Anda di halaman 1dari 7

GABRIELLA GUNATYAS

• Perceraian pada zaman sekarang sudah bukan hal yang tabu, banyak
pasangan suami istri memilih untuk bercerai dengan beragam alas an
seperti, sudah tidak adanya kecocokan, hadirnya orang ketiga dan tak
jarang karena masalah ekonomi. Banyak dalam kasus perceraian
anaklah yang menjadi korban atas keegoisan orang tua. Alhasil banyak
anak-anak korban perceraian tumbuh menjadi pribadi yang kurang
kasih sayang, sehingga anak memiliki trauma tersendiri. Anak yang
tidak mendapatkan figure orang tua akan sangat berpengaruh pada
kesehatan mental,emosional dan perkembangan- perkembangan
selanjutnya terlebih pada anak-anak dibawah usia 17 tahun.
Hurlock (1996)
Hurlock (1996) mengemukakan bahwa perceraian merupakan
klamanasi dari penyelesaian sebuah pernikahan yang buruk, dan yang
terjadi apabila pasangan suami istri sudah tidak mampu lagi mencari
penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak, perlu
disadari bahwa pernikahan yang tidak menumbuhkan kebahagiaan
tetapi tidak diakhiri dengan perceraian. Hal ini dikarenakan pernikahan
tersebut dilandasi dengan pertimbangan-pertimbangan
agama,moral,kondisi ekonomi,dan alas an lainnya. Perceraian atau
pembatalan pernikahan dapat dilakukan secara hokum atau secara
diam-diam bahkan ada kasus dimana salah satu pasangan (suami/istri)
meninggalkan keluarga.
Katherine Donahey (Brigham Young)
bahawa perceraian sangatlah signifikan berpengaruh pada
perkembangan anak. Banyak konsekwensi yang ada ketika perceraian
terjadi salah satunya adalah akan mempengaruhi keberhasilan atau
prestasi anak, mempengaruhi hubungan kedekatan antara anak dengan
orang tua, khususnya masalah keintiman anak perempuan dimasa
mendatang, dan memicu adanya konflik antara anak dengan orang tua.
Efek Perceraian pada Anak

Anak-anak korban perceraian mengalami peningkatan tantangan


kesehatan mental yang disebabkan oleh menurunnya keterlibatan
orang tua setelah perceraian (Sandler, Wheeler, & Braver, 2013).
Temuan ini menunjukkan bahwa anak-anak tidak kebal terhadap efek
perceraian dan dapat menderita konsekuensi yang parah jika tidak
ditangani. Anak korban perceraian menunjukan reaksi beragam seperti
murung,mudah emosi,engan bertemu dengan orang tuanya, menutup
diri hingga merasa tidak percaya lagi dengan orang tuanya.
POLA PENGASUHAN

Beberapa studi mengusulkan hubungan tidak langsung antara pola asuh dan
kesuksesan hubungan di masa depan (Beckmeyer et al. 2014). Setelah
perceraian, pengaruh seorang ayah pada putrinya sangat besar, dan
perhatian harus diberikan untuk menjaga hubungan ayah-anak tetap sehat
dan terbuka sehingga anak perempuan tersebut memiliki kemungkinan lebih
besar untuk membentuk hubungan yang sehat di masa depan. Hubungan
ibu-anak yang baik setelah perceraian juga menjadi faktor dalam kesuksesan
masa depan anak perempuan dalam hubungan yang baik. Shulman et al.
(2012) menemukan bahwa setelah perceraian, ketika anak perempuan
memiliki hubungan dengan ibu mereka yang terbuka dan mendukung,
mereka sering memiliki hubungan berkualitas yang lebih tinggi. Secara
khusus, ketika ibu dapat dengan jelas mengartikulasikan pengalaman mereka
dalam hubungan yang baik, anak perempuan mereka memiliki peluang lebih
besar untuk memiliki hubungan yang sehat.
PENANGANAN
Pada anak-anak korban perceraian orang tua, sangat diperlukan pola
asuh yang sehat agar tidak merasa kekurangan figure dari salah satu
orang tua. Sebagai orang tua yang telah bercerai baiknya jugatetap
mempertahankan hubungan baik guna menjaga dan menunjang
perkembangan anak, karena pada dasarnya peran orang tua sangat
mendukung tubuh kembang anak. Namun ketika kedua orang tua tidak
bias melakukan hal tersebut baiknya hak asuh jatuh pada salah satu
orang tua yang dapat mengasuh anak dan menujang tumbuh kembang
anak.

Anda mungkin juga menyukai