Anda di halaman 1dari 40

FARMAKOLOGI BAHAN ALAM

REGULASI OBAT BAHAN ALAM,


KOSMETIK DAN SUPLEMEN

KELOMPOK 4
LATAR BELAKANG
Obat tradisional merupakan warisan budaya bangsa
perlu terus dilestariakan dan dikembangkan untuk
menunjang pembangunan kesehatan sekaligus untuk
meningkatkan perekonomian rakyat

Meningkatkan produksi, peredaran dan penggunaan obat


tradisional, di sisi lain dicemari oleh beredarnya obat
tradisional yang tidak terdaftar, obat tradisional yang
mengandung bahan kimia obat atau mengandung bahan-
bahan berbahaya lainnya serta obat tradisional yang tidak
memenuhi persyaratan mutu

Guna melindungi masyarakat dari bahaya


penggunaan obat tradisional yang tidak terdaftar atau tidak
memenuhi syarat perlu adanyainformasi mengenai
peraturan perundangan-undangan yang berlaku di bidang
obat tradisional (Ditjen POM, 1999).
LANDASAN TEORI
Berdasarkan KepMenKes NO 1076/MENKES/SK/VII/2003 pengobatan
tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatnya yang
mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan/atau pendidikan atau pelatihan
dan diterapkan sesuai dengan yang berlaku dalam masyarakat.
Obat tradisional menurut Peraturan Menteri Kesehatan
RI.No.246/Men.Kes/Per/V/1990 Tentang Izin Usaha IOT dan Pendaftaran
O.T dan Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan adalah bahan atau ramuan
bahan, yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik)
atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM RI, 2005) mengelompokkan obat
tradisional menjadi 3 jenis, yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.
PENGGOLONGAN OBAT
TRADISIONAL
Jamu adalah obat tradisional yang berisi seluruh bahan tanaman yang
menjadi penyusun jamu tersebut.Jamu disajikan dalam bentuk serbuk,
seduhan, pil atau cairan.Jamu harus memenuhi standar keamanan dan
standar mutu, tetapi tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji
klinis, cukup dengan bukti empiris.

Obat herbal terstandar merupakan obat tradisional yang disajikan dari


hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman obat, hewan,
maupun mineral.

Fitofarmaka merupakan obat tradisional yang dapat disejajarkan


dengan obat moderen. Proses pembuatan fitofarmaka telah
terstandarisasi yang didukung oleh bukti ilmiah sampai uji klinis pada
manusia. Pembuatannya diperlukan peralatan berteknologi moderen,
tenaga ahli dan biaya yang tidak sedikit
Menurut WHO ada 3 sistem pelayanan kesehatan dalam penggunaan
dan pengakuan obat tradisional yang dianut oleh negara-negara di dunia

Sistem integrative berarti obat tradisional telah menjadi komponen dari


kebijakan obat nasional, ada sistem registrasi produk dan regulasi. Obat
tradisional digunakan di rumah sakit dan sistem asuransi kesehatan, ada
penelitian dan pengembangan serta pendidikan tentang obat tradisional.
Negara yang menganut sistem integratif ini antara lain ialah RRC, Korea Utara
dan Vietnam

Sistem inklusif berarti mengakui obat tradisional tetapi belum


mengintegrasikan pada sistem pelayanan kesehatan. Sistem inklusif ini
dianut oleh negara sedang berkembang seperti Nigeria dan Mali maupun
negara maju seperti Kanada dan Inggris. Dewasa ini Indonesia juga tergolong
negara yang menganut sistem inklusif karena penggunaan obat tradisional
belum diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan nasional.

Sistem toleran berarti sistem pelayanan kesehatan berbasis kedokteran


modern tetapi penggunaan beberapa obat tradisional tidak dilarang oleh
undang-undang.
Perhatian penggunaan obat tradisional
1. Ketepatan bahan menentukan tercapai atau tidaknya efek terapi yang diinginkan
2. Ketepatan dosis
3. Ketepatan waktu penggunaan menentukan tercapai atau tidaknya efek yang
diharapkan
4. Ketepatan telaah Informasi agar obat tradisional tidak menjadi bahan
membahayakan.
5. Ketepatan cara penggunaan karena banyak zat aktif yang berkhasiat di dalam satu
tanaman obat.Dan, setiap zat tersebut membutuhkan perlakuan yang berbeda
dalam penggunaannya
6. Mengenal jenis obat tradisional kareana memiliki perlakuan, sifat, dan khasiat yang
berbeda-beda.
7. Keamanan obat tradisional. Sebab, adakalanya obat tradisional yang beredar sudah
dicampur bahan kimiawi
(Sukmono, 2009).
Regulasi Obat Tradisional Di
Indonesia
• Regulasi berasal dari bahasa inggris regulation yang artinya
terkelola.

• Regulasi adalah proses dalam mengatur atau mengelola aksi


dan perilaku dalam suatu lingkungan.

• Sedangkan mnurut WHO tahun 2001 regulasi adalah


lembaga yang menyusun dan melaksanakan berbagai
peraturan mengenai kefarmasian untuk menjamin keamanan,
khasiat, mutu dan kebenaran informasi mengenai obat
tradisional.

• Adapun beberapa regulasi obat tradisional sebagai berikut:


UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan manusia
sehingga menjadi prioritas dalam pembangunan nasional suatu
bangsa.Salah satu komponen kesehatan yang sangat penting adalah
tersedianya obat sebagai bagian dari pelayanan kesehatan masyarakat.Hal
itu disebabkan karena obat digunakan untuk menyelamatkan jiwa,
memulihkan atau memelihara kesehatan.
PERMENKES No. 381 tahun 2007 tentang
Kebijakan Nasional Obat Tradisional (KOTRANAS)
KOTRANAS adalah dokumen resmi yang berisi pernyataan komitmen
semua pihak yang menetapkan tujuan dan sasaran nasional di bidang obat
tradisional beserta prioritas, strategi dan peran berbagai pihak dalam
penerapan komponen-komponen pokok kebijakan untuk pencapaian tujuan
pembangunan nasional khususnya di bidang kesehatan
Ruang lingkup KOTRANAS meliputi pembangunan dibidang obat tradisional untuk
mendukung terlaksananya pembangunan kesehatan dan ekonomi dalam upaya mendapatkan

sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Tujuan KOTRANAS adalah :


1. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara
berkelanjutan (sustainable use) untuk digunakan sebagai obat tradisional dalam upaya
peningkatan pelayanan kesehatan.
2. Menjamin pengelolaan potensi alam Indonesia secara lintas sektor agar mempunyai
daya saing tinggi sebagai sumber ekonomi masyarakat dan devisa negara yang
berkelanjutan.

3. Tersedianya obat tradisional yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya, teruji
secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun
dalam pelayanan kesehatan formal.

4. Menjadikan obat tradisional sebagai komoditi unggul yang memberikan multi manfaat
yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, memberikan peluang
kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan.
PERMENKES No. 006 tahun 2012 tentang
Industri dan Usaha Obat Tradisional
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan saian
(galenik), atau campuran dari bahan campuran tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat.
a. Cara pembuatan obat tradisional yang baik yang selanjutnya disingkat CPOTB adalah seluruh aspek kegiatan pembuatan obat tradisional yang
bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang diterapkan sesuai dengan tujuan
penggunaannya.
b. Obat tradisional disebut IOT adalah industri yang membuat semua bentuk sediaan obat tradisional.
c. Industri ekstrak bahan alam yang selanjutnya disebut IEBA adalah industri yang khusus membuat sediaan dalam bentuk ekstrak sebagai produk
akhir.
d. Usaha kecil obat tradisional yang selanjutnya disebut UKOT adalah usaha yang membuat semua bentuk sediaan obat tradisional kecuali bentuk
sediaan tablet dan efferfescen.
e. Usaha mikro obat tradisional yang seanjutnya disebut UMOT adalah usaha yang hanya membuat sediaan obat tradisional dalam bentuk param,
tapel, pilis, cairan obat luar dan rajangan.
f. Usaha jamu racikan adalah usaha yang dilakukan oleh depotjamu atau sejenisnya yang dimiliki perorangan dengan melakukan pencampuran
sediaan jadi dan atau sediaan segar obat tradisional untuk dijajakan langsung kepada konsumen.
g. Usaha jamu gendong adalah usaha yang dilakukan oleh perorangan dengan menggunakan bahan obat trandisional dalam bentuk cairan yang
dibuat segar dengan tujuan langsung dijajakan langsung kepada konsumen.
PERMENKES No. 007 tahun 2012 tentang
Registrasi Obat Tradisional
▧Registrasi adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat
tradisional untuk mendapatkan izin edar.Izin edar adalah bentuk
persetujuan registrasi obat tradisional untuk dapat diedarkan di wilayah
Indonesia.
▧Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
●Menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan
mutu;
●Dibuat dengan menerapkan CPOTB
●Memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau persyaratan
lain yang diakui;
●Berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun temurun, dan/atau
secara ilmiah; dan
●Penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak
menyesatkan.
Obat tradisional dilarang mengandung:
o Etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur
yang pemakaiannya dengan pengenceran;
o Bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik
berkhasiat obat;
o Narkotika atau psikotropika; dan/atau
o Bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau
Berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan.
Obat tradisional dilarang dibuat dan/atau diedarkan dalam
bentuk sediaan:
o Intravaginal;
o Tetes mata;
o Parenteral; dan
o Suppositoria, kecuali digunakan untuk wasir.
Tata cara registrasi obat tradisional:
- Permohonan registrasi diajukan kepada Kepala Badan.
- Ketentuan mengenai tata laksana registrasi ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Badan.
- Dokumen registrasi merupakan dokumen rahasia yang
dipergunakan terbatas hanya untuk keperluan evaluasi oleh yang
berwenang.
- Terhadap permohonan registrasi dikenai biaya sebagai
penerimaan negara bukan pajak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-Dalam hal permohonan registrasi bila ditolak, maka biaya yang
telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.

Registrasi Obat Tradisional Produksi Dalam Negeri


Registrasi obat tradisional produksi dalam negeri hanya dapat
dilakukan oleh IOT, UKOT, atau UMOT yang memiliki izin sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
RI No. HK. 00.05.41.1384 tahun 2005 tentang Kriteria dan
Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal
Terstandar dan Fitofarmaka
Izin edar adalah bentuk persetujuan pendaftaran obat tradisional, obat herbal
terstandar,dan fitofarmaka yang diberikan oleh Kepala Badan untuk dapat diedarkan
di wilayahIndonesia.
Kriteria izin edar yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
a. Menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi
persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan/khasiat;
b. Dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku;
c. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin
penggunaan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka secara
tepat, rasional dan aman sesuai dengan hasil evaluasi dalam rangka pendaftaran.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI No.
HK.00.05.4.2411 tahun 2004: Ketentuan Pokok
Pengelompokan Dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia
Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi:
●Jamu
▧Jamu harus memenuhi kriteria yaitu, aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi
persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis
pembuktian tradisonal yaitu tingkat pembuktian umum dan medium, jenis klaim
penggunaan harus diawali dengan kata-kata: “ Secara tradisional digunakan
untuk….”, atau sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran.
●Obat Herbal Terstandar
▧Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria yaitu, aman sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik, dan
telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yamngh digunakan dalam produk
jadi memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan sesuai
dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.
●Fitofarmaka
▧Fitofarmaka harus memenuhi kriteria yaitu, aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik, telah dilakukan
standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi, dan memenuhi
peryaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat
pembuktian medium dan tinggi.
Suplemen
Suplemen makanan adalah produk yang
dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi
makanan, mengandung satu atau lebih bahan berupa
vitamin, mineral, asam amino atau bahan lain (berasal
dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang
mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis dalam
jumlah terkonsentrasi.
Pasal 2
(1) Pengawasan suplemen makanan dilaksanakan melalui kegiatan
sebagai berikut: a. Penetapan standar dan persyaratan
kemanfaatan, keamanan, dan mutu produk serta standar dan
persyaratan sarana produksi dan distribusi; b. Penilaian
kemanfaatan, keamanan, mutu, dan penandaan serta analisa
laboratoris; c. Pemberian izin edar; d. Pemberian izin dan
sertifikasi sarana produksi; e. Pemeriksaan sarana produksi dan
distribusi; f. Pengambilan contoh dan pengujian laboratorium
serta pemantauan penandaan / label; g. Penarikan kembali dari
peredaran dan pemusnahan; h. Penilaian dan pemantauan
promosi termasuk iklan; i. Pemberian bimbingan di bidang
produksi dan distribusi; j. Survelan dan monitoring efek samping;
k. Pemberian sanksi administratif; l. Pemberian informasi.
Pasal 3 (1) Suplemen makanan yang diproduksi dan
atau diedarkan di wilayah Indonesia harus memiliki izin
edar dari Kepala Badan. (2) Untuk memperoleh izin
edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan pendaftaran. (3) Tatalaksana pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
tersendiri oleh Deputi.
Pada pasal 18 (1) Suplemen makanan dilarang
mengandung bahan yang tergolong obat atau
narkotika atau psikotropika sesuai ketentuan yang
berlaku. (2) Suplemen makanan dilarang mengandung
bahan yang melebihi batas maksimum sebagaimana
tercantum pada Lampiran 1 dan atau mengandung
bahan yang ditetapkan sebagaimana tercantum pada
Lampiran 3. (3) Suplemen makanan dilarang
menggunakan tumbuhan dan atau hewan yang
dilindungi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (4)
Suplemen makanan dalam bentuk cairan per oral
dilarang mengandung etil alkohol dengan kadar lebih
dari 5 (lima) %.
Pasal 4, Suplemen makanan harus memiliki
kriteria sebagai berikut:
a. Menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu
dan persyaratan keamanan serta standar dan
persyaratan lain yang ditetapkan;
b. Kemanfaatan yang dinilai dari komposisi dan atau
didukung oleh data pembuktian;
c. Diproduksi dengan menerapkan Cara Pembuatan
yang Baik
d. Penandaan yang harus mencantumkan informasi
yang lengkap, obyektif, benar dan tidak menyesatkan;
e. Dalam bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, serbuk,
granul, setengah padat dan cairan yang tidak dimaksud
untuk pangan.
Pasal 25, Pelanggaran terhadap ketentuan
dalam keputusan ini dapat diberikan sanksi
administratif berupa: a. Peringatan tertulis; b.
Penarikan iklan; BADAN PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN REPUBLIK INDONESIA 10 c. Penarikan
suplemen makanan dari peredaran; d. Penghentian
sementara kegiatan produksi, impor dan distribusi; e.
Pencabutan izin edar. (2) Selain dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikenai sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Surat Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor:
HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik, yang dimaksud
kosmetik adalah bahan atau sediaan yang
dimaksudkan untukdigunakan pada bagian luar tubuh
manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ
genital bagian luar) atau gigi atau mukosa mulut
terutama membersihkan, mewangikan, mengubah
penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau
melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
220/Men.Kes/Per/IX/76 tentang Produksi dan
Peredaran Kosmetik dan Alat Kesehatan, yang
dimaksud dengan kosmetik adalah bahan atau
campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan,
dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada,
dimasukkan dalam, dipergunakan pada badan atau
bagian badan dengan maksud untuk membersihkan,
memelihara, menambah daya tarik atau mengubah
rupa dan tidak termasuk golongan obat.
Penggolongan kosmetik berdasarkan Keputusan Deputi
Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk
Komplemen Nomor: PO.01.04.42.4082 tentang Pedoman Tata
Cara Pendaftaran dan Penilaian Kosmetik, berdasarkan bahan dan
penggunaannya serta untuk penilaian, kosmetik dibagi menjadi 2
(dua) golongan, yaitu:
▧Kosmetik golongan I, adalah:
▧Kosmetik yang digunakan untuk bayi;
▧Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan
mukosa lainnya;
▧Kosmetika yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar
dan penandaan;
▧Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim
serta belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya.
▧Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk
golongan I
Penandaan kosmetik harus memenuhi
persyaratan umum, yaitu etiket wadah atau
pembungkus harus mencantumkan penandaan berisi
informasi yang lengkap, objektif dan tidak
menyesatkan, sesuai dengan data pendaftaran yang
telah disetujui, jelas dan mudah terbaca, menggunakan
huruf latin dan angka arab; dan tidak boleh
mencantumkan penandaan seolah-olah sebagai obat,
rekomendasi dari dokter, apoteker, pakar di bidang
kosmetik atau organisasi profesi.Keterangan-
keterangan yang harus dicantumkan pada etiket
wadah dan atau pembungkus meliputi:
▧Nama produk;
▧Nama dan alamat produsen atau importer/penyalur;
▧Ukuran, isi atau berat bersih;
▧Komposisi harus memuat semua bahan;
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
1175/Men.Kes/Per/VIII/2010 tentang Izin Produksi
Kosmetika Industri Kosmetika yang akan membuat
kosmetika kosmetika harus memiliki memiliki izin
produksi produksi. Izin produksi industri kosmetika
dibedakan menjadi 2 golongan : Golongan A dapat
membuat semua jenis kosmetika Golongan B dapat
membuat jenis dan sedian kosmetika tertentu dengan
menggunakan teknologi sederhana Izin berlaku 5
tahun
▧Nomor ijin edar;
▧Nomor bets/kode produksi;
▧Kegunaan dan cara penggunaan kecuali untukproduk
yang sudah jelas penggunaannya;
▧Bulan dan tahunkadaluwarsa bagi produk yang
stabilitasnya kurang dari 30 bulan;
▧Penandaan yang berkaitan dengan keamananatau
mutu
Pasal 3
▧Setiap kosmetika hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar dari Menteri.
▧Izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
notifikasi.
▧Dikecualikan dari ketentuan notifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bagi kosmetika yang
digunakan untuk penelitian dan sampel kosmetika
untuk pameran dalam jumlah terbatas dan tidak
diperjualbelikan.
Pasal 4
●Notifikasi dilakukan sebelum kosmetika beredar oleh pemohon kepada Kepala
Badan.
●Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

▧industri kosmetika yang berada di wilayah Indonesia


yang telah memiliki izin produksi;
▧importir kosmetika yang mempunyai Angka Pengenal
Impor (API) dan surat penunjukkan keagenan dari
produsen negara asal; dan/atau
▧usaha perorangan/badan usaha yang melakukan
kontrak produksi dengan industri kosmetika yang telah
memiliki izin produksi.
▧Pasal 6
■Pemohon yang akan mengajukan permohonan
notifikasi kosmetika harus mendaftarkan diri kepada
Kepala Badan.
■Pendaftaran sebagai pemohon sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan 1 (satu) kali,
sepanjang tidak terjadi perubahan data pemohon.
■Pemohon yang telah terdaftar dapat mengajukan
permohonan notifikasi dengan mengisi formulir
(template) secara elektronik pada website Badan
Pengawas Obat dan Makanan
▧ Industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak
produksi bertanggung jawab terhadap kosmetika
yang diedarkan.
▧ Apabila terjadi kerugian atau kejadian yang tidak
diinginkan akibat penggunaan kosmetika, maka
Industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak
produksi mempunyai tanggungjawab untuk
menangani keluhan dan/atau menarik kosmetika
yang bersangkutan dari peredaran.
▧ Industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak
produksi harus melaporkan kepada Kepala Badan
apabila kosmetika yang sudah dinotifikasi tidak lagi
diproduksi atau diimpor.
▧ Industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak
produksi bertanggungjawab terhadap kosmetika
yang tidak lagi diproduksi atau diimpor yang masih
ada di peredaran.
▧Setiap industri kosmetika, importir kosmetika, atau
usaha perorangan/badan usaha yang melakukan
kontrak produksi wajib melakukan penarikan kosmetika
yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan.
▧Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan atas inisiatif sendiri atau perintah Kepala
Badan.
▧Kosmetika yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
dapat membahayakan kesehatan dilakukan
pemusnahan.
▧Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Kepala Badan.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan termasuk dalam kategori/jenis penelitian
normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada
data yang sudah terdokumentasikan dalam bentuk bahan hokum dengan pendekatan peraturan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Sumber data yang yang digunakan dalam peneltian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dengan cara melakukan pengumpulan dan mempelajari buku-buku teks yang
berhubungan dengan permasalahan hukum yang akan diteliti terutama mengenai perlindungan
konsumen yang menyangkut hak-hak konsumen, dokumen-dokumen resmi, dan hasil penelitian
ahli yang berwujud laporan.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian yuridis normatif yaitu
dengan melakukan penelaahan data
Bahan hukum primer dalam penelitian ini antara lain, UUD 1945, UUPK,
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.4.1745 Tahun
2003 tentang Kosmetik. Bahan hukum sekunder antara lain berupa tulisan-tulisan ilmiah
dari para pakar yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti ataupun yang
berkaitan dengan bahan hukum primer dan bahan hukum tersier.
Pasal 8 UUPK menyatakan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha:

1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b) tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang
dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang
sebenarnya;
d) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label,
etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan
barang dan/atau jasa tersebut;
g) tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik
atas barang tertentu;
h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan
dalam label;
i) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi
bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku
usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

PEMBAHASAN
Selain itu
1) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang dimaksud.
2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang
rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar.
3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilaran
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Selain itu, terdapat 4 (empat) jenis perbuatan pelaku usaha yang
dapat merugikan konsumen yaitu:
• Menaikkan harga.
• Menurukan mutu
• Dumping
• Memalsukan produk
Adapun tahap-tahap pengawasan yang dilakukan BBPOM terhadap
peredaran produk kosmetik ilegal yang tidak memenuhi syarat:
1) Tahap Premarket
Pengawasan tahap Premarket yaitu pengawasan yang dilakukan
terhadap produk kosmetik sebelum produk tersebut diedarkan ke pasaran.
Bentuk dari pengawasan ini antara lain sebagai berikut:
a) Sertifikasi dan registrasi produk
b) Sertifikasi halal dan pencantuman label halal
c) Perijinan pembukaan apotik, pabrik, dan sarana-sarana baru
d) Pendidikan pelatihan kepada SDM pemerintah Kabupaten/Kota, produsen,
pengecer, dan masyarakat.
2) Tahap Postmarket
Tahap Postmarket yaitu pengawasan yang dilakukan setelah produk
tersebut beredar ke pasaran. Pengawasan ini dilakukan dengan cara sampling.
Pengawasan post-market dilakukan dengan cara melakukan:
- Pemeriksaan fasilitas-fasilitas dan tempat pembuatan produk
- Pemeriksaan dan pengambilan contoh produk yang beredar di pasaran.
- Operasi Rutin

- Pameran dan Pembagian Brosur


- Monitoring Efek Samping Kosmetik (MESKOS)
Upaya BBPOM Banda Aceh dalam rangka pengawasan terhadap
peredaran produk kosmetik yang tidak memenuhi syarat untuk
diperdagangkan yaitu sebagai berikut.
a. Peneguran
b. Memberikan Pembinaan
c. Penegakan Hukum
Terdapat beberapa hambatan yang ditemui oleh BBPOM dalam
melakukan pengawasan terkait peredaran kosmetik yang tidak mencantumkan
label, baik internal maupun eksternal.
Pelaksanaan pengawasan terhadap peredaran produk kosmetik
tanpa informasi pada label oleh BBPOM baik di pasar maupun pada klinik
belum berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
perlindungan terhadap hak-hak konsumen seperti yang tercanyum dalam Pasal
4 UUPK terutama hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa belum terpenuhi. Oleh karena itu,
upaya-upaya dalam pengawasan terhadap produk kosmetik yang tidak
mencantumkan label pada wadah produk perlu ditingkatkan lagi
PENUTUP
Pelaksanaan perlindungan hak konsumen yang berkaitan dengan pencantuman
informasi pada label produk kosmetik oleh pelaku usaha belum dilaksanakan
sebagaimana mestinya meskipun telah ada ketentuan yang tegas mengaturnya.
Tanggung jawab BBPOM dalam melakukan upaya-upaya pengawasan terhadap
peredaran kosmetik yang tidak mencantumkan informasi pada label produk
dalam rangka pemenuhan hak konsumen belum berjalan efektif. Kurangnya
efektivitas pengawasan tersebut disebabkan oleh beberapa hambatan baik
eksternal maupun internal. Hambatan eksternal antara lain kantor BBPOM yang
hanya ada 1 (satu) di Kota Banda Aceh yang belum mampu mengoptimalkan
fungsi pengawasan di seluruh wilayah Aceh, dan kurangnya sumber daya
manusia dari pihak BBPOM untuk menjalankan tugas pengawasan dan
penyidikan di seluruh wilayah Aceh di mana BBPOM hanya memiliki 15 orang di
bagian pemeriksaan dan 5 orang di bagian penyidikan. Hambatan internal
antara lain disebabkan oleh perilaku konsumen yang tidak peduli terhadap
haknya untuk mendapatkan informasi terkait barang, perilaku pelaku usaha baik
pelaku usaha secara umum maupun klinik untuk menjalankan
tanggungjawabnya terhadap pencantuman informasi pada label produk.

Anda mungkin juga menyukai