Anda di halaman 1dari 33

CLINICAL SCIENCE SESSION

DEMAM TIFOID

Fajri Alkarim 1840312693


Shylvia Helmanda 1840312714
Dian Herdianti 1840312718

Preseptor : dr. Roza Mulyana, Sp.PD-KGer, FINASIM


BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Suhu tubuh manusia normalnya berada pada titik 37°C, jika suhu
tubuh melebihi dari angka tersebut menunjukkan adanya demam
yang disebabkan oleh infeksi. Salah satu penyakit infeksi sistemik
akut yang banyak dijumpai di berbagai negara dunia saat ini
adalah demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi dari bakteri
gram negatif Salmonella typhi

Demam tifoid di Indonesia lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah


penyakit tifus. Dalam beberapa dekade terakhir demam tifoid menjadi salah
satu masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan
insidensi penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan
angka mortalitas mencapai 600 ribu jiwa per tahun.
Daerah endemic untuk demam tifoid tersebar di berbagai
benua mulai dari Afrika, Asia, Amerika, Karibia, hingga
Oceania
Indonesia merupakan salah satu wilayah endemik demam
tifoid dengan mayoritas angka insidensi terjadi pada
kelompok umur 3-19 tahun (91% kasus)
BATASAN MASALAH

Clinical Science Session ini membahas epidemiologi, etiologi,


klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan demam tifoid.
TUJUAN MASALAH

Tujuan penulisan Clinical Science Session ini adalah


mengembangkan wawasan dan pemahaman penulis mengenai
penyakit demam tifoid.
MANFAAT PENULISAN

Clinical Science Session ini diharapkan dapat menjadi salah satu


sumber keilmuan yang terstruktur bagi calon dokter sehingga
dapat menangani kasus demam tifoid dengan benar di layanan
primer.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan
Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Demam tifoid merupakan penyakit yang
mudah menular dan menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah atau epidemi.
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat
pada saluran cerna dengan ditandai gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran
cerna, dan penurunan kesadaran
Epidemiologi
 Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16-21 juta kasus per tahun dan 128 ribu hingga 161
ribu berakhir kematian. Sekitar 70% dari seluruh kasus kematian itu menimpa penderita
demam tifoid di Asia
 Negara Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Etiologi utama di
Indonesia adalah Salmonella subspesies paratyphi A dan enterika serovar typhi. CDC
Indonesia melaporkan insidensi demam tifoid mencapai 358-810 per 100 ribu populasi
pada tahun 2007 dengan 64% ditemukan pada usia 3-19 tahun dan angka mortalitas
antara 3,1-10,4% pada pasien rawatatan.

• Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang, tidak ada perbedaan


signifikan antara insidensi pada laki-laki maupun perempuan. Insidensi
penderita demam tifoid dengan usia > 40 tahun sekitar 5-10%, usia 31-40
tahun sekitar 10-20%, dan 12-30 tahun sekitar 70-80%.
Etiologi
 Penyebab dari demam tifoid adalah kuman berbentk basil yaitu
Salmonella typhi. Salmonella merupakan bakteri gram negatif,
mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
fakultatif anaerob.

 Salmonella typhi mempunyai antigen somatik dan makromolekuler


lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapisan luar dari dinding
sel yang dinamakan endotoksin
Patofisiologi
 Penularan ke manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar dengan feses
manusia. Setelah melewati lambung, kuman mencapai usus halus dan invasi ke
jaringan limfoid (plakmeyer) yang merupakan tempat predileksi untuk berkembang
biak. Melalui saluran limfe mesentrik kuman masuk aliran darah sistemik (bakteremia
I) dan mencapai sel-sel retikulo endothelial dari hati dan limpa. Fase ini dianggap
masa inkubasi (7-14) hari. Kemudian dari jaringan ini kuman dilepas ke sirkulasi
sistemik (bakteremia II) melalui duktus torasikus dan mencapai organ-organ tubuh
terutama limpa, usus halus dan kandung empedu
Patofisiologi

 Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan


kompleks lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada
pathogenesis demam tifoid. Endotoksin bersifat piogenik serta
memperbesar reaksi peradangan dimana kuman Salmonella
berkembang biak. Disamping itu merupakan stimulator yang kuat
untuk memproduksi sitokin oleh sel-sel makrofag dan sel leukosit di
jaringan yang meradang. Sitokin ini merupakan mediator-mediator
untuk timbulnya demam dan gejala toksemia (proinflamatorry). Oleh
karena basil salmonella bersifat intraseluller maka hampir semua
bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada jaringan
terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi.
Patofisiologi

 Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama di


ileum bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada
minggu pertama, pada plak peyer terjadi hyperplasia berlanjut
menjadi nekrosis pada minggu ke-2 dan ulserasi pada minggu ke-3,
akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan
dan perforasi yang merupakan komplikasi yang berbahaya. Hati
membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuclear lainnya
serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan
retikuloendotelial lain seperti limpa dan kelenjar mesenterika.
Gejala Klinis
 Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan
sekali (sehingga tidak terdiagnosis) dan dengan gejala yang khas
(sindrom demam tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang
disertai komplikasi. Gambaran klinis pada anak cenderung tidak
khas. Makin kecil anak, gambaran klinis makin tidak khas.
Beberapa gejala klinis yang sering pada demam tifoid :
 Demam

Demam adalah gejala khas tifoid. Pada awal sakit, demamnya kebanyakan
samar-samar saja. Selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau
normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari intensitas
demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala yang sering
dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan
muntah.
Pada minggu ke-2 intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus
menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik, maka pada minggu ke-3 suhu badan
berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3. Perlu diperhatikan
terhadap laporan, bahwa demam yang khas tifoid tidak selalu ada. Tipe demam
menjadi tidak beraturan.
 Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam
yang lama. Bibir kering yang kadang-kadang pecah-pecah. Lidah
kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung dari tepi lidah
kemerahan dan tremor (coated tongue dan selaput putih) dan pada
penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering
mengeluh nyeri perut, terutama region epigastrik ,disertai nausea, mual
dan muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan konstipasi, pada
minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare10.
 Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan kesadaran
ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran berkabut. Bila klinis berat, tidak jarang
penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis10.
 Hepatosplenomegali
Hati dan limpa ditemukan sering membesar.Hati terasa membesar dan nyeri tekan.
 Bardikardi relative dan gejala lain
Bradikardi relative adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan
frekuensi nadi.
 Gejala-gejala lain yang sering ditemukan adalah rose spot yang biasanya ditemukan di region
abdomen atas, serta gejala–gejala lain yang berhubungan dengan komplikasi. Pada anak sangat
jarang ditemukan malahan lebih sering epistaksis.
Diagnosis
 Diagnosis didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis pasien biasanya
mengeluhkan demam yang naik secara bertahap kemudian menetap pada minggu ke-2. Demam
terutama sore dan malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual dan muntah, obstipasi atau
diare. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala
menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus daripada S. Typhi. Menggigil tidak biasa
didapatkan pada demam tifoid, tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria,
menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian tifoid dan malaria dapat terjadi
bersamaan pada penderita.
 Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, disisi
lain S. Typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Nyeri perut
kdang sulit dibedakan dengan appendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis
akibat perforasi usus.
 Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapatkan febris, kesadaran berkabut, bradikardi relativ,
lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali, dan nyeri abdomen.
Diagnosis Banding
 Pneumonia
 Gastroenteritis
 Tuberkolosis
 Leptospirosis
Pemeriksaan Penunjang
 Darah tepi
Pada penderita demam tifoid didapatkan gambaran anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat perdarahan usus atau supresi
sumsum tulang. Terdapat gambaran leukopeni (<2000 sel per
mikroliter), tetapi bisa juga normal atau meningkat. Kadang-kadang
didapatkan trombositopeni dan pada hitung jenis didapatkan
aneosinofilia dan limfositosis relatif. Leukopeni polimorfonuklear dengan
limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, menunjukkan
arah diagnosis demam tifoid menjadi jelas.
 Uji serologis widal
Metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O).
Pemeriksaan yang positif adalah bila terjadi reaksi aglutinasi.
Untuk membuat diagnosis yang dibutuhkan adalah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang
bernilai > 1/200 dan atau menunjukkan kenaikan 4 kali, maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita.
Uji serologis ini mempunyai berbagai kelemahan baik sensitivitas maupun spesifisitasnya yang
rendah dan intepretasi yang sulit dilakukan. Namun, hasil uji widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada penderita demam tifoid.
Antibodi (aglutinin) yang spesifik terhadap Salmonella akan positif dalam serum pada :
 Pasien demam tifoid.
 Orang yang pernah tertular Salmonella.
 Orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.
Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat antibodi (aglutinin),
yaitu :
 Aglutinin O.
antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O yang berasal dari tubuh kuman.
 Aglutinin H.
antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H yang berasal dari flagela kuman.
 Aglutinin Vi.
antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi yang berasal dari simpai kuman.

Dari ketiga aglutinin di atas, hanya aglutinin O dan aglutinin H yang ditentukan titernya untuk
menegakkan diagnosis.
Interprestasi uji Widal, yaitu :
 Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita demam tifoid.
 Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai nilai
diagnostik pasti untuk demam tifoid.
 Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan diagnosis
demam tifoid.
 Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.
 Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kesembuhan pasien,
karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam tifoid, aglutinin akan tetap
berada dalam darah untuk waktu yang lama.
 Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab demam
tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang
sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi aglutinasi yang sama pula.
 Isolasi Bakteri
Diagnosis pasti demam tifoid dilakukan dengan isolasi bakteri Salmonella Typhi.
Isolasi bakteri ini dapat dilakukan dengan melakukan biakan dari berbagai tempat
dalam tubuh. Diagnosis dapat ditegakkan melalui isolasi bakteri dari darah. Pada dua
minggu pertama sakit , kemungkinan mengisolasi kuman dari darah pasien lebih besar
dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses kemungkinan
keberhasilan lebih kecil, karena positif setelah terjadi septikemia sekunder. Sedangkan
biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas
tertinggi, tetapi prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek
sehari-hari. Selain itu dapat pula dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil
dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.
Tatalaksana
 Penggunaan antibiotik merupakan terapi utama pada demam tifoid, karena pada dasarnya
patogenesis infeksi Salmonella Typhi berhubungan dengan keadaan bakterimia.
 Pemberian terapi antibiotik demam tifoid akan mengurangi komplikasi dan angka kematian,
memperpendek perjalan penyakit serta memperbaiki gambaran klinis salah satunya terjadi penurunan
demam. Namun demikian pemberian antibiotik dapat menimbulkan drug induce fever, yaitu demam
yang timbul bersamaan dengan pemberian terapi antibiotik dengan catatan tidak ada penyebab
demam yang lain seperti adanya luka, rangsangan infeksi, trauma dan lainlain. Demam akan hilang
ketika terapi antibiotik yang digunakan tersebut dihentikan.
 Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada terapi demam tifoid, hal ini dapat dibenarkan
apabila sensitivitas Salmonella Typhi masih tinggi terhadap obat tersebut. Tetapi penelitian-penelitian
yang dilakukan dewasa ini sudah menemukan strain Salmonella Typhi yang sensitivitasnya berkurang
terhadap kloramfenikol, untuk itu antibiotik lain seperti seftriakson, ampisilin, kotrimoksasol atau
sefotaksim dapat digunakan sebagai pilihan terapi demam tifoid.
 Kloramfenikol
Dosis untuk terapi demam tifoid pada dewasa 4x500 mg (2 gr) selama 14 hari.
Dosis untuk anak 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Lama terapi 8-10 hari
Sedangkan dosis terapi untuk bayi 25-50 mg/kgBB
 Seftriakson

Dosis terapi untuk dewasa 2-4 gr/hari, selama 3-5 hari. Dosis terapi intravena
untuk anak 50-100 mg/kg/jam dalam 2 dosis, sedangkan untuk bayi dosis tunggal 50
mg/kg/jam.
 Ampisilin

Dosis untuk dewasa 3-4 gr/hari, selama 14 hari. Untuk anak dengan berat
badan 7 hari diberi 75 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis.
 Kotrimoksazol
Dosis yang dianjurkan untuk dewasa adalah 2 x (160-800), selama 2 minggu.
Untuk anak ialah trimetoprim 8 mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari
diberikan dalam 2 dosis.
 Sefotaksim

Dosis terapi intravena yang dianjurkan untuk anak ialah 50 – 200 mg/kg/h
dalam 4 – 6 dosis. Sedangkan untuk neonatus 100 mg/kg/h dalam 2 dosis.
 Pada penelitian – penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, menyebutkan bahwa pasien
dengan demam tifoid menunjukkan respon klinis yang baik dengan pemberian seftriakson
sehari sekali. Lama demam turun berkisar 4 hari, hasil biakan menjadi negatif pada hari ke
– 4 dan tidak ditemukan kekambuhan. Pada kasus MDRST anak, seftriakson merupakan
antibiotik pilihan karena aman. Sedangkan pada penggunaan antibiotik kloramfenikol lama
demam turun berkisar 4,1 hari, efek sampingnya berupa mual dan muntah terjadi pada 5
% pasien. Kekambuhan timbul 9 - 12 hari setelah obat dihentikan pada 6 % dari kasus, hal
ini berhubungan dengan lama terapi yang < 14 hari.Antibiotik terpilih untuk MDRST adalah
siprofloksasin dan seftriakson.
Komplikasi
1. Komplikasi Intestinal
 Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami
syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5 ml/kgBB/jam.5
 Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan
darah turun dan bahkan sampai syok.5
2. Komplikasi Ekstraintestinal
 Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
 Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler

diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.


 Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis

 Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis

 Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis

 Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis

 Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,

psikosis, dan sindrom katatonia.


Prognosis
 Prognosis tergantung pada umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah / virulensi kuman, saat dimulainya pengobatan (cepat
dan tepatnya pengobatan), keadaan sosio-ekonomi dan gizi
penderita. Angka kematian di rumah sakit tipe A berkisar antara lima
sampai sepuluh persen. Pada operasi dengan perforasi, angka
kematian berkisar antara 15 dan 25%. Kematian pada demam tifoid
disebabkan oleh keadaan toksik, perforasi, perdarahan atau
pneumonia.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai