FF
FF
UU No. 22 Th 1999
UU No. 25 Th 1999
UU No. 32 Th 2004
UU No. 17 Th 2003 UU No. 15 Th 2004
UU No. 1 Th 2004 UU No. 25 Th 2004
UU No. 33 Th 2004
Standar Internasional Akuntansi Sektor Publik
(International Public Sector Accounting Standars –
IPSAS)
IPSAS adalah standar akuntansi bagi organisasi sektor publik yang
berlaku secara internasional dan dapat dijadikan acuan oleh negara-negara di
seluruh dunia untuk mengembangkan standar akuntansi khusus sektor publik
di negaranya.
IPSAS bertujuan :
1. meningkatkan kualitas dari tujuan utama dalam melaporkan
keuangan sektor publik
2. Menginformasikan secara lebih jelas pembagian alokasi
sumber daya yang dilakukan oleh entitas sektor publik
3. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas entitas sektor
publik
PSAK 45
Sampai saat ini, PSAK 45 merupakan satu-satunya pernyataan standar yang
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) yang mengatur pelaporan
keuangan organisasi nirlaba.
Peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pelaksanaan Peraturan perundang-undangan
anggaran pendapatan dan belanja lainnya yang mengatur tentang
negara/daerah keuangan pusat dan daerah
Asumsi Dasar
Asumsi kemandirian entitas
Asumsi kemandirian entitas, baik entitas
pelaporan maupun akuntansi, berarti setiap unit
organisasi dianggap sebagai unit yang mandiri dan
wajib menyajikan laporan keuangan sehingga tidak
terjadi kekacauan antar unit instansi pemerintah
dalam pelaporan keuangan
4 karakteristik
Prinsip Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan
Basis akuntansi
basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan
dalam laporan realisasi anggaran, dan basis akrual untuk pengakuan aset,
keajiban dan ekuitas dalam neraca
Prinsip nilai historis
aset dicatat sebesar pengeluaran kas atau setara kas yang dibayar
atau sebesar nilai wajar dari imbalan untuk memperoleh aset tersebut pada
saat perolehan. Kewajiban dicatat sebesar jumlah kas yang dan setara kas
yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban di masa
mendatang dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan.
Prinsip realisasi
Pendapatan yang tersedia yang telah diotorisasikan melalui anggaran
pemerintah selama satu tahun fiskal akan digunakan untuk membayar utang
dan belanja pada periode tersebut
Prinsip subtansi mengungguli bentuk formal
informasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan wajar transaksi
atau peristiwa lain yang seharusnya disajikan. Jadi, transaksi atau peristiwa
lain tersebut perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan subtansi dan realitas
ekonomi, dan bukan hanya aspek formalitasnya
Prinsip periodisitas
kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan entitas pelaporan perlu
dibagi menjadi periode-periode pelaporan sehingga kinerja entitas dapat
diukur dan posisi sumber daya yang dimilikinya dapat ditentukan
Prinsip konsistensi
perlakuan akuntansi yang sama diterapkan pada kejadian serupa dari
periode ke periode oleh suatu entitas pelaporan
Prinsip pengungkapan lengkap
laporan keuangan menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh
pengguna secara lengkap. Informasi-informasi tersebut dapat ditempatkan
pada lembar muka laporan keuangan atau dalam catatan atas laporan
keuangan
Prinsip penyajian wajar
faktor pertimbangan sehat bagi penyusun laporan keuangan
diperlukan ketika menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan
tertentu. Ketidakpastian seperti itu diakui dengan mengungkapkan hakikat
serta tingkatnya dengan menggunakan pertimbangan sehat dalam
penyusunan laporan keuangan
Kendala Informasi yang Relevan dan
Andal
Materialitas
informasi dipandang material apabila kelalaian untuk
mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat informasi
tersebut dapat memengaruhi keputusan ekonomi pengguna
yang diambil atas dasar laporan keuangan. Meskipun idealnya
memuat segala informasi, laporan keuangan pemerintah hanya
diharuskan memuat informasi yang memenuhi kriteria
materialitas
Pertimbangan biaya dan manfaat
manfaat yang dihasilkan informasi seharusnya
melebihi biaya penyusunan. Oleh karena itu, laporan keuangan
pemerintah tidak semestinya menyajikan segala informasi yang
manfaatnya lebih kecil dibandingkan dengan biaya
penyusunannya
Keseimbangan antarkarakteristik kualitatif
hal ini diperlukan untuk mencapai suatu
keseimbangan yang tepat diantara berbagai tujuan normatif
yang diharapkan dipenuhi oleh laporan keuangan pemerintah
Meulaboh (ANTARA Aceh) - Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Dinsosnaketrans) Kabupaten Aceh Barat, Provinsi
Aceh, Shah Triza Putra Utama menyatakan pengusaha Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Blang Beurandang melanggar
tiga regulasi tentang ketenagakerjaan.
"Pertama menyangkut ketenagakerjaan, wajib lapor dan keikutsertaan
karyawan BPJS. Karena ini permasalahan pelanggaran regulasi,
Pemkab Aceh Barat tidak bisa melakukan penyelidikan dan
penertiban karena hanya bersifat pegawai pengawas, tidak berhak
untuk itu," katannya di Meulaboh, Sabtu.
Pascaaksi demo mantan pekerja dan masyarakat Gampong (desa)
Blang Beurandang memblokade dan menyegel area SPBU di
kawasan mereka, instansi terkait telah menindak lanjuti dengan
memfasilitasi mediasi dengan melibatkan pihak Provinsi Aceh.
Kata Shah Triza, Dinsosnaketrans Aceh Barat telah mengeluarkan nota pemeriksaan
sebanyak dua kali dan proses itu sudah dilimpahkan kepada Disnaker Provinsi Aceh
dan sudah dilakukan pertemuan untuk itu.
Permasalahan menyangkut regulasi sudah masuk dalam agenda prioritas instansi
terkait di tingkat Provinsi Aceh dan akan segera dilakukan pemeriksaan ke SPBU
Blang Beurandang, menelusuri temuan tersebut.
"Kalau mediasi, itukan penyelesaikan sengketa, nah yang kita lihat kondisi hari ini
mereka tidak mau hadir setiap kali kita pangil, kalau mediasikan harus terlibat
semua. Gubernur undang saja pengusaha ini tidak mau datang," tegasnya.
Lebih lanjut dijelaskan, pemerintah bisa saja melakukan gugatan terhadap managerial
perusahaan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaikan Perselisihan Hubungan Industri (UU-PHI), namun itu merupakan
solusi terakhir.
Pemerintah Aceh masih berupaya memperbaiki apabila ada pengusaha "membandel"
dengan cara lebih arif dan bijaksana, untuk menyelesaikan persengketaan tersebut
pemerintah harus membentangkan lintas koordinasi kepada pihak lebih
berkompeten.
Diakui Pemkab Aceh Barat tidak memiliki mediator yang notabenenya mampu
menengahi perselisihan antar pekerja dan pengusaha di daerah itu, karenanya
Pemkab terus melakukan berbagai upaya koordinasi pada pemerintah atasan.
"Pemda bisa saja mengugat melalui PHI terhadap perusahaan itu, tapi yang kita
harapkan ini selesai dulu, kita tidak bisa beragan-angan kesana. Baru itu satu
masalah yang memang kita anggap pengusaha yang bandel, selama saya berada di
sini," katanya menambahkan.
JAKARTA -- Dalam menindak adanya dugaan pelanggaran di ruang udara
Indonesia, TNI AU kerap melakukan upaya force down (penurunan paksa
terhadap pesawat asing ataupun domestik yang tidak terjadwal.
Sayangnya, tindak lanjut dari penegakan hukum terhadap pihak-pihak
pelanggar wilayah udara tersebut tak menimbulkan efek jera.
Menurut Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsekal Pertama
TNI Dwi Badarmanto, langkah penegakan dan mengamankan wilayah
yuridiksi nasional memang sudah diemban oleh TNI AU melalui UU No 34
Tahun 2004 tentang TNI. Tidak hanya itu, pelaksanaan tugas itu juga
didasari pada Konvensi Chicago 1944 dan UU No 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan.
Dalam aturan itu, Indonesia memiliki prinsip kedaulatan yang utuh dan
eksklusif atas ruang udara di atas wilayah Indonesia. "Artinya, Indonesia
memiliki hak penuh untuk menggunakan ruang udaranya bagi nasional
guna menjamin terciptanya kondisi wilayah udara yang aman serta bebas
dari berbagai ancaman melalui media udara, termasuk ancaman navigasi
serta pelanggaran hukum di wilayah udara nasional," ujar Dwi, dalam
keterangan resmi yang diterima Republika.
Untuk itu, TNI AU selalu melakukan berbagai upaya dalam menjaga kedaulatan udara Indonesia,
salah satunya dengan melakukan force down. Namun, sayangnya, sanksi yang diberikan
kepada para pelanggar tersebut , kata Dwi, tidak memberikan efek jera. Dwi memberi contoh,
dalam sebuah kasus force down, pelaku hanya diberikan sanksi membayar denda sebesar 60
juta rupiah. Jumlah ini, ujar Dwi, terlalu kecil dan tentu tidak sepadan dengan biaya
operasional untuk menggerakkan pesawat buru sergap TNI AU.
Kondisi seperti ini terjadi lantaran adanya celah di regulasi dan aturan pelaksanaan. Di UU No 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan memang disinggung mengenai penegakan hukum terhadap
pelanggar wilayah kedaulatan udara. Tapi, tidak disebutkan tentang tindakan pidananya
karena yang diatur hanya pelanggaran terhadap prohibited dan restricted area. Artinya,
pelanggaran hanya dimaknai sebagai pelanggaran perizinan masuk wilayah udara saja, bukan
pelanggaran terhadap kedaulatan negara.
Selain itu, ketentuan ini juga berdampak pada proses hukum selanjutnya karena TNI AU sebagai
pelaku, penindak, dan memiliki pengetahuan dan pemahaman lebih terkait masalah
pelanggaran udara yang tidak dilibatkan dalam penyidikan. Selama ini, penyidikan dilakukan
oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkup penerbangan yang
pelaksanaannya di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Sehingga, hal ini
dianggap sebagai persoalan kriminal biasa sebagaimana kewenangan polisi dalam penegakan
pidana kriminal di wilayah Indonesia.
Karena itu, diperlukan adanya upaya negara untuk memikirkan kembali pentingnya dan perlunya
amendemen terhadap semua regulasi yang terkait penegakan hukum dalam pelanggaran
wilayah udara nasional, yang dapat mendorong TNI AU menjadi bagian dari penyidik
pelanggaran udara.
"Sejatinya TNI AU harus hadir dalam semua prosesnya yang meliputi pengejaran, penyelidikan,
dan penyidikan, karena pelanggaran wilayah udara berbeda dengan kriminal biasa, di mana
dapat berdampak pada aspek pertahanan dan kedaulatan negara, bukan gangguan orang per
orang," kata Kadispenau