Anda di halaman 1dari 10

INTERPRETASI HUKUM

PERJANJIAN

INTERNASIONAL

Assessment fo r 2019
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 4
Yanuar Dewi Pangesti 170111100111
Fitria Arum Wibawani 170111100112
M. Teguh Heriyanto 170111100113
Devi Oktavia 170111100114
Santi Dwi Juniantika 170111100115
Siva Novaldi 170111100116
Fajrin Noer Islamiya 170111100117
Adelia Noorvila Pangestu 170111100118
Mita Dewi Puspita Sari 170111100119
Nur Salam 170111100120
Batasan Masalah
I. METODE PENAFSIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
II. AZAS-AZAS/PRINSIP-PRINSIP PENAFSIRAN
III. PRAKTEK PENAFSIRAN OLEH MAHKAMAH INTERNASIONAL
METODE PENAFSIRAN

PERJANJIAN

INTERNASIONAL
40

Dalam perjanjian internasional,


30
interpretasi perjanjian
internasional dilakukan apabila
20
rumusan aturan dalam Perjanjian
Internasional menimbulkan
10
makna kabur, makna yang tidak
dapat ditangkap, makna yang
0
Item 1 Item 2 Item 3 Item 4 Item 5 tidak pasti.
TIGA METODE PENAFSIRAN
PERJANJIAN INTERNASIONAL
INTENTION SCOOL
Aliran ini berpegang pada kehendak para pembuat
perjanjian terlepas dari teks perjanjian itu.
TEXTUAL SCOOL
Aliran ini berpendapat bahwa terhadap naskah perjanjian
hendaknya diberikan arti yang lazim dan terbaca dari kata-
kata itu.

TELEOGICAL SCOOL
PresaAliran yang menitikberatkan interpretasi dengan
melihat pada maksud dan tujuan umum dari perjanjian,
terlepas dari kehendak semula para pihak pembuat
perjanjian.
AZAS-AZAS/PRINSIP-PRINSIP
PENAFSIRAN
Ringkasan mengenai azas-azas/prinsip-prinsip menurut
Starke:
• Penafsiran secara ketatabahasan, serta maksud para pihak, kata-kata dan
kalimat harus ditafsirkan menurut lazim dan yang sebenarnya.
• Obyek dan tujuan, apabila kata-kata dan kalimat-kalimat tertentu dalam
perjanjian disangsikan, maka penafsirannya ditentukan oleh obyek umum
perjanjian dalam konteksnya.
• Kepatutan dan keaselarasan, perjanjian harus ditafsirkan mengutamakan arti
yang wajar/patut dengan memperhatikan konsistensinya/keselarasan dengan
bagian-bagian lain dalam perjanjian dan traktat harus ditafsirkan dalam rangka
hukum internasional.
• Azas keefektifan, azas ini secara khusus ditekankan oleh Mahkamah
Internasional Permanen, menuntut agar traktat ditafsirkan secara keseluruhan
sehingga traktat menjadi sangat efektif dan bermanfaat.
PRAKTEK PENAFSIRAN OLEH MAHKAMAH INTERNASIONAL

Menggunakan:
a. “Natural and ordinary meaning of the word on the contect which they appear”, yakni
dengan menghubungkannnya dengan keseluruhan isi perjanjian dan tidak hanya pada
arti kata-kata itu saja.
b. “Principle of subsequent practice”, yakni sejauh praktek-praktek negara-negara didalam
hal pelaksanaan dan penerapan ketentuan-ketentuan perjanjian merupakan suatu bukti
mengenai apa yang sebenarnya,
c. “Principle of offectiveness”, yakni dimana suatu perjanjian itu ditafsirkan sedemikian
rupa sehingga memberi efek hukum kepada obyek serta tujuan perjanjian itu sesuai
dengan arti yang lazim diberikan kepada kata-kata dan bagian-bagian dari perjanjian
tersebut.
Hal yang harus diperhatikan
dalam menginterpretasi :
1. Dalam perjanjian yang dibuat para pihak harus berkaitan dengan
penafsiran perjanjian internasional yang bersangkutan atau
penerapan pasal-pasalnya.
2. Dalam upaya menginterpretasikan para pihak harus memperhatikan
keberadaan persetujuan lanjutan antara para pihak yang berkenaan
dengan interpretasi atau implementasi perjanjian.
3. Perjanjian lanjutan dapat dibuat apabila para pihak setuju untuk
memodifikasi lebih lanjut suatu perjanjian awal.
4. Menyetujui interpretasi atas perjanjian awal tersebut dituangkan
dalam bentuk perjanjian lanjutan.
Mengenai dasar penafsiran, hendaknya
ditafsirkan dengan itikad baik, yakni penafsiran
harus sesuai/sejalan dengan hukum internasional
pada umunya dan penafsiran hendaknya
diberikan sesuai dengan arti yang lazim dipakai
kata-kata tersebut dan sejalan dengan obyek dan
tujuan dari perjanian.
THANKYOU!

Anda mungkin juga menyukai