Eksaminasi UU Pemilu Dan Pilkada (Bawaslu Sumbar 5 November 2019 Jadih)
Eksaminasi UU Pemilu Dan Pilkada (Bawaslu Sumbar 5 November 2019 Jadih)
Riwayat Pendidikan:
S1: Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1993
S2: Ilmu Hukum, Program Pascasarjana,Universitas Padjadjaran, Bandung, 2001
S3: Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2010.
Pengalaman:
1.Ketua APHTN-HAN Sumatera Barat, 2017-2023
2.Dosen Tamu pada beberapa perguruan tinggi di Bandung, Jambi, Riau
3.Penyusun Naskah Akademik, Tenaga Ahli, TA Pendamping Pemda/DPRD
• Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat (demokrasi)
harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil
• Ini dlm rangka menghasilkan hasil Pemilu yang
mendapat legitimasi politik yang kuat.
• Pemilu yang demokratis juga akan mampu memberikan
kenyamanan, menciptakan stabilitas sosial politik,
kepastian usaha yang pada gilirannya meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
• Pemilu Demoratis dg Legitimasi untuk Kesejahteraan
Rakyat, memerlukan SISTEM YANG SEDERHANA & baik.
Undang-UndangNomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum
UU PEMILU
UU No. 7 Tahun 2017 diundangkan 16 Agustus 2017
Artinya kurang 20 bulan dari Pelaksanaan Pemilu
Masih ada Uji ke MK, Masih juga menunggu Peraturan Pelaksana
Regulasi Pemilu tercecer selalu terlambat
Pasal 572 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama
I (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
UU No. 7 Tahun 2017 terdiri dari 6 Buku, 573 pasal. Ini merupakan ‘kodifikasi’
dari 3 undang-undang.
UU No 42 Tahun 2OO8 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan
UU No. 8 Tahun 2Ol2 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Ambang batas 20% (kursi)/25% 10% (kursi)/15% 10% (kursi)/15% 20% (kursi)/25%
0%
presiden (suara) (suara) (suara) (suara)
Ambang batas
4% 4% 4% 5% 4%
parlemen
Sainte-Laguë Sainte-Laguë
Konversi suara Kuota Hare Kuota Hare Kuota Hare
murni murni
Gerindra, Demokrat,
Hasil 1 PAN - -
PKS
PDI-P, Golkar,
Nasdem,
Hanura, PKB, PPP
Hasil 2 -
Pelaksanaan Pemilu Serentak Nasional Satu Hari (!7 April 2019)
Pipres mendominasi ‘pertarungan’ (Jauh sebelum Batas Akhir
Pencapresan10-08-2018)
Teknis Pelaksanaan lebih rumit dan riuhnya panjang (Mulai 30
September 2017 Pembentukan panwaslu kecamatan, kelurahan dan luar
negeri hingga 20 Oktober 2019 Pelantikan presiden dan wakil presiden)
Bagi penyelenggara: rumit dalam penghitungan
Mekanisenya Panjang
Pemilu serentak Berdampak pada:
Meminggirkan isu-isu dan kebutuhan lokal dan Center of grativity’nya
di Jakarta
Kapasitas caleg DPR, DPD, DPRD, tak dibincang di ruang publik
Mengorbankan ratusan jiwa.
Kasus Pelantikan DPRD Padang dan banyak lagi di Indonesia yang
menanti hasil MK
Ambang Batas
Presidential Threshold mengebiri kedaulatan rakyat: by design jadi 1
atau 2 saja.
Design ini buruk bagi terbukanya peluang calon alternatif
Design ini membuat terbelahnya ‘dua pendukung’ secara tajam
Dampaknya menyita konsentrasi pada Pilpres, kurang ke Pileg
Ruang lingkup: dalam UU pilkada jelas dan tidak ada batasan di tahapan
mana. Dalam UU pemilu ada batasannya: masa kampanye (280 284 285),
Masa tenang dan pada masa pungut hitung.
Subjeknya. Masa kampanye itu: pelaksana peserta dan tim kampanye. Pada
pungut hitung: setiap orang tidak terbatas deliknya. Pada masa tenang: yang
didaftarkan kepada KPU selaku penyelenggara. Sdgkan Pelaku banyak
relawan tim kampanye yang saat mungkin tidak terdaftar sehingga tidak kena
ketentuan ini.
Soal Pembatasan Bentuk Politik Uang: Dibatasi materi lainnya yang tidak
termasuk atribut kampanye, Per KPU 23 tahun 2018 Rp. 60.000. untuk
konsumsi, dan transportasi tidak boleh dalam bentuk uang. Pada prinsipnya
memberikan uang dan materi lainya itu diperbolehkan sepanjang tidak
melawan hukum.
Penindakan dan Sanksi: Pasal 285 dan 286 yaitu tentang penindakan dan
dampaknya yang bisa berujung pada diskualifikasi paslon. Psl 285 melalui
proses pidana, putusangan pengadilan BHT dan ditindak lanjuti oleh KPU jika
terbukti dan sudah ada putusan pengadilan BHT bisa dicoret kepesertaannya
dan didiskualifikasi keterpilihan. Pada 286 politik uang dalam konteks TSM.
KPU mendiskualifikasi Caleg DPR RI partai Perindo dapil DKI Jakarta 2 nomor
urut 2 dengan penerapan pasal 285 UU Pemilu.
Proses rekruitmen penyelenggara perlu diperbaiki
Evaluasi kembali jumlah keanggotaan: Jumlah TPD-DKPP dan
Mekanisme Pengambilan Putusannya.
Tergopoh-gopohnya KPUD dan Bawaslu di Daerah: diseleksi,
dipilih, bekerja ditambah, diseleksi lagi.
Syarat, Honorarium , kapasitas kerja, dan Rekrtumen untuk
Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara, Panitia Pengawas Pemilu
Kecamatan, Panitia Pengawas Pemilu Kelurahan/Desa dan Pengawas
Tempat Pemungutan Suara,
Independensi sebagian penyelenggara Pemilu: preferesni pilihan
politik tentua ada namun tidak boleh diperlihatkan, kasus
‘mengundang makan’
Perbedaan Perlakuan dalam menegakkan aturan: caleg PAN dan
Perindo karena ‘umrah dan adakan turnamen Volly dibatalkan,
ratusan yang lainnya melenggang ke kursi
Memanfaatkan fasilitas Publik: sekolah, Ruang
Dinas, dll
Money Politik makin terang benderang
Kampanye menghalakan segala cara: isu ‘Partai
Penista Agama’, dll
Mendeskreditkan Caleg Partai lain.
Alat Peraga di Jalan Utama, Pohon, dan fasilitas
umum.
UU PILKADA
1. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-
masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan
Kota dipilih secara demokratis.”
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656)
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898)
4. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2019 Tentang Tahapan, Program Dan Jadwal Penyelenggaran Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati Dan/Atau Walikota Dan
Wakil Walikota Tahun 2020
Jumlah Pemilukada: 270 daerah:
9 Provinsi,
224 Kabupaten, dan
37 Kota.
Hari Pelaksanaannya: 23 September 2020
Perkiraan Dana Rp 12 Trilyun untuk 270 Daerah
Sumber Dana: Perjanjian Hibah Daerah antara Pemda dg
KPU, Bawaslu dan Aparatur Keamanan di daerah
Sumatera Barat
Pemilukada Provinsi
Pemilukada di 2 Kota dan 11Kabupaten:
Pasal 3 Tahapan Pemilihan terdiri atas:
a. tahapan persiapan
b. tahapan penyelenggaraan
• Pasal 4 ayat (1) : Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a, meliputi:
a. perencanaan program dan anggaran;
b. penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan;
c. perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara
dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilihan;
d. pembentukan PPK, PPS, dan KPPS;
e. pembentukan Panitia Pengawas Kabupaten/Kota, Panitia
Pengawas Kecamatan, Panitia Pengawas Lapangan, dan Pengawas
TPS;
f. pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan;
g. penyerahan daftar penduduk potensial pemilih; dan
h. pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.
Pasal 5 (1) Tahapan penyelenggaraan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, meliputi:
a) pengumuman pendaftaran Pasangan Calon;
b) pendaftaran Pasangan Calon;
c) penelitian persyaratan calon;
d) penetapan Pasangan Calon;
e) pelaksanaan kampanye;
f) pelaksanaan pemungutan suara;
g) penghitungan suara dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara;
h) penetapan calon terpilih;
i) penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil
Pemilihan; dan
j) pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.
Anggaran pilkada yg dianggap menggerus APBD
Terlambatnya Penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah
(NPHD)
Implikasi dari Terlambat NPHD, telat pencairan anggarannya bagi
KPU, Bawaslu, serta bagi aparat keamanan (TNI/Polri)
Mahalnya Ongkos (political cost) untuk ‘perahu’ kandidat
Pilkada Langsung Membuat retak KDH dan Wakilnya
Kecenderungan politik dinasti
Calon tunggal yang memborong dukungan partai politik
Menolak politisasi Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA)
pada pilkada
Neutralitas ASN
Eks napi (yang bisa) ikut pilkada
Politisasi birokrasi
Politisasi Program, Kegiatan, & Anggaran
Soal-soal lain terkait Pelaksanaan Pemilukada
Berdasar UU No. 10 Tahun 2016 tentang “Pilkada”, pengawas
pemilu ‘ad hoc’ bernama Panitia Pengawas. Berbeda dg UU No.
7/2017 tentang Pemilu yg mengatur pengawasan pemilihan
adalah Bawaslu yg permanen hingga di kabupaten/kota.
Karena pelaksanaan Pilkada serentak 2020 mengacu pada UU
Pilkada sehingga pembentukan lembaga pengawas “harus
diulang”, berikut perekrutan anggotanya.
Belum adanya kesepakatan itu cenderung menimbulkan
ketidakpastian hukum
Hal ini akan juga berdampak pada penganggaran.
Dana Pemilukada dari Perjanjian Hibah Daerah untuk KPU,
Bawaslu dan Institusi Keamanan di tiap Daerah.
Terus berkait dg ini maka berdampak pd keterlambatan
Penandatangan NPHD mundur dari tenggat 1 Oktober.
Ini juga berakibat pada (kemungkinan) terlambatnya pencairan.
Sekaitanini: Ketua Bawaslu Provinsi
Sumbar, Ketua Bawaslu Kota Makassar,
dan Ketua Bawaslu Kabupaten Ponorogo.
Menguji Pasal 1 angka 17, Pasal 23 ayat
1 dan 3, serta Pasal 24 UU Pilkada, sdg
Menguji ke Mahkamah Konstitusi
Soal Ongkos Politik yg Mahal dan Politik Bebas Mahar, ini hrs
bisa dicegah melalui Regulasi dg cara mengatur KEWAJIBAN
DANA REKENING itu hrs ATAS NAMA PASANGAN CALON dan
tidak ada REKENING LAINNYA. Rekening Dana Kampanye
wajib dimiliki oleh parpol pengusung calon atas nama calon
(Pasal 74 ayat (3), “peserta pemilu adalah pasangan calon”
Mudah retaknya (Fragile) antara KDH dg Wakilnya karena
disain “Pasangan Calon” juga memberi celah untuk ini.
Padahal Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 “Gubernur, Bupati dan
Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah
Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.”
gagasan untuk ‘hanya memilih Kepala Daerah saja, sesuai
juga dg Konstitusi.
Soal Politik Dinasti: kabar majunya Putra Pak Jokowi di Solo
dan Menantunya di Kota Medan, meneguhkan kembali
pandangan bahwa ‘Politik Dinasti’ nyata adanya. Dan
regulasi yang semula sempat dilarang, dibatalkan oleh MA.
SoalPaslon Tunggal, dg memborong seluruh kursi,
ini dpt dicegah dg Disain memilih Kepala Daerah
saja dan lebih menyerderhanakan syarat bagi calon
perseorangan.
Kampanye menolak politisasi Suku, Agama, Ras
dan Antargolongan (SARA) pada pilkada,
penting dilakukan dg melibatkan, sejak awal,
seluruh organisasi keagamaan, organisasi
kemasyarakatan dan paguyuban yg ada di
daerah, termasuk FPKUB, FPK, pegiat sosial
media, dll.
Soal Neutralitas ASN & Politisasi birokrasi: paslon terutama yg
berasal dari inkumben dan birokrat cenderung ‘mengajak
langsung atau tidak langsung’. ASN juga punya kecenderungan
untuk mendukung (terang atau samar). Selain sosialisasi sanksi
bagi ASN yg tidak netral, bersama MenPAN-RB dan KASN,
Mendagri hrs terus menyusun regulasi terkait ini.
Soal Eks napi (yang bisa) ikut pilkada. UU No. 10 Tahun
2016 tentang Pilkada masih mengizinkan mantan napi kasus
korupsi untuk mencalonkan diri di Pilkada 2020. Pada Pemilu
serentak 2019 lalu P-KPU No 20 Tahun 2018 tentang larangan
mantan napi korupsi maju sebagai Calon Legislatif (Caleg) pada
PKPU dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Politisasi Program, Kegiatan, & Anggaran. Bawaslu, Peserta
Pemilukada, dan Mayarakat, lebih aktif lagi mengawasi politisasi
Program, Kegiatan dan penggunaan fasilitas Pemda dan Anggaran
untuk kepentingan Paslon.
Penggunaan identitas selain KTP-el masih dibolehkan dalam
Pilkada (Pasal 95 ayat (3) UU Pilkada): “Dalam hal Pemilih
tidak terdaftar dalam daftar Pemilih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemilih dapat menggunakan haknya untuk
memilih di TPS sesuai domisili dengan menunjukkan Kartu
Tanda Penduduk Elektronik atau surat keterangan
penduduk.”
Dlm UU Pilkada belum diatur penggunaan Medsos sbg
metode kampanye, padahal pengguna sosial media banyak.
Metode pemberian suara dlm pemilukada memberi tanda.
KDH yang terpilih di Pilkada 2020 hanya akan mengemban
tugas 4 tahun, meski masa jabatannya tidak penuh akan
memperoleh ‘kompensasi’. Pasal 202 ayat (4) UU No. 10
Tahun 2016