dilakukan dalam konferensi-konferensi perdamaian internasional di Den Haag, Belanda: Konvensi Den Haag Pertama (1899) dan Konvensi Den Haag Kedua (1907). Konvensi-konvensi Den Haag adalah dua perjanjian internasional sebagai hasil perundingan yang dilakukan dalam konferensi-konferensi perdamaian internasional di Den Haag, Belanda: Konvensi Den Haag Pertama (1899) dan Konvensi Den Haag Kedua (1907). Konferensi internasional yang ketiga direncanakan untuk diadakan pada tahun 1914 dan kemudian dijadwal ulang untuk tahun 1915. Namun, konferensi tersebut tidak pernah terlaksana karena pecahnya Perang Dunia I. Konferensi Pertama secara umum sukses dan berfokus pada usaha perlucutan senjata. Konferensi Kedua gagal menciptakan pengadilan internasional yang mengikat yang melakukan arbitrase wajib, tetapi berhasil memperbesar mekanisme arbitrase sukarela. Konferensi ini menetapkan sejumlah konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban negara netral. Selain merundingkan perlucutan senjata dan arbitrase wajib, kedua konferensi tersebut juga merundingkan hukum perang dan kejahatan perang Dalam Perang Dunia I, banyak dari aturan-aturan yang ditetapkan dalam Konvensi-konvensi Den Haag dilanggar, terutama oleh Jerman. Sebagian besar negara besar (great powers), termasuk Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Prancis, China, dan Kekaisaran Persia, lebih menyukai arbitrase internasional yang mengikat, tetapi syaratnya ialah bahwa proses voting harus menghasilkan persetujuan dengan suara bulat. Beberapa negara, dengan dipimpin oleh Jerman, memveto gagasan ini. Konferensi perdamaian 1899 diselenggarakan atas usulan yang disampaikan pada tanggal 29 Agustus 1898 oleh Nicolai II dari Rusia. Konferensi ini diselenggarakan mulai tanggal 18 Mei 1899 dan menghasilkan Konvensi Den Haag 1899, yang ditandatangani pada tanggal 29 Juli tahun yang sama dan mulai berlaku pada tanggal 4 September 1900. Konvensi Den Haag 1899 terdiri dari empat bagian utama dan tiga deklarasi tambahan (karena alasan tertentu, bagian utama yang terakhir identik dengan deklarasi tambahan yang pertama dan kedua haruslah diperhatikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat pertama: I – Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional (Pacific Settlement of International Disputes) II – Hukum dan Kebiasaan Perang Darat (Laws and Customs of War on Land) III – Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa 1864 terhadap Peperangan Laut (Adaptation to Maritime Warfare of Principles of Geneva Convention of 1864) IV – Larangan Peluncuran Proyektil dan Bahan Peledak dari Balon (Prohibiting Launching of Projectiles and Explosives from Balloons) Deklarasi I – Mengenai Peluncuran Proyektil dan Bahan Peledak dari Balon (On the Launching of Projectiles and Explosives from Balloons) Deklarasi II – Mengenai Penggunaan Proyektil yang Tujuannya Ialah Menyebarkan Gas Pencekik atau Gas Perusak (On the Use of Projectiles the Object of Which is the Diffusion of Asphyxiating or Deleterious Gases) Deklarasi III – Mengenai Penggunaan Peluru yang Mengembang atau Merata dengan Mudah dalam Tubuh Manusia (On the Use of Bullets Which Expand or Flatten Easily in the Human Body) Efek utama dari Konvensi tersebut ialah dilarangnya penggunaan teknologi modern jenis-jenis tertentu dalam perang: pengeboman dari udara, perang kimia (chemical warfare), dan peluru dengan ujung berongga (hollow point bullets). Konvensi Den Haag 1899 juga menetapkan dibentuknya Pengadilan Arbitrase Permanen (''Permanent Court of Arbitration''). Konferensi perdamaian yang kedua diadakan pada tahun 1907. Konferensi ini secara umum gagal dan hanya menghasilkan beberapa keputusan. Namun, bertemunya negara-negara besar dalam konferensi ini menjadi model bagi upaya-upaya kerja sama internasional yang dilakukan di kemudian hari pada abad ke-20. Konferensi yang kedua ini sebenarnya telah diserukan akan diadakan pada tahun 1904, atas saran Presiden Theodore Roosevelt, tetapi ditunda karena terjadinya perang antara Rusia dan Jepang. Konferensi Perdamaian Kedua tersebut kemudian diadakan dari tanggal 15 Juni sampai dengan 18 Oktober 1907 untuk memperluas isi Konvensi Den Haag yang semula, dengan mengubah beberapa bagian dan menambahkan sejumlah bagian lain, dengan fokus yang lebih besar pada perang laut. Pihak Inggris mencoba mengegolkan ketentuan mengenai pembatasan persenjataan, tetapi usaha ini digagalkan oleh sejumlah negara lain, dengan dipimpin oleh Jerman, karena Jerman khawatir bahwa itu merupakan usaha Inggris untuk menghentikan pertumbuhan armada Jerman. Jerman juga menolak usulan tentang arbitrase wajib. Namun, konferensi tersebut berhasil memperbesar mekanisme untuk arbitrase sukarela dan menetapkan sejumlah konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban negara netral Perjanjian Final ditandatangani pada tanggal 18 Oktober 1907 dan mulai berlaku pada tanggal 26 Januari 1910. Perjanjian ini terdiri dari tiga belas seksi, yang dua belas di antaranya diratifikasi dan berlaku: I — Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional II — Pembatasan Penggunaan Kekuatan untuk Penagihan Utang Kontrak III — Pembukaan Permusuhan IV — Hukum dan Kebiasaan Perang Darat V — Hak dan Kewajiban Negara dan Orang Netral Bilamana Terjadi Perang Darat VI — Status Kapal Dagang Musuh Ketika Pecah Permusuhan VII — Konversi Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang VIII — Penempatan Ranjau Kontak Bawah Laut Otomatis IX — Pemboman oleh Pasukan Angkatan Laut di Masa Perang X — Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa terhadap Perang Laut XI — Pembatasan Tertentu Menyangkut Pelaksanaan Hak Menangkap dalam Perang Laut XII — Pendirian Pengadilan Hadiah Internasional (Tidak diratifikasi] XIII – Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang Laut Meskipun tidak dirundingkan di Den Haag, Prokol Jenewa untuk Konvensi Den Haag dianggap sebagai tambahan untuk Konvensi tersebut. Protokol yang ditandatangani pada tanggal 17 Juni 1925 dan mulai berlaku pada tanggal 8 Februari 1928 ini secara permanen melarang penggunaan segala bentuk cara perang kimia dan cara perang biologi. Protokol yang hanya mempunyai satu seksi ini berjudul “Protokol Pelarangan atas Penggunaan Gas Pencekik, Gas Beracun, atau Gas-gas Lain dalam Perang dan atas Penggunaan Cara-Cara Berperang dengan Bakteri” (Protocol for the Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of Bacteriological Methods of Warfare). Protokol ini disusun karena semakin meningkatnya kegusaran publik terhadap perang kimia menyusul dipergunakannya gas mustard dan agen- agen serupa dalam Perang Dunia I dan karena adanya kekhawatiran bahwa senjata kimia dan senjata biologi bisa menimbulkan konsekuensi-konsekuensi mengerikan dalam perang di kemudian hari. Hingga hari ini, protokol tersebut telah diperluas dengan Konvensi Senjata Biologi (''Biological Weapons Convention'') (1972) dan Konvensi Senjata Kimia (''Chemical Weapons Convention'') (1993). Konvensi Jenewa terdiri dari empat perjanjian, dan tiga protokol tambahan, yang menetapkan standar hukum internasional untuk pengobatan kemanusiaan perang. Istilah tunggal Konvensi Jenewa biasanya merujuk pada perjanjian tahun 1949, negosiasi pasca Perang Dunia Kedua (1939-1945), yang diperbarui dari kemudian untuk tiga perjanjian (1864, 1906, 1929), dan menambahkan menjadi yang keempat. Konvensi Jenewa secara luas didefinisikan pada hak-hak dasar para tahanan perang (warga sipil dan personel militer); mendirikan perlindungan untuk yang terluka; dan mendirikan perlindungan bagi warga sipil di dan sekitar zona perang. Perjanjian tahun 1949 yang diratifikasi, secara keseluruhan atau dengan reverasi, menjadi 196 negara. Selain itu, Konvensi Jenewa juga mendefinisikan hak dan perlindungan yang diberikan kepada non-kombatan, Konvensi-konvensi Jenewa meliputi empat perjanjian (treaties) dan tiga protokol tambahan yang menetapkan standar dalam hukum internasional (international law) mengenai perlakuan kemanusiaan bagi korban perang. Istilah