapat diserap.
• Lakukan penjahitan.
• Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV
(selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk pasien.
Ruptur derajat 2
• Pastikan pasien tidak memiliki alergi terhadap lidokain atau
obat-obatan sejenis.
• Suntikkan sekitar 10 ml lidokain 0,5% di bawah mukosa vagina,
di bawah kulit perineum, dan pada otot-otot perineum.
• Masukkan jarum sepuit pada ujung atau pojok laserasi atau
luka dan dorong masuk sepanjang luka mengikuti garis tempat
jarum jahitnya akan masuk atau keluar.
Ruptur derajat 2 (lanjutan)
• Aspirasi penting untuk memastikan suntikan lidokain tidak
masuk ke dalam pembuluh darah.
• Apabila saat aspirasi didapatkan darah, pindahkan jarun ke
tempat lain.
• Tunggu 2 menit, kemudian jepit area dengan forsep. Jika
pasien masih merasakan, tunggu 2 menit kemudian lalu ulangi
tes.
Ruptur derajat 2 (lanjutan)
Jahitan Mukosa
• Jahit mukosa vagina secara jelujur
dengan benang 2.0 mulai dari 1
cm di atas puncak luka di dalam
vagina sampai pada batas vagina.
Ruptur derajat 2 (lanjutan)
Jahitan Otot
• Lanjutkan jahitan pada daerah otot
perineum sampai ujung luka pada
perineum secara jelujur dengan benang
2.0.
• Lihat ke dalam luka untuk mengetahui
letak ototnya.
• Penting sekali untuk menjahit otot ke
otot agar tidak ada rongga di antaranya.
Ruptur derajat 2 (lanjutan)
Jahitan Kulit
• Carilah lapisan subkutikuler persis di bawah lapisan
kulit.
• Lanjutkan dengan jahitan subkutikuler kembali ke
arah batas vagina, akhiri dengan simpul mati pada
bagian dalam vagina.
• Potong kedua ujung benang, dan hanya disisakan
masing-masing 1 cm.
• Jika robekan cukup luas dan dalam, lakukan colok
dubur, dan pastikan tidak ada bagian rektum
terjahit.
Ruptur derajat 3 dan 4
• Penjahitan ini harus dilakukan oleh pihak yang berkompeten.
• Segera rujuk bila tidak mampu.

Lihat lampiran A.6 (hal.276-280) pada buku saku PELAYANAN KESEHATAN IBU DI FASILITAS KESEHATAN DASAR DAN RUJUKAN
Komplikasi yang mungkin terjadi
• Jika terjadi hematoma, buka dan alirkan. Apabila tidak ada tanda infeksi dan perdarahan berhenti,
luka dapat ditutup kembali.
• Jika terdapat tanda infeksi, buka dan alirkan luka. Singkirkan jahitan yang terinfeksi dan bersihkan
luka.
• Jika infeksi berat, berikan antibiotika.
• Infeksi berat tanpa disertai jaringan dalam, berikan Ampisilin oral 4 x 500mg selama 5 hari dan
Metronidazole oral 3 x 400mg selama 5 hari.
• Infeksi berat dan dalam mencakup otot dan menyebabkan nekrosis, berikan Penicilin G 2 juta unit
setiap 6 jam DAN Gentamicin 5mg/kgBB IV setiap 24 jam DAN Metronidazole 500mg IV setiap 8
jam. Sampai jaringan nekrotik dihilangkan dan bebas demam 48 jam. Setelah bebas demam 48 jam,
berikan Ampisilin oral 4 x 500 mg selama 5 hari dan Metronidazole oral 3 x 400 mg selama 5 hari.
• Hati-hati terjadinya inkontinensia fekal dan fistula rektovaginal.
• Selalu pastikan pasien dalam keadaan hemodinamik yang stabil selama tindakan.

Lihat lampiran A.6 (hal.276-280) pada buku saku PELAYANAN KESEHATAN IBU DI FASILITAS KESEHATAN DASAR DAN RUJUKAN
Refrensi
• Cunningham, F. Gary,, et al. Williams Obstetrics. 23th edition.
New York: McGraw-Hill Education, 2014.
• WHO, 2013, Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan.
RUPTUR SERVIKS
Definisi
• Robekan jalan lahir yang mengenai serviks uteri
Etiologi
• Terjadi pada persalinan dengan trauma (persalinan yang
manipulatif, menggunakan alat misalnya forseps atau vakum)
• Memimpin persalinan saat pembukaan serviks belum lengkap
Tanda dan Gejala
• Perdarahan pasca persalinan yang terjadi saat kontraksi
uterus baik

• Perdarahan mempunyai ciri warna darah merah segar dan


pulsatif sesuai dengan denyut nadi
Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan abdomen: Uterus kontraksi kuat dan baik, tinggi
fundus uteri turun

• Pemeriksaan dalam: terlihat adanya robekan pada serviks,


paling sering pada lateral bawah kiri dan kanan dari porsio
 inspeksi dilakukan dengan menggunakan spekulum
Tatalaksana
Robekan Serviks
• Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan dari
porsio.
• Jepitkan klem ovum pada lokasi perdarahan.
• Jahitan dilakukan secara kontinu dimulai dari ujung atas robekan
kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit.
• Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV
(selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk pasien.
Tatalaksana
• Semua sumber perdarahan yang terbuka harus di klem, diikat,
dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis
sampai perdarahan berhenti
Referensi
• Buku merah Sarwono
• Buku saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan WHO
INTRAUTERINE FETAL DEATH
Definisi
• Menurut WHO dan the American College of Obstetrician and
Gyncologists yang disebut kematian janin adalah janin yang
mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih
atau kematian janin dalam Rahim kehamilan 20 minggu atau
lebih
• Kematian janin merupakan hasil akhir dari gangguan
pertumbuhan janin, gawat janin atau infeksi.
Etiologi
• Pada 25 – 60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas
• Kematian janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal atau kelainan patologik
plasenta
• Faktor maternal adalah posterm (>42 minggu), diabetes mellitus tidak terkontrol, SLE,
infeksi, hipertensi, preeklampsia, eclampsia, hemoglobinopati, umur ibu tua, penyakit
rhesus, rupture uteri, atifosfolipid sindrom, hipotensi akut ibu, kematian ibu
• Faktor fetal antara lain adalah hamil kembar, hamil tumbuh terhambat, kelainan
kongenital, kelainan genetic, infeksi
• Faktor plasental antara lain adalah kelainan tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban
pecah dini, vasa previa
Faktor Risiko
• Faktor risiko terjadinya kematinan janin intrauterine meningkat
pada usia ibu > 40 tahun, pada ibu infertile, riwayat bayi
dengan berat badan lahir rendah, infeksi ibu, kegemukan,
ayah berusia lanjut.
Diagnosis
• Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat terbatas nilainya dalam mebuat diagnosis
kematian janin.
• Umumnya penderita hanya mengeluh gerakan janin berkurang
• Pada pemeriksaan fisik tidak terdengar denyut jantung janin
• Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan USG, dimana tidak tampak
adanya gerakan jantung janin
• Pada adamnesis gerakan menghilang.
• Pada pemeriksaan pertumbuhan janin tidak ada, yang terlihat pada tinggi
fundus uteri menurun, berat badan ibu menurun, dan lingkaran perut ibu
mengecil.
Diagnosis
• Dengan fetoskopi dan doppler tidak dapat didengar adanya bunyi jantung janin
• Dengan sarana penunjang diagnostic lain yaitu USG, tampak gambaran janin tanpa tanda
kehidupan

• Dengan foto radiologic setelah 5 hari tampak tulang kepala kolaps, tulang kepala saling
tumpang tindih (spalding), tulang belakang hiperrefleksi, edema sekitar tulang kepala,
tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah.

• Pemeriksaan HcG urin menjadi negative setelah beberapa hari kematian janin
Pengelolaan
• Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, penderita segera diberi informasi
• Rekomendasikan untuk segera diintervensi
• Bila kematian janin lebih dari 3 – 4 minggu kadar fibrinogen menurun dengan
kecenderungan terjadinya koagulopati
• Dila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan tanda
vital ibu, dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan, dan gula
darah
• Diberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan penyebab
kematian janin, rencana tindakan, dukungan mental emosional pada penderita
dan keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan lahir pervaginam
Pengelolaan
• Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggu, umumnya tanpa
komplikasi
• Persalinan dapat terjadi secara aktif dengan induksi persalinan dengan oksitosin atau
misoprostol
• Tindakan perabdominam bila janin letak lintang
• Pada kematian janin 24 – 28 minggu dapat digunakan, misoprostol secara vaginal (50 -
100 microgram tiap 4 – 6 jam) dan induksi oksitosin
• Pada kehamilan di atas 28 minggu dosis misoprostol 25 microgram pervaginam/6 jam
• Idealnya pemeriksaan otopsi atau patologi plasenta akan membantu mengungkan
penyebab kematian janin
Komplikasi
• Komplikasi yang dapat terjadi adalah trauma pskis ibu maupun
keluarga, apalagi bila waktu antara kematian janin dan
persalinan berlangsung lama.
• Bila terjadi ketuban pecah dapat terjadi infeksi
• Terjadi koagulopati bila kematian janin lebih dari 2 minggu
Asfiksia
Neonatorum
Hyaline Membrane Disease
• Gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan
defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia
gestasi
<34 minggu atau berat lahir <1500 gram
• Gejala Klinis
– Sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan subkostal, napas cuping
hidung, dan sianosis yang terjadi dalam beberapa jam pertama
kehidupan.
– Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan, adanya HMD
dapat disingkirkan.
• Imaturitas paru Surfactant defisiensi
Gambaran
Radiografi

•Diffuse ground glass lungs with low


volumes, bell shaped thorax
• Bilateral and symmetrical air bronchograms.
Tatalaksana
•Endotracheal (ET) tube
•Continuous positive airway pressure (CPAP)
•Surfactant replacement therapy
•Broad spectrum antibiotic (Ampicillin)stop
if there is no proof of infection
•Corticosteroid
Transient Tachypnea
Of Newborn (TTN)
• Gangguan respiratori pada bayi sesaat setelah lahir pada bayi
aterm atau preterm akhir.
• TTN merupakan penyakit self limiting biasanya hilang setelah 3
hari namun dibutuhkan pemberian oksigen atau pemasangan
CPAP.
• TTN biasanya sering terjadi pada bayi dengan:
1.Lahir sebelum 39 minggu gestasi
2.Dilahirkan dengan C-seksio terutama yang belum masuk dalam
tahap lahir.
3.Lahir dari ibu resiko tinggi terutama DM
Transient Tachypnea
Of Newborn (TTN)
•Gejala biasanya berupa sianosis dengan tachipnoe
disertai
grunting dan pernafasan cuping hidung ataupun
retraksi

•Sindroma ini dipercaya diakibatkan oleh


keterlambatan absorpsi dari cairan paru yang
menyebabkan penurunan fungsi paru dan tidal
volume.
Gambaran Fuzzy Vessel / Wet lung Garis
perihiler tampak dominan
Aspirasi
Mekonium
• Umumnya bayi post term, kecil masa kehamilan dengan
kuku panjang dan kulit terwarnai oleh mekonium
menjadi kuning kehijauan dan terdapat mekonium pada
cairan ketuban.
• Cairan amnion berwarna kehijauan dapat jernih
maupun kental
• Tanda sindrom gangguan pernafasan mulai tampak
dalam 24 jam pertama setelah lahir.
• Kadang-kadang terdengar ronchi pada kedua paru
dan mungkin terlihat empishema atau atelektasis.
Gejala
Klinis
• Kesulitan benafas saat lahir
• Retraksi
• Takhipnea
• Sianosis
Tatalaksana

• Penatalaksanaan dari aspirasi mekonium termasuk


penanganan suportif dan penanganan standar pada
respiratory distress.
Pendekatan Asfiksia pada Neonatus

Algoritma Neonatus IDAI 2015


Target Saturasi Oksigen pada Neonatus Pasca
Persalinan
Kliegman RM. Nelson textbook of pediatrics. 19th edition. USA:

Referensi
Elsevier; 2011.p.581-591
NEONATAL HYPOGLYCEMIA
Management
Reference
NEONATAL HYPOTHERMIA
Thermal Balance

v
Thermo neutral environment
Definition

v
Temperature Recording

v
v
v

v
v
v
Reference
Sepsis Neonatus
Sepsis Neonatus
• Sepsis neonatus  sindrom dari penyakit sistemik +
bakteremia pada 1 bulan pertama kehidupan
• Klasifikasi
– Onset dini: 3-5 hati usia kehidupan
• Organisme didapat saat antepartum/intrapartum
– Onset lanjut: > 5 hari usia kehidupan
• Nosokomial
Faktor Risiko
• Prematur < 37 minggu + BBLR
• Ruptur membran >18 hari
• Infeksi peripartum pada ibu
• Distres fetal intrapartum
• Multiple gestation
• Prosedur invasif
• Bottle feeding
• Metabolic factors: hipoksia, asidosis, defek imunologi
Manifestasi klinis
• Temperatur irregularity  hipotermi
• Change in behaviour  letargi, irritable
• Skin changes  sianosis, ptekie, rashes, jaundice, mottling, pucat
• Feeding problem  mual/muntah, diare, distensi abdomen
• Hipoglikemi, hiperglikemi, asidosis metabolik
• Infeksi fokal  selulitis, impetigo, osteomyelitis, meningitis,
konjungtivitis, abses
• Cardiopulmo  takipneu, distres napas (grunting, flaring,
retraction), takikardia, hipotensi (late sign)
http://www.newbornw
hocc.org/pdf/teaching-
aids/neonatalsepsis.pdf
Laboratorium
• Kultur  darah, CSF, urin, sputum (untuk yang intubasi)
• CBC  IT ratio

• Penanda inflamasi  CRP, prokalsitonin


Treatment

http://www.newbornw
hocc.org/pdf/teaching-
aids/neonatalsepsis.pdf
Treatment

http://www.newbornw
hocc.org/pdf/teaching-
aids/neonatalsepsis.pdf
http://www.newbornw
hocc.org/pdf/teaching-
aids/neonatalsepsis.pdf
Daftar Pustaka
Reference

Anda mungkin juga menyukai