Anda di halaman 1dari 30

Otonomi Daerah

Decentralized Authority
Latar Belakang
Keragaman
W ilayah/Daerah

Kebijakan
Sentralistik

Ketimpangan Antar
Daerah

Reformasi:
Perubahan
Kebijakan

Mengarah
Desentralisasi
Fiskal

Masalah:
Bagaimana
Formula DAU?
Otonomi Daerah
• Diawali gerakan reformasi 1997/1998 
desakan kuat untuk otonomi daerah
• Masa Presiden Habibie dikeluarkan UU
No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25/1999 ttg
Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah  Dilaksanakan secara penuh 1
Mei 2001
Otonomi Daerah UU 32/2004
• Psl 1 (5) “hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom utk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”
• Psl 1 (6) Daerah otonom: kesatuan masy hukum
yg mempunyai batas2 wilayah yg berwenang
mengaur & mengurus urusan pemerintahan &
kepentingan masy setempat menurut prakarsa
sendiri berdaarkan aspirasi masy dlm sistem
NKRI
Desentralisasi dan Dekonsentrasi
• Desentralisasi : penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kpd
daerah otonom utk mengtatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam
NKRI
• Dekonsentrasi: pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kpd
Gubernur sbg wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah ttt.
Tugas dan Tanggung Jawab
Daerah Meningkat
• Dari “Operator”  inisiator, planner, fund
raising, operator, supervisor, evaluator
• Perlu diimbangi dengan dukungan sumber
dana yg memadai dan sbr daya manusia
lebih berkualitas
Sistem Pemerintahan (Bahl 1998;
Hyman, 1996; Shah, 1994)
Sentralistik Desentralistik
1. Sebagian besar kebijakan 1. Ada kewenangan yang luas
ditentukan: Pusat: Kewenangan bagi Daerah
Daerah Terbatas 2. Anggaran: ada keseimbangan
2. Anggaran: mayoritas sumber fiskal Pusat-Daerah
penerimaan dan alokasi 3. Ada keleluasaan daerah dalam
pengeluaran dikuasai/di tangan memanfaatkan transfer dari
Pusat Pusat (block grant)
3. Keleluasaan Daerah
menggunakan transfer dari Alasan: efisiensi, akuntabilitas,
Pusat terbatas manageability, otonomi
(spesific/conditional grant)
Alasan: Skala ekonomis; efisiensi;
rezim sosialis
Meningkatnya kekuasaan lokal
• Sejak keluarnya UU 22/1999 eksekutif dan
legislatif daerah mempunyai otonomi
untuk membuat kebijakan-kebijakan lokal
• Kewenangan DPRD tidak hanya sebtas
memilih Kepda, tetapi juga membuat
aturan-aturan daerah, pengawasan,
investitgasi, dsbnya
Misi Utama Desentralisasi Fiskal
(Mardiasmo, 2001)
• Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik
dan kesejahteraan rakyat.
• Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
sumberdaya daerah.
• Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan.
– Namun demikian, karena sistem perpajakan dan pengelolaan
sumber daya umumnya masih ditangani secara sentralistik,
maka sumber dana berupa transfer dari pusat ke daerah tetap
penting.
Kriteria Hub Keuangan Pusat Daerah
yang Baik (Sidik, 1999)
1. Pembagian Kewenangan yg rasional antar tkt
pemerintahan  penggalian dan penggunaannya
2. Memberikan bagian yg memadai dr sumber2 dana
masyarakat secara keseluruhan utk membiayai
fungsi pelayanan & pemb. yang diselenggarakan
Pemda
3. Membagi pengeluaran pemerintah secara adil
diantara daerah-daerah
4. Pajak&retribusi yg dikenakan Pemda hrs sejalan
dgn distribusi yg adil atas beban keseluruhan dari
pengeluaran pemerintah&masy.
Alasan Melakukan Transfer
(Jun Ma, 2001; Shah, 1994)

• Vertical fiscal imbalances.


• Horizontal fiscal imbalances.
• Spill-over effects.
• Stabilization objectives
Kriteria Efektivitas Transfer
(Shah, 1994, 1995; Jun Ma, 2001)
• Daerah dapat melaksanakan tugas yang
direncanakan dari revenue adequacy.
• Formula tidak medorong terjadinya
anggaran yang defisit.
• Formula berbanding lurus dengan
kebutuhan fiskal dan berbading terbalik
dengan kapasitas fiskal daerah.
• Transparency and stability.
Dasar Penentuan Transfer
(Hyman, 1994)
• Alokasi pusat ke daerah ditentukan fiscal capacity dan
atau fiscal need.
• Kapasitas fiskal mencerminkan potensi kemampuan
daerah mendanai jasa-jasa yang harus disediakan
pemerintah.
• Kebutuhan fiskal menunjukkan total pengeluaran yang
dibutuhkan daerah untuk melaksanakan aktivitasnya.
• Formula transfer umumnya menggunakan fiscal gap
sebagai indikasi untuk menentukan besaran transfer.
UU No. 25/1999 dan UU No
33/2004
• Untuk pendanaan sbg pelaksanaan
desentralisasi tdr dr:
– PAD
– Dana perimbangan
– Lain-lain pendapatan
PAD
• Bersumber dari
– Pajak daerah
– Retribusi daerah
– Hasil pengelolaan kekayaan daerah yg
dipisahkan
– Lain-lain PAD yg sah  Hibah dan
pendapatan Dana Darurat
Dana perimbangan
• Dana Bagi Hasil;
• Dana Alokasi Umum (DAU)
• Dana Alokasi Khusus (DAK)
Implikasi UU No. 33/2004
(25/1999)
• Semakin besarnya dana dikelola daerah  perlu
kemampuan daerah dlm pengelolaan keuangan
• Kesenjangan antardaerah (kaya-miskin SDA) 
Mekanisme utk turunkan kesenjangan lewat
DAU/DAK??
• Daerah miskin SDA perlu kreatif cari dana-dana
nonkonvensional di luar PAD  joint ventire,
penerbitan obligasi, jual saham, modal ventura,
kemitraan, BOT, BOO (Built Own Operate), BOL
(Bulit Own Lease)
• Perekonomian tgtg kemampuan dan kapasitas
daerah
• Lihat pasal-pasal mengenai Dana
Perimbangan dlll
Upaya tingkatka PAD
1. Memperluas basis penerimaan daerah al:
– Melakukan pendataan wajib pajak/retribusi baru
yang potensial.
– Memperbaiki basis data obyek pajak/retribusi
dengan jalan membentuk team untuk memperbarui
jumlah pembayar pajak/retribusi di daerah masing-
masing.
– Memperbaiki penilaian kembali obyek pajak.
– Menghitung kapasistas penerimaan (potensi) setiap
jenis pungutan.
– Melakukan pelatihan terhadap staf keuangan.
Upaya tingkatka PAD
2. Meningkatkan pengawasan utk kurangi
kebocoran, al:
– Pemeriksaan mendadak untuk melengkapi prosedur
pemungutan self assesment.
– Memperbaiki proses pengawasan
– Upaya untuk menerapkan sangsi yang berat dan
ketat bagi para penunggak.
– Menerapkan disiplin adminsitratif bagi staf keuangan
yang memberikan kontribusi terhadap kebocoran
penerimaan daerah.
– Upaya untuk mengaitkan pembayaran pajak/retribusi
dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah
daerah. Hal ini dilakukan dalam rangka
meningkatkan kesadaran membayar pajak untuk
mengurangi penunggak dan penghindaran pungutan.
Upaya tingkatka PAD
3. Meningkatkan efisiensi administrasi untuk mengurangi
berbagai pungutan  Ini merupakan bagian dari upaya
untuk meminimalkan biaya pemungutan. antara lain dg
penyederhanaan administrasi, menghitung tingkat
efisiensi pemungutan setiap penerimaan, mengurangi
biayai pemungutan, dan menghilangkan faktor-faktor
yang teridentifikasikan di lapangan yang memberikan
kontribusi terhadap kurang optimalnya penerimaan.

4. Peningkatan kapasitas penerimaan melalui perencanaan


yang lebih baik
Permasalahan Otonomi
• Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan
yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku,
baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah.
Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam
kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.
• Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat
pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan
menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan
kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang
merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah
bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi
dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan
kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah,
lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan
masyarakat.
• Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan
rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan
yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang
membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah
mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan
kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit
juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan
strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
• Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang
mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang
sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi
konflik horizontal yang bernuansa etnis
• Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit
daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi
daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan
otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya
dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen
kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
• Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan
terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini
disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk
kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski
kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk
menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur
tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
• Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan
dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan
pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara
keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi
yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari
masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih
didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan
kepentingan nasional secara keseluruhan.
• Pilkada Langsung.
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan
banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab
yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung
menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan
suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih
terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah
menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang
beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya
kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya
Kelemahan Otonomi Daerah
Tidak heran jika wewenang yang besar itu justru melahirkan penyimpangan
yaitu mengalirkan dana negara ke kantong pribadi.serta terjadinya berbagai
penyimpangan-penyimpangan lainnya diantaranya:
1. Korupsi Pengadaan Barang
Modus :
a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :
a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, kenaikan pangkat,
pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan
dan jompo)
Modus :
a. Pemotongan dana bantuan sosial
b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5. Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah
ke pihak luar.
6. Penyelewengan dana proyek
Modus :
a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.
b. Memotong dana proyek tanpa sepengetahuan orang lain.
7. Proyek fiktif fisik
Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu nihil.
8. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran.
Modus :
a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.
b. Penetapan target penerimaan pajak lebih rendah dari penerimaan riil.
9. Manipulasi proyek-proyek fisik (jalan, jembatan, bangunan, kantor, sekolah,
asrama)
Modus :
a. Mark up nilai proyek
b. Pungutan komisi tidak resmi terhadap kontraktor
10. Daftar Gaji atau honor fiktif
Modus : Pembuatan pekerjaan fiktif.
11. Manipulasi dana pemeliharaan dan renovasi fisik.
Modus :
a. Pemotongan dana pemeliharaan
b. Mark up dana pemeliharaan dan renovasi fisik
12. Pemotongan dana bantuan (inpres, banpres)
Modus : Pemotongan langsung atau tidak langsung oleh pegawai atau pejabat
berwenang.
13. Proyek pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fiktif (tidak ada
proyek atau intensitas)
Modus : Tidak ada proyek atau intensitas yang tidak sesuai laporan. Misalnya
kegiatan dua hari dilaporkan empat hari.
14. Manipulasi ganti rugi tanah dan bangunan
Modus : Pegawai atau pejabat pemerintah yang berwenang tidak
memberikan harga ganti rugi secara wajar atau yang disediakan.
15. Manipulasi biaya sewa fasilitas dan transportasi
Modus : Manipulasi biaya penyewaan fasilitas pemerintah kepada pihak
luar
16. Pembayaran fiktif uang lauk pauk Pegawai Negeri sipil, prajurit, tahanan
dan lain-lain
Modus :
a. Alokasi fiktif uang lauk pauk Pegawai Negeri Sipil, prajurit tahanan dalam
catatan resmi seperti APBD.
b. Menggunakan kuitansi fiktif.
17. Pungli Perizinan; IMB, sertifikat SIUPP, besuk tahanan, ijin tinggal, ijin
TKI, ijin frekuensi, impor ekspor, pendirian apotik, RS, klinik, Delivery Order
pembelian sembilan bahan pokok agen dan distributor.
Modus :
a. Memungut biaya tak resmi kepada anggota masyarakat yang mengurus
perijinan.
b. mark up biaya pengurusan ijin
c. Kolusi dengan pengusaha yang mengurus ijin.

18. Pungli kependudukan dan Imigrasi


Modus :
a. Memungut biaya tidak resmi kepada anggota masyarakat yang
mengurus perijinan.
b. mark up biaya pengurusan ijin
c. Kolusi dengan pengusaha yang mengurus ijin.
19. Manipulasi Proyek Pengembangan Ekonomi Rakyat
Modus : Penyerahan dalam bentuk uang.
20. Korupsi waktu kerja
Modus :
a. Meninggalkan pekerjaan
b. Melayani calo yang memberi uang tambahan
c. Menunda pelayanan umum

Anda mungkin juga menyukai