Anda di halaman 1dari 13

Bell’s palsy

Prolanis klinik nayaka husada 03 sukorejo

Dr.dewi khodijah
Definisi

 kelumpuhan pada otot


wajah yang menyebabkan
salah satu sisi wajah tampak
melorot. Kondisi ini dapat
muncul secara tiba-tiba,
namun biasanya tidak
bersifat permanen
Patofisiologi

 Para ahli menyebutkan


bahwa pada Bell’s palsy 
proses inflamasi akut pada
nervus fasialis
 pada Bell’s palsy  inflamasi akut pada nervus
fasialis di daerah tulang temporal  menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis  terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui
tulang temporal  kanalis facialis tulang temporal
berbentuk seperti corong yang menyempit 
iskemik  gangguan konduksi  impuls yg
dihantarkan dapat mengalami gangguan 
kelumpuhan facialis LMN.
 Penderita Bell's palsy akan mengalami peradangan
pada saraf wajah, sehingga otot wajah menjadi lemah
dan bentuk wajah menjadi berbeda.
 Kondisi ini diduga terkait dengan infeksi virus
 Orang berusia 15-60 tahun
Faktor pencetus  Mereka yang mengidap diabetes atau penyakit
pernapasan bagian atas, dan infeksi telinga
 Wanita hamil, terutama pada trimester ketiga
Gejala kelumpuhan perifer ini
tergantung dari lokalisasi kerusakan.

Gambaran klinis
 Nyeri telinga pada sisi wajah yang lumpuh.
 Telinga yang terpengaruh akan lebih sensitif terhadap
suara.
 Berdenging di salah satu telinga atau keduanya.
 Penurunan atau perubahan pada indra perasa.
 Bagian mulut yang terpengaruh akan mudah berliur.
Gejala klinis  Mulut terasa kering.
 Rasa sakit pada sekitar rahang.
 Sakit kepala dan pusing.
 Kesulitan untuk makan, minum, dan berbicara
 American Medical Association (AMA) mengungkapkan
bahwa pengobatan akan lebih efektif bila diberikan
lebih awal. Karena itu, pengidap dianjurkan untuk
mengunjungi dokter segera setelah mengalami gejala
 Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

 Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan


Diagnosa adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan
bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan
adanya rasa nyeri pada telinga.
 Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus
dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy
lesinya bersifat LMN.
 Elektromiografi (EMG): prosedur ini dilakukan dengan
menempatkan elektroda di wajah pengidap. Mesin
kemudian akan mengukur aktivitas listrik saraf dan
aktivitas listrik otot sebagai respons terhadap stimulasi.
pemeriksaan Tes ini bermanfaat untuk menentukan tingkat
untuk kerusakan saraf, serta lokasinya.

mendiagnosis  MRI, CT Scan, atau sinar X. Beberapa pemeriksaan


tersebut bagus untuk menentukan apakah ada kondisi
Bell’s palsy lain yang mendasari penyakit tersebut, seperti infeksi
bakteri, patah tulang tengkorak, atau tumor
 Pemberian kortikosteroid (prednisone dengan dosis 40
-60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3
hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari
kemudian)

Tatalaksana  Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan


dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang
dikombinasikan dengan prednison
 Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia
atau ageusia, spasme nervus fasialis yang kronik dan
kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan
Komplikasi kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan baik
sehingga tampak seperti air mata buaya
 Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau
meninggalkan gejala sisa.
 Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy
adalah:9
(1) Usia di atas 60 tahun
(2) Paralisis komplit
Prognosis (3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva
pada sisi yang lumpuh,
(4) Nyeri pada bagian belakang telinga
(5) Berkurangnya air mata.
Thankyuuu…..

Anda mungkin juga menyukai