Reformasi Kekuasaan Peradilan Agama
Reformasi Kekuasaan Peradilan Agama
PERADILAN AGAMA
(STUDI TELAAH UU NO. 7 TAHUN 1989, UU NO. 3
TAHUN 2006 DAN UU NO. 50 TAHUN 2009
TENTANG PERADILAN AGAMA)
• Pada Tahun 1948, disahkan UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan
Kehakiman dan Kejaksaan. Namun, UU tsb hanya mengakomodir tiga lingkungan peradilan yaitu
Peradilan Negeri, Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, dan Peradilan Ketentaraan. Ini merupakan hal
yg wajar karena Peradilan Agama telah dipindahtangankan ke Departemen Agama.
• Selanjutnya, pada Tahun 1970 disahkan UU No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa badan peradilan dibedakan menjadi empat lingkungan peradilan, yakni Peradilan
Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum. Dengan demikian,
Peradilan Agama mulai menemukan titik terang untuk hidup setara dan sederajat dengan ketiga
peradilan lainnya.
Peradilan Agama dalam UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
UU No. 7 Tahun 1989 merupakan UU pertama yang mengatur secara spesifik mengenai
Peradilan Agama. Selain merupakan delegasi dari UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman, latar belakang munculnya UU ini adalah sebagai bentuk
penyeragaman susunan, kekuasaan dan hukum acara Peradilan Agama.
Secara garis besar, UU No. 7 Tahun 1989 mengatur mengenai susunan, kekuasaan,
hukum acara, kedudukan para hakim, dan segi-segi administrasi lain pada Pengadilan
Agama.
Susunan Pengadilan terdiri dari Pengadilan Agama yang dibentuk dengan Keputusan
Presiden dan Pengadilan Tinggi Agama yang dibentuk dengan undang-undang.
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di beberapa bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah, wakaf, serta shadaqah.
Peradilan Agama dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang
perubahan pertama atas UU tentang Peradilan Agama
Secara garis besar, perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1989 menjadi UU No. 3 Tahun
2006 meliputi tiga hal, yaitu:
1. Kompetensi absolut Peradilan Agama diperluas termasuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari’ah.
2. Pembinaan
Pembinaan yang dimaksud adalah teknis peradilan, organisasi, administrasi dan
finansial dan keuangan. Semula, pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh
Mahkamah Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan finansial oleh
Mentri Agama. Namun, UU ini mengubah bahwa segala pembinaan baik teknis
peradilan, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
3. Dihapuskannya hak opsi
Hak opsi yang dimaksud adalah hak para pihak untuk memilih forum dalam
penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan kewarisan. Hak ini dhapus karena
dianggap tidak mencerminkan kepastian hukum bagi kedua belah pihak.
Peradilan Agama dalam UU No. 50 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua atas UU tentang Peradilan Agama
Semoga Bermanfaat