Anda di halaman 1dari 12

REFORMASI KEKUASAAN

PERADILAN AGAMA
(STUDI TELAAH UU NO. 7 TAHUN 1989, UU NO. 3
TAHUN 2006 DAN UU NO. 50 TAHUN 2009
TENTANG PERADILAN AGAMA)

Dr. Nunung Rodliyah , M.A.


Ledy Famulia, S.H., M.H.
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman dibawah
Mahkamah Agung. Selain Peradilan Agama, terdapat tiga lembaga peradilan lain
yang memiliki kedudukan serta derajat yang sama, yaitu Peradilan Umum (Negeri),
Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer.
Peradilan Agama memiliki spesifikasi tersendiri, karena ketundukannya pada dua
sistem hukum yang berbeda, yaitu hukum Islam dan hukum negara. Keberadaannya
sebagai lembaga peradilan negara di bidang syari’ah Islam secara religius politis dan
yuridis sangat dibutuhkan oleh warga negara Indonesia maupun orang asing yang
beragama Islam dalam konteks kehidupan beragama dan bernegara.
Secara spesifik, peraturan mengenai Peradilan Agama diakomodir dalam tiga
undang-undang tentang Peradilan Agama, yakni UU No. 7 Tahun 1989 , UU No. 3
Tahun 2006, serta UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Peradilan Agama Pra- Peradilan Agama Pasca


Kemerdekaan Kemerdekaan

Peradilan Agama dalam UU No. 7 Tahun 1989

Peradilan Agama dalam UU No. 3 Tahun 2006

Peradilan Agama dalam UU No. 50 Tahun 2009


Peradilan Agama Pra Kemerdekaan
Sistem Peradilan Agama di Indonesia sudah dikenal sejak Islam masuk ke Indonesia,
yakni sejak adanya kerajaan Islam di Indonesia. sistem Peradilan kala itu adalah dengan
menunjuk seorang qodhi (hakim) dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
agama.
Selanjutnya, pada masa penjajahan Belanda. Awalnya, sistem peradilan dalam bidang
agama ini tidak diatur secara spesifik dan hanya dibiarkan tumbuh di masyarakat. Mula-
mula pemerintah Belanda turut campur dengan mengeluarkan beberapa peraturan sbg
berikut:
• Regenten Istructie 1820, yaitu instruksi kepada seluruh bupati di Jawa dan Madura agar
menyerahkan perselisihan waris kepada para ulama yang ahli dalam bidang hukum
Islam.
• Stbl. 1835 No. 58 tentang wewenang Peradilan Agama menyelesaikan sengketa
perkawinan dan pembagian harta benda.
• Stbl. 1884 dan 1885 tentang perubahan atas Regenten Istructie 1820 dan Stbl. 1835 No.
58.
• Stbl. 1882 No. 52 tentang pembentukan Peradilan Agama di Jawa dan Madura.
Peradilan Agama Pra Kemerdekaan
• Stbl. 1909 No. 182 dan Stbl 1926 No. 232 yaitu perubahan atas Stbl 1882 No. 152.
• Pembentukan panitia “Priesteraden Commissie” yang betugas menyelidiki keadaan
Pengadilan agama dan mengatasi hal-hal yang dianggap perlu. Selanjutnya Piesteraden
Commissie menetapkan Stbl. No. 5 tentang Peradilan agama.
• Stbl. 1937 No. 116 tentang pembatasan kewenangan Pengadilan Agama
• Stbl. 1937 No. 610 tentang pembentukan Mahkamah Islam Tinggi untuk wilayah Jawa
dan Madura.
• Stbl. 1937 No. 638 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan
dan Timur, Tanah Bambu dan Pulau Sungai.

Ketika Jepang Berkuasa, mengubah sistem politik pemerintah Belanda dengan


memberikan penghargaan kepada umat Islam berupa kantor Agama yang diberi nama
“Suumubu” dan kantor agama daerah yang diberi nama “Shuumuka”.
Peradilan Agama Pasca Kemerdekaan
• Pasca Kemerdekaan pada tahun 1945, peluang mengembangkan hukum Islam semakin besar karena
memperoleh dukungan dari struktur pemerintahan dengan dibentuknya Departemen Agama pada
tahun 1946. selanjutnya, Pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No. 5/SD pada tanggal 25
Mei 1946 yang mengintruksikan kepada Pengadilan Agama yang semula berada di bawah Kementrian
Kehakiman dipindahkan ke Departemen Agama.

• Pada Tahun 1948, disahkan UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan
Kehakiman dan Kejaksaan. Namun, UU tsb hanya mengakomodir tiga lingkungan peradilan yaitu
Peradilan Negeri, Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, dan Peradilan Ketentaraan. Ini merupakan hal
yg wajar karena Peradilan Agama telah dipindahtangankan ke Departemen Agama.

• Selanjutnya, pada Tahun 1970 disahkan UU No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa badan peradilan dibedakan menjadi empat lingkungan peradilan, yakni Peradilan
Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum. Dengan demikian,
Peradilan Agama mulai menemukan titik terang untuk hidup setara dan sederajat dengan ketiga
peradilan lainnya.
Peradilan Agama dalam UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
UU No. 7 Tahun 1989 merupakan UU pertama yang mengatur secara spesifik mengenai
Peradilan Agama. Selain merupakan delegasi dari UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman, latar belakang munculnya UU ini adalah sebagai bentuk
penyeragaman susunan, kekuasaan dan hukum acara Peradilan Agama.
Secara garis besar, UU No. 7 Tahun 1989 mengatur mengenai susunan, kekuasaan,
hukum acara, kedudukan para hakim, dan segi-segi administrasi lain pada Pengadilan
Agama.
Susunan Pengadilan terdiri dari Pengadilan Agama yang dibentuk dengan Keputusan
Presiden dan Pengadilan Tinggi Agama yang dibentuk dengan undang-undang.
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di beberapa bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah, wakaf, serta shadaqah.
Peradilan Agama dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang
perubahan pertama atas UU tentang Peradilan Agama

Secara garis besar, perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1989 menjadi UU No. 3 Tahun
2006 meliputi tiga hal, yaitu:
1. Kompetensi absolut Peradilan Agama diperluas termasuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari’ah.
2. Pembinaan
Pembinaan yang dimaksud adalah teknis peradilan, organisasi, administrasi dan
finansial dan keuangan. Semula, pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh
Mahkamah Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan finansial oleh
Mentri Agama. Namun, UU ini mengubah bahwa segala pembinaan baik teknis
peradilan, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
3. Dihapuskannya hak opsi
Hak opsi yang dimaksud adalah hak para pihak untuk memilih forum dalam
penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan kewarisan. Hak ini dhapus karena
dianggap tidak mencerminkan kepastian hukum bagi kedua belah pihak.
Peradilan Agama dalam UU No. 50 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua atas UU tentang Peradilan Agama

Latar belakang lahirnya UU ini adalah adanya Putusan MK No. 05/PUU-IV/2006


bahwa pasal-pasal yang menyangkut pengawasan hakim sebagaimana diatur dalam UU
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya, perlu ada singkronisasi
antarperaturan perundang-undangan terutama yang ada kaitannya dengan pengawasan
hakim, sehingga perlu untuk merubah UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Secara garus besar, perubahan substansi pada UU No. 50 Tahun 2009 adalah sbg berikut:
1. Penguatan pengawasan hakim.
2. Memperkuat persyaratan pengangkatan hakim melalui proses seleksi hakim yang
dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif dan harus melalui proses
atau lulus pendidikan hakim.
3. Pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim adhoc.
4. Diberlakukannya kode etik dan pedoman prilaku hakim yang wajib ditaati.
KESIMPULAN
Garis besar perubahan substansi hukum pada UU tentang peradilan agama
adalah sbg berikut:
ASPEK UU No. 7 Tahun 1989 UU No. 3 Tahun 2006 UU No. 50 Tahun 2009
Jumlah Pasal 7 Bab dan 108 Pasal. Perubahan atas UU No. 7 Perubahan kedua atas UU No. 7
dan Bab Tahun 1989, dengan Tahun 1989, dengan mengubah
mengubah 42 Pasal. 24 Pasal.
Dasar hukum 1. Pasal 5 (1), Pasal 20 (1), 1. Pasal 20, 21, 24, dan 25 1. Pasal 20, 21, 24, dan 25 UUD.
Pasal 24, dan Pasal 25 UUD 1945. 2. UU No. 3 Tahun 2009
UUD 1945. 2. UU No. 5 Tahun 2004 Perubahan kedua atas UU
2. UU No. 14 Tahun 1970 Perubahan atas UU No. No. 14 Tahun 1985 tentang
tentang Pokok-Pokok 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung. 3. UU No. 3 Tahun 2006
3. UU No. 14 Tahun 1985 3. UU No. 7 Tahun 1989 Perubahan Kedua atas UU
tentang Mahkamah tentang Peradilan No. 7 Tahun 1989 tentang
Agung. Agama. Peradilan Agama.
4. UU No. 4 Tahun 2004 4. UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan tentang Kekuasaan
Kehakiman. Kehakiman.
Garis besar perubahan substansi hukum pada UU tentang Peradilan Agama
ASPEK UU No. 7 Tahun 1989 UU No. 3 Tahun 2006 UU No. 50 Tahun 2009
Kekuasaan Perkawinan, kewarisan, Perkawinan, kewarisan, Perkawinan, kewarisan, wasiat,
pengadilan wasiat, hibah, wakaf, dan wasiat, hibah, wakaf, hibah, wakaf, zakat, infak,
(Bab III) sedekah. zakat, infak, sedekah, dan sedekah, dan ekonomi syari’ah.
ekonomi syari’ah.
Pembinaan 1. Pembinaan teknis Pembinaan teknis Pengertian teknis peradilan,
peradilan oleh peradilan, organisasi, organisasi, administrasi, dan
Mahkamah Agung. administrasi, dan keuangan oleh Mahkamah
2. Pembinaan teknis keuangan oleh Mahkamah Agung. Pengawasan secara
organisasi, Agung. eksternal oleh Komisi Yudisial.
administrasi dan
keuangan oleh Mentri
Agama.
Lain-lain Penambahan Pasal 3A Penambahan ayat dalam Pasal
yang mengatur mengenai 3A yang mengatur mengenai
pengkhususan pengadilan adanya hakim adhoc pada
dilingkungan Peradilan pengadilan khusus yang ada
Agama diatur dengan UU. dalam lingkungan Peradilan
Agama
Sekian
&
Terimakasih

Semoga Bermanfaat

Anda mungkin juga menyukai