Anda di halaman 1dari 22

REFERAT THT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TARUMANAGARA
RSUD CIAWI

Pembimbing:
Dr. Nurlina M. Rauf, SpTHT-KL

Disusun oleh:
Kurnia Elsa Oktaviana (406182087)
Pendahuluan

Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan


tersering di dunia serta merupakan penyakit yang sering ditemukan
dalam praktek dokter sehari-hari. Data dari DEPKES RI tahun 2003
menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada dalam
urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Definisi

Sinusitis adalah radang atau infeksi dari satu atau lebih


mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat
dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sphenoid. Bila peradangan ini mengenai beberapa
sinus disebut multisinus, sedang bila mengenai semua sinus
paranasal disebut pansinusitis.
Anatomi
Sinus paranasal adalah perpanjangan cavitas nasi cranium di
sekitarnya:
1. Sinus frontal
2. Sinus etmoid
3. Sinus sphenoid
4. Sinus maksila
Membran mukosa menghasilkan mukus, dikleuarkan ke
cavitas nasi melalui meatus nasi.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus
maksila, kemudian etmoidalis, frontalis, dan sfenoidalis. Yang paling
sering ditemukan adalah sinusitis maxilla dan sinusitis ethmoid,
sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang
ditemukan.
SINUS SPHENOID
• Terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior, dibagi dua
oleh septum intersfenoid.
• Memiliki tinngi 2cm, dengan kedalaman 2-3cm serta lebar 1-2cm dan
bervolume 5-7,5ml
• Batas superior sinus sphenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, inferiornya atap nasofaring, lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna dan disebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior didaerah pons.
• Diperdarahi oleh a.etmoid anterior dan arteri sphenopalatina dan ujung
dari arteri palatina mayor.
• Dipersarafi oleh n. etmoid anterior cabang dari nervus nasosiliaris,
yang berasal dari nervus oftalmikus (nervus V –
1), n. maksilla melalui ganglion sphenopalatina yang juga memberikan
persarafan vasomotor/ otonom pada mukosa hidung.
Fisiologi

 Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning )


 Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
 Membantu resonansi suara
 Sebagai peredam perubahan tekanan suara
Patofisiologi

 Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostiumostium sinus dan


lancarnya klirens mukosiliar (mucociliarry clearance) di dalam
KOM (kompleks osteomeatal).
 Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan 
edema mukosa  silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat  tekanan negatif didalam rongga sinus  transudasi.
 Bila menetap, sekret yang berkumpul didalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri  purulen.
 Jika terapi tidak berhasil Mukosa makin membengkak  masuk
ke dalam rantai siklus  perubahan mukosa  hipertrofi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista.
Etiologi

 Penyebab utama sinusitis sphenoid adalah infeksi bakteri. Infeksi


ini berpusat di sinus sphenoid. Selain dari bakteri, jamur, alergen,
dan mucocele dapat berkontribusi terhadap sinus sphenoidal.

 Bakteri yang paling sering menyebabkan peradangan dan infeksi


sinus sphenoid adalah Streptococcus pneumonia. Infeksi virus
Haemophilus influenza juga dapat menolak nyeri sinus
sphenoidal. Mikroba ini menyebabkan lendir yang berlebihan di
sinus dan memblokir rongga hidung.
Gejala

 Sakit kepala retro-orbital, frontal, di


atas verteks, temporal, oksipital atau
postauricular, rasa sakitnya
digambarkan tumpul atau tajam.
 Nyeri wajah diperkirakan disebabkan
oleh keterlibatan saraf V1 dan V2.
 Penurunan kemampuan penciuman
bau
 Perubahan visual seperti kabur atau
kehilangan penglihatan merupakan
kompleks gejala yang paling umum
kedua.
 Demam, pilek (post nasal drip) dan
sakit tenggorokan
Sinusitis Akut
Gejalanya berlangsung beberapa hari sampai
4 minggu

Sinusitis Subakut
Berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan

Sinusitis Kronik
Bila berlangsung lebih dari 3 bulan
Pemeriksaan Fisik
 Endoskopi hidung harus dilakukan pada setiap pasien yang
dicurigai menderita sinusitis sphenoid kronis karena pemeriksaan
endoskopi dapat mengungkapkan berbagai tanda inflamasi
sphenoid seperti pelepasan mukopurulen, edema atau polip pada
reses sphenoethmoidal.
 Saluran sphenoethmoidal yang tampak normal pada endoskopi
hidung tidak mengesampingkan patologi sphenoid. Di sisi lain,
adanya pengeluaran mukopurulen yang mengalir dari saluran
sphenoethmoidal tidak boleh dianggap semata-mata sebagai
infeksi bakteri.
 Rhinoskopi Anterior ( Hipertrofi, sekret, edema, mukosa )
 Rhinoskopi Posterior (Torus tubarius, Adenoid, Choana )
Catatan: Tampilan endoskopi reses sphenoethmoidal. Tanda bintang menunjukkan
keluarnya purulen pada reses sphenoethmoidal dan nasopharnyx.
Singkatan: NS, septum hidung; MT, turbin tengah; SER, reses sphenoethmoidal;
MM, meatus tengah.
CT scan dapat membedakan penyakit radang dari neoplasma dan bakteri dari infeksi
jamur dengan karakteristik yang berbeda dari tampilan mukosa dan tulang dari
masing-masing penyakit.
MRI hanya diperlukan jika terdapat kecurigaan komplikasi intrakranial

Pemeriksaan Penunjang
Bakterial Sphenoid Rhinosinusitis
Catatan: Pengeluaran purulen dari reses sphenoethmoidal kiri
Tatalaksana

Perawatan non-bedah : antibiotik dan kortikosteroid


intranasal, semprotan hidung, dekongestan hidung,
inhalasi uap, dan analgesik

Perawatan bedah: Drainase dengan endoskopi, sinusitis


bakteri tanpa perbaikan respons klinis selama 6-8
minggu, rinosinusitis jamur, mucocele, dan keterlibatan
saraf kranial
Prognosis Komplikasi

Ketika sinusitis  Trombosis sinus kavernosa


sphenoid diobati dalam  Selulitis periorbital
rentang empat minggu,  Osteomielitis
seorang penderita dapat  Tumor - terbentuk di dalam sinus,
dengan cepat mengalami yang berpotensi menyebar ke sinus
perbaikan. kavernosa.
 Abducens Nerve Palsy – disfungsi
saraf kranial yang mengganggu
pergerakan mata
 Eksoftalmus
Pencegahan

 Menahan diri dari merokok aktif dan pasif


 Menjaga kebersihan hidung, mulut, gigi
 Menghindari saluran hidung kering dengan menggunakan
semprotan hidung
 Menghindari alergen untuk mencegah alergi
Kesimpulan

 Sinusitis sphenoid adalah sinusitis yang paling jarang terjadi


diantara sinus paranasal lainnya, sinus sphenoid dilapisi dengan
epitel pseudostratifikasi bersilia dengan lebih sedikit sel sekresi
mukosa dibandingkan dengan sinus paranasal lainnya. Ini
berkontribusi pada lebih sedikit masalah drainase dan dapat
menjelaskan rendahnya insiden sinusitis sphenoidalis.
 Cedera (tumpul, penetrasi atau pembedahan) radioterapi,
penurunan kekebalan tubuh, obstruksi ostium sphenoid, polip
sinonasal, dan tumor primer atau metastasis merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinus sphenoid.
 Sakit kepala, nyeri pada wajah dan gangguan visual merupakan
sebagian besar gejala yang dilaporkan pada sinusitis sphenoid.
Kesimpulan

 Nasal endoskopi, CT scan dan MRI diperlukan untuk mendiagnosa


dari sinusitis sphenoidalis.
 Komplikasi mungkin timbul karena kedekatan struktur penting
dengan sinus sphenoid, kasus yang tidak rumit dapat diatasi
dengan terapi antibiotik yang optimal jika didiagnosis dan diobati
sejak dini.
 Ketika diagnosis sinusitis bakteri telah dilakukan tanpa respons
klinis terhadap perawatan medis yang sesuai selama 6-8 minggu
dan ketika diagnosis rinosinusitis jamur atau mucocele telah
dibuat serta terdapat perkembangan komplikasi intrakranial
merupakan indikasi untuk drainase bedah segera.
Daftar Pustaka
 Hsin. Chen. Su. Jiang. Liu. Aspiration technique improves reliability of endoscopically
directed middle meatal cultures in pediatric rhinosinusitis. 2010. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20537288
 Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar HN. Editor. Buku
ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorok. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI; 2007. 150-154).
 Peter A. Hilger, MD, Penyakit Sinus Paranasalis, dalam : Haryono, Kuswidayanti, editor,
BOIES, buku ajar Penyakit THT, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 1997, 241 – 258.
 Ballenger. J. J., infeksi Sinus Paranasal, dalam : Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok
Kepala dan Leher, ed 13 (1), Binaputra Aksara, jakarta, 1994, 232 – 241
 Tucker, R. & Schow, R. 2008. Odontogenic Disease of the Maxillary Sinus. In: Oral and
Maxillofacial Surgery. 5th ed. London: Mosby Elsevier. 383-395
Volume 1. Jakarta : EGC
 Kennedy E. Sinusitis. Available at :http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm.
 Mygind N, Lund VJ. Nasal Polyposis. In: Gleeson M, Browning GG, Burton MJ, Clarke R,
Hibbert J, Jones NS et al, editors. Scottbrown’s otorhinolaryngology, head, and neck
surgery volume 3. 7th ed. London: Hodder Arnold; 2008. p. 1549-57
 Van Alyea OE. Sphenoid sinus: anatomic study, with consideration of the clinical
significance of the structural characteristics of the sphenoid sinus. Arch Otolaryngol
1941;34:225-53.
 Holt GR, Standefer JA, Brown WE Jr, Gates GA. Infectious diseases of the sphenoid sinus.
Laryngoscope 1984;94:330-5.
 Lawson W, Reino AJ. Isolated sphenoid sinus disease: an analysis of 132
cases. Laryngoscope. 1997;107(12 Pt 1):1590–1595
 UrquhartAC,FungG,McIntoshWA.Isolatedsphenoiditis:adiagnostic problem. J Laryngol
Otol 1989;103:526-7. Dan Haimi-Cohen Y , Amir J, Zeharia A, Danziger Y , Ziv N, Mimouni
M. Isolated sphenoidal sinusitis in children. Eur J Pediatr 1999;158: 298-301.
 Proetz AW. The sphenoid sinus. Br Med J 1948;2:243-5.
 Sethi DS. Isolated sphenoid lesions: diagnosis and management. Otolaryngol Head Neck
Surg. 1999;120(5):730–736
 Nour YA, Al-Madani A, El-Daly A, Gaafar A. Isolated sphenoid sinus pathology: spectrum
of diagnostic and treatment modalities. Auris Nasus Larynx. 2008;35(4):500–508
 Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal
polyps 2012. Rhinology. 2012;50(1):1–12.

Anda mungkin juga menyukai