ANALISIS KLINIK DALAM PENGOBATAN Rumah Sakit dan Laboratorium LATAR BELAKANG • Saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah meluas dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan yang berorientasi pada pasien (patient oriented) • Tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien melalui pencapaian luaran klinik yang optimal. LATAR BELAKANG • Pemeriksaan laboratorium rutin bertujuan untuk mendapatkan informasi yang berguna bagi dokter dan tenaga medis lain dalam pengambilan keputusan klinik (pemilihan obat, penggunaan obat, pemantauan efektivitas dan keamanan). • Hasil pemeriksaan tersebut dibutuhkan sebagai pertimbangan penggunaan obat, penentuan dosis, hingga pemantauan keamanan obat. • Contoh, penggunaan dan penentuan dosis aminoglikosida yang bersifat nefrotoksik diperlukan data kadar aminoglikosida dalam darah dan serum kreatinin yang menggambarkan fungsi ginjal. • Pada keadaan data tidak tersedia atau belum direncanakan maka tenaga medis lain dapat mengusulkan pemeriksaan laboratorium terkait penggunaan obat. • Oleh karena itu, tenaga medis dituntut untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam interpretasi data laboratorium, khususnya yang terkait penggunaan obat, yaitu pemahaman nilai normal dan implikasi perubahannya. • Sebagai contoh penggunaan obat asetaminofen, diazepam, rifampisin, antidiabetik oral, kloramfenikol dapat menyebabkan penurunan leukosit (leukopenia). • Kompetensi interpretasi data laboratorium sangat mendukung peran tenaga medis ruang rawat, komunitas, termasuk home care. • Dalam praktik sehari-hari, kompetensi tersebut akan memudahkan tenaga medis melakukan pengkajian penggunaan obat secara aktif; dan berdiskusi dengan profesi kesehatan lain tentang terapi obat. KOMPETENSI YG HARUS DIMILIKI AHLI TEKNOLOGI KESEHATAN • Menguasai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya di laboratorium kesehatan • Mampu merencanakan / merancang proses yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya di laboratorium kesehatan sesuai jenjangnya. KOMPETENSI YG HARUS DIMILIKI AHLI TEKNOLOGI KESEHATAN • Memiliki ketrampilan untuk melaksanakan proses teknis operasional pelayanan laboratorium, yaitu: • Ketrampilan pengambilan specimen, termasuk penyiapan pasien (bila diperlukan), labeling, penanganan, pengawetan, fiksasi, pemrosesan, penyimpanan dan pengiriman specimen. • Ketrampilan melaksanakan prosedur laboratorium, metode pengujian dan pemakaian alat dengan benar. • Ketrampilan melakukan perawatan dan pemeliharaan alat, kalibrasi dan penanganan masalah yang berkaitan dengan uji yang dilakukan • Ketrampilan melaksanakan uji kualitas media dan reagen untuk pengujian specimen KOMPETENSI YG HARUS DIMILIKI AHLI TEKNOLOGI KESEHATAN • Mampu memberikan penilaian analitis terhadap hasil uji laboratorium • M emiliki pengetahuan untuk melaksanakan kebijakan pengendalian mutu dan prosedur laboratorium • M emiliki kewaspadaan terhadap fakto-faktor yang mempengaruhi hasil uji laboratorium RUANG LINGKUP • Mata kuliah ini membahas metode analisis yang tepat untuk senyawa-senyawa: • Karbohidrat • Asam nukleat • Lipid • Protein • Urea PENGGUNAAN DATA LABORATORIUM DALAM PRAKTIK KLINIK • Dalam melaksanakan praktek klinik, tenaga medis perlu memiliki pengetahuan tentang uji laboratorium dengan tujuan sebagai berikut: • Menilai kesesuaian terapi obat • Monitoring efek terapetik • Monitoring reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) • Menilai toksisitas obat • Monitoring kepatuhan minum obat • Seorang tenaga medis hendaklah memahami mekanisme homeostatik normal, mengetahui nilai ”normal” fisiologis dan perubahan yang signifikan terjadi pada hasil uji tertentu, terutama yang terkait dengan penggunaan obat sehingga dapat memberikan rekomendasi penggunaan obat yang sesuai dengan kondisi pasien pada saat melakukan pemantauan terapi obat. • Setiap uji laboratorium memiliki manfaat dan keterbatasan. • Misalnya pada pemeriksaan kadar kalium dalam darah, hipokalium menunjukkan turunnya kadar kalium darah (ekstrasel) yang dapat mengindikasikan defisit kalium (kehilangan kalium) atau pertukaran ion intrasel pada kasus alkalosis (kekurangan kalium semu). • Pengukuran kadar kalium darah merepresentasikan konsentrasi ekstrasel yang mungkin saja tidak merepresentasikan konsentrasi intrasel. • Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan lain yang mendukung pengambilan keputusan (akurasi interpretasi hasil uji). HASIL UJI LABORATORIUM 1. Menilai Ketepatan Terapi Obat • Apakah obat yang digunakan sesuai dengan indikasi • Apakah obat yang diresepkan merupakan ”drug of choice” • Apakah pasien memiliki kontraindikasi terhadap obat • Apakah pasien dalam kondisi yg memerlukan penyesuaian dosis • Apakah pasien memiliki risiko terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan terhadap obat yang berikan • Apakah pemberian obat memiliki risiko terjadinya interaksi obat • Data laboratorium dapat digunakan bersama dengan informasi status klinik pasien, riwayat pengobatan, pengobatan saat ini dan riwayat alergi obat untuk menilai ketepatan terapi obat. • Sebagai contoh bagi pasien dengan pneumonia, selain tekanan darah dan laju nafas, diperlukan pemeriksaan gas darah arteri, dan kadar urea serum, untuk menilai keparahan penyakit. • Kondisi penyakit pneumonia yang parah, ditandai dengan kadar urea darah lebih dari 7 mmol/L, memerlukan antibiotik intravena sehingga peresepan antibiotik intravena untuk kondisi tersebut sudah tepat. • Untuk menyingkirkan kemungkinan kontraindikasi diperlukan pemeriksaan fungsi ginjal karena pemberian antibiotik golongan aminoglikosida bersifat nefrotoksik. 2. Penilaian Efektivitas Terapi • Apakah terdapat efek terapetik yang dapat diukur secara langsung misalnya pemberian kalium dapat dimonitor melalui pengukuran kadar kalium serum • Apakah terdapat respon yang dapat diukur secara langsung walaupun hal itu bukan merupakan “end point”. Misalnya, perubahan kadar lipid serum digunakan sebagai indikator kemampuan statin untuk mengurangi risiko kejadian kardiovaskuler, dan serebrovaskuler. • Apakah jumlah obat di dalam tubuh memadai, yaitu: terdapat dalam rentang terapi, di atas batas kadar efektif minimal dan di bawah batas kadar toksik. 3. Mendeteksi dan mencegah terjadinya Reaksi Obat Yang Tidak Diinginkan (ROTD) • Menurunnya jumlah sel darah putih pada pasien yang mendapat klozapin • Meningkatnya kadar glukosa darah atau kadar lipid darah pada pasien yang mendapat terapi tiazid • Dalam mencegah ROTD hasil uji laboratorium untuk: • Menghindarkan penggunaan obat yang tidak direkomendasikan, misalnya menghindari penggunaan ketokonazol pada pasien dengan hasil uji fungsi hati yang abnormal • Merekomendasikan penyesuaian dosis serta monitoring efektivitas dan efek samping terapi. Misalnya pasien dengan klirens kreatinin <30 mL/menit maka dosis ciprofloksasin harus disesuaikan hingga separuh dari dosis normal disertai dengan pemeriksaan fungsi ginjal dan monitoring efek samping ciprofloksasin. 4. Menilai kepatuhan minum obat Kegagalan terapetik pasien yang mengalami penyakit kronik sering merupakan akibat dari ketidakpatuhan terhadap terapi obat maupun terapi non obat. Seorang tenaga medis dapat menggunakan hasil uji laboratorium untuk menilai kepatuhan melalui pengukuran: • Jangka pendek • – Kadar obat digoksin, antikonvulsan dalam darah • – Kadar glukosa darah pada penggunaan obat antidiabetes • – Kolesterol pada penggunaan statin • – Kadar kalium serum pada penggunaan spironolakton • Jangka panjang • – HbA1c pada penggunaan obat antidiabetes Alasan Untuk Memberikan Rekomendasi Terhadap Pelaksanaan Uji Laboratorium • Uji laboratorium dapat dilakukan untuk monitoring tujuan terapetik (pemeriksaan HbA1c pada pasien yang menderita diabetes) atau dalam rangka monitoring reaksi obat yang tidak diinginkan (kadar kreatin kinase pada pasien yang mendapat terapi pravastatin dan mengeluhkan sakit otot). • Suatu uji laboratorium akan bernilai hasilnya jika : • Mempengaruhi diagnosis, prognosis atau terapi • Memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai proses penyakit • Memberikan rekomendasi terkait penyesuaian dosis INTERPRETASI DATA LABORATORIUM • Menilai kesesuaian terapi (contoh: indikasi obat, ketepatan pemilihan obat, kontraindikasi obat, penyesuaian dosis obat, risiko interaksi obat), • Menilai efektivitas terapi (contoh: efektivitas pemberian kalium diketahui melalui kadar kalium dalam darah) • Efektifitas allopurinol di ketahui dari menurunnya kadar asam urat, • Mendeteksi dan mencegah reaksi obat yang tidak dikehendaki (contoh: penurunan dosis siprofloksasin hingga 50% pada kondisi klirens kreatinin <30mL/menit), • Menilai kepatuhan penggunaan obat (contoh: kepatuhan pasien dalam menggunakan obat antidiabetik oral diketahui dari nilai HbA1c, kepatuhan penggunaan statin diketahui dari kadar kolesterol darah), dan • Mencegah interpretasi yang salah terhadap hasil pemeriksaan. • Dalam melakukan uji laboratorium diperlukan bahan (spesimen) yang didapatkan melalui tindakan invasif (menggunakan alat yang dimasukkan ke dalam tubuh) atau non invasif. • Contoh spesimen antara lain: darah lengkap (darah vena, darah arteri), plasma, serum, urin, feses, sputum, keringat, saliva, sekresi saluran cerna, cairan vagina, cairan serebrospinal dan jaringan. • Hasil pemeriksaan laboratorium dapat dinyatakan sebagai angka kuantitatif, kualitatif atau semikuantitatif. • Hasil kuantitatif berupa angka pasti atau rentang nilai, sebagai contoh nilai hemoglobin pada wanita adalah 12 – 16 g/dL. • Hasil kualitatif dinyatakan sebagai nilai positif atau negatif tanpa menyebutkan derajat positif atau negatifnya. • Hasil semikuantitatif adalah hasil kualitatif yang menyebutkan derajat positif atau negatif tanpa menyebutkan angka pasti (contoh: 1+, 2+, 3+). • Hasil pemeriksaan laboratorium dapat dipengaruhi oleh banyak faktor terdiri atas faktor terkait pasien atau laboratorium. • Faktor yang terkait pasien antara lain: umur, jenis kelamin, ras, genetik, tinggi badan, berat badan, kondisi klinik, status nutrisi dan penggunaan obat. • Sedangkan yang terkait laboratorium antara lain: cara pengambilan spesimen, penanganan spesimen, waktu pengambilan, metode analisis, kualitas spesimen, jenis alat dan teknik pengukuran. • Nilai klinik pemeriksaan laboratorium tergantung pada sensitifitas, spesifisitas dan akurasi. • Sensitifitas menggambarkan kepekaan tes, • Spesifisitas menggambarkan kemampuan membedakan penyakit/gangguan fungsi organ, • sedangkan Akurasi adalah ukuran ketepatan pemeriksaan. • Pemeriksaan laboratorium dapat dikelompokkan sebagai pemeriksaan penapisan (screening) dan pemeriksaan diagnostik. • Pemeriksaan penapisan dimaksudkan untuk mendeteksi adanya suatu penyakit sedini mungkin agar intervensi dapat dilakukan lebih efektif. Umumnya pemeriksaan penapisan relatif sederhana dan mempunyai kepekaan tinggi. • Pemeriksaan diagnostik dilakukan pada pasien yang memiliki gejala, tanda klinik, riwayat penyakit atau nilai pemeriksaan penapisan yang abnormal. Pemeriksaan diagnostik ini cenderung lebih rumit dan spesifik untuk pasien secara individual. • Beberapa pemeriksaan dapat dikelompokkan menjadi satu paket yang disebut profil atau panel, contohnya: pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi ginjal, dan pemeriksaan fungsi hati. • Tata nama, singkatan dan rentang nilai normal hasil pemeriksaan yang biasa digunakan dapat berbeda antara satu laboratorium dengan laboratorium lainnya, sehingga perlu diperhatikan dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan. APA YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM MEMILIH METODE ANALISIS…? a. Mengetahui tujuan analisis b. Mengetahui jumlah sampel yang tersedia c. Mengetahui sifat fisika-kimia analit yang diteliti d. Mengetahui kemungkinan gangguan dari komponen lain yang terdapat dalam cuplikan e. Daerah konsentrasi yang diperlukan dalam penyelidikan f. Ketepatan yang diperlukan g. Waktu yang dibutuhkan h. Fasilitas laboratorium yang tersedia ANALISIS KUANTITATIF • Berdasarkan jumlah sampel, metode analisis dapat dibagi menjadi :
• makro; berat sampel lebih dari 0,1 gram,
• semimikro; berat sampel 0,01-0,1 gram,
• mikro; berat sampel 0,001-0,01 gram dan
• ultramikro; berat sampel kurang dari 1 mikrogram.
• Jumlah sampel yang akan ditentukan merupakan faktor
penting dalam analisis kuantitatif. TAHAPAN-TAHAPAN DALAM ANALISIS KUALITATIF • Pengambilan sampel/ sampling. • Sampel yang diambil harus mewakili populasi yang diteliti • Mengubah analit menjadi bentuk yang dapat diidentifikasi • Proses identifikasi analit yang dikehendaki • analisis data identifikasi yang diperoleh TAHAPAN-TAHAPAN DALAM ANALISIS KUANTITATIF • Pengambilan sampel/ sampling. • Sampel yang diambil harus mewakili populasi yang diteliti • Mengubah analit menjadi bentuk yang dapat diidentifikasi dan diukur • Proses pengukuran analit yang dikehendaki • Perhitungan • analisis data yang diperoleh APA PERBEDAAN ANALIT DENGAN SAMPEL ?
• Sampel : bagian dari obyek populasi yang
memiliki karakteristik sama dengan karakteristik populasinya yang ingin diketahui besaran karakteristiknya
• Analit : zat yang teramati/ zat yang teridentifikasi /
zat yang terukur ANALISIS TOKSIKOLOGI KLINIK Forensik DIAGNOSA KERACUNAN 1. Melalui gejala-gejala klinis: • Simtom, biasanya simtom dapat diamati oleh manusia dengan menggunakan panca indranya. Simtom ini pada umumnya dijadikan dasar dalam memberikan pertolongan pertama pada keracunan. • Gambaran klinis, untuk mendapatkan gambaran klinis diperlukan alat- alat tertentu, seperti Rongen, laboratorium, dan sebagainya, • Proses, yaitu informasi proses keracunan dan gejala klinis yang ditimbulkan. Proses dapat diamati sediri oleh dokter atau diperoleh dari informasi pasien atau pendampingnya. 2. Melalui analisis racun (analisis toksikologi). • Dari proses diagnosa seperti diatas akan diperoleh diagnosa yang spesifik dan terarah, sehingga hasil diagnosa ini merupakan diagnosa akhir pada kasus keracunan. Sekitar 20% dari kasus instoksikasi, diagnosa akhir ditegakkan melalui hasil analisis toksikologi. • Analisis toksikologi klinik dapat berupa analisis kualitatif maupun kuantitatif. • Dari hasil analisis kualitatif dapat dipastikan bahwa kasus keracunan adalah memang benar diakibatkan oleh instoksikasi. • Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif dapat diperoleh informasi tingkat toksisitas pasien. Dalam hal ini diperlukan interpretasi konsentrasi toksikan, baik di darah maupun di urin, yang lebih seksama. • Untuk mengetahui tepatnya tingkat toksisitas pasien, biasanya diperlukan analisis toksikan yang berulang baik dari darah maupun urin. Dari perubahan konsentrasi di darah akan diperoleh gambaran apakah toksisitas pada fase eksposisi atau sudah dalam fase eleminiasi. MANFAAT ANALISIS TOKSIKOLOGI KLINIK • Identifikasi awal yang cepat, sebagai pendahuluan sebelum melakukan terapi yang spesifik dan terarah, • Mengontrol keberhasilan dan efek dari penegakan terapi instoksikasi, • Memastikan atau menjamin diagnosa klinis. TUGAS ANALISIS TOKSIKOLOG KLINIK DALAM PENEGAKAN DIAGNOSA KERACUNAN • Mendeteksi dan mengidentifikasi toksikan yang terlibat, • Menentukan kadar toksikan dan metabolitnya, • Bersama-sama dengan dokter dan toksikolog klinik melakukan interpretasi temuan analisis dan data-data klinis, guna menyusun diagnosa akhir. DATA-DATA • Data yang berorientasi pada toksikan, seperti sifat fisikokimia toksikan dan kelakuan dari toksikan baik dalam uji penapisan (identifikasi dan analisis kualitatif) maupun pada uji determinasi (uji karakterisasi dan penetapan kadar), termasuk pengumpulan metode dan prosedur analisis toksikan, • Data klinik, seperti sifat toksokinetik, therapeutic and toxic blood levels, gejala-gejala klinis yang ditimbulkan toksikan pada keracunan. KOMPETENSI YANG DIBUTUHKAN DALAM PENYELENGGARAAN ANALISIS TOKSIKOLOGI KLINIK Kemampuan dasar yang diperlukan agar dapat menyelenggarakan analisis toksikologi klinik sampai interpretasi temuan analisis adalah: • penguasaan kimia analisis, yaitu penguasaan pengoperasian instrumentasi analisis, dari preparasi sampel, penyiapan prosedur analisis, sampai validasi hasil analisis; • penguasaan farmakologi dan toksikologi klinik; • penguasaan farmakokinetik klinik dan metabolisme obat, • serta kemampuan kimia klinik. REFERENSI • Kepmenkes RI no 370/Menkes/SK/III/2007 tentang standar profesi ahli teknologi laboratorium kesehatan • Wirasuta IMAG, K. Suardamana . Analisis Toksikologi Klinik : Tantangan Baru Bagi Farmasis Indonesia. Acta Pharmaceutica Indonesia, Vol. XXXII, No.2, 2007 • Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kementerian kesehatan republik indonesia 2011.