PRIVAT LAW
Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PGRI SEMARANG
SILABUS :
BAB I Pengertian Istilah dan Sumber Hukum Perdata
BAB II Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia
BAB III Fungsi, Tujuan & Ruang Lingkup Hk Perdata
BAB IV Asas-asas Hukum Perdata
BAB V Subyek Hukum (Orang & Badan Hukum)
BAB VI Hukum Perkawinan & Hukum Kewarisan
BAB VII Hukum Perikatan & Hukum Perjanjian
BAB VIII Hukum Benda & Hukum Pertanahan
BAB IX Hukum Keluarga & Hukum Perwalian
BAB X Komparasi Hukum Perdata Barat dan Hukum perdata Islam
(Perkawinan, Perceraian, Kewarisan, Perwalian)
BIDANG HUKUM PERDATA
• Bidang hukum keluarga
• Bidang hukum waris
• Bidang hukum benda
• Bidang hukum jaminan
• Bidang hukum perikatan (Umum)
• Bidang hukum badan hukum
• Bidang hukum perjanjian khusus
SUMBER/LITERATUR:
Strategi Pembelajaran
• Dalam Pembelajaran matakuliah ini menggunakan metode ceramah,
diskusi, presentasi, tanya jawab dan analisa.
TUGAS-TUGAS
• Tugas Individu, mahasiswa melakukan resume, membuat makalah, presentasi, dan
analisa. Tugas kelompok, mahasiswa melakukan resume, membuat makalah dan
analisa
• Bagi mahasiswa yang tidak mengumpulkan tugas (sesuai dengan unit kegiatan dan
jadualnya) maka akan dikurangi nilainya sebagaimana dijelaskan dalam pedoman
penilaian.
EVALUASI
• Jenis evaluasi dalam mata kuliah ini dengan menggunakan tes tulis untuk
UTS dan UAS juga menggunakan tugas individu, tugas kelompok dan
aktifitas selama proses perkuliahan
KRITERIA PENILAIAN
• Nilai A atau 4 dengan rentang nilai kuantitatif 85 -100
• Nilai B atau 3 dengan rentang nilai kuantitatif 75 - 84
• Nilai C atau 2 dengan rentang nilai kuantitatif 65 - 74
• Nilai D atau 1 dengan rentang nilai kuantitatif 55 – 64
• Nilai E atau 0 dengan rentang nilai kuantitatif dibawah 54
BAB I
PENGERTIAN,ISTILAH DAN SUMBER HUKUM PERDATA
A. PENGERTIAN HK PERDATA
1. Salim HS adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik itu yang
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan antara subjek
hukum satu dengan dengan subjek hukum yang lain dalam hubungan
kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan
2. Riduan Syahrani ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang lain di dalam masyarakat yang
menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan
3. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, merupakan hukum yang mengatur
kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga
negara perseorangan yang lain
a. KUHperdata ,
b. Traktat, Tertulis dan tidak
c. Yurisprudensi, dan tertulis
d. Kebiasaan (konvensi)
Kompetensi dasar:
Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami substansi
dari hukum perdata.
BAB II
KEDUDUKAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
A. Kedudukan Hk Perdata
1. Kedudukan KUHPerdata/BW tetap sebagai Undang- Undang.,
sebab BW tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai UU.
2. Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia masih beraneka
ragam (pluralistik), walaupun pada bidang tertentu tidak
dikodifikasi (seperti KUHPer dan KUHD)
3. (UU No 1 Thn 1974) hukum perkawinan , Hukum Agraria (UU No
5 Thn 1960), hukum waris, hukum perikatan dan lain – lain.
B. Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia
Menurut Sahardjo Adiwinata, 1983; 26), bahwa BW tidak lagi sebagai
suatu undang-undang melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya
menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis.
BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi Rechtsboek yang hanya dipakai
sebagai pedoman“
Ditentang oleh Mahadi bahwa BW adalah sebagai berikut:
1. BW sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi;
2. Yang masih berlaku ialah aturan-aturannya, yang tidak bertentangan
dengan semangat serta suasana kemerdekaan;
3. Diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrina untuk menetapkan
aturan mana yang masih berlaku dan aturan mana yang tidak bisa
dipakai lagi;
4. Tidak setuju diambil suatu tindakan legislatif untuk menyatakan
bahwa aturan-aturan BW dicabut sebagai aturan-aturan tertulis.
BW sebagai UU yang dapat dijadikan rujukan hukum
BAB III
FUNGSI, TUJUAN & RUANG LINGKUP
A. Fungsi dan Tujuan Hukum Perdata
1. Fungsi
a. Mengatur kehidupan manusia dalam hal-hal keperdataan.
b. Untuk mempertahankan hak dan kepentingan seseorang.
2. Tujuan
a. menciptakan kedamaian antar sesama manusia
b. mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam
masyarakat
c. memberikan perlindungan hukum untuk mencegah tindakan main hakim
sendiri dan untuk menciptakan suasana yang tertib.
d. mencapai suasana yang tertib hukum dimana seseorang
mempertahankan haknya melalui badan peradilan sehingga tidak terjadi
tindakan sewenang-wenang.
B. Ruang Lingkup
Hukum perdata merupakan hukum yang meliputi semua hukum
“Privat materil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan. Hukum perdata terdiri atas :
a. Hukum Perkawinan :
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hukum Perkawinan mengatur ttg :
1. Syarat perkawinan (Pasal 7 UU No1. Th 1974)
2. Hak dan kewajiban suami istri (Pasal 31 UU No.1 Th 1974)
3. Percampuran kekayaan (Pasal 35 UU No.1 Th 1974)
4. Pemisahan kekayaan (Pasal 36 UU No.1 Th 1974)
1. Syarat perkawinan (Pasal 7 UU No 1 /1974) :
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2. Hak dan kewajiban suami istri (Pasal 31 UU No 1/ 1974
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Percampuran kekayaan (Pasal 35 UU No 1/ 1974)
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masaing suami dan isteri,dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan,adalah dibawah penguasaan masing-
masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
4. Pemisahan kekayaan (Pasal 36 UU No.1/ 1974)
(1) Mengenai harta bersama,suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing,suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
A. Hukum Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Pasal 26 KUH Perdata, Undang-undang memandang soal
perkawinan hanya dalam hubungan perdata. Sehingga
berdasarkan ketentuan tersebut perkawinan itu hanya
merupakan hubungan lahiriah saja.
Pasal 1 No. 1 Th 1974 ttg UUP :
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Syarat Syahnya Perkawinan
1. Syarat Meteriil
Syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai sebelum
dilangsungkannya perkawinan.
Syarat Materiil ada dua yaitu syarat Mutlak dan Relatif:
a) Syarat Mutlak (Absolut) :
Syarat absolut adalah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang
akan melakukan perkawinan, yang meliputi :
1) Salah satu pihak atau keduanya tidak dalam status perkawinan;
2) Harus memenuhi batas umur minimal untuk perkawinan;
3) Harus ada persetujuan antara calon mempelai;
4) Bagi janda sudah lewat waktu tunggu;
5) Harus ada ijin dari orang tua/orang tertentu
6) Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang
sama.
2) Syarat Relatif
Syarat materiil relatif yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang
untuk kawin dengan orang tertentu, yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seseorang dengan saudara orang tua, antara seorang dengan saudara
neneknya;
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dan
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin;
7) Larangan untuk kawin dengan orang yang diajak melakukan perbuatan zinah;
8) Larangan untuk memperbaharui (rujuk) setelah perceraian jika belum lewat 1
tahun.
2. Syarat Formil
1) Sebelum perkawinan dilangsungkan yang meliputi pemberitahuan
oleh calon mempelai kepada Pegawai Pencatat Perkawinan dan
pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan bahwa akan
dilangsungkannya perkawinan.
2) Pada waktu perkawinan dilangsungkan calon suami isteri harus
menyerahkan syarat-syarat atau akta-akta, antara lain: - akte kelahiran
atau akte kenal lahir; - akte tentang ijin kawin; - dispensasi untuk
kawin apabila diperlukan; - bukti bahwa pengumuman kawin telah
dilangsungkan atau bukti bahwa pencegahan telah digunakan, dan
lain-lain.
3) Perkawinan sah apabila setelah memenuhi persyaratan materiil dan
formal, perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu yang kemudian dicatat oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan.
3. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
• Antara pencegahan dan kebatalan perkawinan terdapat perbedaan dan
persamaan.
• Perbedaanya, pada pencegahan, perkawinan belum dilangsungkan,
sedangkan dalam hal pembatalan, perkawinan telah dilangsungkan.
• Persamaannya adalah bahwa keduanya tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Perolehan Warisnya:
1. Kalau sendirian, ia mengambil semua.
a. A.lk : 100%
2. Kalau ia berdua dengan saudara laki-laki atau lebih, berbagi rata.
a. A.lk : 1/3,
b. B.lk : 1/3,
c. C.lk. : 1/3
3. Kalau ia bersama saudara perempuan, ia dapat dua bagian, dan
seorang saudara perempuan mendapat satu bagian.
a. A.lk. : 2/3;
b. B.pr. : 1/3
4. Kalau ada ahli waris lain, maka ia dapat sisa ('Ashabah), sisa itu
dibagi seperti pada poin 1, 2 dan 3.
a. Bapak : 1/4
b. A.lk. : 1/2
c. B.pr. : 1/4
Perempuan :
• Anak perempuan
• Cucu perempuan dari anak laki-laki
• Ibu
• Nenek
• Saudari kandung (perempuan)
• Istri
• Wanita yang memerdekakan budak
• Pembagian
• ½ (Setengah atau separoh)
• Anak perempuan, Cucu perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah Ibu,
Saudari seayah dari Suami jika tanpa anak.
• ¼ (Seperempat)
• Suami bersama anak atau cucu, Istri tanpa anak atau cucu dari anak laki-laki.
• 1/8 Seperdelapan
• Istri bersama Anak atau cucu dari anak laki-laki
• 1/3 Sepertiga
• Ibu tanpa ada anak, Saudari seibu 2 orang atau lebih.
• 2/3 Duapertiga
• Anak perempuan, Cucu perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah ibu,
Saudari seayah
• 1/6 Seperenam
• Ibu bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Nenek, Saudari seayah bersama
Saudari seayah ibu, Ayah bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Kakek.
Contoh Kasus Waris Yang Melibatkan Anak:
Soal 1.
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris sbb.:
Seorang suami, seorang ibu, seorang bapak, 2 anak laki-laki dan 2
orang anak perempuan. Jumlah harta yang ditinggalkan Cuma
1 Milyar. Berapakah bagian masing-masing ahli waris ?
Soal 2.
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan harta sebesar
500 jt, sementara ahli warisnya adalah:
Seorang isteri, seorang ibu., 1 anak perempuan dan 2 anak laki-laki,
berapakah bagian masing-masing ahli waris ?
Soal 1.
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris sbb.:
Seorang suami, seorang ibu, seorang bapak, 2 anak laki-laki dan 2 orang
anak perempuan. Jumlah harta yang ditinggalkan Cuma 1 Milyar.
Berapakah bagian masing-masing ahli waris ?
Jawab :
Soal 2.
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan harta sebesar
500 jt, sementara ahli warisnya adalah:
Seorang isteri, seorang ibu., 2 anak perempuan dan 2 anak laki-laki,
berapakah bagian masing-masing ahli waris ?
Jawab :
3. Sebab-Sebab lahirnya Waris (Islam)
a. Hubungan Kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan
dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran.
b. Hubungan Perkawinan
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling
mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang
syarat dan rukunnya terpenuhi Sumber hukum kewarisan Islam
adalah al-Quran, al-hadis, ijma’ dan sumber hukum lainnya.
c. Hubungan al Wala.
Wala dalam pengertian syariat adalah : kekerabatan menurut
hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak
emansipasi) budak dan kekerabatan menurut hukum yang timbul
karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia
antara seseorang dengan seseorang yang lain
• 4. RUKUN –RUKUN MEWARISI
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus
terpenuhi Rukun- rukun waris. Bila ada salah satu dari rukun-
rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Menurut hukum Islam , rukun – rukun mewarisi ada 3 yaitu :
a. Muwarrits (Pewaris)
b. Warits (Ahli waris)
c. Mauruts (harta waris)
.b. Waris Barat (KUH PERDATA)
1. Prinsip Waris dalam KUHPerdata
a) Pewarisan beralih kepada para ahli waris
b) Jika ada orang meninggal makaa harta kekayaan beralih kepada
ahli waris (Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata)
c) Yang berhak mewarisi adalah keluarga ahli waris.
d) harta peninggalan tidak boleh dibiarkan dalam keadaan tidak
terbagi, kecuali jika hal itu terjadi, dengan persetujuan para ahli
waris.
e) Bayi atau anak yang baru lahir bahkan anak dalam kandungan
berhak atas suatu warisan. (Pasal 2 KUHPerdata).
Pasal 2 KUHPerdata menyatakan bahwa bayi yang belum lahir
(masih dalam kandungan) mempunyai hak waris
• 2. Terjadinya Pembagian Pewarisan
a) Karena ditunjuk oleh undang undang, yang disebut pewarisan ab-
intestato dan para ahli waris disebut ahli waris ab-intestaat.
b) Karena ditunjuk oleh testament atau surat wasiat.
3. Penggolongan Pewarisan
a. Golongan I : anak anak dan keturunan serta janda atau duda yang
hidup terlama (Pasal 852 KUHPerdata)
b. Golongan II :orang tua, saudara laki laki, saudara perempuan dan
keturunan dari saudara laki laki dan saudara perempuan (Pasal
854, 857, 859 KUHPerdata)
c. Golongan III :Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah orang
tua (Pasal 853 KUHPerdata)
d. Golongan IV: Keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping
sampai derajat ke enam (Pasal 858 KUHPerdata)
4. Legitine Portie Anak – Anak & Keturunan
Besarnya bagian mutlak ini ditentukan berdasarkan besarnya bagian ab-
intestato dari legitimaris yang bersangkutan.
Legitine portie adalah merupakan pecahan dari bagian ab intestato.
Untuk mengetahui besarnya bagian mutlak anak-anak & keturunanya
terlebih dahulu harus dilihat dari jumlah anak yang ditinggalkan oleh
pewaris.