Konvensi Jenewa, dalam bentuk tunggal, mengacu pada persetujuan- persetujuan 1949, yang merupakan hasil perundingan yang dilakukan seusai Perang Dunia II. Persetujuan- persetujuan tersebut berupa diperbaharuinya ketentuan-ketentuan pada tiga perjanjian yang sudah ada dan diadopsinya perjanjian keempat. Rumusan keempat perjanjian 1949 tersebut ekstensif, yaitu berisi pasal-pasal yang menetapkan hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap dalam konflik militer, pasal- pasal yang menetapkan perlindungan bagi korban luka, dan pasal-pasal yang menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di sekitar kawasan perang. Keempat perjanjian 1949 tersebut telah diratifikasi, secara utuh ataupun dengan reservasi, oleh 194 negara. Konvensi-konvensi Jenewa tidak berkenaan dengan penggunaan senjata perang, karena permasalahan tersebut dicakup oleh Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Protokol Jenewa. "Orang yang dilindungi berhak, dalam segala keadaan, untuk memperoleh penghormatan atas dirinya, martabatnya, hak-hak keluarganya, keyakinan dan ibadah keagamaannya, dan kebiasaan serta adat-istiadatnya. Mereka setiap saat diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi, terutama terhadap segala bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan dan keingintahuan publik. Perempuan dilindungi secara istimewa terhadap setiap penyerangan atas martabatnya, terutama terhadap pemerkosaan, pelacuran paksa, atau setiap bentuk penyerangan tidak senonoh (indecent assault). Tanpa merugikan ketentuan-ketentuan mengenai keadaan kesehatan, usia, dan jenis kelamin, semua orang yang dilindungi diperlakukan dengan penghormatan yang sama oleh Peserta konflik yang menguasai mereka, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan pada, terutama, ras, agama, atau opini politik. Namun, Peserta konflik boleh mengambil langkah- langkah kontrol dan keamanan menyangkut orang-orang yang dilindungi sebagaimana yang mungkin diperlukan sebagai akibat dari perang yang bersangkutan." (Pasal 27, Konvensi Jenewa Keempat) Empat Konvensi Jenewa :
Konvensi Pertama: Konvensi ini melindungi tentara yang terluka dan
memastikan perlakuan manusiawi tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, keyakinan atau agama, kekayaan, dan lain-lain. Konvensi ini melarang penyiksaan, pelecehan martabat individu, dan eksekusi tanpa pengadilan. Konvensi ini juga memberikan hak perawatan dan perlindungan bagi mereka yang terluka.
Konvensi Kedua: Kesepakatan ini memperluas perlindungan seperti
yang tertuang pada Konvensi Pertama terhadap tentara angkatan laut yang kapalnya karam, termasuk perlindungan bagi rumah sakit kapal.
Konvensi Ketiga: Kesepakatan yang dibuat pada konvensi 1949 tentang
Tawanan Perang yang harus diperlakukan secara manusiawi seperti tertuang pada Konvensi Pertama. Secara spesifik, tawanan perang hanya diperbolehkan memberikan nama, jabatan, dan nomor identitas mereka kepada para penangkapnya. Pihak mana pun tidak boleh memakai metode penyiksaan untuk menggali informasi dari tawanan perang.
Konvensi Keempat: dalam konvensi ini warga sipil berhak mendapat
perlindungan dan perlakuan manusiawi yang sama seperti tentara yang sakit atau terluka seperti tertuang dalam konvensi pertama. 1. Konvensi Jenewa berlaku untuk semua kasus perang yang dideklarasikan oleh pihak-pihak yang bertikai. 2. Konvensi ini juga berlaku untuk semua kasus pertikaian bersenjata antara dua atau lebih negara meski tanpa deklarasi perang. 3. Konvensi ini berlaku bagi negara yang menandatangani meski negara yang menjadi lawannya tidak menandatangani, tapi aturan ini hanya berlaku jika negara lawan menerima dan menerapkan aturan konvensi. Konvensi-konvensi Jenewa 1949 telah dimodifikasi dengan tiga protokol amendemen, yaitu: Protokol I (1977), mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional Protokol II (1977), mengenai Perlindungan Konflik Bersenjata Non- internasional Protokol III (2005), mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan