Anda di halaman 1dari 23

II. IDENTITAS NASIONAL INDONESIA.

a. Pengertian, Makna & Domind.


b. Proses Pembentukan Identitas.
c. Faktor-faktor Identitas.
d. Identitas Nasional Indonesia.
A. Pengertian, Makna & Domind.
 Arti Identitas: Ciri khas “pembeda” dengan yang lain.
Bersifat ‘spesifik’, secara fisik merupakan refleksi aspek non
fisik (sistem nilai).
 Makna:
1. Karakter: ‘Nilai’ atau ‘Value’ yang menjadi simbol
watak/ jatidiri/ identitas seseorang atau sekelompok
orang. Ciri khas/ karakter: melekat dan tercermin pada
seseorang melalui hal fisis: sikap, perilaku, pola pikir,
tutur kata; dan non fisis: gagasan, perasan, keinginan
yang tercermin pada hasil kreasinya alias budayanya.
2. Budaya atau Kebudayaan: identitas, Jatidiri dan
karakter adalah “buah karya atau hasil kreasi” manusia
bersumber pada ‘Cipta, Rasa, Karsa’ berpedoman pada
“sistem Nilai” yang dianut masyarakat. Hasil kreasi atau
karya budaya: mengandung makna (isi) berupa “value”,
yang menjadi ‘simbol identitas atau ciri khas’.
 Value/ nilai (Kaelan) terdiri 3 macam:
a. Nilai dasar (ideal): nilai-nilai universal, bersifat mutlak
atau fundamental (tetap) dan abstrak. Universal: tidak
terikat ruang, waktu, tempat dan selera jaman. Abstrak:
benar-benar ada meski tidak kasat mata (berbentuk).
Misal: nilai religius, kebenaran, kebaikan, kemanusiaan,
persatua, keadilan, dll.
b. Nilai normatif (instrumental): nilai-nilai sebagai
pedoman umum (aturan umum), bersifat elementer dan
dinamis. Pedoman (aturan) umum: elemen (unsur)
dinamis, maka dapat berubah dalam waktu cukup lama.
Misal: adat (tradisi), tatakrama, tatasusila, tata-upacara
adat dan tradisi, dll.
c. Nilai praksis (realis): nilai-nilai fungsional bersifat praktis
dan riil (nyata) pada kehidupan sehari-hari. Sifatnya
fungsional, praktis, teknis dan riil; maka mudah berubah,
bergantung selera jaman dan subjektif.
 Nilai ideal, normatif, dan realis: tidak berdiri sendiri-
sendiri secara otonom. Nilai realis yang nyata (bentuk
fisis): manifestasi (penjabaran) nilai normatif. Nilai
normatif: panduan usaha untuk mengaktualisasikan
nilai-nilai idealitas (fundamental) yang abstrak.
 Karya budaya: simbol identitas. Kebudayaan yang nyata
dapat di lihat mata (fisis): nilai praksis (realitas). Adalah
manifestasi dari nilai normatif untuk mengaktualisasikan
nilai idealitas (fundamental).
 Identitas, jatidiri, dan karakter: “sistem nilai idealitas”
dijabarkan dengan “nilai normatif”; dikonkritkan dalam
bentuk “nilai praksis” (realitas).
 Domind: identitas ada pada ranah ‘psikologi, keyakinan
atau kepercayaan. Pada aspek EQ (rasa) dan SQ (karsa)’.
Keyakinan pada value, rumit di rasional. Peranan IQ sangat
penting telaah identitas, tapi tidak dominan.
B. Proses Terbentunya Identitas.
1. Natural: Tumbuh dan berkembang secara alamiah.
Kodrat manusia: lahir dibekali ‘Cipata (IQ), Rasa (EQ), dan
Karsa (SQ)’. Unsur IQ,EQ,SQ, tumbuh berkembang berdasar
“sistem nilai” (Kaidah, Nilai, dan Norma): batasan “Baik –
Buruk, Benar – salah, Indah/elok – Tak indah/tak elok”.
Sistem nilai sebagai panduan hidup, akan ‘mendorong dan
terefleksi’ pada pola pikir, pola sikap, pola tindak, dan pola
tutur yang dilakukan; menjilma sebagai ‘budaya, identitas/
jatidiri/ karakter’.
 Selain terikat sistem nilai, manusia juga terikat oleh
berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Balam
posisinya sebagai ‘Pribadi Mandiri’, manusia dapat
menentukan pilihan atas kaidah, nilai, dan norma yang
diyakini, bahkan pilihan yang “dis value” sekalipun.
2. Keluarga: kelompok orang yang pertama dikenal individu.
Setiap orang lahir dari “Keluarga”, tumbuh dan berkembang
dalam‘sistem nilai” yang menjadi ‘panduan hidup’ bersama
keluaraga inti dan keluarga besar. Dalam keluarga terjadi
proses “internalisasi sistem nilai”, proteksi/ disiplin yang
tinggi pada ‘sistem nilai di keluarga’ membentuk karakter
(watak), jatidiri, dan identitas keluarga tangguh.

 Sistem nilai pada Keluarga di Indonesia:


a. Patuh atau Taat Azas (Frans Magnis Soeseno).
Keluarga di Indonesia, memegang-teguh nilai
kepatuhan dan ketaatan pada adat dan tradisi
keluarga. Patuh dan taat pada tatakrama, tatasusila,
hak dan kewajiban, bahkan orientasi/ pandangan
hidup, tujuan hidup.
a. Religius: keyakinan & kepercayaan kepada Tuhan
sebagai kausa prima (Koentjaraningrat). Keluarga di
Indonesia, menjunjung tinggi nilai-nilai keagungan
Tuhan, dosa: hukuman Tuhan; pahala: anugrah
Tuhan.
b. Kekeluargaan: sesuai sifat-sifat keluarga. Semua
‘anggota keluarga merupakan satu kesatuan’. Jika
ada anggota menderita, semua merasakan. Dalam
keluarga: “harga menghargai, tolong menolong,
musyawarah dan mufakat” (Koentjaraningrat).
c. Persaudaraan: sesuai sifat sifat saudara, terikat
hubungan darah. Dalam berinteraksi dan
beraktivitas dilandasi rasa iklas tanpa pamrih.
d. Gotong royong: berpartisipasi aktif dalam suatu
pekerjaan bersama atas dasar kemampun dan
kerelaan masing-masing. Beban berat menjadi
ringan, sebab ditanggung bersama tanpa paksaan.
3. Masyarakat: kelompok sosial yang dikenal individu
setelah keluarga. Dalam masyarakat atau kelompok sosial,
pasti berkembang “sistem nilai” yang menjadi panduan
hidup, panduan berinteraksi dan beraktivitas oleh setiap
warga masyarakat. Pemangku & pengontrol sistem nilai
atau panduan hidup: warga masyarakat. Penguasa sistem
nilai dalam masyarakat: pemuka atau tokoh masyarakat.
Dalam berinteraksi dan beraktivitas di masyarakat:
terjadi proses ‘internalisasi sistem nilai’ yang berpengaruh
pada pola pikir, tuturkata, sikap dan perilaku anggota
masyarakat. Proteksi yang kuat pada kaidah, nilai dan
norma masyarakat, akan menjamin sistem nilai terpelihara.
Menjamin pula pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat
merefleksikan Identitas, jatidir, dan karakter masyarakat.
‘Perbedaan sistem nilai’ antara keluarga dan
masyarakat berakibatkan “dis value dan terisolir”. Tetapi
juga menjadi ‘kesempatan dan peluang berkreasi’
aktualisasikan identitas diri, jatidiri dan memperkokoh
karakteristik. Norma sosial: kejam dan tanpa kompromi.
Pelanggar nilai, norma dan kaidah: terpinggirkan.
 Sistem nilai pada masyarakat Indonesia:
Sistem nilai keluarga dan masyarakat: sama. Kontek,
landasan dasar, fungsi, dan lingkupnya berbeda.
a. Patuh/ Taat Azas:
Patuh dan taat pada struktur sosial dan kesepakatan
(aturan) sosial yang berlaku di masyarakat. Dasarnya
kesadara sosial, fungsinya menjaga keselarasan
sosial, lingkupnya diseluruh area domisili kelompok
sosial atau masyarakat.
b. Sistem Religi:
Keyakinan/ kepercayaan dan tataupacara: yang ‘berlaku
umum’ di masyarakat. Mengesampingkan “prinsip religi:
wilayah pribadi”, dan terjadi ‘dominasi mayoritas dan
diskriminasi minoritas’. Dasarnya solidaritas dan
toleransi, guna menjaga stabilitas sosial, pada lingkungan
sosial masyarat tersebut.
c. Kekeluargaan: layaknya keluarga, antar warga
masyarakat saling harga menghargai, hormat
menghormati, saling membantu, musyawarah dan
mufakat. Dasarnya solidaritas sosial, untuk menjaga
keharmonisan sesama warga di lingkup sosial
masyarakat tersebut.
d. Persaudaraan: memposisikan diri sebagi ‘saudara
serumpun’ yang terikat hubungan batin mendalam;
berdasarkan rasa solidaritas sosial, guna menjaga ikatan
persaudaraan, persatuan dan kesatuan; di lingkup sosial
masyarakat tersebut.
e. Gotong royong: turut serta kerja bersama tanpa pamrih
atas dasar tanggung jawab sosial dan solidaritas sosial
menurut kemampuan masing-masing; untuk menjaga
kebersamaan, persatuan dan kesatuan; pada lingkup
sosial masyarakat tertentu.
4. Education: pendidikan mempunyai peranan penting dalam
pembentukan identitas, jatidiri, dan karakter personal maupun
bangsa. Pendidikan: proses transformasi dan internalisasi
sistem nilai, dapat merubah daya cipta (IQ) rasa (EQ) dan karsa
(SQ) menjadi lebih “baik”. Tidak Cuma pinter, cerdas dan
terampil (ahli) tapi “bijaksana”.
Penanaman sistem nilai atau pembudayaan Identitas,
jatidiri, atau karakter dapat dilakukan secara formal dan non
formal. Di sektor formal, sangat minim pendidikan “EQ dan SQ”
(rasa &karsa). Sektor non formal, juga mengutamakan asppek
rasio (IQ). Ketimpangan IQ dengan EQ dan SQ menghasilkan
generasi “cerdas, pinter, tapi untuk minteri, ngakalin orang lain.
Tanpa merasa bersalah dan berdosa meski korupsi, merampas
hak orang lain”.
Pendidikan: proses pembudayaan manusia/ masyarakat yang
menuju keseibangan ‘Cipta, Rasa, dan Karsa’ alias IQ, EQ, dan
SQ: usaha memperkokoh identitas, jatidiri, dan karakter bangsa
(Suwardi Suryaningrat). Pendidikan: usaha mencerdaskan
bangsa, berbasis nilai-nilai budaya keluarga & Masyarakat
dapat menjamin terbentuknya identitas.
5. Kondisi “Senasib Sepenanggungan” (Tumbuhnya
solidaritas terbuka).
 Identitas Nasional Indonesia, terbentuk dari sejarah yang
panjang: “kolonialisme, (perampasan Hak Civic dan Politik)
Perjuangan Kemerdekaan, (penderitaan dan Pengorbanan)
dan Pembentukan Negara Berdaulat: NKRI” (perdebatan dan
friksi).
 Masa penjajahan, perampasan hak-hak sebagai warga
negara, perampasan terhadap hak untuk menentukan
pemerintahan dan pemimpinya sendiri, memicu lahirnya
solidaritas terbuka diantara masyarakat primordial.
 Proses pembentukan Identitas Nasional Indonesia sebagi
“Budaya bangsa” atau “Karya Bangsa”; tonggaknya dari
“Sumpah Pemuda, Perumusan Dasar Negara, dan
Penetapan Konstitusi Negara”.
 Adanya Sumpah Pemuda: bangsa Indonesia (Faunding
Father) mengukir sejarah, menyatukan tekat “Satu Nusa,
Satu Bangsa, dan Satu Bahasa” u/ berjuang bersama
merebut Kemerdekaan Indonesia.
 Dalam Perumusan Dasar Negara (30 Mei – 1 Juni dan 10
– 17 Juli 1945), para Faunding Father “berfikir keras,
berdebat adu argumentasi”; tujuannya untuk membuat
“Dasar Negara Indonesia”. Hasil pemikiran dan
perdebatan itu ‘hakekatnya: sebuah karaya besar
bangsa Indonesia, atau hasil budaya bangsa Indonesia’.
 Penetapan Konstitusi Negara (18 Agustus 1945):
finalisasi perjuangan warga bangsa dalam berkarya
menghasilkan budaya besar bangsa Indonesia. Artinya
telah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
Merdeka dan Berdaulat, lengkap dengan Dasar, Bentuk,
Sistem tatanegara, dan Tujuan dibuatnya negara.
 Penetapan NKRI yang merdeka, berdaulat berdasarkan
Pancasila dan UUD’45: telah ditetapkan pula Identitas
Nasional Indonesia. Identitas itu: “kehidupan yang
sesuai nilai-nilai Dasar negara, seperti pada konstitusi
negara”.
C. Faktor-Faktor Identitas Nasional.

1. Budaya Lokal.
 Hasil kreasi atau karya ‘cipta, rasa, dan karsa’
masyarakat daerah, mencerminkan ‘sistem nilai’ yang
diyakini berguna dan menjadi “identitas, jatidiri dan
karakter”.
 Bangsa Indonesia: “masyarakat bineka”
(majemuk) secara etnik (suku bangsa), kepercayaan,
bahasa, seni, dan daerah tinggal (lokal); masing-masing
memiliki “ciri khas atau identitas”.
 Perbedaan jatidiri, identitas, & karakter ‘lokal’
(primordial), dimasa lampu menjadi “sekat pembatas”
antar kelompok masyarakat satu dengan lainya atas
dasar ‘adat (kesukuan), politik (kekuasaan), dan
kepercayaan (agama)’.
 Semangat “Primordial” sempit, dimasa lalu menjadi
jalan mulus kaum imperialisme barat, menancapkan
kolonialisme di nusantara, dengan politik “pecah belah dan
adu domba”.
 Budaya lokal yang ‘tertutup’ dan ‘primordialisme’
sempit: sikap budaya berbahaya, mengancam kelestarian
identitas lokal, dan menghambat kemajuan budaya lokal itu
sendiri.
 Budaya lokal sebagai Identitas lokal, harus mampu
menampilkan “kearifal lokal” yang bersifat “terbuka dan
fleksibel”. Keterbukaan budaya lokal untuk menerima “nilai-
nilai baru” dari luar yang “selaras”, serta mampu
menyesuaikan ‘dinamika perkembangan jaman’: keunggulan
“lokal genius” budaya daerah yang dapat menjamin
kelestariannya.
2. Budaya Nasional.
 Karya budaya (produk) bangsa Indonesia (kolektif),
bersumber dari daya “cipta, rasa, karsa” dan refleksikan
“sistem nilai” yang menjadi ‘panduan hidup’ seluruh
anggota bangsa Indonesia.
 Budaya Nasional Indonesia terlahir dari munculnya
“solidaritas terbuka” yang terbukti dapat menekan
semangat “primordialisme” masyarakat diberbagai daerah.
Landasanya: “rasa senasib sepenanggungan” dimasa
‘kolonialisme’. Kesadaran kebersamaan, persaudaraan, dan
persatuan bangsa (nasionalisme) berhasil meruntuhkan
‘sekat pembatas’ identitas lokal.
 Benih ‘solidaritas terbuka’ yang berkembang
menjadi semangat “nasionalisme” untuk memperjuangkan
“Negara Indonesia Merdeka”, telah ditebar “Boedi Oetomo”
(1905). Berkembang pesat hingga terjadi peristiwa “Sumpah
Pemuda” (1928), bangsa Bhineka menyatakan: ‘Satu Nusa,
Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia”.
 Simbol-simbol “budaya lokal kedaerahan” benar-
benar diredam dan dilokalisir pada wilayah yang terbatas,
lahirlah satu simbol budaya baru: “Budaya Nasional
Indonesia”.
 Budaya Nasional Indonesia resmi terbentuk, ketika
dideklarasikan “Kemerdekaan bangsa Indonesia” (17-8-
1945), dan di undangkanya “sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia” (18-8-1945).
 Sesudah deklarasi Kemerdekaan Indonesia, untuk
menyelenggarakan Negara berdasar pada “Sistem Nilai
Budaya Nasional Indonesia” yang telah dirumuskan para
‘Faunding Father’ sebagai “Dasar Negara”, sedang pokok-
pokok pikiran dari “Nilai Dasar Negara” telah dijabarkan
pada “Konstitusia Negara Indonesia” (UUD’45).
 Sistem Nilai Budaya Nasioanl Indonesia yang menjadi
“Dasar Negara”, dirumuskan dalam forum sidang BPUPKI dan
sahkan (ditetapkan) pada sidang PPKI. Sistem Nilai Dasar
Budaya Nasional Indonesia itu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa. (Nilai Religius)
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. (Nilai Humanis)
3. Persatuan Indonesia. (Nilai Unity)
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan /
Perwakilan. (Nilai Demokrasi)
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. (Nilai
Keadilan Sosial)
 Sistem nilai dasar bangsa Indonesia ini ditetapkan
pada sidang PPKI, tercantum dalam “Pembukaan UUD’45”
dan dijabarkan (dikonkritkan) pada “Undang-Undang
Dasarnya” (Konstitusi).
 Identitas Nasional Indonesia: “Sistem Nilai
Nasionalisme Indonesia” tidak boleh terjebak sifat
“Caufinisme” (Seokarno). Sifat ini menjurus pada sikap
‘Congkak, Sombong, dan Tertutup’, mengancam kemajuan.
 Identitas Nasional Indonesia: harus menyerap ‘nilai
budaya baru’ yang relevan, dan menyesuaikan “semangat
perkembangan jaman”, agar tidak mudah lapuk dan usang.

3. Budaya Asing.
 Globalisasi, kemajuan teknologi telekomunikasi,
komputer dan internet telah berhasil menyatukan jarak,
waktu dan ruang di seluruh dunia. Tetapi juga memudahkan
jalan masuk bagi budaya asing dan budaya global diseluruh
penjuru tanah air.
 Hadirnya buaya asing dan budaya global belum tentu
“selaras” dengan budaya lokal atau budaya sendiri. Dampak
nyata, terjadi ‘benturan budaya’ di masyarakat atas dasar
kepentingan tertentu, melahirkan paradog “budaya
sandingan” dan “budaya tandingan”.
 Budaya sandingan: prinsip berpegang teguh pada
‘budaya lokal dan nasional’ dengan menyerap nilai budaya
asing dan global yang selaras. Ada proses “akulturasi”
membentuk budaya baru perkokoh “eksistensi budaya
nasional Indonesia” dan “budaya lokal Indonesia”.
 Budaya tandingan: sikap pengagum dan pendukung
‘budaya baru’ dari asing dan global sebagai penggerus dan
penggusur budaya lokal dan nasional. Dampak yang nyata:
kini bangsa Indonesia bak kehilangan Identitas, jatidiri, dan
karakter. Identitas, jatidiri dan karakter bangsa: terdapat
pada budaya nasional Indonesia dan budaya lokal yang
original, disebut: “lokal genius” .
 Nilai budaya asing dan global yang mengalir deras:
Liberalisme (Individualisme), Kapitalisme (Materialisme),
Demokrasi (Kebebasan mutlak), Hak Individual (HAM),
Tranparansi (Keterbukaan) tanpa kecuali dll.
4. Pendidikan:
 Berpengaruh signifikan pada penanaman nilai atau
pembudayaan Identitas, jatidiri, atau karakter personal dan
bangsa. Pendidikan identity dapat dilakukan secara formal
dan non formal.
 Di sektor formal, sangat minim pendidikan “EQ dan
SQ” (rasa &karsa). Sektor non formal, cenderung
mengutamakan rasional dan IQ. Ketimpangan IQ dengan
EQ dan SQ begitu jauh, menghasilkan generasi “cerdas dan
pinter, untuk minteri, ngakalin orang lain, tidak merasa
bersalah dan berdosa meski korupsi, merampas hak orang
lain”.
 Pendidikan: usaha mencapai keseibangan ‘Cipta,
Rasa, dan Karsa’ atau IQ, EQ, dan SQ (Suwardi
Suryaningrat). Pendidikan: usaha mencerdaskan bangsa,
berbasis nilai budaya keluarga, Masyarakat & bangsa.
D. IDENTITAS NASIONAL INDONESIA.
 Identitas Nasional Indonesia: ditetapkan bersamaan
terbentuknya NKRI. Prosesnya sejak masa ‘imperialisme &
kolonialisme, perjuangan kemerdekaan, pembentukan dan
penetapan NKRI, (masa kemerdekaan)’.
 Tonggak pembentukan identitas: “Supah Pemuda,
Perumusan Dasar Negara, dan Penetapan Konstitusi NKRI”.
Sejak ditetapkan konstitusi NKRI: telah ditetapkan “prinsip-
prinsip dasar tata-kehidupan” bagi setiap warga negara,
penyelenggara negara, pengusaha, intelektuan, enginir,
ekonom dan profesional lain dalam beraktivitas di lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara Republik
Indonesia. Prinsip-prinsip dasar tata-kehidupan itu oleh
‘faunding father’ di rumuskan sebagai “falsafah Negara”
alias ‘falsafah hidup bangsa Indonesia’, terdiri dari 5 (lima)
azas.
 Identitas Nasional: hasil kreasi bangsa Indonesia/hasil karya
budaya bangsa yang dapat ‘merepresentasikan jatidiri dan
karakter’ dari seluruh warga bangsa Indonesia.
 Identitas Nasional Indonesia: “sistem nilai atau value” yang
menjadi pedoman hidup masyarakat Indonesia. Sistem nilai
(value) itu tercermin pada pola pikir, pola sikap dan pola
tindak (perilaku) masyarakat ketika beraktivitas baik secara
perseorangan dan kolektif di lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara.
 Sistem nilai (value) yang berhasil di gali dari budaya bangsa,
diangkat sebagai Identitas Nasional Indonesia oleh para
pendiri negara: “Nilai Religius, Humanis, Unity, Gotong-
royong (demokrasi) dan Keadilan sosial” – Falsafah Negara.
 Identitas Indonesia: “Kongregart, bukan Agregart”
(Sartono Kartodirdjo). Kongregart: Hasil kreasi/ karya
budaya original yang sengaja di buat oleh seluruh warga
bangsa Indonesia melalui wakil-wakilnya (faunding father),
keberadaannya dapat merepresentasikan, mewakili
karakteristik dan jatidiri seluruhnya. Agregart: sekedar
pengakuan atau sekedar mengklim produk budaya tempelan
dari berbagi unsur budaya lokal, atau merasa dan mengaku
terwakili oleh produk budaya yang bukan hasil kreasi bangsa
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai