Anda di halaman 1dari 27

Sejarah Keraton Sintang

Oleh :
KELOMPOK 1
.
Istana Al Mukarramah atau Keraton
Sintang merupakan nama Istana dari
Kesultanan Sintang. Istana ini terletak di
Jalan Bintara Lingkungan 1 RT.02
RW.01 Kelurahan Kapuas Kiri Hilir,
Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang,
Provinsi Kalimantan Barat, atau
tepatnya berada di sebelah timur Masjid
Jamik Sultan Nata
Istana kerajaan Sintang berada di wilayah
pertemuan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas.
Daerah inilah yang menurut kosakata Dayak
disebut senetang, yang berarti daerah di mana
terdapat pertemuan beberapa aliran sungai.
Lambat laun penyebutan Senetang kemudian
berganti menjadi Sintang.
Istana Almukarramah
Asal-usul Kerajaan Sintang bermula dari
kedatangan seorang tokoh penyebar agama Hindu
bernama Aji Melayu yang datang ke Nanga
Sepauk (Sekarang Kecamatan Sepauk) pada abad
ke-4. Bukti-bukti kedatangan Aji Melayu dapat
dilihat dari temuan arkeologis berupa Arca Putung
Kempat dan batu berbentuk phallus yang oleh
masyarakat setempat disebut Batu Kelebut Aji
Melayu.
Putung Kempat adalah istri Aji Melayu yang
kemudian menurunkan raja-raja di Sintang
Kerajaan Sintang didirikan oleh Demong
Irawan keturunan kesembilan Aji Melayu
pada abad ke-13 (+ 1262 M). Kerajaan
sintang kala itu bercorak agama
hindu.Pendirian kerajaan baru ini ditandai
dengan penanaman Batu Kundur oleh
Demong Irawan, yaitu batu berbentuk
phallus yang hingga kini masih
dikeramatkan oleh masyarakat sekitar. Batu
Kundur tersebut saat ini berada tepat di
depan Kompleks Istana Al Mukarrammah
Kesultanan Sintang.
Proses masuknya budaya Islam ke Kerajaan Sintang,
diyakini melalui Sungai Landak masuk ke daerah
Tayan, Sintang, dan Nanga Pinoh. Dari daerah
Sintang, dakwah Islam menyusuri Sungai Kapuas
sampai daerah Putussibau. Penyebaran ini berlangsung
sekitar tahun 1500 - 1800 M .
Pengaruh Islam mulai masuk ke Kerajaan Sintang
ketika kerajaan ini diperintah oleh Raden Purba.
Setelah Raden Purba meninggal, tahta Kesultanan
Sintang dipegang oleh Adi Nata bergelar Sultan Nata
Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairiwaddin
Pada masa Sultan Nata Istana Sintang sebelumnya
berbentuk rumah panjang khas masyarakat Dayak,
Baru pada masa pemerintahan Raden Abdul Bachri
Danu Perdana, dibangunlah gedung istana yang baru
dengan nama Istana Al Mukarrammah. Istana ini
dibangun pada tahun 1937 dengan arsitek seorang
Belanda dengan mengambil bentuk yang sama sekali
baru, yaitu perpaduan antara arsitektur Rumah Tinggal
Belanda dan Bangunan Tropis.
Kompleks istana ini terbagi ke dalam tiga bangunan
yang simetris, dengan bangunan utama berada di
bagian tengah agak ke depan, sementara dua bangunan
lainnya mengapit di kedua sisi bangunan utama.
Fungsi ruang pada bangunan utama terdiri dari
serambi depan, ruang tamu, ruang pribadi sultan, serta
serambi belakang. Bangunan pengiring di sisi barat
bangunan utama berfungsi sebagai ruang istirahat dan
ruang keluarga sultan, sementara yang di sisi timur
difungsikan sebagai ruang tidur tamu sultan. Secara
keseluruhan Istana Al Mukarrammah Sintang memiliki
luas bangunan sekitar 652 m2.
Sampai saat ini, kompleks Istana
Sintang masih terawat dengan baik.
Bahkan menjadi kediaman Sultan
Sintang, yaitu Pangeran Ratu Sri
Kesuma Negara V yang dinobatkan
sebagai Sultan Sintang ke-30.
pada 22 Juli 2006
Pangeran Ratu Sri Kesuma Negara V
Wilayah Kekuasaan

