Anda di halaman 1dari 15

Pendidikan Agama Islam 3

Ngaji Babar Wismantoro, S.T.


SYARI’AH, FIKIH DAN HUKUM ISLAM
SYARI’AH
Syariah menurut bahasa memiliki beberapa makna, antaranya adalah al-warid yang berarti jalan,
ia bermakna pula tempat keluarnya (mata) air. (Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz VII,hal. 86)

Al-Raghib menyatakan syariah adalah metode atau jalan yang jelas dan terang misalnya
ucapaan ( ‫ شرعت له نهجا‬aku mensyariatkan padanya sebuah jalan).

Manna' Khalil Al-Qathan berkata “Syariah pada asalnya menurut bahasa adalah sumber air
yang digunakan untuk minum, kemudian digunakan oleh orang-orang Arab dengan arti jalan yang
lurus (al-shirath al-mustaqim) yang demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber
kehidupan dan keselamatan/kesehatan badan, demikian juga arah dari jalan yang lurus yang
mengarahkan manusia kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa dan pengoptimalan akal
mereka. ( Manna' Khalil Al-Qatan, At-Tasyri' Wa Al-Fikihi fi Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Mesir
:Maktabah Wahbah, 2001, hal. 13.)

Kata syari’ah banyak terdapat di dalam Al-Qur'an, misalnya firman Allah ta’ala dalam QS Al-
Jatsiyah : 18
َ‫علَ ٰى ش َِريعَ ٍة ِمنَ ْاْل َ ْم ِر فَات َّ ِب ْع َها َو ََل تَت َّ ِب ْع أ َ ْه َوا َء الَّ ِذينَ ََل يَ ْعلَ ُمون‬
َ َ‫ث ُ َّم َجعَ ْلنَاك‬
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat(peraturan) dari urusan (agama itu),
maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.”
SYARI’AH
Makna syariah pada ayat ini adalah peraturan atau cara beragama.Sedangkan dalam QS Asy-
Syura ayat 13 bermakna memberikan tata cara beragama :
ِ
ُ
{ ‫الدينَ َوَل تَتَفَ َّرقوا فِي ِه َكبُ َر‬ َ َ
ِ ‫سى أ ْن أقِي ُموا‬ َ ‫ص ْينَا بِ ِه إِب َْرا ِهي َم َو ُمو‬
َ ‫سى َو ِعي‬ َ
َّ ‫صى بِ ِه نُو ًحا َوالَّذِي أ ْو َح ْينَا إِلَ ْيكَ َو َما َو‬ َّ ‫ِين َما َو‬ ِ ‫ع لَ ُك ْم ِمنَ الد‬ َ ‫ش ََر‬
ُ‫ي‬ َّ ‫علَى ا ْل ُمش ِْر ِكينَ َما ت َ ْدعُو ُه ْم ِإلَ ْي ِه‬
ُ ِ‫َّللاُ يَجْ ت َ ِبي ِإلَ ْي ِه َم ْن يَشَا ُء َويَ ْهدِي ِإلَ ْي ِه َم ْن يُن‬ َ

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.
Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik
kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang
yang kembali (kepada-Nya).

Makna syariah yang serupa disebutkan dalam QS Al-Syura ayat 21Allah ta’ala berfirman :

‫ع َذاُ أ َ ِليم‬ َّ ‫ي بَ ْينَ ُه ْم َووإِنَّ ال‬


َ ‫َّا ِل ِمينَ لَ ُه ْم‬ ْ َ‫ين َما لَ ْم يَأ ْ َذ ْن بِ ِه الَّهُ َۚولَ ْو ََل َك ِل َمةُ ا ْلف‬
َ ‫ص ِل لَقُ ِِض‬ ِ ‫أ َ ْم لَ ُه ْم ش َُركَا ُء ش ََرعُوا لَ ُه ْم ِمنَ ال ِد‬
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (
dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan
memperoleh azab yang amat pedih.
SYARI’AH
Dari beberapa ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kata syariah bermakna peraturan, agama
dan tata cara ibadah. Pengertian ini telah mengarah kepada makna secara istilah, karena khitab
dari ayat-ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman agar mereka dapat merealisasikan
syariat tersebut.

Secara istilah“syariat” adalah “Seperangkat norma yang mengatur masalah-masalah bagaimana


tata cara beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala serta bermuamalah dengan sesama
manusia”.

Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa syariat adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para
hambaNya.(Al-Fairuz Abady, Al-Qamus Al-Muhith, hal. 732.)

Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah adalah :

ِ ‫والش ْرعةُ ما سنَّ هللا من الدِين وأ َ َمر به كالصوم والصالة والحج والزكاة وسائر أَعمال‬
‫البر‬ ِ ُ‫والشريعة‬

Segala sesuatu yang ditetapkan Allah dari dien(agama) dan diperintahkanya seperti puasa, shalat,
haji, zakat dan amal kebaikan lainnya. (Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab, Juz 5, hal. 86.)
FIKIH
Fikih secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam danmembutuhkan pengerahan
potensi akal.

Sedangkan secara terminologi fikih merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan
tentang hokum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa
dan berakal sehat (mukallaf ) dan diambil dari dalil yang terinci.

Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin mengatakan fikih adalah ilmu tentang hukum-
hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili. (Amir
Syarifuddin,Ushul Fikih, Juz 1, hal. 1.)

Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fikih itu menyangkut
ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata “amaliah”
yang terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fikih itu hanya menyangkut tindak tanduk
manusia yang bersifat lahiriah.Dengan demikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti
masalah keimanan atau “aqidah” tidak termasuk dalam lingkungan fikih dalam uraian ini.

penggunaan kata“digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fikih itu adalah hasil penggalian,
penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum.
FIKIH
Fikih itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal yang tdiak dijelaskan oleh nash.

Dari penjelasan diatas dapat kita tarik benang merah, bahwa fikihdan syariah memiliki hubungan
yang erat. Semua tindakan manusia didunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu harus
tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah.

Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang
disebut syari’ah.

Untuk mengetahui semua kehendak-Nya tentang amaliah manusia itu, harus ada pemahaman
yang mendalam tentang syari’ah, sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan
situasi apapun dan bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang terinci.
Ketentuan yang terinci tentang amaliah manusia mukalaf* yang diramu dan diformulasikan sebagai
hasil pemahaman terhadap syari’ah itu disebut fikih.

*Mukallaf adalah muslimyang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhilarangan agama (pribadi muslim yang sudah
dapat dikenai hukum). Seseorang berstatus mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun
akal. Sedangkan mujtahid adalah ialah orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam arti
keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu madzhab.
HUKUM ISLAM
Kata hukum dalam “Hukum Islam” bukanlah arti hukum dalam bahasa Arab al-hukm
akan tetapi makna hukum dalam bahasa Indonesia adalah bermakna syari’ah dalam Bahasa
Arab.

Pendapat ini seperti disebutkan oleh Fathurrahman Djamil yang menyimpulkan : Kata hokum Islam
tidak ditemukan sama sekali di dalam Al-Qur'an dan literature hukum dalam Islam yang ada dalam
Al-Qur'an adalah kata syari'ah, fikih, hukum Allah dan yang seakar dengannya, kata hukum Islam
merupakan terjemahan dari term“Islamic Law”dari literatur barat. (Fathurrahman Jamil,Filsafat
Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999. hal. 11.)

Maka dalam ruang lingkup hukum Islam digunakan istilah Syariah Islam, yaitu "Seluruh peraturan
dan tata cara kehidupan dalam Islam yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang
termaktub di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah".

Hal ini sebagaimana term hukum dalam bahasa Indonesia yaitu “Seperangkat norma yang
mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa
kenyataan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat maupun peraturan ataunorma
yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa, baik berupa hukum tertulis
ataupun tidak tertulis seperti hukum adat”. (Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, hal. 40.)
HUKUM ISLAM
Pengertian selanjutnya dalam rangkaian hukum Islam adalah kata “Islam”. Kata ini secara bahasa
berasal dari bahasa Arab yaitu kata al-salam-aslama-yaslimu-islaman kata ini mempunyaicabang
makna yang sangat banyak, namun semuanya menunjuk kepada Makna al-salam yaitu
kesejahteraan, kedamaian serta sifat tunduk patuh.17 Dalam Al-Qur'an akar kata aslama terdapat
dalam QS Al-Hujuraat : 14

َ ‫سولَهُۥ ََل يَ ِلتْكُم ِم ْن أ َ ْع ٰ َم ِل ُك ْم‬


ِِ ۚ ‫شيْـًٔا‬ ُ ‫ٱَّلل َو َر‬ ۟ ُ‫ٱْلي ٰ َمنُ فِى قُلُوبِ ُك ْم ۖ َوإِن ت ُ ِطيع‬
َ َّ ‫وا‬ ْ َ ‫وا َو ٰلَ ِكن قُولُ ٓو ۟ا أ‬
ِ ْ ‫سلَ ْمنَا َولَ َّما يَ ْد ُخ ِل‬ ۟ ُ‫اُ َءا َمنَّا ۖ قُل لَّ ْم ت ُ ْؤ ِمن‬
ُ ‫ت ْٱْلَع َْر‬ ِ َ‫قَال‬
‫غفُور َّر ِحيم‬ َ ‫ٱَّلل‬
َ َّ َّ‫إِن‬

Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman,
tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

ْ َ ‫أ‬berarti kami tunduk kepada peraturanAllah SWT. Adapun dalam QS Al-Jin :


Pada ayat ini kata ‫س َل ْم َنا‬
ْ َ ‫أ‬bermakna taatterhadap perintahNya :
14, kata‫سلَ ْم‬

‫شدًا‬ ْ َ ‫طونَ فَ َم ْن أ‬
َ ‫س َل َم فَأُو َلئِكَ ت َ َح َّر ْوا َر‬ ُ ‫س‬ ْ ‫َوأَنَّا ِمنَّا ا ْل ُم‬
ِ ‫س ِل ُمونَ َو ِمنَّا ا ْل َقا‬
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang ta`at dan ada (pula) orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang ta`at, maka mereka itu benar-benar telah memilih
jalan yang lurus.
HUKUM ISLAM
Sinonim dari kata tunduk dan taat adalah berserah diri, hal iniseperti disebutkan dalam QS Az-
Zumar :54
ُ ‫س ِل ُموا لَهُ ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن يَأْتِيَ ُك ُم ا ْلعَ َذ‬
َ ‫اُ ث ُ َّم ََل ت ُ ْن‬
َ‫ص ُرون‬ ْ َ ‫َوأَنِيبُوا إِلَ ٰى َربِ ُك ْم َوأ‬
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, danberserahdirilah kepada-Nya sebelum datang
azab kepadamu kemudian kamutidak dapat ditolong (lagi).

Selain itu masih banyak sekali ayat-ayat yang menggunakanlafadz aslama seperti dalam QS Ash-
Shafaat 103, An-Naml 44, Al-Haj 34, Al-An'am 14, Al-Maidah 44, An-Nisaa 125, Ali Imran 83 dan
20 sertaAl-Baqarah ayat 131 dan 112.18 Akar kata aslama juga terdapat dalam sebuah
hadits yang shahih dari riwayat Abdullah bin Amr bin Al-'Ash, Rasulullah bersabda :
ْ ‫س ِل َم ا ْل ُم‬
َ ‫س ِل ُمونَ ِم ْن ِل‬
‫سا ِن ِه َو َي ِد ِه‬ ْ ‫ا ْل ُم‬
َ ‫س ِل ُم َم ْن‬
Seorang muslim itu adalah seseorang yang kaum muslimin lainnya selamat dari ucapan lidah dan
gangguan tangannya.”(HR Bukhari. LihatFath Al-Bary Juz 10 hal. 446. lihat pula Lisan Al-
Arab Ibnu Mandzur hal.345. dan Maktabah Syamilah.)

Sedangkan pengertian Islam menurut istilah adalah: Penyerahan diri kepada Allah SWT serta
tunduk dengan penuh ketaatan serta berlepas diri dari syirik dan para pelakunya.".20 Secara umum
dapat dikatakan bahwa Islam adalah “Rangkaian ibadah kepada Allah SWT dengan apa-apa yang
di syariatkanNya, ia berlaku sejak Nabi pertama di utus hingga hari
kiamat, sebagaimanadisebutkan dalam QS Al-Baqarah ayat 128 :

‫الر ِحي ُم‬ ُ ‫علَ ْينَا ۖ إِنَّكَ أ َ ْنتَ الت َّ َّو‬


َّ ُ‫ا‬ ِ ‫س ِل َمةً لَكَ َوأ َ ِرنَا َمنَا‬
َ ُْ ُ ‫س َكنَا َوت‬ ْ ‫س ِل َمي ِْن لَكَ َو ِم ْن ذُ ِريَّتِنَا أ ُ َّمةً ُم‬
ْ ‫َربَّنَا َواجْ عَ ْلنَا ُم‬
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah)
diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami
cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
SEBAB BEDA MADZHAB/PENDAPAT
1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Arab.

Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadl tersebut umum (mujmal) atau lafadl yang
memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadl memiliki arti umum dan khusus,
atau lafadl yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain.

Contohnya, lafadlquru’ memiliki dua arti; haid dan suci (Al-Baqarah:228). Atau lafadl perintah (amr)
bisa bermakna wajib atau anjuran. Lafadl nahy; memiliki makna larangan yang haram atau
makruh.
Contoh lainnya adalah lafadl yang memiliki kemungkinan dua makna antara umum atau khusus
adalah Al-Baqarah: 206 “Tidak ada paksaan dalam agama” apakah ini informasi memiliki arti
larangan atau informasi tentang hal sebenarnya?

2. Perbedaan Riwayat

Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada beberapa, di
antaranya:
Hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai kepada perawi lainya.
Atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada lainnya dengan jalan
perawi yang kuat.
Atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang ahli hadis melihat satu
jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan itu kuat.
Atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadis. Perbedaan ini
berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi sebagai pembawa hadis.
Atau sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah disepakati, namun kedua
perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal dengan hadis itu. Seperti hadis mursal.
SEBAB BEDA MADZHAB/PENDAPAT
3. Perbedaan Sumber-sumber Pengambilan Hukum

Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat, istishab, saddu
dzarai' dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber tersebut.

4. Perbedaan Kaidah Usul Fiqh

Seperti kaidah usul fiqh yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah
(pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan dasar", "tambahan terhadap
nash quran dalam hukum adalah nasakh (penghapusan)" kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan
ulama.

5. Ijtihad dengan Qiyas

Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal (masalah inti
sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang
harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Di sinilah muncul banyak
perbedaan hasil qiyas di samping juga ada kesepakatan antara ulama.

6. Pertentangan (kontradiksi) dan Tarjih antar Dalil-dalil

Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab ini ada yang
berpegang dengan takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang bertentangan, penyesuaian antara
dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.
Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas, atau antar sunnah baik dalam
perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau dalam penetapan-penetapannya. Perbedaan sunnah
juga bisa disebabkan oleh penyifatan tindakan Rasulullah saw dalam berpolitik atau memberi
SEBAB BEDA MADZHAB/PENDAPAT
6. Pertentangan (kontradiksi) dan Tarjih antar Dalil-dalil

Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab ini ada yang
berpegang dengan takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang bertentangan, penyesuaian antara
dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.
Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas, atau antar sunnah baik dalam
perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau dalam penetapan-penetapannya. Perbedaan sunnah
juga bisa disebabkan oleh penyifatan tindakan Rasulullah saw dalam berpolitik atau memberi
fatwah.
Dari sini bisa diketahui bahwa ijtihad ulama – semoga Allah membalas mereka dengan balasan
kebaikan – tidak mungkin semuanya merepresentasikan sebagai syariat Allah yang turun kepada
Rasulullah saw. Meski demikian kita memiliki kewajiban untuk beramal dengan salah satu dari
perbedaan ulama. Yang benar, kebanyakan masalah ijtihadiah dan pendapat yang bersifat
dlanniyah (pretensi) dihormati dan disikapi sama.
Perbedaan ini tidak boleh menjadi pemicu kepada ashobiyah (fanatisme golongan), permusuhan,
perpecahan yang dibenci Allah antara kaum Muslimin yang disebut Al-Quran sebagai umat
bersaudara, yang juga diperintah untuk berpegang teguh dengan tali Allah.
Para sahabat sendiri berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya disebut hukum Allah atau syariat Allah.
Namun mereka menyebut, "Ini adalah pendapatku, jika benar ia berasal dari Allah jika salah maka
ia berasal dari saya dan dari setan, Allah dan Rasul-Nya darinya (pendapat saya) berlepas diri."
Di antara nasehat yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, kepada para
pasukannya baik dipimpin langsung atau tidak adalah, "
Jika kalian mengepung sebuah benteng, dan mereka ingin memberlakukan hukum Allah, maka
jangan kalian terapkan mereka dengan hukum Allah, namun berlakukan kepada mereka dengan
hukummu, karena engkau tidak tahu, apakah engkau tepat dalam menerapkan hukum Allah
kepada mereka atau tidak, " (HR Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah)
MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT
Yang wajib baginya adalah memegang yang haq, yaitu yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan
Sunnah RasulNya serta loyal terhadap yang haq dan mempertahankannya. Setiap golongan atau
madzhab yang bertentangan dengan yang haq, maka ia wajib berlepas diri darinya dan tidak
menyepakatinya.

Agama Allah hanya satu, yaitu jalan yang lurus, yakni beribadah hanya kepada Allah semata dan
mengikuti RasulNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka yang diwajibkan kepada
setiap muslim adalah memegang yang haq dan konsisten dalam melaksanakannya, yaitu mentaati
Allah dan mengikuti syari’atNya yang telah diajarkan oleh Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, disertai ikhlas karena Allah dalam melaksanakannya dan tidak memalingkan ibadah
sedikit pun kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itu, setiap madzhab yang
menyelisihi yang haq dan setiap golongan yang tidak menganut aqidah ini, harus dijauhi dan harus
berlepas diri darinya serta mengajak para penganutnya untuk kembali kepada yang haq dengan
mengungkapkan dalil-dalil syar’iyyah yang disertai kelembutan dan menggunakan metode yang
tepat sambil menasehati yang haq pada mereka dengan kesabaran.

[Majmu’ Fatawwa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 5, hal. 157-158, Syaikh Ibnu Baz]
MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT
Masalah-masalah khilafiyah adalah ruang lingkup ijtihad, karena tidak ada nashnya yang jelas dan
tidak ada dalil yang shahih untuk menguatkan salah satu pendapat. Oleh karena itulah terjadi
perbedaan pendapat di antara para imam yang terkenal. Hal ini biasanya berkaitan dengan
masalah-masalah cabang syari’at (masalah furu’iyah). Hal ini tidak boleh diingkari dengan keras
terhadap salah seorang mujtahid. Misalnya tentang bacaan basmalah dengan suara nyaring,
bacaan di belakang imam, duduk tawarruk pada rakaat kedua, bersedekap setelah bangkit dari
ruku, jumlah tabir pada shalat jenazah, kewajiban zakat pada madu, sayur-mayur, dan buah-
buahan, berbuka karena berbekam, kewajiban membayar fidyah bagi yang sedang ihram karena
lupa atau memotong rambut atau mengenakan wewangian karena lupa, dan sebagainya.

Tapi jika perbedaan itu tipis dan bertolak belakang dengan nash yang jelas, maka pelakunya
diingkari jika meninggalkannya tapi pengingkarannya harus berdasarkan dalil. Misalnya tentang
mengangkat kedua tangan ketika hendak ruku dan ketika bangkit dari ruku, thuma’ninah ketika
ruku dan sujud dan setelah bangkit dari ruku dan sujud, bershalawat kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam tasyahud, wajibnya salam sebagai penutup shalat, dan lain sebagainya.
Adapun perbedaan pendapat dalam masalah akidah, seperti sifat tinggi dan istiwa, penetapan
sifat-sifat fi’liyah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, penciptaan perbuatan-perbuatan makhluk, peng-
kafiran karena dosa, memerangi pemimpin, mencela para sahabat, sifat permulaan bagi
Allah Subhanahu wa Ta’ala, berlebih-lebihan terhadap Ali dan keturunannya serta isterinya,
keluarnya amal perbuatan dari cakupan keimanan, mengingkari karamah, membuat bangunan di
atas kuburan, shalat di dekat kuburan, dan lain sebagainya. Yang demikian ini harus diingkari
dengan keras, karena para imam telah sepakat pada pendapat para pendahulu umat, adapun
perbedaan pendapat datangnya dari para pelaku bid’ah atau setelah tiadanya para imam
pendahulu umat. Wallahu a’lam.
Al-Lu’lu al-Makin, dari Fatwa Syeikh Ibnu Jibrin, hal. 296-297

Anda mungkin juga menyukai