Anda di halaman 1dari 53

Oleh

dr. Duriyanto Oesman, Sp.B, FInaCS


PENDAHULUAN

Trauma merupakan kasus terbanyak yang


membutuhkan pelayanan pada pelayanan gawat darurat di
rumah sakit.

Hal ini juga terbukti secara statistic di Negara maju, selain


secara kuantitas terbanyak juga secara kualitas mempunyai
morbiditas dan mortalitas tinggi.
Usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas ini
dapat dilakukan dengan memperbaiki mutu pelayanan
sejak pra rumah sakit hingga pelayanan difinitif di pusat
pelayanan yang sesuai serta kecepatan memperoleh
pertolongan. Waktu atau kecepatan untuk memperoleh
pelayanan ini secara teori ditentukan oleh pelayanan satu
jam pertama yang dikenal sebagai “ The Golden Hour “,
pelayanan satu jam pertama yang optimal dapat
menyelamatkan 85% kematian.
Pelayanan sejak pra rumah sakit hingga memperoleh pelayanan definitive di
rumah sakit seharusnya merupakan suatu rangkaian kesatuan

Untuk mengatasi masalah seperti di atas diperlukan suatu standar


pemeriksaan awal dan penatalaksanaan segera penderita trauma dengan
tujuan utama menyelamatkan penderita dari ancaman kematian dan
kecacatan dengan merujuk pada ATLS, angka kematian karena trauma
dapat ditekan.
PRINSIP PENANGGULANGAN
Dalam penanggulangan pasien trauma harus diingat
bahwa :
• Terganggunya jalan napas dapat menyebabkan
kematian lebih cepat daripada kemampuan bernapas
• Ketidakmampuan bernapas dapat menyebabkan
kematian lebih cepat daripada kehilangan darah.
• Dan perdarahan intrakranial adalah keadaan letal yang
berikutnya.
Karena penanggulangan pasien trauma sangat
tergantung pada waktu kecepatan bekerja, maka kita
harus dapat bekerja sesuai urutan tindakan yang baku
yaitu :
1. Kesiapsiagaan
2. Triage
3. Primary survey
4. Resusitasi
5. Secondary survey
6. Memonitor dan evaluasi yang berkelanjutan
Kesiapsiagaan
Pada fase ini dibagi menjadi fase pra rumah sakit dan fase rumah sakit.
A. Fase pra rumah sakit
a. Komunikasi
Disini problemnya adalah bagaimana :
• Masyarakat dengan mudah dapat minta tolong / cara mengatur dan membimbing
pertolongan ambulan.
• Cara mengatur / memonitor rujukan dari puskesmas ke rumah sakit atau dari
rumah sakit ke rumah sakit

Supaya masyarakat dapat meminta tolong dengan cepat maka dapat dipakai cara :
• Telepon
• Radio
• Perum telekomunikasi sudah menentukan bahwa nomor telepon 118 adalah ”
Common Medical Emergency Number ” untuk seluruh Indonesia.
Radio komunikasi sudah dipakai oleh :
• Polisi
• RAPI
• ORARI
• Dan lain-lain

Sebagai penerima permintaan tolong tersebut di atas, sebaiknya di


tiap-tiap kota ada suatu sentral komunikasi yang dihubungkan dengan
radio / telepon dengan
• Polisi
• Bagian gawat darurat rumah-rumah sakit, dokter-dokter
• Ambulan-ambulan tipe 118
• Dan lain-lain
b. Pendidikan
Dengan resusitasi kardiopulmoner (RKP) kita dapat menyelamatkan
penderita yang mengalami kegagalan pernapasan atau kardiovaskuler
karena kecelakaan maupun penyakit. Henti pernapasan / jantung
kalau tidak ditolong dalam 4 – 6 menit maka akan terjadi kerusakan
sel-sel terutama sel-sel otak yang “ irreversibel “.
Keberhasilan RKP sangat tergantung pada cepat / lambatnya dimulai
RKP tersebut.

c. Transportasi
Transportasi gawat darurat dari tempat kejadian ke rumah sakit atau
dari puskesmas ke rumah sakit atau daru rumah sakit ke rumah sakit
sampai sekarang masih dilakukan dengan macam-macam kendaraan,
hanya sebagian kecil saja dilakukan dengan ambulan. Dan
ambulannya bukan ambulan yang memenuhi syarat tetapi biasa.
Syarat transportasi penderita :
Seorang penderita gawat darurat dapat ditransportasikan bila
penderita tersebut siap ditransportasikan, yaitu :
• Gangguan pernapasan dan kardiovaskular telah ditanggulangi
resusitasi bila diperlukan.
• Perdarahan dihentikan.
• Luka ditutup.
• Patah tulang difixasi.
Dan selama transportasi harus dimonitor :
• Kesadaran.
• Pernapasan.
• Tekanan darah dan denyut nadi.
• Daerah perlukaan.
Syarat alat transportasi
Yang dimaksud disini adalah :
1. Kendaraannya.
2. Alat-alat medis.
3. Personal.

Cara transportasi :
Sebagian besar penderita gawat darurat dibawa ke rumah sakit
dengan menggunakan kendaraan darat yaitu ambulan.
Tujuan dari transportasi ini adalah memindahkan penderita dengan
cepat tetapi aman, sehingga tidak menimbulkan perlukaan tambahan
ataupun shock pada penderita.
Jadi semua kendaraan yang membawa penderita gawat darurat harus
berjalan perlahan-lahan dan mentaati semua peraturan lalu lintas.
B. Fase rumah sakit

Puskesmas merupakan pos terdekat dari pertolongan medis,


sedangkan kemampuan suatu bagian gawat darurat rumah sakit akan
mencerminkan rumah sakit tersbut, karena itu puskesmas dan gawat
daruat harus mampu :

• Melakukan resusitasi dan “ Life Support “


• Melakukan rujukan pendeirta-penderita gawat darurat sesuai dengan
kemapuan
• Melakukan komunikasi dengan sentral komunikasi 118 dan rumah
sakit lain.
TRIAGE
Triage adalah seleksi pasien sesuai dengan kebutuhan terapi.
Terapi yang dilakukan sesuai dengan prioritas A, B, dan C.
A. Airway dengan kontrol vertebra cervical
B. Breathing
C. Sirculation dengan kontrol perdarahan
Triage dapat dilakukan di rumah sakit maupun di lapangan supaya tidak
dilakukan kesalahan di dalam memilih rumah sakit yang dituju.

Dua tipe triage :


• Bila jumlah pasien tidak melebihi kapasitas rumah sakit / fasilitas
kesehatan, dalam keadaan ini pasien yang paling gawat atau dengan
cidera multiple didahulukan penanggulannya.
Disini yang dilakukan adalah “ Selection of Problems “
• Bila jumlah pasien melebihi kapasitas rumah sakit / fasilitas kesehatan,
dalam keadaan ini pasien yang mempunyai kemungkinan hidup lebih baik
dengan kebuthhan waktu, sarana dan personil sedikit didahulukan
penanggulannya. Disini yang dilakukan adalah “ Selection of Patient “.
Primary Survey
Disini dilakukan identifikasi keadaan yang membahayakan nyawa
pasien dan segera ditanggulangi.
A. Menjamin kelancaran jalan napas dan kontrol vertebra
servikalis
Jalan napas dipertahankan dengan melakukan “ Chin Lift “
atau “ Jaw Thrust ‘, dapat juga dengan memasang “ Gudds “.
Pada pasien dengan trauma multiple dan trauma tumpul diatas
clavicula kita harus menganggap dan memperlakukan seakan
ada fraktur vertebra servikalis dengan memasang “ Neck
Collar “ sampai dibuktikan negatif.
Karena itu sebaiknya dibuat X Ray Crosstable Lateral Cervical
Spine atau Swimmer View dan menilai ketujuh Vertebra
Servikal.
B. Breathing Dan Ventilasi
Dinding toraks harus dapat dilihat semuanya untuk menilai
vintilasi yang cukup. Bila ada gangguan / instabilisasi
kardiovaskuler, respirasi, maka kita harus melakukan ventilasi
dengan alat “ Bag Valve “ yang disambungkan pada masker
atau pipa endotrakheal.
Oksigenasi dan ventilasi yang cukup pada pasien trauma
termasuk memberikan volume dan konsentrasi oksigen ( 12
L/menit ) yang cukup.
Ventilasi akan terganggu terutama pada 3 keadaan :
• Tension Penumotoraks
• Open Pneumotoraks
• Flail Chest dengan kontusio paru
C. Circulation
Salah satu penyebab kematian di rumah sakit pada pasien trauma adalah
perdarahan yang tidak diatasi segera. Setiap hipotensi pada pasien
trauma harus dianggap karena hipovolemi sampai dibuktikan tidak. Dan 3
tanda klinis yang dapat dengan cepat menunjukkan hipovelemi adalah :
• Kesadaran
Kalau kita kehilangan setengah volume darah atau lebih, maka perfusi
otak akan terganggu dan kita kehilangan kesadaran. Tetapi pasien yang
sadar tidak selalu tidak kehilangan darah.
• Warna kulit
Pasien dengan warna kulit pucat, kalau menandakan adanya kehilangan
darah. Pasien seperti itu dapat kehilangan darah sampai 30%.
• Nadi
Nadi harus diraba pada femur atau karotis dan dibandingkan kanan
dan kiri mengenai kualitasnya, rata-rata /menit dan regularitasnya. Nadi
yang pelan, reguler dan penuh / kuat merupakan pertanda yang baik.
Nadi yang cepat dan lemah merupakan pertanda dari hipovolemia.
Nadi yang reguler merupakan tanda adanya gangguan pada jantung.
Tidak terabanya nadi pada karotis/femur pada lebih dari satu sisi tanda
adanya cidera otak merupakan indikasi resusitasi segera untuk
mengembalikan volume darah / “ Cardiac Output “ yang efektif dalam
beberapa detik/menit jika kita ingin menghindari kematian.
• Yang sering dilupakan / tidak disadari.
• Cidera intra abdominal dan intra torakal
• Fraktur femur dan atau pelvis
• Luka tusuk yang menciderai arteri / vena
D. Disability
Pada akhir Primary Survey dilakukan pemeriksaan neurologi untuk
menentukan :
• Kesadaran
• Pupil
• Reaksi
Kesadaran kita tentukan dengan metode AVPU :
A = Alert
V = Bereaksi pada vokal stimuli
P = Bereaksi pada pain stimuli
U = Unresponsive

E. Exposure
Pasien harus ditelanjangi untuk pemeriksaan yang lengkap dan harus
diselimuti untuk menghidar hipotermi.
X Ray
Pembuatan X ray tidak boleh menghambat resusitasi
Ada 3 macam X ray yang boleh dilakukan :
• Lateral dari vertebra spinalis
• AP Thorax
• AP Pelvis
Ketiga X Ray tersebut dapat dilakukan di ruang resusitasi dengan
alat X Ray Portabel.
SECONDARY SURVEY
Secondary survey tidak dimulai apabila Primary Survey belum selesai.
Yang dilakukan dalam Secondary Survey adalah anamnesa yang lengkap termasuk
biomekanik kecelakaan dan pemeriksaan fisik dari kepala sampai ke ujung kaki.

ANAMNESA
Sering kita tidak dapat mendapat informasi mengenai apa yang terjadi karena pasien
tidak sadar.
Informasi ini dapat kita peroleh dari orang yang mengantar pasien atau petugas AGD 118.
Dan dari keluarga kita dapat mencari informasi tentang penyakit terdahulu, dapat juga kita
pakai singkatan AMPLE untuk mengingat informasi apa yang harus kita cari.
A = Alergi
M = Medicine yang dipakai pasien
P = Past illness
L = Last meal
E = Event / Environment yang berkaitan dengan cidera pasien
BIOMEKANIK KECELAKAAN
Dengan meneliti apa yang terjadi pada badan pasien waktu
kecelakaan kita dapat memprediksi cidera apa yang didertia
pasien. Tipe cidera dapat diklasifikasikan sesuai dengan arah
dan besarnya energi yang diterima badan pasien. Misalnya :
Trauma Tumpul
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah KLL. Disini kita
dapat memprediksi cidera yang diderita korban KLL.
 Pengemudi
Pada saat terjadi kecelakaan dari depan maka pada :
• Fase I pengemudi bergeser di tempat duduknya dan lutut mengenai
dashboard dan dapat terjadi fraktur patela, femur dan dislokasi sendi
panggul.
• Fase II pengemudi dilempar ke atas – depan dan kepala / dahi
mengenai frame kaca dan dapat terjadi fraktur frontalis / cidera kepala
dan vertebra servikalis.
• Fase III pengemudi dilempar ke depan dan toraks mengenai setir dan
dapat terjadi fraktur sternum, iga, “ Traumatic Wt Lung “, pneumotoraks
atau hematotoraks.
• Fase IV pengemudi dilempar ke depan dan muka mengenai kaca dan
dapat terjadi segala macam cidera.
• Fase V pengemudi dilempar kembali ke belakang dan leher mengenai
sandaran kursi.
Bila tidak ada Head Rest maka akan terjadi hiperekstensi servikal lagi
dan dapat terjadi fraktur.
• Hal yang sama dapat terjadi pada penumpang di samping pengemudi
(tanpa trauma toraks).
• Pada penumpang di belakang pengemudi dapat terjadi proses yang
sama, terutama disini dapat terjadi fraktur servikal karena kena sandaran
kursi depan dan terjadi hiperekstensi servikal.
• Pada tabrakan dari samping dapat terjadi :
• Contralateral Neck Strain
• Fraktur vertebra servikal
• Flail chest lateral
• Pneumotoraks
• Ruptur hati / limpa
• Fraktur pelvis atau acetabulum
• Tabrakan dari belakang dapat menyebabkan fraktur vertebra servikal
karena hiprekstensi jika kursi tidak ada Head Rest-nya.
• Kalau penumpang terlempar dari kendaraan akan terjadi cidera multipel.
• Pada pejalan kaki, pengendara sepeda motor bila ditabrak mobil,
bemper akan mengenai kaki dan dilempar ke atas mengenai frame kaca
/ ke samping dan dapat menderita :
• Cidera kepala
• Fraktur vertebra servikal
• Cidera torakal / abdominal
• Fraktur tungkai bawah
Khusus pada pengendara sepeda / sepeda motor dapat menderita “ Handle
Bar Injury “, ( Jejas setang pada abdomen ) dimana setang menjepit usus ke
vertebra.
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik kita mencari cidera yang kita duga terjadi sesuai
dengan biomekaniknya.
1. Kepala
Selain cidera sesuai biomekanik pada pemeriksaan kepala harus
diperhatikan mata :
• Besarnya pupil
• Perdarahan dalam fundus
• Dislokasi lensa
• Perdarahan pada konjungtiva
• Luka tembus
• Benda asing
• Lensa kontak ( lepaskan sebelum terjadi odem )
• Periksa visual dengan membaca Snelling Chart atau tulisan pada
botol infus
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan kepala :
• Hypema
• Cidera n optikus
• Dislokasi lensa atau luka tembus mata
• Cidera kepala
• Laserasi bagian belakang kepala
2. Maksilofasial
Cidera maksilofasial yang tidak ada gangguan pernapasan ditanggulangi
setelah pasien stabil. Dan penanggulangan dapat dilakukan pada
hari ke-7 atau ke-10.
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan maksilofasial :

• Impending gangguan jalan napas


• Perubahan jalan napas
• Cidera vertebra servikal
• Perdarahan ( exsanguinating ) fraktur Midface
• Laserasi duktus lakrimalis
• Cidera N Fasialis
3. Leher
Tiga hal penting harus diperhatikan pada pemeriksaan leher.

• Pada semua pasien dengan trauma tumpul yang menyebabkan


cidera pada maksilofasial harus dianggap menderita fraktur vertebra
servikal dan diperlukan demikian. Tidak adanya kelainan neurologis
dan nyeri tidak menyingkirkan kemungkinan adanya cidera vertebra
servikal.
• Semua pasien kecelakaan yang memakai topi pengaman / helmet,
posisi leher dan kepala harus dipegang dari bawah dalam posisi
netral waktu melepas topi pengamannya. Setelah lepas, kepala tetap
dipertahankan posisinya dengan memegang dari atas.
• Setiap luka tusuk yang menembus platisma harus dilakukan eksplorasi di
kamar operasi dan persiapan operasi termasuk arteriografi, bronkhoskopi,
esofagoskopi, dan esofagografi.
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan leher :
• Cidera vertbra servikalis
• Cidera esofagus
• Cidera trakheo – laringeal
• Cidera A. Karotis
4. Toraks
Cidera pada dinding toraks seperti :
• Sucking Chest Injury
• Flail Chest
• Fraktur iga
• Kontusio dan hematoma
Cidera pada paru-paru seperti :
• Pneumotoraks
• Hematotoraks
Dapat diketahui dengan perkusi dan auskultasi. Bunyi napas yang lemah
seudah merupakan indikasi yang cukup untuk melakukan fungsi pleura
pada pneumotoraks.
Tamponade jantung dapat diketahui dengan adanya :
• Denyut jantung terdengar jauh
• Vena di leher melebar. Tetapi sering tidak melebar bila ada hipovolemi
• Narrow pulse pressure merupakan tanda tamponade jantung yang pasti.

Yang sering dilupakan pada pemeriksaan toraks :


• Tension Pneumotoraks
• Luka toraks terbuka
• Tamponade jantung
• Ruptur aorta
5. Abdomen
Setiap cidera abdomen harus ditanggulangi dengan agresif karena
merupakan cidera yang berbahaya. Pada pemeriksaan fisik abdomen,
hasilnya dapat berbeda beberapa jam kemudian. Karena itu kalkulasi
dapat mendapatkan hasil positif, harus dilakukan observasi.
Setiap trauma tumpul abdomen daengan tanda-tanda yang tidak jelas
dan kesadaran yang menurun karena alkohol, ganja, trauma kepala,
trauma toraks dan fraktur pelvis merupakan indikasi untuk melakukan
lavase peritoneal karena pemeriksaan akan sukar dilakukan.

Yang sering dilupakan pada pemeriksaan fisik abdomen :


• Ruptur hati / limpa
• Organ berongga dan vertebra lumbalis
• Cidera pankreas
• Cidera pembuluh drah besar
• Cidera ginjal
• Fraktur ginjal
6. Perineum / Rektum / Vagina
Pada perineum dapat terjadi kontusio, hematoma, laserasi dan perdarahan
uretra.
Colok dubur merupakan pemeriksaan penting untuk menilai :

• Darah dalam usus


• Letak prostat yang tinggi
• Fraktur pelvis
• Integritas dinding rektum
• Tonus sfingter
Pada wanita pemeriksaan colok vagina dapat memberikan informasi
adanya darah dalam vagina dan laserasi vagina
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan :
• Cidera uretra
• Cidera rektum
• Cidera buli-buli
• Cidera vagina
7. Muskuloskeletal
Pemeriksaan pada tungkai dilakukan dengan :
• Inspeksi untuk melihat kontusio atau deformitas.
• Palpasi dengan rotasi atau “ Three point pressure “ untuk menilai nyeri,
krepitasi dan gerakan abnormal.
• Tekanan antero-posterior dengan telapak tangan pada kedua “ Anterior
Superior Iliac Spines “ dan simfisis pubis untuk menilai fraktur pelvis.
• Pasien harus di Log Roll untuk menilai punggung dan meraba vertebra
torakalis dan lumbalis.
• Neurovaskuler distal pada kedua sisi dinilai kalau ada kelainan.
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan muskuloskeletal :
• Fraktur vertebra
• Fraktur dengan gangguan vaskuler
• Fraktur pelvis
• Fraktur jari-jari
8. Neorologis
Pada trauma harus dilakukan penilaian mengenai motoriks,
sensorik, kesadaran dan pupil. Ini dapat dilakukan secara
obyektif dengan “ Glassgow Coma Scale “. Setiap tanda-tanda
peresis / paralisis menunjukkan adanya cidera pada vertebra
dan harus segera difiksasi dengan “ Short / long board “ atau “
Semirigid Cervical Collar “.
Perdarahan ekstra dural maupun sudural, depresi tengkorak dan
cidera intrakranial lainnya harus dikonsultasikan dengan ahli
bedah saraf.
Perubahan keadaan intrakranial berhubungan neurologis dapat
merubah prioritas penanggulangan. Oksigenasi dan perfusi otak
harus dinilai ulang. Dan bila tidak ada perubahan maka merupakan
indikasi tindakan bedah atau evakuasi.
Yang sering dilupakan pada pemeriksaan neurologis :

• Tekanan intrakranial yang meninggi


• Hematom sudural dan ekstradural
• Depresi tengkorak
• Cidera vertebra
Daftar Pustaka

• Pusponegoro A.D (1989) Biomekanik Kecelakaan Bagian


Bedah FK. UI / RSCM
• Pusponegoro A.D (1989) Total Care Bagian Bedah FK. UI /
RSCM
• Raymond H. Alexander, MD, FACS And Herbert J. Proctor, MD
FACS (1993) ATLS
• Trauma Commitee Royal Australian Collage of Surgeons
(1992) Early Management of Severe Trauma
Capitol Press Pty Ltd Box Hill, Victoria
• Tunkey D.D Lewis Jr F.R. (1992) Current Theraphy of Trauma
ed III B.C. Decker, Philadelpia

Anda mungkin juga menyukai