Anda di halaman 1dari 21

BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA

Dosen Pembimbing : Dr. Muslim suardi,


M.Si.,Apt

Nama kelompok:
Yulinda Rahmi
Putri
Indri sustia Rahmi
Marnovi Yanti
Pengertian disolusi

• Pengertian disolusi adalah proses suatu zat


padat masuk kedalam pelarut menghasilkan
suatu larutan. Secara sederhana, disolusi
adalah proses zat padat melarut. Proses ini
dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan
pelarut (syukri, 2002).
Cont…
• Disolusi merupakan salah satu kontrol kualitas yang dapat
digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas, dan dalam
beberapa kasus dapat sebagai pengganti uji klinik untuk
menilai bioekivalen (bioequivalence). Hubungan kecepatan
disolusi in vitro dan bioavailabilitasnya dirumuskan dalam
bentuk IVIVC (in vitro – in vivo corelation). Kinetika uji disolusi
in vitro memberi informasi yang sangat penting untuk
meramalkan availabilitas obat dan efek terapeutiknya secara
in vivo (Sulaiman, 2007).
Cont…
• Pengujian kehancuran yang dicantumkan dalam seluruh farmakope
menggambarkan kriteria kualitas yang penting untuk peroralia (tablet,
tablet salut, granulat, kapsul) meskipun demikian persyaratannya dalam
pandangan terhadap ketersediaan terbatas.
• Suatu kehancuran total memang menawarkan persyaratan yang lebih baik
untuk pelepasan, meskipun demikian bahan pembantu dapat
membungkus bahan obat sedemikian rupa, sehingga melarutnya keluar
dari produk hancuran sangat terhambat.
• Oleh karena kecepatan pelarutan dari bahan aktif sering kali
menggambarkan langkah penentu kecepatan untuk jalannya resorpsi,
maka tes pelarutan (dissolution-test) lebih nyata (Ansel et al, 1999; Voigt,
1994).
Cont…

• Disolusi-test sudah dapat dilakukan dengan alat kehancuran otomatis yang


biasa, akan tetapi yang diamati bukan kehancuran dari “Formling‟,
melainkan jumlah bahan obat dalam interval waktu tertentu, yang larut
dari seluruh sediaan obat atau hancuran sediaan obat dalam cairan
penguji (cairan pencernaan buatan), diinterpretasikan secara analitis
(Voigt, 1994).
Cont…

• Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan


padat terlibat berbagai macam proses disolusi yang
melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses
pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi
kedalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi
dan deagragasi sediaan merupakan faktor yang
mempengaruhi karakteristik disolusi obat sediaan (Syukri,
2002).
Cont…

• Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah
dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dari
tablet. Bila yang menjadi tujuan adalah untuk memperoleh kadar yang
tinggi di dalam darah, maka cepatnya obat dan tablet melarut biasanya
menjadi sangat menentukan. Laju larut dapat berhubungan langsung
dengan efikasi (kemanjuran) dari tablet dan perbedaan bioavailabilitas
dari berbagai formula (Lachman et al., 1994).
Cont…

• Persyaratan uji disolusi pertama sekali dicantumkan dalam NF XIII (1970)


dan USP XVIII (1970). Persyaratan yang dimaksud disini bukan hanya
persyaratan untuk nilai Q (jumlah obat yang terlarut dalam waktu yang
ditentukan) saja, tetapi juga termasuk prosedur pengujian, medium
disolusi dan peralatan serta persyaratan pengujiannya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses disolusi tablet, diantaranya kecepatan pengadukan,
temperatur pengujian, viskositas, pH, komposisi medium disolusi, dan ada
atau tidaknya bahan pembasah (wetting agent) (Sulaiman, 2007).
Cont…

• Dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk


menunjukkan (1) pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100 %
dan (2) laju pelepasan seragam pada setiap batch dan harus sama dengan
laju pelepasan dari batch yang telah dibuktikan berbioavailabilitas dan
efektif secara klinis (Lachman et al., 1994).
Cont…

• Komponen yang penting dalam melakukan perubahan disolusi adalah


wadah, pengadukan, suhu, dan medium. Kecepatan pengadukan
mempunyai hubungan dengan tetapan kecepatan disolusi, kenaikan suhu
medium yang tinggi akan semakin banyak zat aktif terlarut. Suhu harus
konstan yang biasanya pada suhu tubuh (370C).
Cont…

• Medium larutan hendaknya tidak jenuh obat, yang biasa dipakai adalah
cairan lambung yang diencerkan, HCl 0,1 N, dapar fosfat, cairan lambung
tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung sifat-sifat lokasi obat akan
larut. Ukuran dan bentuk wadah akan mempengaruhi laju dan tingkat
kelarutan, untuk mengamati pelarutan dari obat sangat tidak larut dalam
air menggunakan wadah berkapasitas besar (Lachman et al., 1994).
Cont…
• Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutannya
seringkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu
merupakan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas
obat, sedangkan obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju
pelarutannya cepat (Shargel et al., 2005).
Definisi biofarmasetika
• Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bertujuan mengatur pelepasan
obat sedemikian rupa ke sirkulasi sitemik agar diperoleh pengobatan yang
optimal pada kondisi klinik tertentu.
• Biovailabiltas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif mencapai sirkulasi
sitemik. Absorpsi sitemik dari tempat ekstravaskuler dipengaruhi oleh sifat
anatomik dan fisiologi tempat absorpsi, serta sifat fisikokimia/ produk obat.
• Proses absorpsi sistemik meliputi: disentegrasi produk obat yang diikuti
pelepasan obat, pelarutan obat dalam media “aqueous”, dan absorpsi
melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Untuk merancang obat yang
dapat lepas paling banyak di sistemik yaitu dengan mempertimbangkan jenis
produk obat (larutan, suspensi, supositoria), sifat bahan tambahan, dan sifat
fisikokimia obat.

(Shargel et
al., 2005).
• Perjalanan obat melewati membran sel dipengaruhi oleh sifat fisikokimia,
yaitu kelarutan molekul obat dalam lipid dan ukuran molekul. Obat yang
lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membran sel daripada
obat yang kurang larut dalam lemak/larut dalam air. Obat yang bersifat
elektrolit lemah, misalnya asam/basa lemah, besarnya ionisasi
mempengaruhi laju pengangkutan obat.
• Obat yang terionisasi mempunyai muatan dan menjadikannya lebih larut
dalam air daripada obat yang tidak terionisasi. Jumlah ionisasi bergantung
pada pKa dan pH medium obat terlarut. Obat yang memiliki molekul yang
sangat kecil (urea) dan ion kecil (Na+, K+, dan Li+) bergerak melewati
membran dengan cepat. Sebaliknya, makromolekul yang sangat besar
(protein) tidak melewati membran sel atau dapat melewati api dalam
jumlah sangat kecil.

(Shargel et
al., 2005).
Fenomena pengangkutan fisiologik yang mempengaruhi mekanisme obat melewati membran sel
adalah:
1. Difusi pasif, yang merupakan bagian terbesar dari proses transmembran pada obat. Tenaga
pendorong difusi pasif adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Dalam
Hukum Fick , dimana dQ/dt= laju difusi, D= koefisien difusi, K=Koefisien partisi, A=Luas permukaan
membran, h=tebal membran, dan CGICp= perbedaan konsentrasi obat dalam saluran cerna dan
plasma.
2. Transpor Aktif, yaitu proses transmembran yang diperantai oleh pembawa yang berperan penting
dalam sekresi ginjal dan bilier dari berbagai obat dan metabolit.
3. Difusi yang dipermudah (fasilitated diffusion), merupakan sistem transpor yang diperantai
pembawa, dimana obat bergerak karena perbedaan konsentrasi (pergerakan dari konsentrasi tinggi
ke konsentrasi rendah).
4. Pinositosis (transpor vesikular), merupakan proses fagositosis, dimana membran sel menyelubungi
sekeliling bahan makromolekuler dan kemudian “mencaplok” bahan tersebut kedalam sel.
5. Transpor melalui pori (konvektif), dimana molekul yang sangat kecil (urea, air, gula) dapat melintasi
membran sel dengan cepat jika membran mempunyai celah/pori.

(Shargel et
al., 2005).
Faktor farmasetik yang mempengaruhi biovailabilitas obat aktif yaitu:
1. Disentegrasi. Sebelum absorpsi terjadi, obat padat harus mengalami disentegrasi kedalam partikel
kecil dan melepaskan obat. Disentegrasi yang sempurna menurut USP XX yaitu keadaan dimana
berbagai residu tablet, kecuali fragmen penyalut yang tidak larut, tinggal dalam saringan alat uji
sebagai massa yang lunak dan jelas tidak mempunyai inti teraba.
2. Pelarutan obat, merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam
suatu pelarut. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh (stagnant layer), berdifusi ke pelarut dari
daerah konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Laju pelarutan merupakan jumlah obat terlarut
per satuan luas per waktu. Suhu media dan kecepatan pengadukan juga mempengaruhi laju
pelarutan. Kenaikan suhu meningkatkan energi kinetik molekul dan tetapan difusi, sebaliknya
kenaikan pengadukan dari media pelarut akan menurunkan tebal “stagnant layer” dan h sehingga
pelarutan obat lebih cepat.
3. Sifat fisikokimia obat. Sifat fisika dan kimia partikel obat berpengaruh pada kinetika pelarutan. Sifat
tersebut terdiri dari, luas permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat kelarutan obat dalam air,
dan bentuk obat polimorf.
4. Faktor formulasi yang mempengaruhi pelarutan obat, dimana adanya bahan tambahan (bahan
penyuspensi, surfaktan, pelincir tablet) yang digunakan pada formulasi obat dapat berinteraksi
secara langsung dengan obat membentuk kompleks yang larut/tidak larut air.

(Shargel et
al., 2005).
Pertimbangan dalam merancang sediaan adalah keamanan dan keefektifan. Pertimbangan tersebut
yaitu meliputi:
1. Pertimbangan Penderitaan: Obat yang pahit dapat dibuat berupa tablet/ kapsul yang
dienkapsulasi/disalut, ukuran cukup kecil agar mudah ditelan, dan frekwensi pemberian dosis dijaga
minimum.
2. Pertimbangan dosis: Obat tersedia dalam berbagai macam kekuatan dosis dengan didasarkan luas
permukaan tubuh, berat badan, dan dengan pemantauan konsentrasi obat dalam tubuh.
3. Pertimbangan frekwensi pemberian dosis: Dikaitan dengan waktu paruh eliminasi obat dan
konsentrasi terapetik obat.
4. Pertimbangan terapetik: Tergantung kondisi terapi yang segera atau akut. Misalnya obat penghilang
rasa sakit yang harus diabsorpsi cepat agar rasa sakit cepat hilang, sedangkan obat asmatik
dirancang untuk diabsorpsi lambat agar efek perlindungan obat berakhir dalam jangka waktu lama.
5. Efek samping dalam saluran cerna: Untuk obat yang mengiritasi lambung dapat diatasi dengan
disalut enterik atau untuk memperbaiki bioavailabilitas obat dapat diformulasi dalam kapsul gelatin
lunak sebagai larutan.

(Shargel et
al., 2005).
Pertimbangan rute pemberian
Suatu obat diberikan dalam berbagai rute dan tetap meghasilkan aktifitas yang ekivalen, tetapi lama dan mula kerja
berubah karena perubahan farmakokinetika yang disebabkan oleh rute pemberian.
1. Produk Parenteral
a. Obat yang diinjeksikan secara intravena langsung masuk kedalam darah dan dalam beberapa menit beredar ke
seluruh tubuh. Hanya untuk obat yang larut air. Pelarut yang digunakan adalah kombinasi propilen gilikol dengan
pelarut lain.
b. Obat yang diinjeksikan secara intramuskular melibatkan penundaan absorpsi karena obat berjalan dari tempat
injeksi ke aliran darah. Formulasi intramuskular dapat untuk melepaskan obat secara cepat/lambat dengan
mengubah pembawasediaan injeksi. Keuntungannya adalah fleksibilitas formulasi.
2. Tablet Bukal. Tablet ini dirancang untuk terlarut dibawah lidah dan di absorpsi dalam rongga mulut melalui
mukosa mulut, serta mengandung bahan tambahan yang cepat melarut (laktosa), contohnya tablet sublingual
nirogliserin.
3. Aerosol. Digunakan untuk obat yang diberikan pada sistem pernafasan. Ukuran partikel dari suspense (dalam
ukuran kabut) menentukan tingkat penetrasinya. Obat dengan partikel bergerak dengan cara sedimentasi/ gerak
Brown ke dalam bronkhioli. Contoh isotarina dan isoproterenol.
4. Sediaan Transdermal. Pemberian sediaan transdermal memberi pelepasan obat kesistem tubuh melalui kulit. Obat
yang diberikan secara transdermal tidak dipengaruhi olh “frist pass effects”. Contoh transderma-V untuk mabuk
perjalanan yang melepaskan skopolamin melalui kulit telinga.
5. Sediaan Oral. Keuntungan sediaan oral adalah mudah pemakaian dan menghilangkan ketidak nyamanan yang
terjadi pada pemakaian injeksi. Kerugian utama adalah persoalan potensial dari penurunan biovailabiltas, selain
itu bioavailabiltas berubah-ubah yang disebabkan absorpsi tidak sempurna/interaksi obat.
6. Sediaan Rektal. Sedian ini disukai untuk obat yang menyebabkan mual. Laju pelepasan obat sedian ini tergantung
pada sifat komposisi dasar dan kelarutan obat yang terlibat, serta terhindar dari frist pass effects.

(Shargel et
al., 2005).
Fisikokimia Pertimbangan Rancangan Produk Obat
Sifat fisikokimia untuk pertimbangan rancangan produk obat adalah:
1. Kelarutan, pH dan absorpsi obat.
Profil pH-Kelarutan merupakan gambaran dari kelarutan obat pada berbagai pH fisiologik. Informasi
tersebut digunakan untuk rancangan formulasi karena sifat pH lingkungan dari saluran cerna
berbeda, dari bersifat asam dalam lambung sampai bersifat alkali dalam usus halus.
2. Stabilitas, pH dan absorpsi obat.
Profil pH-Stabilitas merupakan gambaran dari tetapan laju reaksi vs pH. Jika peruraian obat terjadi baik
melaui katalis asam/basa maka dapat dibuat perkiraan untuk kerusakan obat dalam saluran cerna.
Dalam suatu media yang bersifat asam (lambung) peruraian terjadi cepat, sedangkan pada pH
netral/alkali obat relatif stabil.
3. Ukuran partikel dan absorpsi obat.
Ukuran partikel yang makin kecil mengakibatkan kenaikan keseluruhan luas permukaan partikel,
memperbesar penetrasi air kedalam partikel, dan menaikkan laju pelarutan.
4. Kristal polimorf, solvat dan absorpsi obat.
Kristal polomorf memiliki sifat kelarutan dalam air yang lebih rendah dari pada bentuk amorf, yang
menyebabkan suatu produk diabsorpsi tidak sempurna. Selama penyiapan, beberapa obat
berinteraksi dengan pelarut membentuk suatu kristal yang disebut solvat. Air dapat memebntuk
suatu kristal tertentu dengan obat yang disebut hidrat, yang mempunyai kelarutan berbeda
dibandingkan dengan bentuk anhidrat.

(Shargel et
al., 2005).
Daftar pustaka
• Daftar Pustaka: Shargel, L. Dan Andrew B.C.Yu.
2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai