Anda di halaman 1dari 24

Biofarmasetika dan Farmakokinetika

“DISTIBUSI OBAT”

Oleh Kelompok 3:
Yulinda Rahmi
Darma Fadri
Putri
Indri Sustia Rahmi
Marnovi Yanti
Distribusi Obat
• Distribusi obat adalah proses-proses yang
berhubungan dengan transfer senyawa obat
dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh.
Molekul obat dibawa oleh darah ke satu target
(reseptor) untuk aksi obat dan ke jaringan lain
(non-reseptor), di mana dapat terjadi efek
samping yang merugikan.

(Shargel et al., 2012).


Cont..
Cairan tubuh total berkisar antara 50-70% dari
berat badan. Cairan tubuh dapat dibagi menjadi:
• Cairan ekstraseluler, yang terdiri atas plasma
darah (4,5% dari berat badan), cairan interstisial
(16%) dan limfe (1-2%).
• Cairan intraseluler (30-40% dari berat badan),
yang merupakan jumlah cairan dalam seluruh sel-
sel tubuh.
• Cairan transeluler (2,5%), yang meliputi cairan
serebrospinalis, intraokuler, peritoneal, pleura,
sinovial dan sekresi alat cerna.
(Shargel et al., 2012).
Cont..
• Pada umumnya molekul obat berdifusi secara
cepat melalui jaringan kapiler halus ke ruang
jaringan yang terisi cairan interstisial. Cairan
interstisial plus cairan plasma disebut cairan
ekstraseluler (berada di luar sel). Selanjutnya
dari cairan interstinal, molekul obat berdifusi
melintasi membran sel ke dalam sitoplasma

(Shargel et al., 2012).


Faktor-faktor yang mempengaruhi
distribusi obat dalam tubuh
Perfusi darah melalui jaringan
Ikatan obat pada protein plasma
ermeabilitas Kapiler
PERFUSI DARAH MELALUI JARINGAN
Perfusi darah melalui jaringan
Obat dibawa ke seluruh jaringan tubuh oleh aliran darah
sehingga semakin cepat obat mencapai jaringan, semakin
cepat pula obat terdistribusi ke dalam jaringan. Kadar obat
dalam jaringan akan meningkat sampai akhirnya terjadi
keadaan yang disebut keadaan mantap (steady state).
Kecepatan distribusi obat masuk ke jaringan sama dengan
kecepatan distribusi obat keluar dari jaringan tersebut. Pada
keadaan ini, perbandingan kadar obat dalam jaringan dengan
kadar obat dalam darah menjadi konstan dan keadaan ini
disebut keseimbangan distribusi. Oleh karena itu, pada
jaringan tubuh yang mendapat suplai darah relatif paling
banyak dibandingkan ukurannya akan menyebabkan
terjadinya keseimbangan distribusi yang paling cepat.

Staf Pengajar Departemen


Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 2008
Tabel berikut menunjukkan besarnya aliran darah ke berbagai
jaringan tubuh pada seseorang dengan berat badan 70 kg

Staf Pengajar Departemen


Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 2008
Cont..
Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan
penyebarannya di dalam tubuh, yaitu:
• Distribusi fase pertama terjadi segera setelah
penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya
sangat baik, seperti jantung, hati, ginjal dan otak
(waktu distribusi kurang dari 2 menit).
• Distribusi fase kedua jauh lebih luas lagi, yaitu
mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik
organ pada fase pertama, misalnya pada otot,
visera, kulit dan jaringan lemak (waktu distribusi
2-4 jam)
(Shargel et al., 2012).
Cont..
Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi
sangat luas. Perfusi yang tinggi adalah yang terjadi pada
daerah paru-paru, hati, ginjal, jantung, otak dan daerah
yang perfusinya rendah adalah lemak dan tulang.
Sedangkan perfusi pada otot dan kulit merupakan
perfusi sedang. Perubahan dalam aliran kecepatan
darah pada penderita sakit jantung akan mengubah
perfusi organ seperti hati, ginjal dan berpengaruh
terhadap kecepatan eliminasi obat.

(Shargel et al., 2012).


IKATAN OBAT PADA PROTEIN PLASMA
Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma,
hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai
keseimbangan. Ikatan protein pada obat akan mempengaruhi
intensitas kerja, lama kerja, dan eliminasi obat. Bahan obat
yang terikat pada protein plasma tidak dapat berdifusi dan
pada umumnya tidak mengalami biotransformasi dan
eliminasi. Sebenarnya hanya zat aktif yang tidak terikat
dengan protein plasma yang dapat berdifusi dan memberikan
efek farmakologis, sedangkan kompleks zat aktif dengan
protein tidak dapat melintasi membran, namun kompleks ini
hanya bersifat sementara. Apabila molekul zat aktif yang
bebas telah dimetabolisme atau ditiadakan maka, kompleks
ini akan melepaskan bentuk zat bebasnya.

(Shargel et al., 2012).


Cont..
Derajat ikatan obat dengan protein plasma
ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein,
kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri.
Pengikatan obat oleh protein akan berkurang
pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi
protein.

Kee, 1996
Protein yang dapat berikatan dengan
obat
• Albumin  memungkinkan terjadinya ikatan pada
sebagian besar senyawa obat, terutama dalam bentuk
anion (asam asetil salisilat, sulfonamide, dan
antivitamin K )
• α1-Asam glikoprotein (orosomukoid)  mengiakt obat-
obat basa kationik seperti propanolol, imipramin, dan
lidokain.
• Eritrosit juga dapat berikatan dengan obat (Terdiri dari
kurang lebih 45% volume darah). Protein ini dapat
berikatan baik dengan senyawa endogen dan eksogen,
seperti Fenitroin, Fenobarbital, dan Amobarbital
(Kee, 1996; Shargel et al., 2012).
Beberapa obat yang mempunyai afinitas yang kuat
terhadap protein plasma.

Lechat et al., 1981


Faktor - faktor yang mempengaruhi ikatan
protein plasma dengan molekul obat
• Interaksi dengan obat lain
• Obat
• Protein
• Kondisi fisiologis dan patofisiologis pasien
Faktor-faktor yang menurunkan konsentrasi
protein plasma

(Shargel et al., 2012).


Kondisi yang mempengaruhi konsentrasi protein
dalam plasma

Shargel et al., 2012.


PERMEABILITAS KAPILER
Membran sel berbeda dalam karakteristik permeabilitas,
bergantung pada jaringannya. Sebagai contoh, membran
kapiler dalam hati dan ginjal lebih permeable untuk
pergerakan obat transmembran dari pada kapiler dalam otak.
Kapiler sinusoid hati sangat permeable dan memungkinkan
lewatnya molekul dengan ukurang besar. Dalam otak dan
spinal cord, sel endotel kapiler dikelilingi oleh suatu lapisan
sel-sel glial, yang mempunyai hubungan interseluler yang
rapat. Lapisan tambahan dari sel sekitar membran kapiler
secara efektif berindak untuk memperlambat laju difusi obat
ke dalam otak dengan bertindak sebagai suatu sawar lemak
yang lebih tebal. Sawar lemak ini disebut sawar darah-otak
(blood-brain barrier), memperlambat difusi dan penetrasi ke
dalam otak dan spinal cord dari obat yang polar

Katzung, 2011; Shargel et


al.,2012
Cont..
Parameter yang mengaitkan jumlah obat dalam tubuh dengan
kadar obat dalam darah disebut volume distribuse (VD),
dengan rumus:

Volume distribusi adalah suatu parameter yang penting dalam


farmakokinetik. Salah satu kegunaannya adalah untuk
menentukan dosis obat yang diperlukan untuk memperoleh
kadar obat dalam darah yang dikehendaki. Obat-obat dengan
nilai VD yang kecil akan menghasilkan kadar dalam darah yang
lebih tinggi, sedangkan obat dengan nilai VD yang besar akan
menghasilkan kadar dalam darah yang rendah.
Staf Pengajar Departemen
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 2008
Cont..
 Volume distribusi dapat digunakan untuk menghitung bersihan.
Bersihan (clearance) adalah konsep yang penting dalam
farmakokinetik. Bersihan (Clp) merupakan volume darah atau
plasma yang dibersihkan dari obat dalam satuan waktu dan
dirumuskan dengan:

 Konstanta kecepatan eliminasi (Kel) adalah fraksi obat yang ada pada
suatu waktu yang akan tereliminasi dalam satuan waktu, yang dapat
dihitung dengan rumus:

 Bersihan juga menunjukkan kemampuan hati dan ginjal


untukmembuang atau membersihkan obat.

Neal, 2005; Staf Pengajar Departemen


Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 2008
Referensi
 Mike J. Neal. 2005. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima.
Jakarta: Erlangga.
 Katzung, B. G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10.
Diterjemahkan oleh Aryandhito Widhi N, Leo Rendy, dan Linda
Dwijayanthi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
 Kee, Joyce L. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
 Shargel, Leon, Susanna Wu-Pong, dan Andrew B. C. 2012.
Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi 5. Surabaya:
Universitas Airlangga Press.
 Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
 Stockley, I.H. (2008). Stockley’s Drug Interaction. Edisi kedelapan.
Great Britain: Pharmaceutical Press. Halaman 1-9.

Anda mungkin juga menyukai