Konsep Ekologi
Secara ethimologi, ekologi berasal dari
bahasa Yunani “eikos” yang berarti
rumah tangga, dan “logos” yang
artinya ilmu, sehingga secara harfiah
ekologi dapat diartikan sebagai ilmu
tentang rumah tangga mahluk hidup,
atau ilmu tentang mahluk hidup dalam
rumah tangga.
Istilah ekologi digunakan untuk
pertama kali oleh Ernst Haeckel
seorang ahli biologi berkebangsaan
Jerman pada tahun 1869.
Ekologi digunakan tidak hanya
dalam ilmu biologi tapi juga dalam
ilmu-ilmu sosial.
Pendekatan ekologi ternyata
banyak menggunakan rahasia yang
menyangkut persoalan kehidupan
sosial dan masyarakat. B
Definisi ekologi pada dasarnya
mengacu pada kehidupan mahluk
hidup dengan lingkungannya.
Fuad Amsyari mengatakan bahwa suatu
peristiwa yang menimpa diri seseorang
merupakan “resultante” dari berbagai
pengaruh disekitarnya. Begitu banyak
pengaruh yang mendorong seseorang ke
dalam kondisi tertentu, sehingga wajar
apabila manusia berusaha untuk mengerti
apakah yang sebenarnya mempengaruhi
dirinya, dan sampai seberapa jauh
pengaruh tersebut
Menurut Fuad Amsyari bahwa suatu
peristiwa yang menimpa diri seseorang
merupakan “resultante” dari berbagai
pengaruh disekitarnya. Begitu banyak
pengaruh yang mendorong seseorang ke
dalam kondisi tertentu, sehingga wajar
apabila manusia berusaha untuk mengerti
apakah yang sebenarnya mempengaruhi
dirinya, dan sampai seberapa jauh
pengaruh tersebut
Ekologi adalah ilmu yang
mempelajari hubungan antara
suatu organisme dengan
organisme lainnya, serta antara
oganisme tersebut dengan
lingkungannya
Menurut Otto Soewarmoto, inti
permasalahan lingkungan hidup adalah
hubungan timbal balik antara mahluk
hidup, khususnya manusia, dengan
lingkungan hidupnya. Sehingga hubungan
timbal balik antara manusia dengan
lingkungannya disebut sebagai “ekologi”.
Oleh karena itu, pada hakekatnya
permasalahan lingkungan hidup
merupakan permasalahan ekologi.
Studi-studi ekologi meliputi berbagai
bidang, yaitu;
a. Studi ekologi sosial, sebagia suatu
studi terhadap relasi sosial yang
berada di tempat tertentu dan dalam
waktu tertentu dan yang terjadi oleh
tenaga-tenaga lingkungan yang
bersifat selektif dan distributif.
b. Studi ekologi manusia sebagai suatu
studi tentang interaksi antara
aktivitas manusia dan kondisi alam.
c. Studi ekologi kebudayaan sebagai
suatu studi tentang hubungan
timbal balik antara variabel habitat
yang paling relevan dengan inti
kebudayaan.
c. Studi ekologi fisis sebagai suatu studi
tentang lingkungan hidup dan
sumber daya alamnya.
d. Studi ekologi biologis sebagai suatu
studi tentang hubungan timbal balik
antara mahluk hidup, terutama
hewan dan tumbuh-tumbuhan dan
lingkungannya.
Pendekatan ekologi memiliki
makna yang bernilai dalam
mengungkapkan persoalan hidup
dan kehidupan manusia pada
konteks lingkungannya. Dengan
demikian konsep ekologi dapat
diterapkan pada ilmu-ilmu sosial,
termasuk bidang hukum.
Konsep Ekosistem
Kehidupan yang ada pada saat tertentu
dan lingkungan tertentu disebut “biotic
community” atau masyarakat organisme
hidup.
Suatu biotic community akan tinggal di satu
daerah masyarakat yang terdiri dari benda
mati, atau “abiotic community” dan
mengadakan interaksi pula dengan benda
mati yang ada di sekitarnya.
Suatu daerah tertentu yang terdiri dari
abiotic community dimana di dalamnya
tinggal organisme hidup (biotic
community) yang diantara keduanya
terjadi interaksi yang harmonis dan
stabil. Terutama dalam jalinan bentuk
sumber energi kehidupan. Kesatuan
inilah yang disebut ekosistem
Suatu kesatuan ekosistem senantiasa mengarah
pada keadaan yang seimbang, artinya bahwa
seluruh komponen dalam ekosistem berada dalam
suatu ikatan interaksi yang harmonis dan stabil.
Sehingga seluruh ekosistem tersebut berbentuk
suatu proses yang teratur dan berjalan terus
menerus.
Apabila keseimbangan ekosistem terganggu
sehingga terjadi ancaman terhadap ekosistem
organisasi yang hidup disana, maka akan terjadi
proses adaptasi pada semua proses yang harmonis
dan stabil. Proses ini disebut proses keseimbangan
kembali atau “re-equilibrium process”
Pengertian ekosistem dalam pasal 1 angka
(5) Undang-Undang Nomor. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
adalah tatanan unsur lingkungan hidup
yang merupakan kesatuan utuh
menyeluruh dan saling mempengaruhi
dalam membentuk keseimbangan,
stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup.
Ekosistem merupakan konsep sentral
dalam ekologi, yaitu sistem ekologi yang
terbentuk oleh hubungan timbal balik
antara mahluk hidup dengan
lingkungannya. Masing-masing
komponen tersebut mempunyai fungsi,
dan selama dapat melakukan fungsinya
dengan baik, maka keteraturan ekosistem
akan terjaga.
Lingkungan Dan Daya Dukung Lingkungan
1. Multi Disiplin
Penyelesaian secara multidisipliner
antara lain dapat dilakukan secara :
medis, perencanaan, teknik, biologi,
kimia, ekonomi, hukum dan lain-lain.
2. Lintas Disiplin
Penyelesaian ini dari disiplin ilmu
hukum dapat dilakukan melalui ;
hukum administrasi, hukum
keperdataan, hukum kepidanaan,
hukum perpajakan, hukum
internasional, maupun hukum tata
ruang.
3. Lintas Sektoral
Upaya penyelesaian masalah-
masalah lingkungan juga harus
dilakukan secara terpadu antara
sektor, baik sektor kehutanan,
pertambangan, perindustrian,
perbankan dan lain-lain.
DEKLARASI STOCKHOLM DAN
PERKEMBANGAN GLOBAL
A. Instrumen Hukum
1. Perizinan
Pasal 36 – 41 UUPPLH mengatur tentang
perizinan,ketentuan-ketentuan tersebut
mengaitkan pengelolaan lingkungan sebagai
persyaratan perizinan. Dengan adanya
kewajiban ini, maka kegiatan/usaha senantiasa
terikat guna melakukan pelestarian
kemampuan lingkungan dan berkelanjutan.
Kewajiban sebagaimana digariskan pada prakteknya
akan dilakukan melalui syarat-syarat lingkungan
yang harus dipatuhi penanggung jawab
usaha/kegiatan, dan tercantum dalam izin-izin yang
berkaitan dengan bidang usaha mereka.
Persyaratan-persyaratan tersebut selanjutnya akan
menjadi instrumen pengawasan bagi ditaatinya
ketentuan-ketentuan lingkungan yang harus
dilakukan oleh pengusaha dalam menjalankan
kegiatan/usahanya, sekaligus menjadi dasar ukuran
bagi pelanggaran ketentuan hukum yang menjadi
dasar gugatan masyarakat maupun tindakan
administratif bagi badan/pejabat penerbit izin.
2.Baku Mutu Lingkungan (BML) dan kriteria
Baku Kerusakan Lingkungsan (KBKL)
Pengertian BML diatur dalam pasal 1 butir 13
UUPPLH yaitu Baku mutu lingkungan hidup
adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada
atau harus ada dan/atau unsure pencemar
yang ditenggang keberadaannya dalam suatu
sumber daya tertentu sebagai unsure
lingkungan hidup.
Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c. baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
e. baku mutu emisi;
f. baku mutu gangguan; dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Gangguan terhadap lingkungan hidup diukur
menurut besar kecilnya penyimpangan dari
batas-bats yang ditetapkan sesuai dengan
kemampuan atau daya tenggang ekosistem
lingkungan.
Kemampuan lingkungan dengan kata lain
disebut tenggang, daya dukung, daya toleransi
atau juga carryng capacity.
Batas daya dukung, daya tenggang disebut Nilai
Ambang Batas (NAB) yaitu batas tertinggi
(maksimum) dari kandungan zat-zat mahluk
hidup atau komponen-komponen lain yang
diperbolehkan dalam setiap interaksi yang
berkenaan dengan lingkungan. Khususnya
berpotensi mempengaruhi mutu tata lingkungan
hidup sehingga dapat dikatakan suatu
lingkungan telah disebut tercemar apabila
ternyata kondisi lingkungan itu telah melebihi
NAB yang ditentukan berdasarkan BML.
Menurut pasal 1 butir 14 UUPPLH mengatakan
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan
hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang
telah ditetapkan.
Unsur-unsur pencemaran terdiri dari :
1. adanya yang masuk/dimasukannya ke dalam
lingkungan tersebut, baik berbentuk mahluk
hidup, zat/energi,
2. harus merupakan suatu proses, dimana proses
pencemaran tersebut bisa dilakukan dengan kegiatan
manusia,
3. harus ada akibat, artinya lingkungan tersebut tidak
sesuai lagi dengan peruntukannya/menurunnya
kualitas dari titik tertentu/standar dan apabila telah
melebihi standar yang telah ditentukan maka telah
terjadi pencemaran.
Selanjutnya pengertian Kriteria Baku Kerusakan
Lingkungan diatur dalam pasal 1 butir 15 UUPPLH yaitu
ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan
hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
Dalam pasal 1 butir 16 UUPPLH mengatakan bahwa
perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang
yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
Kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 17 UUPPLH adalah
perubahan langsung dan/atau tidak langsung
terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
Pengertian pencemaran dan perusakan
meskipun dalam perumusannya nampak adanya
perbedaan namun sesungguhnya secara yuridis
kedua pengertian tersebut tidak mengandung
perbedaan, karena unsur-unsur esensial
keduanya adalah sama, yaitu :
1. baik pencemaran atau perusakan lingkungan
adalah tindakan-tindakan yang menimbulkan
perubahan baik langsung maupun tidak
langsung,
2. Pencemaran atau perusakan lingkungan
adalah dua hal yang sama-sama
menyebabkan lingkungan kurang atau tidak
dapat berfungsi lagi,
3. Dihubungkan dengan tanggung jawab perdata
maupun pidana sebagaimana diatur dalam
pasal 98-108 UUPPLH, keduanya tidak
dibedakan menurut konsekuensi yuridis.
Perbedaan pencemaran dengan perusakan
lingkungan hanya terletak pada manisfestasi
akibatnya. Dimana dalam pencemaran akibat
berupa kurang atau tidak berfungsinya lingkungan
karena kualitas lingkungan telah menurun dan tidak
dapat dengan segera nampak, dan akibat tersebut
hanya dapat ditelusuri secara analisis oleh para
ilmuwan lingkungan dan para analis di labolatories,
konkritas akibat tersebut baru akan nampak secara
fisik setelah rentang waktu dan proses yang relatif
panjang.
Sedangkan akibat perusakan karena berkenaan
dengan sifat-sifat fisik atau hayati lingkungan
maka ia akan nampak dengan segera bahkan
dapat dipahami oleh mereka yang awam
sekalipun, misalnya kerusakan hutan, kematian
hewan dan tumbuh-tumbuhan.
• Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL)
Adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan.
Tujuannya untuk mengkaji kemungkinan preubahan
kondisi setelah dan selama berlangsungnya kegiatan, baik
secara biogeofisik, sosial ekonomi, maupun budaya.
Dengan diketahuinya secara rinci berbagai dampak
kegiatan lingkungan-lingkungan tersebut akan dapat
dipersiapkan pengelolaannya dengan memperkecil
dampak negatif dan memperbesar dampak positifnya
• Landasan yuridis bagi penyusunan AMDAL
diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUPLH yaitu
sebagai berikut :
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki
analisis mengenai dampak lingkungan hidup
untuk memperoleh izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan.
Pelaksanaan AMDAL hanya diberlakukan bagi rencana usaha dan/atau
kegiatan berskala, kompleks, dan berpotensi menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan. Seperti dijelaskan dalam Pasal 22
UUPPLH bahwa :
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
(2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana
usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena
dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 23
(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak
penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri
atas:
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan
maupun yang tidak terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup serta pemborosan dan
kemerosotan sumber daya alam dalam
pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat
mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan,
serta lingkungan sosial dan budaya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya akan
mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi
sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar
budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan
jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan
nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau
mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan
mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi
lingkungan hidup.
• Dokumen Amdal memuat:
a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan;
c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap
rencana usaha dan/atau kegiatan;
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting
dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut dilaksanakan;
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi
untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan
lingkungan hidup; dan
f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
Dokumen amdal disusun oleh pemrakarsa dengan
melibatkan masyarakat.
Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip
pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta
diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
Maksud masyarakat disini meliputi:
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam
proses amdal.
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal.
Penyusun Amdal wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun
Amdal.
Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal
meliputi:
a. penguasaan metodologi penyusunan amdal;
b. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi
dampak serta pengambilan keputusan; dan
c. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup.
Sertifikat kompetensi penyusun amdal diterbitkan oleh lembaga
sertifikasi kompetensi penyusun amdal yang ditetapkan oleh
Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk
oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya
Keanggotaan Komisi Penilai Amdal terdiri atas wakil dari unsur:
a. instansi lingkungan hidup;
b. instansi teknis terkait;
c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha
dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang
timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan
f. organisasi lingkungan hidup.
Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh
tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan
kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu.
Pakar independen dan sekretariat ditetapkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pemerintah dan pemerintah daerah
membantu penyusunan Amdal bagi usaha
dan/atau kegiatan golongan ekonomi
lemah yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup.
Bantuan penyusunan amdal tersebut
berupa fasilitasi, biaya, dan/atau
penyusunan Amdal.
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk
dalam kriteria wajib amdal wajib memiliki UKL-UPL.
UKL : Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
UPL : Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi
UKL-UPL wajib membuat surat pernyataan
kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup.
Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan yang tidak
wajib dilengkapi UKL-UPL berdasarkan kriteria:
a. tidak termasuk dalam kategori berdampak penting
b. kegiatan usaha mikro dan kecil.
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan
antara dua pihak atau lebih yang timbul dari
kegiatan yang berpotensi dan/atau telah
berdampak pada lingkungan hidup.
Penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan
dengan dua jalur, yakni ;
a. penyelesaian sengketa di luar pengadilan
berdasarkan pilihan (sukarela) para pihak,
b. penyelesaian sengketa melalui gugatan di
pengadilan
a. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau
penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal luas
dengan nama “Extrajudical Settlement of Diputes” atau
juga populer dengan nama “Alternative Dispute
Resolution”.
Cara ini ditempuh masyarakat karena karena lebih cepat
dan murah dibanding melalui jalur pengadilan. Model
penyelesain ini dapat dilakukan baik oleh pihak sendiri,
maupun melalui jasa pihak ketiga netral, baik yang
memilki kewenangan mengambil keputusan maupun
yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil
keputusan.
Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif (ADR) yang
dikenal selama ini meliputi :
1. Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi merupakan cara penyelesaian konflik melalui
perundingan langsung antara para pihak yang bersangkutan
tanpa harus melalui pihak ketiga untuk mencari dan
menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat
disepakati bersama.
2. Medis (Mediation)
Merupakan upaya penyelesaiann yang dilakukan oleh para
pihak yang bersengketa melalui perundingan dengan
bantuan pihak lain, atau pihak ketiga netral (mediator),
guna mencari dan menemukan bentuk penyelesaian yang
disepakati bersama.
3. Penyelidikan (inquiry)
Penyelidikan atau pencarian fakta merupakan upaya penyelesaian yang
dilakukan para pihak dengan cara menunjukan pihak ketiga untuk
mengevaluasi, menganalisa, dan memperjelas berbagai masalah yang
menimbulkan perbedaan interpretasi oleh para pihak. Hasil dari
evaluasi, analisa dan penjelasan dari tim pencari fakta disertai dengan
rekomendasi pemecahan masalah.
4. Konsiliasi (Consiliation)
Suatu bentuk penyelesaian sengketa yang dapat diambil oleh para
pihak yang bersengketa, dimana para pihak yang bersengketa
membentuk suatutim penyelesaian yang tidak memiliki atau netral
yang disebut “komisi” baik yang bersifat tatap maupun ad hoc. Tugas
dari komisi adalah memberikan pandangan atau sarang-saran
mengenai cara-cara penyelesaian sengketa dan berusaha untuk
menentukan batas-batas penyelesaian yang dapat dilakukan oleh para
pihak yang bersengketa.
5. Arbitrase (Arbitration)
Merupakan upaya penyelesaian dengan menyerahkan
penyelesaian sengketa dari pihak lain yang netral, yang
mempunyai kewenangan untuk memutuskan dan
memaksakan keputusan tersebut kepada salah satu
pihak sebagai suatu bentuk penyelesaian dari sengketa.
Penyelesaian melalui arbitrase lebih bercorak
adversarial atau pertikaian yang menyerupai proses
ajudikatif (pengadilan). Karena bersifat adversiarial
dalam penyelesaian sengketa, maka kadang kalah
populer jika dibandingkan dengan cara negosiasi atau
mediasi yang sangat menekankan aspek konsensus.
Prosedur penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
prinsipnya dimaksudkan untuk melindungi hak-hak
keperdataan para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:
a. bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau
perusakan;
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya
pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif
terhadap lingkungan hidup.
Bebrapa syarat sebagai pihak ketiga netral yaitu
harus :
a. Disetujui oleh para pihak yang bersangkutan;
b.Tidak memiliki hubungan keluarga dan/atau
hubungan kerja dengan salah satu pihak yang
bersangkutan;
c. Memiliki keterampilan untuk melakukan
perundingan atau penengahan;
d.Tidak memiliki kepentingan terhadap proses
perundingan maupun hasilnya.
b. Penyelesaian Sengketa Lingkungan di
Pengadilan
Gugatan melalui pengadilan hanya dapat
ditempuh jika upaya di luar pengadilan upaya
di luar pengadilan tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak
yang bersengketa. Dengan demikian, secara
prinsip penggugat dapat langsung
mengajukan gugatan ke pengadilan.
Mengenai ganti rugi dan biaya pemulihan diatur dalam Pasal
87 UUPPLH dijelaskan bahwa :
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan,
pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari
suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban
badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa
terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan
putusan pengadilan.