Anda di halaman 1dari 17

PERLAWANAN BALI

DAN TAPANULI
Nama Kelompok :
1. Achmad Rizal Adityo
2. Della Oktaviani
3. Fiocta Rahmanda Putri
4. Ihsanul Majid
5. Riyan Manaek Manik
6. Siti Raqhidah Nazri
PETA BALI
SEBAGIAN TOKOH DALAM PERLAWANAN PERANG
BALI

I Gusti Ketut Jelantik

I Gusti Ngurah Rai Untung Suropati


PENYEBAB TERJADI NYA PERANG BALI
Keinginan belanda untuk menguasai pulau bali mulai pada tahun
1841 masehi dan seluruh rakyat atau raja bali dipaksa harus tunduk dan
mengakui pemerintahan belanda, dan rakyat bali pun tidak terima dengan
sikap belanda yang sewenang wenang sehingga belanda mendapatkan
perlawanan dari rakyat bali.
Keinginan belanda untuk menguasai pulau bali tidak selalu pernah
berhasil karena rakyat bali masih menganut adat istiadat atau tradisi yang
bersifat konservatif, selain itu di pulau bali ini mereka rakyat bali melakukan
perlawanan terhadap belanda ketika belanda berkali kali memaksakan
kehendaknya untuk menghapus hak tawan karang yang menurut mereka sangat
merugikan pihak belanda, hak tawan karang yaitu sebuah peraturan dimana
ada kapal yang terdampar di wilayah pulau bali itu menjadi hak untuk raja –
raja yang ada di pulau bali, telah berulang kali kapal belanda hendak di rampas
oleh rakyat bali, namun mereka selalu saja menolak dan mengadakan
perjanjian agar terbebas dari peraturan hak tawan karang tersebut, dan mereka
selalu ikut campur dengan urusan kerajaan yang ada di bali tidak hanya itu
bahkan mereka mengajukan tuntutan seperti berikut.
Perlawanan rakyat bali pada belanda patutlah kita hargai dengan
semangat berjuang mereka dalam mempertahankan wilayahnya merupakan
suatu hal yang bisa kita hormati
Perlawanan rakyat bali pada belanda patutlah kita hargai dengan
semangat berjuang mereka dalam mempertahankan wilayahnya merupakan suatu
hal yang bisa kita hormati
Tuntutan Belanda kepada Kerajaan di Bali
1. Membebaskan belanda dari hukum atau peraturan hak tawan karang
2. Kerajaan bali mengakui pemerintahan belanda
3. Kerajaan bali harus melindungi perdagangan milik pemerintah belanda
4. Semua raja raja di bali harus tunduk dan patuh terhadap perintah dari kolonial
belanda
Dan semua tuntutan diatas itu di tolak mentah – mentah oleh rakyat bali
sehingga pada tahun 1846 terjadilah pertempuran antara belanda dan bali untuk
memaksa raja buleleng agar menandatangani isi surat perjanjian perdamaian yang
isinya antara lain sebagai berikut ini :
1. Pasukan belanda di tempatkan di wilayah buleleng
2. Benteng kerajaan buleleng agar segera di bongkar oleh pasukan belanda
3. Biaya perang harus ditanggung oleh raja buleleng
Setelah itu kesemua perjanjian itu tidak diindahkan lagi sehingga pihak
belanda terpaksa harus melakukan kekerasan dengan rakyat bali tujuannya agar
pulau bali beserta raja rajanya bisa ditundukkan dengan negara belanda. Dan dalam
melawan perlawanan dengan rakyat bali pihak belanda mengerahkan pasukan
militer secara besar besaran dengan tahap sebagai berikut.
PERLAWANAN RAKYAT BALI
Pada tahun 1848, raja-raja di Bali tidak lagi mematuhi kehendak Bali, bahkan
beberapa kerajaan telah bersiap-siap untuk menghadapi Belanda. Pos-pos pertahanan
Belanda di Bali diserbu dan semua senjata dirampas oleh Gusti Jelantik. Peristiwa ini
menimbulkan kemarahan Belanda dan menuntut agar Gusti Jelantik diserahkan kepada
Belanda.
Pada tahun 1849, pasukan Belanda datang dari Batavia untuk menyerbu dan
menguasai seluruh pantai Buleleng dan menyerbu Benteng Jagaraga. Pasukan Bali
melakukan perlawanan habis-habisan (puputan) tetapi akhirnya Benteng Jagaraga dapat
dikuasai oleh Belanda. Sejak runtuhnya Kerajaan Buleleng, perjuangan rakyat Bali
makin lemah. Meskipun demikian, Kerajaan Karangasem dan Klungkung masih
berusaha melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Sejarah Perlawanan Rakyat Bali Terhadap Belanda (1846–1905) - Di Bali
timbulnya perlawanan rakyat melawan Belanda, setelah Belanda berulang kali
memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan hak tawan karang. Hak tawan karang
yakni hak bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas perahu yang terdampar di
pantai wilayah kekuasaan kerajaan yang bersangkutan.
Telah berulang kali kapal Belanda hendak dirampas, namun Belanda memprotes dan
mengadakan perjanjian sehingga terbebas. Raja-raja Bali yang pernah diajak berunding
ialah Raja Klungklung dan Raja Badung (1841); Raja Buleleng dan Raja Karangasem
(1843).
Akan tetapi, kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda
memutuskan untuk menggunakan kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.
Pihak Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi militer secara besar-
besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama (1846) dengan kekuatan 1.700
orang pasukan dan gagal dalam usaha menundukkan rakyat Bali. Ekspedisi
kedua (1848) dengan kekuatan yang lebih besar dari yang pertama dan
disambut dengan perlawanan oleh I Gusti Ktut Jelantik, yang telah
mempersiapkan pasukannya di Benteng Jagaraga sehingga dikenal
dengan Perang Jagaraga I. Ekspedisi Belanda ini pun juga berhasil
digagalkan.
Kekalahan ekspedisi Belanda baik yang pertama maupun yang kedua,
menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi ketiga
(1849) dengan kekuatan yang lebih besar lagi yakni 4.177 orang pasukan,
kemudian menimbulkan Perang Jagaraga II. Perang berlangsung selama dua
hari dua malam (tanggal 15 dan 16 April 1849) dan menunjukkan semangat
perjuangan rakyat Bali yang heroik dalam mengusir penjajahan Belanda.
Dalam pertempuran ini, pihak Belanda mengerahkan pasukan darat
dan laut yang terbagi dalam tiga kolone. Kolone 1 di bawah pimpinan Van
Swieten; kolone 2 dipercayakan kepada La Bron de Vexela, dan kolone 3
dipimpin oleh Poland. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng
Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Prajurit Bali dan para pemimpin mereka
termasuk I Gusti Jelantik, berhasil meloloskan diri.
Perlawanan rakyat Bali tidaklah padam. Pada tahun 1858, I Nyoman
Gempol mengangkat senjata melawan Belanda, namun berhasil dipukul
mundur. Selanjutnya, tahun 1868 terjadi lagi perlawanan di bawah pimpinan
Ida Made Rai, ini pun juga mengalami kegagalan. Perlawanan masih terus
berlanjut dan baru pada awal abad ke-20 (1905), seluruh Bali berada di bawah
kekuasaan Belanda.
Pada abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax
Netherlandica (perdamaian di bawah Belanda), Pemerintah Hindia Belanda
berusaha membulatkan seluruh jajahannya atas Indonesia termasuk Bali.
Upaya Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan
kerajaan Klungkang, Badung dan Buleleng. Salah satu isinya bebunyi:
Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaankerajaan di Bali berada di bawah
pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk
menguasai Bali.
Masalah utama adalah adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-
raja Bali. Hak ini dilimpahkan kepada kepala desa untuk menawan perahu dan
isinya yang terdampar di perairan wilayah kerajaan tersebut.
Antara Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng yaitu Raja I Gusti
Ngurah Made Karang Asem besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada
perjanjian pada tahun 1843 isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika
kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat
berjalan dengan semestinya
Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah
(Bali Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng
melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun ditolak. Kejadian
tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.
Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Satu
persatu daerah diduduki dan istana dikepung oleh Belanda. Raja Buleleng berpura-pura menyerah
kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik. Perang Buleleng disebut juga
pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya adalah benteng di desa Jagaraga. Perang ini
disebut pula Perang Puputan, Kenapa dikatakan dengan Perang Puputan?, Karena perang dijiwai
oleh semangat puputan yaitu perang habis-habisan. Bagi masyarakat Bali, puputan dilakukan
dengan prinsip sebagai berikut:
> Nyawa seorang ksatri berada diujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan
kehormatan.
> Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak dikenal istilah
menyerah kepada musuh.
> Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga.
Benteng Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi
dengan parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka raja-raja
Karangasam, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga jumlah
seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit ditopang oleh isteri Jelantik bernama
Jero Jempiring yang menggerakkan dan memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan
bagi para prajurit yang bertugas digaris depan.
Pada tanggal 7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang
didatangkan dari Batavia dengan 2265 serdadu mendarat di Sangsit.
Parukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jendral Van der Wijck
menyerang Sangsit lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan Belanda
dapat digagalkan.
Pada tanggal 1849 Belanda mendatangkan pasukan yang lebih banyak
berjumlah 15000 orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri,
artileri dan Zeni dipimpin oleh Jendral Mayor A.V Michiels dan Van
Swieten. Benteng Jagaraga dihujani meriam dengan gencar. Tak ada
seorangpun laskar Buleleng yang mundur, mereka semuanya gugur
pada tangal 19 April 1849 termasuk isteri Patih Jelantik yang bernama
Jero Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda
dapat menguasai Bali utara. Selain puputan Buleleng, perlawanan
rakyat Bali juga terjadi melalui puputan Badung, Klungkung dan
daerah lain walaupun akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh ke
tangan Belanda.
PERANG TAPANULI
Perang Batak atau perang Tapanuli atau perang Si Singa
Mangaraja dimulai dari tahun 1878 – 1907 yang terjadi selama 29 tahun. Perang
batak ini terjadi disebabkan kedatangan bangsa Belanda ke Batak. Daerah Batak ini
terletak di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, Batak merupakan sebuah daerah
yang tentram dan damai karena terhindar dari pertentangan dan ketegangan dan
juga masyarakat disekitar ini percaya kepada pemimpin mereka yang akan
menjaga kesalamatan mereka semuanya.
Pada saat perang raja yang memimpin Batak adalah Sisingamangaraja
XII yang memiliki nama asli Pantuan Besar Ompu Pulo Batu. Agama yang dianut
oleh Sisingamangaraja XII adalah agama asli Batak. Namun sudah sejak zaman
Belanda terdengar isu bahwa menjelang tahun 1880-an Sisingamangaraja memeluk
agama Islam. Ia lahir di Bakkara, Batak, Sumatra Utara, 17 Juni 1849. Ayah dan
Ibunya bernama Sisingamangaraja XI (Ompu Sohahuaon) dan Boru Situmorang.
Ayahnya wafat pada tahun 1876, sehingga Sisingamangaraja XII
dinobatkan menjadi penerus ayahnya di usia yang baru 19 tahun. Gelarnya adalah
Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja berasal dari tiga kata, yaitu ‘si’, ‘singa’,
dan ‘mangaraja’. ‘Si’ adalah kata sapaan, ‘singa’ merupakan bahasa Batak yang
berarti bentuk rumah Baka, sedangkan ‘mangaraja’ sama maksudnya dengan kata
‘maharaja’. Jadi Sisingamangaraja berarti Maharaja orang Batak.
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERANG
BATAK
 Sebab umum.
1. Adanya tantangan raja Batak Batak yang masih
menganut agama Batak kuno (Animisme dinamisme)
atas penyebaran agama Kristen di Batak.
2. Adanya siasat Belanda dengan menggunakan gerakan
Zending untuk menguasai daerah Batak.
 Sebab Khusus.
kemarahan Sisingamangaraja atas penempatan
pasukan Belanda di Tarutung dan hampir seluruh Sumatera
sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang
masih berada dalam situasi merdeka di bawah pimpinan
Raja Sisingamangaraja XII.
SEJARAH PERANG TAPANULI
Sampai abad ke-18, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda
kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan
damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda.
Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau
Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang”
atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti
perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan.
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu
meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir
oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil
sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII di
Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja,
tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta
penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda
terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun
kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang
kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan
penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan
pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga.
Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang
pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun
Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar
mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk
bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah
Hindia-Belanda.
Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan
perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan
seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan
oleh pasukan kolonial Belanda.
Karena lemah secara taktis, Sisingamangaraja XII menjalin hubungan dengan
pasukan Aceh dan dengan tokoh-tokoh pejuang Aceh beragama Islam untuk
meningkatkan kemampuan tempur pasukannya. Dia berangkat ke wilayah Gayo, Alas,
Singkel, dan Pidie di Aceh dan turut serta pula dalam latihan perang Keumala. Karena
Belanda selalu unggul dalam persenjataan, maka taktik perang perjuangan Batak
dilakukan secara tiba-tiba, hal ini mirip dengan taktik perang Gerilya.
Pada tahun 1888, pejuang-pejuang Batak melakukan penyerangan ke Kota
Tua. Mereka dibantu orang-orang Aceh yang datang dari Trumon. Perlawanan ini dapat
dihentikan oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh J. A. Visser, namun Belanda juga
menghadapi kesulitan melawan perjuangan di Aceh.
. Sehingga Belanda terpaksa mengurangi kegiatan untuk melawan
Sisingamangaraja XII karena untuk menghindari berkurangnya pasukan Belanda yang
tewas dalam peperangan.
Pada tanggal 8 Agustus 1889, pasukan Sisingamangaraja XII
kembali menyerang Belanda. Seorang prajurit Belanda tewas, dan
Belanda harus mundur dari Lobu Talu. Namun Belanda mendatangkan
bala bantuan dari Padang, sehingga Lobu Talu dapat direbut kembali.
Pada tanggal 4 September 1889, Huta Paong diduduki oleh Belanda.
Pasukan Batak terpaksa ditarik mundur ke Passinguran.
Pasukan Belanda terus mengejar pasukan Batak sehingga ketika tiba di
Tamba, terjadi pertarungan sengit. Pasukan Belanda ditembaki oleh
pasukan Batak, dan Belanda membalasnya terus menerus dengan
peluru dan altileri, sehingga pasukan Batak mundur ke daerah Horion.
Sisingamangaraja XII dianggap selalu mengobarkan
perlawanan di seluruh Sumatra Utara. Kemudian untuk
menanggulanginya, Belanda berjanji akan menobatkan
Sisingamangaraja XII menjadi Sultan Batak. Sisingamangaraja XII
tegas menolak iming-iming tersebut, baginya lebih baik mati daripada
menghianati bangsa sendiri. Belanda semakin geram, sehingga
mendatangkan regu pencari jejak dari Afrika, untuk mencari
persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari
orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan
musuh ini dijuluki “Si Gurbak Ulu Na Birong”.
Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima
Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu
Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi
Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja,
Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima
Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan
tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru
Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1906.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau
Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII
tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru
Sagala, Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap
putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim.
Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap,
menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.
Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si
Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang
sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan
Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan
Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Pengikut-pengikutnya berpencar
dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja
XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun ikut menjadi korban
perjuangan. Gugurnya Sisingamangaraja XII merupakan pertanda jatunya tanah
Batak ke tangan Belanda.

Anda mungkin juga menyukai