Pada masa pemerintahan Demong Irawan yang


bergelar Jubair I (± 1262-1291 M), Kerajaan
Sintang yang awalnya berpusat di Nanga Lawai,
kemudian diperluas ke daerah Sepauk,
Tempunak, dan Melawi dengan menempatkan
wakilnya di bawah kekuasaan Kerajaan Sintang.
Pada masa pemerintahan Pangeran Tunggal, wilayah
kekuasaan Kerajaan Sintang kembali diperluas. Perluasan
wilayah kekuasaan tersebut meliputi Sintang, Sepauk,
Tempunak, Jetak, Dedai, Gandis, Kayan, Nanga Mau, dan
Nanga Tebidah.
Perluasan wilayah kekuasaan yang telah dilakukan oleh
Pangeran Tunggal, dilanjutkan ketika Kesultanan Sintang
diperintah oleh Sultan Nata. Perluasan tersebut meliputi
wilayah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu sampai perbatasan
daerah Serawak, daerah Melawi (Nanga Pinoh, Menunkung,
Serawai sampai Ambalau yang berdekatan dengan perbatasan
Kalimantan Tengah).
Sistem Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Pangeran Tunggal (1715-1725 M), dilakukan
pelapisan sosial di dalam golongan bangsawan, yaitu bangsawan hilir
dan hulu. bangsawan hilir adalah yang kegiatannya banyak dilakukan di
luar lingkungan istana. Golongan ini sangat berpengaruh di dalam
masyarakat di daerah bawahan kerajaan. Sedangkan bangsawan hulu
adalah para keturunan bangsawan yang menjadi menteri atau
mangkubumi secara turun temurun. Mangkubumi berfungsi sebagai
pengganti apabila raja berhalangan dalam menjalankan pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Sultan Nata,dalam menjalankan pemerintahan,
Sultan Nata dibantu oleh mangkubumi dan beberapa orang menteri yang
sekaligus merangkap sebagai panglima perang. Sultan juga membentuk
badan pengadilan yang bertugas mengadili segala perkara dan
pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat. Badan pengadilan ini terdiri
dari alim ulama Islam, pemuka adat Dayak atau tumenggung, dan
pemuka masyarakat. Di ibukota kerajaan juga dibangun gudang-gudang
makanan yang bertujuan menampung bahan makanan dari daerah-daerah
bawahan dan berada di bawah pengawasan seorang bendahara kerajaan.
Pada masa pemerintahan Ade Mohammad Djoen, terjadi
perubahan sistem pemerintahan di Kesultanan Sintang. Ade
Mohammad Djoen membagi wilayah Kesultanan Sintang ke
dalam beberapa disrik. Setiap distrik dipimpin oleh seorang
demang. Berdasarkan isi perjanjian Konferensi Meja Bundar
(KMB) di Den Haag pada tanggal 2 Desember 1949, dibentuk
Republik Indonesia Serikat (RIS). Atas dasar pembentukan
RIS, maka dibentuk 16 negara bagian yang termasuk pula
Daerah istimewa Kalimantan Barat. Setelah adanya pengakuan
kedaulatan Belanda atas Indonesia pada tanggal 27 Desember
1949 kembali terjadi perubahan sistem pemerintahan di
Sintang. Sintang berubah menjadi Kabupaten Sintang dengan
bupati pertamanya, L. Tobing,
Berikut ini merupakan silsilah raja/sultan yang
pernah berkuasa di Kerajaan kemudian
berganti menjadiKesultanan Sintang.
Penyebutan raja mulai berlaku pada masa
pemerintahan Demong Irawan (Jubair I).
Sebelum Demong Irawan berkuasa, sejak masa
Aji Melayu sampai Demong Minyak,
penyebutan raja belum lazim. Mereka masih
disebut penguasa daerah Nanga Sepauk
(Melawi). Silsilah para raja/ sultan di
Kesultanan Sintang yang dapat ditemukan
adalah:
1. Aji Melayu
2. Dayang Lengkong
3. Dayang Randung
4. Abang Panjang
5. Demong Karang (berkuasa sekitar abad ke-7 M)
6. Demong Kara
7. Demang Minyak
8. Demong Irawan sebagai raja pertama Kerajaan Sintang
yang bergelar Jubair I (± 1262-1291 M)
9. Dara Juanti (naik tahta pada tahun 1291 M)
10. Abang Samad (memerintah pada tahun 1640 M
11. Jubair II
12. Abang Suruh
13. Abang Tembilang
14. Pangeran Agung (1640-1715 M)
15. Pangeran Tunggal (1715-1725 M)
16. Raden Paruba (Syahzaman & Hasanuddin,
2003:26).
17. Adi Nata bergelar Sultan Nata Muhammad
Syamsuddin Sa‘adul Khairiwaddin
18. Sultan Aman (1150 – 1200 Hijriah)
19. Ade Abdurrasyid yang bergelar Sultan
Abdurrasyid (meninggal pada tahun 1795 M)
20. Ade Noh bergelar Pangeran Ratu Ahmad
Kamaruddin
21. Gusti Djemani bergelar Pangeran Sukma
22. Gusti Muhammmad Djamaluddin bergelar
Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin
23. Adi Abdurrasyid Kesuma Negara bergelar
Panembahan Abdurrasyid
24. Panembahan Abang Ismail (meninggal pada tanggal
12 Desember 1905)
25. Gusti Abdul Majid yang bergelar Panembahan
Abdul Majid Pangeran Ratu Kesuma Negara
(sumpah jabatan pengangkatan beliau sebagai
sultan dilakukan pada tanggal 26 Januari 1906)
26. Ade Mohammad Djoen
27. Raden Abdul Bachri Danu Perdana (1937-1944)
28. Raden Syamsuddin (naik tahta pada tahun 1946)
29. Sultan Ade Mohammad Johan (bertahta sampai
status Kesultanan Sintang berubah menjadi
swapraja dan dilebur ke dalam NKRI pada tahun 1949).
Peninggalan Sejarah Keraton Sintang

Di dalam Keraton Sintang terdapat beberapa peninggalan sejarah seperti


meriam raja Suka, gundukan tanah yang berasal dari kerajaan Majapahit,
tujuh buah meriam anak raja Suka, beberapa kopak batu, meriam raja
Beruk, alat musik asli dari suku Dayak.
Benda bersejarah yang lainnya yang ada di istana adalah sebuah
peninggalan yang berasal dari Demong Irawan (pendiri kerajaan) seperti
situ batu kundu dan beberapa meriam sebagai lambang berdirinya
kerajaan Sintang.
Pada serambi depan istana terdapat silsilah raja-raja yang pernah
memerintah pada saat kerajaan Sintang serta terdapat salinan undangan
adat kerajaan Sintang dan naskah Al quran tulisan tangan Sultan Nata.
Istana ini juga masih menyimpan barang-barang hantaran Patih Logender
(seorang perwira dari Majapahit) ketika meminang Putri Dara Juanti
(putri Demong Irawan—pendiri Kerajaan Sintang), antara lain
seperangkat gamelan, patung garuda dari kayu, serta gundukan tanah dari
Majapahit.
t

“ Tanah Majapahit “ Yang diberikan oleh Patih


Lohgender dari kerajaan Majapahit kepada Putri
Dara Juanti Kerajaan Sintang
Patung Burung Garuda ini dipersembahkan oleh Patih Logender pada saat
melamar Putri Dara Juanti. Patung Burung Garuda ini dijadikan lambang
Kerajaan Sintang pada masa Pemerintahan Pangeran Ratu Achmad
Pakaian adat ini dipakai pada saat resepsi pernikahan
Gamelan
salah satu hantaran mas kawin Patih Logender dari kerajaan Majapahit kepada
Putri Dara Juanti dari Kerajaan Sintang
Masjid Jami’ Sultan Nata
Pada masa Pangeran Tunggal (anak Pangeran Agung), kebutuhan akan
masjid terasa makin mendesak. Hal ini tak lepas dari meningkatnya
jumlah penganut agama Islam di sekitar istana. Pangeran Tunggal lalu
mendirikan sebuah masjid sederhana dengan kapasitas sekitar 50 orang.
Masjid inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Masjid Jamik Sultan
Nata Sintang.
Sekian Dan Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai