Anda di halaman 1dari 28

Lahir di Subang, 20 Januari 1969

Aktivitas saat ini:


1.Rektor Univ. Ekasakti 2018-kini
2.Dekan Fakultas Hukum Universitas Ekasakti sejak 2010-2018
3.Direktur PKHOD (Pusat Kajian Hukum & Otonomi Daerah) 2011-2017
4.Ketua Lembaga Penjaminan Mutu Universitas Ekasakti, 2015

Riwayat Pendidikan:
S1: Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1993
S2: Ilmu Hukum, Program Pascasarjana,Universitas Padjadjaran, Bandung, 2001
S3: Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2010.

Pengalaman:
1.Ketua APHTN-HAN Sumatera Barat, 2017-2023
2.Dosen Tamu pada beberapa perguruan tinggi di Bandung, Jambi, Riau
3.Penyusun Naskah Akademik, Tenaga Ahli, TA Pendamping Pemda/DPRD
• Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat (demokrasi)
harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil
• Ini dlm rangka menghasilkan hasil Pemilu yang
mendapat legitimasi politik yang kuat.
• Pemilu yang demokratis juga akan mampu memberikan
kenyamanan, menciptakan stabilitas sosial politik,
kepastian usaha yang pada gilirannya meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
• Pemilu Demoratis dg Legitimasi untuk Kesejahteraan
Rakyat, memerlukan SISTEM YANG SEDERHANA & baik.
 Undang-UndangNomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum

 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016


tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
menjadi Undang-Undang
Bagian Pertama

UU PEMILU
 UU No. 7 Tahun 2017 diundangkan 16 Agustus 2017
 Artinya kurang 20 bulan dari Pelaksanaan Pemilu
 Masih ada Uji ke MK, Masih juga menunggu Peraturan Pelaksana
 Regulasi Pemilu tercecer selalu terlambat
 Pasal 572 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama
I (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
 UU No. 7 Tahun 2017 terdiri dari 6 Buku, 573 pasal. Ini merupakan ‘kodifikasi’
dari 3 undang-undang.
 UU No 42 Tahun 2OO8 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
 UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan
 UU No. 8 Tahun 2Ol2 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD

 Kurang dalam ya Pembahasan regulasi Pemilu, terkait tahapan-tahapan


teknis penyelenggaraan pemilu  pembentuk UU lebih fokus
membahas materi-materi yang berhubungan dengan kepentingan
keterpilihannya: ambang batas pencalonan presiden dan parlemen.
 Kelemahan ini menyebabkan terjadinya banyak terjadinya pelanggaran atau
proses pemilu tidak dapat dijalankan secara profesional:
 Soal Sistem Pemilu, Soal Politik Uang, Soal Penyelenggara, Soal Peserta, Soal
Pencalonan, Soal Kampanye, Soal Distribusi Logistik, Soal Pemungutan, dan IKP 2019
di Sumatera Barat dan Soal Evaluasi Pengawasan Pemilu 2019
Tipe Paket A Paket B Paket C Paket D Paket E

Ambang batas 20% (kursi)/25% 10% (kursi)/15% 10% (kursi)/15% 20% (kursi)/25%
0%
presiden (suara) (suara) (suara) (suara)

Ambang batas
4% 4% 4% 5% 4%
parlemen

Sistem pemilu terbuka terbuka terbuka terbuka terbuka

Besaran kursi 3-10 3-10 3-10 3-8 3-10

Sainte-Laguë Sainte-Laguë
Konversi suara Kuota Hare Kuota Hare Kuota Hare
murni murni

Gerindra, Demokrat,
Hasil 1 PAN - -
PKS
PDI-P, Golkar,
Nasdem,
Hanura, PKB, PPP
Hasil 2 -
 Pelaksanaan Pemilu Serentak Nasional Satu Hari (!7 April 2019)
 Pipres mendominasi ‘pertarungan’ (Jauh sebelum Batas Akhir
Pencapresan10-08-2018)
 Teknis Pelaksanaan lebih rumit dan riuhnya panjang (Mulai 30
September 2017 Pembentukan panwaslu kecamatan, kelurahan dan luar
negeri hingga 20 Oktober 2019 Pelantikan presiden dan wakil presiden)
 Bagi penyelenggara: rumit dalam penghitungan
 Mekanisenya Panjang
 Pemilu serentak Berdampak pada:
 Meminggirkan isu-isu dan kebutuhan lokal dan Center of grativity’nya
di Jakarta
 Kapasitas caleg DPR, DPD, DPRD, tak dibincang di ruang publik
 Mengorbankan ratusan jiwa.
 Kasus Pelantikan DPRD Padang dan banyak lagi di Indonesia yang
menanti hasil MK
 Ambang Batas
 Presidential Threshold mengebiri kedaulatan rakyat: by design jadi 1
atau 2 saja.
 Design ini buruk bagi terbukanya peluang calon alternatif
 Design ini membuat terbelahnya ‘dua pendukung’ secara tajam
 Dampaknya menyita konsentrasi pada Pilpres, kurang ke Pileg
 Ruang lingkup: dalam UU pilkada jelas dan tidak ada batasan di tahapan
mana. Dalam UU pemilu ada batasannya: masa kampanye (280 284 285),
Masa tenang dan pada masa pungut hitung.
 Subjeknya. Masa kampanye itu: pelaksana peserta dan tim kampanye. Pada
pungut hitung: setiap orang tidak terbatas deliknya. Pada masa tenang: yang
didaftarkan kepada KPU selaku penyelenggara. Sdgkan Pelaku banyak
relawan tim kampanye yang saat mungkin tidak terdaftar sehingga tidak kena
ketentuan ini.
 Soal Pembatasan Bentuk Politik Uang: Dibatasi materi lainnya yang tidak
termasuk atribut kampanye, Per KPU 23 tahun 2018 Rp. 60.000. untuk
konsumsi, dan transportasi tidak boleh dalam bentuk uang. Pada prinsipnya
memberikan uang dan materi lainya itu diperbolehkan sepanjang tidak
melawan hukum.
 Penindakan dan Sanksi: Pasal 285 dan 286 yaitu tentang penindakan dan
dampaknya yang bisa berujung pada diskualifikasi paslon. Psl 285 melalui
proses pidana, putusangan pengadilan BHT dan ditindak lanjuti oleh KPU jika
terbukti dan sudah ada putusan pengadilan BHT bisa dicoret kepesertaannya
dan didiskualifikasi keterpilihan. Pada 286 politik uang dalam konteks TSM.
 KPU mendiskualifikasi Caleg DPR RI partai Perindo dapil DKI Jakarta 2 nomor
urut 2 dengan penerapan pasal 285 UU Pemilu.
 Proses rekruitmen penyelenggara perlu diperbaiki
 Evaluasi kembali jumlah keanggotaan: Jumlah TPD-DKPP dan
Mekanisme Pengambilan Putusannya.
 Tergopoh-gopohnya KPUD dan Bawaslu di Daerah: diseleksi,
dipilih, bekerja ditambah, diseleksi lagi.
 Syarat, Honorarium , kapasitas kerja, dan Rekrtumen untuk
Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara, Panitia Pengawas Pemilu
Kecamatan, Panitia Pengawas Pemilu Kelurahan/Desa dan Pengawas
Tempat Pemungutan Suara,
 Independensi sebagian penyelenggara Pemilu: preferesni pilihan
politik tentua ada namun tidak boleh diperlihatkan, kasus
‘mengundang makan’
 Perbedaan Perlakuan dalam menegakkan aturan: caleg PAN dan
Perindo karena ‘umrah dan adakan turnamen Volly dibatalkan,
ratusan yang lainnya melenggang ke kursi
 Memanfaatkan fasilitas Publik: sekolah, Ruang
Dinas, dll
 Money Politik makin terang benderang
 Kampanye menghalakan segala cara: isu ‘Partai
Penista Agama’, dll
 Mendeskreditkan Caleg Partai lain.
 Alat Peraga di Jalan Utama, Pohon, dan fasilitas
umum.

 Perilaku elit Jakarta mendorong keterbelahan di


daerah
 Demo berbau SARA membungkus ‘kampanye’
 Masih ada dugaan ijazah palsu di daerah lain.
 Kualitas, Kapasitas dan Loyalitas Calon: pola rekrutmen di Parpol
 Fenomena Pindah Perahu

 Parpol enggan mengajukan pemberhentian anggotanya yg mau


pindah nyalon di Parpol lain
 Calon Perempuan hanya diperlukan untuk kuota 30% saja

HARUS TEGAS SYARAT MINIMAL CALON MEMILIKI KTA minimal 4


Tahun sebelum Pelaksanaan Pemilu dan Minimal memiliki Sertifikat
Sekolah Kader Partai, misalnya
 Adanyan penambahan syarat dalam PKPU dibanding yang diatur
dalam UU Pemilu. Soal Tindak Pidana yg dialkukan Calon
 Syarat calon anggota DPD non-parpol  Putusan MK No. 30/PUU-
XVI/2018, pengujian Pasal 258 ayat (2) huruf g UU Pemilu.
 Kejelasan Norma: di Pilres muncul soal syarat Wapres Terpilih
misalnya.
 Money politik (sudah dijelaskan di atas).
 Alat Peraga (sebaiknya dilarang tegas)
 “Kampanye” SEBELUM TAHAPAN (tak diatur,
dan masif)
 “Kampanye” di luar Dapil (tak diatur)
 Kampanye melalui media sosial (minim
pengaturan).
 Pelibatan ASN dan anak-anak
 dll
 Keterlambatan pencetakan
 Distribusi logistik (Agam, Pasbar, Payakumnuh dan
Limapuluh Kota, agak telat)
 Rusaknya Kotak Suara sebelum dipakai (Pessel dan
Darmasraya)
 Rusaknya surat Suara: 995,589 (Laporan Bawaslu RI)
 Lokasi Penyimpanan (Limapuluh Kota, rawan bocor)
 Lkasi Penyimpanannya Terpisah dg Tempat Sortir: Kab.
Pasaman Barat, Kota Padang, Kabupaten Kepulauan
Mentawai, Kab. Pasaman, Kota Payakumbuh, Kabupaten
Pesisir Selatan, dan Kota Pariaman
 Logistik nyasar (tidak ada dalam Laporan Bawaslu RI).
 Pemilu susulan terpaksa harus dilakukan di 2.249 TPS yang
tersebar di 18 Propinsi karena logistik belum tersedia.
 Masih adanya kampanye terselubung, oleh Tim
Pemenang di sekitar TPS
 Kurang Sosialisasi Pemilih pindah mencoblos,
terutama untuk Pekerja luar daerah.
 Kurangnya sosialisasi mengenai ketentuan hak
memilih kepada KPPS, sehingga pemilih yang
tidak berhak memilih di TPS tertentu tetap
dapat memberikan suaranya.
 Ketentuan penyelenggaraan pemungutan suara
ulang (PSU) yang tidak diperjelas.
 Pemilih Fokus pada Pilpres dan DPRD
Kabupaten/Kota, sehingga DPD kurang
diperhatikan
 Money Politik terjadi di hari Pemungutan Suara
 Indeks Kerawanan Pemilihan Umum tahun 2019
untuk tingkat provinsi menunjukkan terdapat
beberapa daerah yang tingkat kerawanannya di
atas rata-rata nasional: Papua Barat, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Sumatera Barat, Maluku,
NAD, Sulawesi Tenggara, NTT, Sulaweesi Tengah,
Sulsel, Sulut, Maluku Utara, Papua, Lampung,
Jambi, Nusa Tenggara Barat.
 Setiap provinsi memiliki karakteristik kerawanan
yang berbeda. Papua Barat, Sumatera Barat dan
Maluku misalnya memiliki kerawanan untuk
dimensi penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan
adil serta terkait dimensi kontestasi.
Bagian Pertama

UU PILKADA
1. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-
masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan
Kota dipilih secara demokratis.”
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656)
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898)
4. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2019 Tentang Tahapan, Program Dan Jadwal Penyelenggaran Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati Dan/Atau Walikota Dan
Wakil Walikota Tahun 2020
 Jumlah Pemilukada: 270 daerah:
 9 Provinsi,
 224 Kabupaten, dan
 37 Kota.
 Hari Pelaksanaannya: 23 September 2020
 Perkiraan Dana Rp 12 Trilyun untuk 270 Daerah
 Sumber Dana: Perjanjian Hibah Daerah antara Pemda dg
KPU, Bawaslu dan Aparatur Keamanan di daerah
 Sumatera Barat
 Pemilukada Provinsi
 Pemilukada di 2 Kota dan 11Kabupaten:
 Pasal 3 Tahapan Pemilihan terdiri atas:
a. tahapan persiapan
b. tahapan penyelenggaraan
• Pasal 4 ayat (1) : Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a, meliputi:
a. perencanaan program dan anggaran;
b. penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan;
c. perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara
dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilihan;
d. pembentukan PPK, PPS, dan KPPS;
e. pembentukan Panitia Pengawas Kabupaten/Kota, Panitia
Pengawas Kecamatan, Panitia Pengawas Lapangan, dan Pengawas
TPS;
f. pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan;
g. penyerahan daftar penduduk potensial pemilih; dan
h. pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.
 Pasal 5 (1) Tahapan penyelenggaraan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, meliputi:
a) pengumuman pendaftaran Pasangan Calon;
b) pendaftaran Pasangan Calon;
c) penelitian persyaratan calon;
d) penetapan Pasangan Calon;
e) pelaksanaan kampanye;
f) pelaksanaan pemungutan suara;
g) penghitungan suara dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara;
h) penetapan calon terpilih;
i) penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil
Pemilihan; dan
j) pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.
 Anggaran pilkada yg dianggap menggerus APBD
 Terlambatnya Penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah
(NPHD)
 Implikasi dari Terlambat NPHD, telat pencairan anggarannya bagi
KPU, Bawaslu, serta bagi aparat keamanan (TNI/Polri)
 Mahalnya Ongkos (political cost) untuk ‘perahu’ kandidat
 Pilkada Langsung Membuat retak KDH dan Wakilnya
 Kecenderungan politik dinasti
 Calon tunggal yang memborong dukungan partai politik
 Menolak politisasi Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA)
pada pilkada
 Neutralitas ASN
 Eks napi (yang bisa) ikut pilkada
 Politisasi birokrasi
 Politisasi Program, Kegiatan, & Anggaran
 Soal-soal lain terkait Pelaksanaan Pemilukada
 Berdasar UU No. 10 Tahun 2016 tentang “Pilkada”, pengawas
pemilu ‘ad hoc’ bernama Panitia Pengawas. Berbeda dg UU No.
7/2017 tentang Pemilu yg mengatur pengawasan pemilihan
adalah Bawaslu yg permanen hingga di kabupaten/kota.
 Karena pelaksanaan Pilkada serentak 2020 mengacu pada UU
Pilkada sehingga pembentukan lembaga pengawas “harus
diulang”, berikut perekrutan anggotanya.
 Belum adanya kesepakatan itu cenderung menimbulkan
ketidakpastian hukum
Hal ini akan juga berdampak pada penganggaran.
 Dana Pemilukada dari Perjanjian Hibah Daerah untuk KPU,
Bawaslu dan Institusi Keamanan di tiap Daerah.
 Terus berkait dg ini maka berdampak pd keterlambatan
Penandatangan NPHD mundur dari tenggat 1 Oktober.
 Ini juga berakibat pada (kemungkinan) terlambatnya pencairan.
 Sekaitanini: Ketua Bawaslu Provinsi
Sumbar, Ketua Bawaslu Kota Makassar,
dan Ketua Bawaslu Kabupaten Ponorogo.
Menguji Pasal 1 angka 17, Pasal 23 ayat
1 dan 3, serta Pasal 24 UU Pilkada, sdg
Menguji ke Mahkamah Konstitusi
 Soal Ongkos Politik yg Mahal dan Politik Bebas Mahar, ini hrs
bisa dicegah melalui Regulasi dg cara mengatur KEWAJIBAN
DANA REKENING itu hrs ATAS NAMA PASANGAN CALON dan
tidak ada REKENING LAINNYA. Rekening Dana Kampanye
wajib dimiliki oleh parpol pengusung calon atas nama calon
(Pasal 74 ayat (3), “peserta pemilu adalah pasangan calon”
 Mudah retaknya (Fragile) antara KDH dg Wakilnya karena
disain “Pasangan Calon” juga memberi celah untuk ini.
Padahal Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 “Gubernur, Bupati dan
Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah
Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.”
gagasan untuk ‘hanya memilih Kepala Daerah saja, sesuai
juga dg Konstitusi.
 Soal Politik Dinasti: kabar majunya Putra Pak Jokowi di Solo
dan Menantunya di Kota Medan, meneguhkan kembali
pandangan bahwa ‘Politik Dinasti’ nyata adanya. Dan
regulasi yang semula sempat dilarang, dibatalkan oleh MA.
 SoalPaslon Tunggal, dg memborong seluruh kursi,
ini dpt dicegah dg Disain memilih Kepala Daerah
saja dan lebih menyerderhanakan syarat bagi calon
perseorangan.
 Kampanye menolak politisasi Suku, Agama, Ras
dan Antargolongan (SARA) pada pilkada,
penting dilakukan dg melibatkan, sejak awal,
seluruh organisasi keagamaan, organisasi
kemasyarakatan dan paguyuban yg ada di
daerah, termasuk FPKUB, FPK, pegiat sosial
media, dll.
 Soal Neutralitas ASN & Politisasi birokrasi: paslon terutama yg
berasal dari inkumben dan birokrat cenderung ‘mengajak
langsung atau tidak langsung’. ASN juga punya kecenderungan
untuk mendukung (terang atau samar). Selain sosialisasi sanksi
bagi ASN yg tidak netral, bersama MenPAN-RB dan KASN,
Mendagri hrs terus menyusun regulasi terkait ini.
 Soal Eks napi (yang bisa) ikut pilkada. UU No. 10 Tahun
2016 tentang Pilkada masih mengizinkan mantan napi kasus
korupsi untuk mencalonkan diri di Pilkada 2020. Pada Pemilu
serentak 2019 lalu P-KPU No 20 Tahun 2018 tentang larangan
mantan napi korupsi maju sebagai Calon Legislatif (Caleg) pada
PKPU dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
 Politisasi Program, Kegiatan, & Anggaran. Bawaslu, Peserta
Pemilukada, dan Mayarakat, lebih aktif lagi mengawasi politisasi
Program, Kegiatan dan penggunaan fasilitas Pemda dan Anggaran
untuk kepentingan Paslon.
 Penggunaan identitas selain KTP-el masih dibolehkan dalam
Pilkada (Pasal 95 ayat (3) UU Pilkada): “Dalam hal Pemilih
tidak terdaftar dalam daftar Pemilih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemilih dapat menggunakan haknya untuk
memilih di TPS sesuai domisili dengan menunjukkan Kartu
Tanda Penduduk Elektronik atau surat keterangan
penduduk.”
 Dlm UU Pilkada belum diatur penggunaan Medsos sbg
metode kampanye, padahal pengguna sosial media banyak.
 Metode pemberian suara dlm pemilukada memberi tanda.
 KDH yang terpilih di Pilkada 2020 hanya akan mengemban
tugas 4 tahun, meski masa jabatannya tidak penuh akan
memperoleh ‘kompensasi’. Pasal 202 ayat (4) UU No. 10
Tahun 2016

Anda mungkin juga menyukai