Untuk lebih jelasnya berdasarkan Pasal 914 KUH Perdata yang pada
pokoknya adalah sebagai berikut:
a) Jika yang ditinggalkan hanya seorang anak, maka legitine portie anak itu
adalah 1/2 (setengah) dari harta peninggalan.
b) Jika yang ditinggalkan dua orang anak, maka legitine portie masing-
masing anak adalah 2/ 3 dari bagian ab intestato masing-masing anak itu
c) Jika yang ditinggalkan tiga orang anak atau lebih, maka bagian masing-
masing anak adalah 3/4 dari bagian ab intestato masing-masing anak
itu“.
BAB VII
HUKUM PERIKATAN & HUKUM PERJANJIAN
A. Hukum Perikatan
1. Pengertian Perikatan
Perikatan merupakan terjemahan dan kata “verbitenis”. Yang
diterjemahkan dengan istilah perikatan atau istilah perutangan.
Pengertian perikatan adalah hubungan hukum di dalam hukum harta
kekayaan antara dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban
atas suatu prestasi.
Kesimpulan :
- Hk Perikatan adalah hubungan hukum
- Ada dua pihak yang melakukan
- Menimbulkan hak dan kewajiban
Perikatan menurut Para Ahli :
• Pitlo
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak
(kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
• Von Savigny:
Perikatan hukum adalah hak dari seseorang (kreditur) terhadap seseorang
lain (debitur).
• Yustianus:
Suatu perikatan hukum atau obligatio adalah suatu kewajiban dari
seseorang untuk mengadakan prestasi terhadap pihak lain.
• Prof. Subekti:
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal
dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu.
• Prof. Soediman Kartohadiprodjo:
Hukum perikatan ialah kesemuanya kaidah hukum yang mengatur hak
dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya dalam
lingkungan hukum kekayaan.
• Abdulkadir Muhammad:
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan
kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan.
• Dengan demikian unsur-unsur dari suatu perikatan adalah3:
a. adanya suatu hubungan hukum;
b. di antara dua pihak, yaitu pihak yang memiliki kewajiban (debitur)
dan pihak yang memperoleh hak (kreditur);
c. berada di bidang hukum harta kekayaan;
d. tujuannya adalah prestasi
2. Sumber Perikatan
a. Berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata
1) perjanjian
2) Undang-undang : a) UU melulu, b) UU karena perbuatan
manusia - perbuatan menurut hukum - perbuatan melawan
hukum
b. Di luar KUHPerdata
1) putusan pengadilan
2) moral-otonom (kesusilaan) - heteronom (sopan santun) –
- Perikatan yang bersumber dari perjanjian, UU dan putusan
pengadilan adalah obligatio civilis, yaitu perikatan yang
mempunyai akibat hukum.
- Perikatan yang bersumber dan moral adalah obligatio
naturalis, yaitu perikatan yang tidak mempunyai akibat
hukum
3. Macam-macam Perikatan
Berdasarkan ketentuan dalam Buku III KUH Perdata, maka perikatan
dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
a. Perikatan bersyarat (Pasal 1253 — 1267 KUHPerdata) Suatu
perikatan bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu
peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu
akan terjadi, baik cara menangguhkan perikatan menurut
terjadinya peristiwa itu, maupun cara membatalkan perikatan
menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
b. Perikatan dengan ketetapan waktu (Pasal 1 268 — 1 27 1
KUHPerdata) Suatu ketetapan waktu (termijn) tidak
menangguhkan lahirnya perikatan, melainkan hanya
menangguhkan pelaksanaannya.
c. Perikatan manasuka/alternatif (Pasal 1272 - 1277 KUHPerdata). Dalam
perikatan manasuka debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah
satu dan dua barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak
dapat mamaksa kreditur untuk menerima sebagian dan barang yang
satu dan sebagian dan barang yang lainnya. Hak memilih ada pada
debitur jika hak tersebut tidak secara tegas diberikan kepada kreditur.
d. Perikatan tanggung renteng/tanggung menanggung (Pasal 1278 -
1295 KUHPerdata). Perikatan tanggung renteng terjadi antara
beberapa orang kreditur. jika di dalam perjanjian secara tegas kepada
masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh
hutang dan pembayaran yang dilakukan kepada salah satu kreditur
membebaskan debitur. Perikatan tanggung renteng juga terjadi pada
para debitur jika mereka kesemuanya diwajibkan melakukan hal yang
sama, sedemikian bahwa salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya,
dan pemenuhan oleh salah satu membebaskan debitur yan lain
terhadap kreditur.
e. Perikatan yang dapat dibagi-bagi dan yang tidak dapat dibagi-bagi (Pasal
1296— 1303 KUHPerdata)
Suatu perikatan dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi, perikatan
mengenai suatu barang yang penyerahannya, atau suatu perbuatan yang
pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi, baik secara
nyata maupun secara perhitungan.
Suatu perikatan adalah tidak dapat dibagi-bagi, meskipun barang atau
perbuatan yang dimaksudkan karena sifatnya dapat dibagi-bagi, jika
barang atau perbuatan tadi menurut maksud perikatan tidak boleh
diserahkan atau dilaksanakan sebagian demi sebagian.
f. Perikatan dengan ancaman hukuman (Pasal 1 304 — 1 3 12 KUHPerdata)
Suatu perikatan dimana debitur diwajibkan melakukan sesuatu, jika
perikatan tidak dipenuhi. Tujuan dan perikatan dengan ancaman hukuman:
1) menjamin agar prestasi dipenuhi debitur;
2) membebaskan kreditur dan pembuktian tentang jumlah besarnya
kerugian jika terjadi wanprestasi.
B. Hukum Perjanjian
1. Pengertian Hukum Perjanjian
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst,
yang berasal dan kata kerja overeenkornen yang berarti setuju atau
sepakat.
Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata adalah: “Suatu perianjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Pasal 1313 KUHPerdt mengandung kelemahan pada kata “suatu
perbuatan”.
a. Suatu perbuatan bisa perbuatan hokum dan perbuatan biasa.
Padahal perjanjian adalah perbuatan hokum.
b. Kata satu orang hanya menunjuk pengertian ‘sepihak saja’,
padahal perjanjian harus dua pihak.
c. Rumusannya terlalu luas, karena hukum keluarga bisa masuk.
Perjanjian menurut Para Ahli :
1. Sudikno Mertokusumo
“Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.
2. R.Setiawan
R Setiawan menerjemahkan kata overeenkomst sbg Persetujuan.
Persetujuan adalah “suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih”.
Dari perumusan di atas maka perjj adl sbb :
- Ada dua pihak yang melakukan
- Ada kesepakatan para pihak
- Ada akibat hukum (hak dan kewajiban)
2. Asas-asas Perjanjian
a. Asas konsensualisme.
Asas ini berhubungan dengan saat lahimya perjanjian. Berdasarkan
asas ini maka perjanjian itu lahir sejak adanya kata sepakat
diantara para pihak.
Asas konsensualisme dapat dijumpai dalam Pasal 1320 butir 1 jo
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengatakan bahwa “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”.
- Perjanjian telah lahir sejak saat tercapainya kesepakatan antara
para pihak.
- Asas ini bertentangan dengan UU yaitu dalaam perjanjian riil.
Karena perjj riil adalah lahirnya perjanjian tidak ada saat adanya
kata sepakat, tetapi pada saat obyek diserahkan secara nyata.
• b. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini erat sekali kaitannya dengan isi, bentuk dan jenis dari
perjanjian yang dibuat.
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Kata “semua” yang mengandung 5 makna, bahwa setiap orang
bebas:
1) untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian
2) mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3) menentukan bentuk perjanjian yang dibuatnya;
4) menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuatnya;
5) untuk mengadakan pilihan hukum ,maksudnya yaitu bebas
untuk memilih pada hukum mana perjanjian yang dibuatnya
akan tunduk.
• c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini berhubungan dengan ‘akibat suatu perjanjian’. Diatur
dalam Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUH Perdata.
Asas pacta sunt servanda berarti para pihak harus mentaati
perjanjian yang telah mereka buat seperti halnya mentaati undang-
undang, maksudnya apabila diantara para pihak ada yang
melanggar perjanjian tersebut maka pihak tersebut dianggap
melanggar undang-undang ada sanksi hk bagi yg melanggar perjj.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yaitu “suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu.”
• d. Asas itikad baik
Asas itikad baik berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian.
Asas ini menghendaki bahwa apa yang diperjanjikan oleh para pihak
tersebut harus dilaksanakan dengan memenuhi tuntutan keadilan dan
tidak melanggar kepatutan.
Kepatutan harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata yaitu “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Itikad baik mempunyai dua pengertian yaitu:
a) Dalam arti subyektif, (hukum benda dan dalam hukum perikatan).
Itikad baik disini dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam
melakukan suatu perbuatan hukum yaitu yang terletak pada sikap
batin seseorang.
b) Dalam arti obyektif, Itikad baik dalam arti obyektif yaitu bahwa
pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma
kepatutan atau apa-apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut
dalam masyarakat.
• e. Asas kepribadian
Asas ini diatur dalam KUH Perdata Pasal 1340 ayat (1) yang
menyatakan bahwa “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-
pihak yang membuatnya.”
Suatu perjanjian tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban dan
tidak boleh mendatangkan keuntungan atau kerugian pada pihak
ketiga, kecuali telah ditentukan lain oleh undang-undang.
Ketetntuan tsb diatur dalam Pasal 1340 ayat (2) yang menyatakan
bahwa “suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-
pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat
karenanya. (lihat juga Pasal 1317 KUHPerdata).
• 2. Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata harus memenuhi 4 syarat :
1) Ada kata ‘sepakat’ mereka yang mengikatkan dirinya;
2) ‘Cakap’ untuk membuat suatu perjanjian;
3) Suatu ‘hal tertentu’;
4) Suatu sebab yang ‘halaL’
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif (relative),
menyangkut orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian.
Apabila syarat pertama dan kedua tidak dipenuhi maka perjanjian dapat
dimintakan pembatalan (vernietigbaar).
Syarat yang ketiga dan keempat disebut syarat obyektif (mutlak) ,
menyangkut isi perjanjian. Apabila syarat obyektif ini tidak dipenuhi maka
perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya perjanjian tersebut tanpa
dimintakan pembatalannya oleh hakim sudah batal dengan sendirinya
atau dengan kata lain perjanjian tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Ad 1) SEPAKAT
• Kata sepakat dlm perjanjian menjadi syarat mutlak ada dalam
perjanjian
• Kata sepakat dari para pihak dalam perjanjian harus berupa
kesepakatan yang bebas artinya benar-benar atas kemauan
sukarela dari para pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga
sepakat yang diberikannya bukan karena kekhilafan, paksaan atau
penipuan.
• Apabila sepakat yang diberikan itu karena kekhilafan, paksaan
atau penipuan maka dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut
mengandung cacat kehendak.
• Pasal 1322 KUH Perdata menyatakan bahwa kekhilafan tidak
mengakibatkan batalnya suatu perjanjian.
• Berdasarkan pasal 1322 KUH Perdata tersebut, ada 2 jenis kekhilafan
yaitu:
a) Kekhilafan mengenai orang dengan siapa seseorang mengikatkan
dirinya (error in persona);
b) Kekhilafan mengenai hakikat bendanya (error in substantia).
Selain kekhilafan, hal lain yang menyebabkan suatu kesepakatan
tidak sah adalah karena adanya paksaan.
- Pasal 1324 ayat (1) KUH Perdata : paksaan ialah apabila
perbuatan tersebut dapat menimbulkan rasa takut bagi orang
yang berpikiran sehat, juga menimbulkan rasa takut dan ancaman
bagi dirinya maupun harta kekayaannya.
• Pembatalan perjanjian juga bisa didasarkan karena adanya penipuan terhadap
salah satu pihak sehingga karena adanya penipuan tersebut pihak yang tertipu
membuat perjanjian.
• Penipuan ini terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk
membujuk pihak lawan agar memberikan perijinannya (Pasal 1328 KUH Perdata).
•
3. Jenis-Jenis Perjanjian
Dalam KUH Perdata tidak diketemukan adanya ketentuan yang mengatur
mengenai jenis-jenis perjanjian.
Ditinjau dari segi akibat hukum yang ditimbulkan dalam perjanjian maka
perjanjian dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
a. Perjanjian obligatoir
Perjj yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak atau
perjanjian yang menimbulkan perikatan.
Misal Perjanjian Warisan
b. Perjanjian leberatoir
Perjanjian yang bertujuan untuk membebaskan para pihak dari suatu
kewajiban hukum tertentu. Perjanjian ini maksudnya adalah untuk
menghapuskan perikatan yang ada diantara para pihak tersebut.
Misalnya Perjanjian melunasi hutang (orang lain).
c. Perjanjian kekeluargaan.
Perjanjian yang terdapat dalam hukum keluarga.
Misalnya Perkawinan.
d. Perjanjian pembuktian
Perjanjian mengenai alat- alat bukti yang akan berlaku diantara
mereka.
Dalam hukum acara perjanjian tsb disebut sebagai perjanjian
pembuktian.
e. Perjanjian kebendaan
Perjanjian yang bertujuan untuk mengalihkan atau
menimbulkan, mengubah atau menghapuskan hak-hak
kebendaan.
Perjanjian kebendaan ini merupakan pelaksanaan dan perjanjian
obligatoir (diatur dalam KUH Perdata)
• Yang termasuk Perjanjian Obligatoir :
1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
Perjanjian sepihak yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada
satu pIhak saja sedangkan pada pihak yang lain hanya terdapat hak
saja, misalnya perjanjian hibah
Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian, misalnya
perjanjian jual beli.
2. Perjanjian konsensuil, Riil dan Formil.
Perjanjian konsensuil yaitu perjanjian yang lahir pada saat tercapainya
kata sepakat diantara para pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian riil yaitu perjanjian yang lahir dengan diadakan penyerahan
benda yang menjadi obyek perjanjian, misalnya perjanjian penitipan
barang.
Perjanjian formil yaitu perjanjian yang lahir dengan dipenuhinya
formalitas-formalitas tertentu. Misal, pendirian Badan Usaha PT,
CV,NV harus dengan akta notaris.
3. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian bernama yaitu perjanjian yang pada umumnya sudah
dikenal dengan nama-nama tertentu dan sudah diatur secara
khusus dalam KUH Perdata dan KUH Dagang.
Perjanjian tidak bernama (perjanjian jenis baru), yaitu perjanjian
yang belum dikenal dengan nama khusus dalam KUH Perdata dan
KUH dagang tetapi tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Jenis perjj tidak bernama :
a. Perjanjian jenis baru murni, yaitu perjanjian-perjanjian jenis baru
yang timbul dalam masyarakat dan tidak diatur secara khusus
dalam KUH Perdata maupun KUH Dagang.
b. Perjanjian jenis baru campuran, yaitu perjanjian jenis baru yang
didalamnya mengandung unsur-unsur dan berbagai perjanjian
bernama, diatur dalam KUH Perdata dan Dagang, misalnya
perjanjian jual beli.
4. Hapusnya Perjanjian
Hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan hapusnya perikatan karena
suatu perikatan dapat hapus, sedangkan perjanjiannya yang merupakan
sumbernya masih tetap ada.
Hapusnya perjj disebabkan :
a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Para pihak telah
menentukan saat berakhirnya penjanjian itu.
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu penjanjian.
Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata bahwa para ahli waris dapat
mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu supaya tidak
melakukan pemecahan harta warisan Akan tetapi waktu perjanjian
tersebut dibatasi berlakunya hanya untuk lima tahun.
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus.
d. Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging).
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim. Misal Sewa menyewa.
Penyewa tidak menentukan berakhirnya sewa.
f. Tujuan perjanjian telah tercapai. Misal jual beli.
• Tiga Kelompok cara hapusnya perjanjian :
a. Hapusnya perjanjian dimana kreditur memperoleh prestasi
tertentu, terjadi dalarn hal : pembayaran; penawaran
pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan (konsinyasi);
pembaharuan hutang (novasi); perjumpaan hutang (kompensasi);
dan percampuran hutang.
b. Hapusnya perikatan dimana kreditur dengan sukarela melepaskan
prestasi yang seharusnya diterima, terjadi dalam hal pembebasan
hutang.
10 cara hapusnya Perikatan (Pasal 1381 KUH Perdata).
1) Pembayaran (Pasal 1382 — 1403 KUHPerdata)
2) Penawaran Pembayaran Tunai diikuti Penitipan
3) Pembaharuan Hutang/Novasi
4) Perjumpaan hutang / kompensasi
5) Percampuran hutang
6) Pembebasan hutang
7) Musnahnya barang yang terhutang
8) Pembatalan Perikatan
9) Berlakunya suatu syarat batal
10) Daluwarsa/lampau waktu
PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH)
(Pasal 1365 KUHPerdata)
PMH adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain.
Orang yang menyebabkan kerugian diwajibkan membayar ganti rugi.
A. Hukum Benda
1. Pengertian Hukum Benda
- Benda diatur dalam Pasal 499-1232 Buku II KUH Perdata,
- Secara kasuistis diatur juga dalam Buku I, Buku Ill dan Buku IV
KUHPerdata,
- Di luar KUH Perdata ada dllm UU Hak Cipta, UU Rumah
Susun, UU Cagar Budaya dan lain-ain.
- Pasal 499 KUHPerdata benda adalah tiap-tiap barang atau
hak yang dapat dimiliki
Benda dibedakan menjadi beberapa pengertian, yaitu:
a. Benda berujud adalah barang yang dapat diraba dengan panca
indera dan benda tak berujud adalah hak yaitu benda yang tidak
dapat diraba dengan panca indera;
b. Benda bergerak dan benda tak bergerak. Benda bergerak adalah
benda yang dapat dipindahkan atau dapat pindah sendiri, sedangkan
benda tak bergerak adalah tanah beserta bangunan dan tanaman
yang bersatu dengan tanah;
c. Benda dipakai habis dan benda tidak habis dipakai. Benda dipakai
habis adalah benda yang jika dipakai menjadi habis, sedangkan benda
tidak habis dipakai adalah benda yang jika dipakai tidak habis;
d. Benda yang sudah ada dan benda yang akan ada. Benda yang sudah
ada adalah benda yang sudah ada di dunia, sedangkan benda yang
akan ada adalah benda yang belum ada di dunia tetapi akan ada;
e. Benda dalam perdagangan dan benda diluar perdagangan. Benda
dalam perdagangan adalah benda yang dapat diperdagangkan,
sedangkan benda yang di luar perdagangan adalah benda yang tidak
dapat diperdagangkan secara bebas;
f. Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat dibagi. Benda dapat
dibagi adalah benda yang karena sifatnya dapat dibagi, sedangkan
benda yang tidak dapat dibagi adalab benda yang karena sifatnya
tidak dapat dibagi;
g. Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar. Benda terdaftar adalah
benda yang pemilikannya harus didaftarkan pada instansi tertentu.
Sedangkan benda tidak terdaftar adalah benda yang pemilikannya
tidak harus didaftarkan pada instansi tertentu.
2. Hak Kebendaan
Hak kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda yang memberikan
kekuasaan langsung atas suatu benda.
Ciri-ciri Hak Kebendaan :
a. hak kebendaan merupakan hak mutlak yang dapat dipertahankan terhadap
siapapun;
b. hak kebendaan mengikuti bendanya.
A. Hukum Keluarga
1. Pengertian Hukum Keluarga
Hukum keluarga : keseluruhan ketentuan atau aturan-aturan
yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan
kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan
(perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan,
keadaan tidak hadir).
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat
antara beberapa orang yang mempunyai leluhur yang sama.
Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga
yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan
keluarga sedarah dari istri (suaminya).
Hukum Keluarga menurut Para Ahli:
- Salim HS, :
Keseluruhan dari kaidah (norma) hukum (baik tertulis maupun tidak
tertulis) yang mengatur mengenai hubungan hukum atas pernikahan,
perceraian, harta benda di dalam pernikahan, kekuasaan orang tua,
perwalian dan pengampuan.
- Tahir Mahmoud
Prinsip-prinsip hukum yang diterapkan atas dasar ketaatan beragama,
berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek
religius menyangkut peraturan keluarga, pernikahan, perceraian,
hubungan di dalam keluarga, kewajiban di dalam rumah tangga,
pemberian mas kawin, warisan, perwalian dan lain-lain.
- Ali Afandi,
Keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum seseorang
dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargaan karena perkawinan
(perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, perwalian, keadaan
tidak hadir).
Dari pandangan Ali Afandi ini, terdapat 2 (dua) konsepsi yaitu hukum
keluarga mengatur hubungan yang berkaitan dengan kekeluargaan
sedarah dan kekeluargaan karena pernikahan. Kekeluargaan sedarah
merupakan pertalian keluarga yang terdapat di antara beberapa
orang yang memiliki keturunan yang sama. Sedangkan kekeluargaan
karena pernikahan ini merupakan pertalian keluarga akibat
pernikahan antara seseorang dengan keluarga sedarah dari isteri
(suaminya).
2. Sumber Hukum Keluarga.
Tertulis:
a. Kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari undang-undang,
yurisprudensi dan traktat.
b. KUHPerdata.
c. Peraturan perkawinan campuran.
d. UU No.32./1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
Tidak tertulis:
Kaidah-kaidah yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat.
3. Ruang Lingkup Hukum Keluarga
Ruang Lingkup Hukum Keluarga ini ada tiga bagian:
a. Perkawinan
Pasal 26 KUH Perdata, Undang-undang memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungan perdata. Sehingga berdasarkan ketentuan
tersebut perkawinan itu hanya merupakan hubungan lahiriah saja.
Pasal 1 UUP, Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Perkawinan harus memenuhi syarat materiil dan formil. Syarat materiil
(mutlak) adalah syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai
sebelum dilangsungkannya perkawinan, syarat yang harus dipenuhi
oleh setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
Syarat formal (relative) adalah syarat yang berkaitan dengan tatacara
pelaksanaan perkawinan, baik sebelum, pada saat maupun setelah
dilaksanakannya perkawinan. syarat yang harus dipenuhi untuk kawin
dengan orang-orang tertentu, yang berupa larangan kawin dengan
orang tertentu.
Bisakah Perkawinan dapat dicegah dan dibatalkan ?
2. Khulu’
Bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya
talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau
uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak
isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.
3. Syiqaq
Perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu
orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
4. Fasakh
Perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu
pihak oleh hakim Pengadilan Agama.
Dilakukan oleh perempuan.
5. Ta’lik talak
Suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin
terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah
diperjanjikan lebih dahulu. (Talak perjanjian).
6. Ila’
Suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya
tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun
diceraikan. (Pisah ranjang tanpa batas waktu).
7. Zhihar
suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan
punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami
telah menceraikan isterinya.
8. Li’aan
Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat
pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang
mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya
perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.
9. Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian
suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak
lain berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal.
c. Harta benda dalam perkawinan
1) Harta benda dalam perkawinan adalah harta bersama dan
harta bawaan. (Ps 35 UU No.1 Tahun 1974)
Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama
perkawinan.
Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh suami dan istri ke
dalam perkawinan mereka dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan
Islam :
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan perkawinan adalah memperoleh keturunan.
2. Asas Perkawinan
KUH Perdata : Asas Monogami
Hukum Islam : Asas Poligami
Hukum Islam :
a. Cerai – thalaq
b. Cerai gugatan