Dosen Pembimbing:
dr. Albert Daniel Solang Sp.A
2
Latar Belakang
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD)
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai
saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam
stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang
mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan
kematian akibat DBD, khusus- nya pada anak.
Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada
peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain: Pertumbuhan
penduduk yang tinggi, Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak
terkendali, Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di
daerah endemis, dan Peningkatan sarana transportasi.1,3
3
Latar Belakang
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
DEFINISI
Demam berdarah dengan syok dan perdarahan spontan
(DSS) merupakan komplikasi DBD yang sangat penting diwaspadai,
karena angka kematiannya sepuluh kali lipat dibandingkan pada
DBD tanpa syok.
Keadaan syok dapat diperhatikan dari keadaan umum,
kesadaran, tekanan sistolik <100 mmHg, tekanan nadi <20 mmHg,
frekuensi nadi lebih dari 100 x/menit, akral dingin dan kulit pucat
serta diuresis kurang dari 0,5 mL/ kgBB/jam.
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam
akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria
WHO untuk DBD.DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik
dari infeksi virus dengue.
6
EPIDEMIOLOGI
7
ETIOLOGI
8
IMUNOPATOGENESIS
Antigen Dengue ditemukan di berbagai sel, termasuk monosit, Kupffer, makrofag
alveoli, limfosit darah tepi dan limpa, juga sel endotel di hepar dan paru-paru.
Monosit/makrofag dan limfosit merupakan sel-sel utama yang diinfeksi oleh virus Dengue.
Infeksi Dengue terhadap sel-sel monosit, makrofag, dan dendrit menyebabkan produksi
mediator-mediator yang mempengaruhi fungsi sel endotel.
Monosit yang terinfeksi menginduksi perubahan permeabilitas sel-sel endotel
umbilikus manusia karena terkait dengan pengaruh TNF-α.2. Infeksi Dengue dapat
menginduksi maturasi sel dendrit. Melalui sel dendrit virus Dengue dapat memicu ekspresi
enzim-enzim matrix metalloprotease, MMP-2 dan MMP-9, mening- katkan permeabilitas
yang berakibat kebocoran plasma dan perdarahan.
Hipotesis infeksi sekunder
KRITERIA DIAGNOSIS
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut : uji bendung
positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa;
hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
▷ Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai
umur dan jenis kelamin.
▷ Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
11
DERAJAT DBD
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia. Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
12
DIAGNOSIS KLINIS DEMAM DENGUE
13
DIAGNOSIS KLINIS DEMAM BERDARAH DENGUE
14
TANDA DAN GEJALA SYOK
TERKOMPENSASI
15
TANDA DAN GEJALA SYOK TIDAK
TERKOMPENSASI
16
KURVA FASE PENYAKIT
17
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang
adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen non structural
protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus
Dengue.
Antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama
sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada
infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga
dikatakan memiliki sensitivitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena
berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen
NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.
18
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
19
PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi
antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses
kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke
intravaskular.
Di fase awal DSS, dapat diberikan Ringer Laktat 20 mL/kgBB/jam,
dievaluasi dalam 30-120 menit. Syok diharapkan dapat diatasi dalam 30 menit
pertama. Jika syok sudah dapat diatasi, Ringer Laktat selanjutnya dapat diberikan 10
mL/kgBB/jam dan dievaluasi setelah 60-120 menit sesudahnya. Jika stabil, dapat
diberikan 500 mL setiap 4 jam. Pengawasan dini terhadap risiko syok berulang dalam
48 jam pertama mutlak karena proses penyakit masih berlangsung. Jika syok belum
teratasi, diberikan cairan koloid 10-20 mL/kgBB/jam, maksimal 1.000- 1.500 mL dalam
24 jam; jenis cairan yang tidak memengaruhi mekanisme pembekuan darah. Saat ini,
terdapat tiga golongan cairan koloid, yaitu dextran, gelatin, dan hydroxyethyl starch
(HES)
PENATALAKSANAAN
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya
pada penatalaksanaan demam berdarah dengue : pertama adalah jenis cairan dan
kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin)
maupun koloid dapat diberikan.WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan
standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah
didapat dan lebih murah
Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam
penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan
relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek
alergi yang minimal.
PENATALAKSANAAN
Beberapa efek samping kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas
hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat
di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang sing- kat
sebelum didistribusikan ke ekstravaskular.
Cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume
yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar
dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Beberapa kekurangan
koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran
plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung.
Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk me-
nilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal
yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu
dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis
Dengue Shock
Syndrome
Dekompensasi
Dengue Shock
Syndrome
Terkompensasi
Prinsip Terapi Cairan Dengue
Pada Anak