Anda di halaman 1dari 6

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Kepemimpinan Perempuan dalam


Perspektif Islam; Isu Kesetaraan Gender
Oleh:
Egi Rizaludinsyah
2180100035
Salah satu tema sentral sekaligus prinsip pokok ajaran Islam
adalah prinsip egalitarian yakni persamaan antar manusia, baik
laki-laki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, dan
keturunan. Hal ini diisyaratkan dalam QS. al-Hujurat ayat 13:
‫ّٰللا اَتْ ٰقى ُك ْم ۗ ا َِّن‬
ِ ‫ارفُ ْوا ۚ ا َِّن ا َ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد ه‬ ُ ‫اس اِنَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َّوا ُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم‬
َ ‫شعُ ْوبًا َّوقَ َب ۤا ِٕى َل ِلت َ َع‬ ُ َّ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الن‬
‫ّٰللا َع ِل ْي ٌم َخ ِبي ٌْر‬
َ‫ه‬
“Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa
diantara kamu.”
Konteks khalifatullâh fî al-ardh secara terminologis yang berarti “kedudukan
kepemimpinan”. Ini berarti bahwa semua manusia, baik laki-laki maupun
perempuan diamanatkan menjadi pemimpin. Namun demikian, bila dicermati
lebih lanjut ternyata ada nash Al Qur’an maupun hadis yang kelihatannya
berdimensi maskulin, dan secara sepintas menyorot masalah misogoni.
Sementara ajaran Islam, diyakini sebagai rahmat untuk semua manusia tanpa
membedakan jenis kelamin.

Sementara itu peran serta perempuan semakin dibutuhkan dalam berbagai lini
kehidupan termasuk pada bidang kepemimpinan. Kajian ini sebagai bentuk
kepedulian atas pemahaman keliru sebagian kalangan menanggapi isu gender
yang menjadikan Islam dengan segenap ajarannya sebagai biang kerok
langgengnya budaya ketidakadilan gender. Melalui penelusuran referensi
dengan menggunakan kutipan penulis mengumpulkan data kepustakaan
untuk memperkuat data dalam tulisan ini khususnya tulisan dari para pakar
gender dalam perspektif Islam seperti Nasaruddin Umar dan Umar Shihab.
Didalam Islam kepemimpinan identik dengan sebutan Kholifah yang berarti wakil atau
pengganti. Istilah ini dipergunakan setelah wafatnya Rosulullah SAW namun jika
merujuk pada firman Allah SWT:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(QS. Al-Baqarah: 30)
Kata khalifah dalam ayat tersebut tidak hanya ditunjukkan kepada para khalifah
sesudah Nabi, tetapi juga kepada semua manusia yang ada dibumi ini yang bertugas
memakmurkan bumi ini.
Dalam hadits juga terdapat kata Ro’in yang juga biasa dimaknai pemimpin. Hadits ini
menggunakan dhamir (kata ganti) mukhatab jama’ (kesemuanya) yakni tidak spesifik
ditunjukkan kepada laki-laki atau perempuan.
َ َ‫ُكلُّ ُك ْم َراعٍ َو ُكلُّ ُك ْم َم ْس ُؤلُ ْون‬
(‫ع ْن َر ِعيَّتِ ِه )رواه البخارى‬
“Setiap kalian adalah Ra’in (pengembala, pemimpin) dan setiap kalian akan
dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan kalian” (HR, Bukhori).
•Dalam Islam, setiap manusia pada hakikatnya adalah pemimpin baik bagi dirinya sendiri
maupun apa yang dipimpinnya, sehingga seorang pemimpin suatu saat akan dimintai
pertanggungjawabannya.
•peristiwa perang Jamal atau perang Unta antara khalifah Ali bin Abi Thalib melawan seorang
panglima perang perempuan yang bernama Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq.
•Ratu Balqis seorang pemimpin bagi kaumnya yang sempat berseteru dengan Nabi Sulaiman.
Kesetaraan Gender
dalam Konsep •Perempuan dari kalangan sufi bernama Rabi'ah al Adawiyyah yang dijuluki The Mother of the
Kepemimpinan Islam Grand Master atau Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya.
•Hal ini sepertinya sedikit banyak bertentangan dengan pemaknaan surat An-nisa ayat 34
yang menempatkan hanya laki-laki saja yang dapat menjadi pemimpin.

•Pemimpin dari kalangan perempuan dalam sejarah peradaban Islam,


bukanlah merupakan hal yang baru, sebagaimana Aisyah binti Abu Bakar
ash-Shiddiq yang memegang posisi penting sebagai pemberi fatwa
semenjak Rasulullah SAW wafat. Ia adalah pendidik perempuan yang dari
Kepemimpinan dari
Kaum Perempuan lisannya banyak diperoleh informasi maupun hadits yang berasal dari
Rasulullah SAW, sehingga kemudian Aisyah menjadi sumber rujukan
umat Islam hampir dalam setiap persoalan.
Isu gender masih menjadi bahasan analisis sosial dan trend wacana perdebatan mengenai pembangunan dan
perubahan sosial. Bahkan, ruang lingkup kajian ini sudah meretas ke seluruh sektor yang ada, diantaranya :
hukum, sosial, budaya, ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan dan keagamaan. Ketidakadilan, sehingga
gender sering kali dipersoalkan karena secara sosial problematika ini telah melahirkan perbedaan peran,
tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dibandingkan perempuan. Perbedaan tersebut
akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih tentang perlakuan, akses, partisipasi,
serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.

Berkaitan dengan hal tersebut, banyak pendapat yang berkembang mengenai kepemimpinan yang dilakukan
oleh kaum perempuan dalam wacana pemikiran Islam klasik dan sangat terpengaruh oleh budaya dan
pemahaman yang bersifat patriarkhi, sehingga tidak heran jika produk pemikiran yang ada masih berpihak
pada kepentingan laki-laki. Perempuan masa kini memang memiliki kesempatan yang luas untuk berkiprah
dalam segala bidang, termasuk untuk menjadi pemimpin. Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan
ajaran Islam karena al-Qur’an tidak membedakan manusia kecuali dalam amal ibadahnya. Untuk itulah,
dimasa yang akan datang diharapkan ke depan akan muncul pemimpin yang berasal dari perempuan dari
segala bidang.

Anda mungkin juga menyukai