Anda di halaman 1dari 25

Bioekivalensi

KELOMPOK 6 :
What is bioequivalence?

• Bioekivalensi (kesetaraan hayati) adalah tidak adanya perbedaan signifikan


dalam kecepatan dan jumlah bahan aktif atau senyawa aktif dari produk
ekivalen farmasetik atau alternatif farmasetik yang tersedia di tempat kerja
obat jika diberikan pada dosis molar yang sama di bawah kondisi yang
sama dalam penelitian yang didesain dengan tepat. Dua produk obat
disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmasetik atau
merupakan alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis molar
yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga
efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan.
• Perbedaan antara bioavailabilitas dan bioekivalensi ada pada tujuan
penelitian. Uji bioavalabilitas digunakan untuk menilai farmakokinetik dan
kinerja produk obat terkait dengan penyerapan, distribusi, dan eliminasi
obat in vivo. Sedangkan uji bioekivalensi menitikberatkan pada
perbandingan formulasi berdasarkan analisa yang lebih difokuskan pada
pelepasan bahan aktif (atau senyawa aktif) dari produk obat dan
penyerapannya ke dalam peredaran sistemik.
• Produk obat dapat dinyatakan sebagai ekivalen farmasetik jika
mengandung bahan aktif yang identik, baik secara jenis maupun kekuatan,
dalam bentuk sediaan dan jalur penghantaran yang sama.
• Produk ekivalen farmasetik juga harus memenuhi persyaratan kompendial
atau standar lain yang berlaku, yakni dalam kekuatan, kualitas, kemurnian,
dan identitas.
Penerapan uji bioekivalensi

Untuk obat baru dan produk obat baru, uji BE digunakan untuk membandingkan :
• formulasi awal dan akhir uji klinis
• formulasi yang digunakan dalam uji klinis dan uji stabilitasi, jika ada perbedaan
• formulasi uji klinis dan produk obat yang akan dipasarkan, jika ada perbedaan
• ekivalensi produk antar-potensi
• Sedangkan untuk obat copy baru, uji BE akan diminta pada saat registrasi untuk
menunjukkan bahwa produk yang diregistrasikan ekivalen farmasetik dan bioekivalen
terhadap produk referensi, yakni produk originator.Pasca persetujuan registrasi, uji BE
juga bisa diterapkan jika terjadi perubahan pada formulasi dan/atau proses manufaktur,
sepanjang daur hidup produk. FDA memberikan pedoman tingkat perubahan untuk
menentukan apakah perubahan tersebut mengharuskan uji BE ulang atau cukup dengan
uji komparasi in vitro. Pedoman FDA tersebut antara lain:
Kriteria untuk menetapkan persyaratan Bioekivalen
(FDA)
1. Data uji klinik menunjukkan produk obat tidak efek terapetik yang sebanding
2. Fakta uji bioavailabilitas yang menunjukkan bahwa produktersebut tidak bioekivalen
3. Produk mengandung bahan aktif dengan indeks terapi sempit
4. Data medik menunjukkan kekurangan bioekivalensi akanmenyebabkan suatu efek tidak
dikehendaki dan berbahaya
5. Obat dengan bhn aktif memiliki sifat fisiko kimia:‰
kelarutan rendah dalam air (<5 mg/ml)
‰
laju pelarutan produk rendah (< 50% dalam 30 menit)‰
ukuran partikel dan luas area partikel menentukan bioavailabilitas obat‰
Perubahan bentuk struktur kristal berpengaruh pada kelarutan obat‰
Produk yang memiliki perbandingan bahan tambahan > dari 5:1
‰
Bahan tambahan mempengaruhi absorpsi bahan aktif obat
Lanjutan...
6. Obat dengan sifat farmakokinetik„
 Bahan aktif obat/prekursor diabsorpsi dalam jumlah besar pada bagian tertentu saluran
cerna atau diaborpsi pada tempat terbatas„
 Derajat absorpsi rendah < 50% dibandingkan dengan dosis iv„
 Terjadi metabolisme cepat dari bagian terapetik di dalamdinding usus atau hati selama
proses absorpsi
 „Bahan aktif dieliminasi dengan cepat, sehingga diperlukan laju kelarutan dan absorpsi
yang cepat„
 Bahan aktif tidak stabil dalam bagian tertentu dalam saluran cerna„
 Bahan aktif memiliki kinetika yang bergantung pada dosis
Metode uji bioekivalensi
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam penentuan uji BE.
Urutan berdasarkan prioritas dari pilihan utama hingga terakhir ditinjau
dari tingkat akurasi, sensitivitas, dan reprodusibilitas, metode tersebut
adalah:
– Uji farmakokinetik (PK)
– Uji farmakodinamik (PD)
– Uji klinis
– Uji in vitro
• Uji farmakokinetik
Sejauh ini, uji perbandingan farmakokinetik merupakan pilihan utama dan paling banyak digunakan untuk produk obat
yang diserap sistemik.
• Uji farmakodinamik
 Uji ini tidak direkomendasikan selama obat diserap ke sirkulasi sistemik. Uji ini dilakukan jika
tidak dapat dilakukan uji farmakokinetik. Hal ini disebabkan variabilitas pengukuran PD selalu
lebih besar daripada PK. Selain itu, seringkali terjadi efek plasebo yang dapat memperburuk
variabilitas dan memperumit desain eksperimen. Potensi munculnya efek plasebo harus dapat
diantisipasi sebelumnya dalam desain penelitian.
 Kondisi khusus ini dapat ditemukan pada produk obat yang bekerja lokal dan beberapa produk
obat yang bekerja sistemik tetapi kadarnya terlalu rendah untuk diukur dari cairan biologis atau
adanya masalah keamanan jika digunakan pendekatan farmakokinetik untuk penilaian BE.
Untuk produk yang bekerja lokal, pk dilakukan jika keberadaan obat dalam sirkulasi sistemik
setelah pemberian produk tidak menggambarkan ketersediaan obat di tempat kerjanya.
 Sebagai contoh : Orlistat merupakan inhibitor selektif lipase dalam usus, yang digunakan dalam
penanganan obesitas. Obat ini bekerja lokal dalam saluran cerna, sehingga tidak diperlukan
penyerapan sistemik untuk efikasinya (Zhi et al, 1995). Karena efek hambatan yang dilakukan
oleh orlistat, lipase tidak dapat menghidrolisis trigliserida dalam makanan menjadi asam lemak
bebas dan monogliserida yang dapat diserap. Sebagai akibatnya, dapat terdeteksi terjadinya
peningkatan ekskresi lemak dalam feses. Konsentrasi orlistat dalam plasma sporadik rendah (<
10 ng/mL atau 0,02 μM) sehingga tidak memadai untuk menggunakan pendekatan PK untuk uji
BE (Zhi et al, 1999). Oleh karena itu, pendekatan PD melalui rasio jumlah eksreksi lemak feses
selama 24 jam pada steady state terhadap jumlah lemak yang diberikan melalui makanan,
digunakan dalam uji BE (FDA, 2010c)
Lanjutan...
• Uji klinis
• Jika pendekatan PK dan PD tidak memungkinkan, maka perbandingan uji
klinis dapat dilakukan untuk penentuan BE. Namun, metode ini dinilai
tidak sensitif sehingga sebaiknya dihindari jika ada pengganti yang lebih
baik. Jumlah subyek yang sangat besar diperlukan untuk mendapatkan
power statistik yang memadai. Sebagai contoh, diperlukan 8600 pasien
untuk mendapatkan power statistik yang memadai untuk mendeteksi
respon perbaikan 20% dari obat uji dibandingkan dengan plasebo. Contoh
lain, diperlukan 2600 pasien infark miokardial untuk dapat menunjukkan
penurunan resiko sebesar 16%. Perbandingan dua formulasi untuk uji BE
berdasarkan titik akhir klinis akan memerlukan jumlah subyek yang lebih
besar, tergantung pada variabilitas parameter sasaran dan rentang
penerimaan.
• Uji in vitro
A. Biowaiver berdasarkan BCS.
• BCS (Bipharmaceutics Classification System) adalah pengelompokan bahan obat
berdasarkan sifat kelarutan dalam air dan permeabilitas usus. Jika dikombinasikan
dengan disolusi produk obat, BCS melibatkan tiga faktor yang dapat
mempengaruhi BA suatu produk oral padat lepas segera, yakni disolusi,
kelarutan, dan permeabilitas usus (Amidon et al, 1995). Berdasarkan BCS, bahan
obat dapat dikelompokkan menjadi:
Kelas 1: Kelarutan tinggi – Permeabilitas tinggi
Kelas 2: Kelarutan rendah – Permeabilitas tinggi
Kelas 3: Kelarutan tinggi – Permeabilitas rendah
Kelas 4: Kelarutan rendah – Permeabilitas rendah
• Pada 2006, WHO melakukan revisi definisi kelarutan tinggi, yakni jika dosis
tertinggi obat dalam melarut dalam 250 mL atau kurang media air, dalam rentang
pH 1,2-6,8 pada 37°C. Batas pH 6,8 ini menggambarkan bahwa obat harus
terlarut sebelum mencapai bagian tengah jejunum, untuk memastikan
penyerapannya dalam saluran cerna (WHO, 2006b). Revisi definisi ini
selanjutnya diterapkan pula oleh EMA (2010) dan FDA (2015).
Biowaiver berdasarkan BCS menurut EMA dapat diterapkan pada produk obat
BCS kelas 1 dan kelas 3 dengan persyaratan yang berbeda.
Untuk produk obat BCS kelas 1 lepas segera dipersyaratkan:
– Bahan obat telah terbukti menunjukkan kelarutan tinggi dan penyerapan
lengkap.
– Karakteristik disolusi in vitro produk uji dan produk referensi sangat cepat
(>85% dalam 15 menit) atau cepat (85% dalam 30 menit), dalam metode
uji yang direkomendasikan.
– Eksipien yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas sama secara jenis dan
jumlahnya. Secara umum, penggunakan eksipien yang sama dan dalam
jumlah yang sama lebih diharapkan.
Sedangkan untuk produk obat BCS kelas 3 lepas segera, biowaiver
berdasarkan EMA dapat diterapkan jika:
– Bahan obat telah terbukti menunjukkan kelarutan tinggi dan penyerapan
terbatas.
– Karakteristik disolusi in vitro produk uji dan produk referensi sangat cepat
(>85% dalam 15 menit) dalam metode uji yang direkomendasikan, dan
– Eksipien yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas sama secara jenis dan
jumlahnya, dan eksipien lain secara jenis sama dan secara jumlah sangat
mirip.
Perbandingan kondisi uji disolusi yang direkomendasikan FDA, EMA,
dan WHO (untuk uji biowaiver).
Biowaiver berdasarkan BCS tidak dapat diterapkan untuk obat
dengan indeks terapi sempit (contohnya, digoxin, fenitoin, teofilin,
dan warfarin) atau obat yang ditujukan untuk diserap di rongga mulut
(tablet sublingual, bukal) (FDA, 2015). BPOM (2015) menambahkan
biowaiver tidak berlaku untuk produk obat dengan eksipien yang dapat
mempengaruhi penyerapan zat aktif, seperti sorbitol, manitol, natrium
lauril sulfat, dan surfaktan lainnya.
B. Pengaruh eksipien
Salah satu persyaratan biowaiver berdasarkan BCS adalah eksipien yang
diharapkan sama dengan yang digunakan oleh produk komparator, dari
jenis dan, dalam beberapa kasus, mencakup jumlahnya. Eksipien tersebut
dapat mempengaruhi bioavailabilitas obat melalui efeknya terhadap:
– Motilitas saluran cerna
– Interaksi dengan bahan aktif, misalnya kompleksasi
– Permeabilitas obat
– Interaksi dengan transporter membran.

Contoh eksipien yang telah diketahui memiliki pengaruh terhadap


penyerapan obat adalah pemanis seperti sorbitol, dan manitol (Fassihi et al,
1991; Atkin et al, 1995). Eksipien tersebut tidak diserap dengan baik dari
saluran cerna, tetapi dapat meningkatkan tekanan osmotik dalam usus.
Sebagai akibatnya, terjadi peningkatan kecepatan pengosongan lambung
dan memperpendek waktu transit usus.
c. Biowaiver berdasarkan potensi
• Biowaiver berdasarkan potensi dapat diberikan jika :
• produk obat dalam bentuk sediaan yang sama, tetapi dalam potensi yang
berbeda;
• perbedaan potensi ini memiliki komposisi bahan aktif dan tambahan yang
secara proposional sama terhadap produk yang dengan potensi yang
digunakan dalam uji BE;
• produk dengan potensi yang baru memenuhi uji disolusi in vitro yang
sesuai (FDA, 2003). EMA (2010) dan WHO (2015)
• produk dibuat dengan proses manufaktur yang sama.
• obat dengan kekuatan yang berbeda dibuat oleh produsen yang sama di
tempat produksi yang sama.
Pengaruh makanan
• Uji BA efek makanan umumnya dilakukan terhadap obat atau produk obat baru, untuk menilai
pengaruh makanan terhadap kecepatan dan jumlah obat yang diserap jika obat diberikan dalam
waktu segera setelah makan, jika dibandingkan dengan kondisi tanpa makanan. Sedangkan uji BE
efek makanan dilakukan untuk obat copy, untuk melihat efek makanan terhadap produk
dibandingkan dengan obat referensi (FDA, 2002). FDA memberikan biowaiver untuk produk obat
copy jika produk uji dan produk referensi cepat melarut, memiliki profil disolusi yang sama, dan
mengandung obat BCS kelas 1.
• Makanan dapat mengubah BA obat dan mempengaruhi BE antara produk uji dan produk referensi.
Pengaruh makanan ini dapat disebabkan melalui beberapa cara:
– Penundaan waktu pengosongan lambung
– Stimulasi aliran empedu
– Pengubahanan pH gastrointestinal
– Peningkatan aliran darah splanchnic
– Pengubahan metabolisme luminal bahan obat
– Interaksi fisika atau kimia dengan bahan obat atau produk obat.

Secara umum, makanan dengan total kalori dan kandungan lemak yang tinggi memberikan
pengaruh paling besar terhadap BA obat. Oleh karena itu, untuk uji efek makanan terhadap BA
dan BE, FDA merekomendasikan penggunaan makanan kalori tinggi (sekitar 800-1000 kalori)
dan lemak tinggi (sekitar 50 persen dari kandungan kalori total dari makanan).
Disain studi BE
• Untuk perbandingan dua formulasi, disain yang direkomendasikan adalah
randomized, 2-periods, 2-sequences, cross over design. Antar-perlakukan
harus dipisahkan oleh periode wash-out, yang memastikan bahwa kadar
obat berada di bawah limit deteksi pada semua subyek, sebelum dilakukan
periode kedua. Umumnya, untuk mencapai kadar obat hingga di bawah
kemampuan deteksi alat itu diperlukan waktu 5 kali waktu paruh atau
lebih. Periode wash-out minimal tujuh hari.
• Sebagai alternatif, untuk kondisi tertentu dapat digunakan, yakni
desain paralel
desain replikat, untuk obat dengan variasi PK yang tinggi. Disain replikat
crossover dapat digunakan untuk estimasi variabilitas intrasubyek (within-
subject) dari produk uji dan/atau produk referensi, menggunakan replikasi
parsial (3-periode) atau penuh (4-periode). Jumlah sampel yang diperlukan
untuk replikasi parsial lebih banyak daripada replikasi penuh untuk bisa
mendapatkan power statistik yang setara untuk penetapan BE Dalam hal
jumlah subyek, disain replikat memiliki keuntungan memerlukan jumlah
subyek yang lebih kecil dibandingkan disain 2 periode untuk mendapatkan
power statistik yang sama. Contoh penerapan disain replikat dalam
pedoman FDA adalah uji BE untuk progesteron (FDA, 2011b) dan
warfarin natrium.
• Obat dengan waktu paruh panjang
• Sebagaimana disebutkan di atas, obat dengan waktu paruh panjang (≥24
jam), dapat digunakan disain paralel sebagia alternatif. Tetapi, jika disain
crossover lebih dikehendaki untuk digunakan, selama obat menunjukkan
variabilitas intrasubyek rendah dalam distribusi dan klirens, maka AUC
yang dipotong pada 72 jam (AUC0-72 jam) dapat digunakan sebagai
pengganti AUC0-t atau AUC0-∞. Sebaliknya, untuk obat yang menunjukkan
variabilitas intrasubyek yang tinggi dalam distribusi dan/atau klirens, maka
penerapan AUC0-72 jam tidak diperbolehkan
• Uji dosis tunggal vs dosis ganda
• FDA lebih merekomendasikan uji PK dosis tunggal (single-dose)
dibandingkan uji dosis ganda (multiple-dose), baik untuk produk obat
lepas-segera maupun lepas-termodifikasi dalam rangka uji BE karena
umumnya lebih sensitif untuk digunakan dalam menilai pelepasan bahan
obat dari produk obat ke sirkulasi sistemik
• Meskipun demikian, dalam beberapa kasus uji dosis ganda atau uji
keadaan tunak (steady state) dapat digunakan. Contohnya, karena masalah
keamanan maka uji BE untuk klozapin tablet dilakukan terhadap pasien
yang sedang dalam masa perawatan dengan menggunakan obat yang sama.
• Subyek sehat vs pasien
• Berdasarkan EMA (2010) dan FDA (2003a), pengujian BE umumnya
diterapkan pada subyek sehat berumur 18 atau lebih. WHO memberikan
batasan antara 18 dan 55 tahun. Hal ini dilakukan karena ada risiko
perbedaan antara kedua populasi usia, seperti waktu pengosongan
lambung, pH, dan/atau waktu transit saluran cerna, yang dapat
berpengaruh pada BA bahan obat.
• Penggunaan subyek sehat pada di banyak prosedur uji BE bertujuan untuk
menurunkan bias karena kondisi subyek yang lebih terkontrol.
• Dosis uji
• Jika ada beberapa potensi produk, maka yang perlu diuji BE hanya satu
atau dua potensi. Potensi yang lain dapat diajukan untuk biowaiver selama
komposisinya memenuhi persyaratan sama secara proporsional dengan
komposisi yang diuji BE. Dosis yang biasa digunakan dalam uji BE adalah
dosis tertinggi yang dipasarkan.
• Berdasarkan WHO (2006a), dosis yang lebih tinggi, dengan menggunakan
dua unit produk, dapat dilakukan jika ditemukan kesulitan masalah
analisis. Namun, dalam kasus ini total dosis tidak boleh lebih dari dosis
harian tertinggi. Sebagai alternatif, untuk mengatasi masalah terkait
sensitivitas metode pengujian ini dapat juga dengan pemotongan AUC
hingga 3 x median tmax produk referensi.
• Jika obat menunjukkan PK yang tidak linear antarpotensi, maka uji BE
harus dilakukan pada produk dengan potensi tertinggi dan terendah, atau
potensi dalam rentang linear. EMA (2010) juga menambahkan bahwa jika
kondisi non-linear tersebut bukan disebabkan oleh keterbatasan kelarutan,
melainkan kejenuhan transporter, maka uji BE dapat dilakukan dengan
produk potensi terendah atau potensi dalam rentang linear.
• Obat induk vs metabolit
• Senyawa yang diukur dari sampel cairan biologis dalam uji BA dan BE
adalah bahan aktif obat atau senyawa aktifnya (parent drug) dan, jika
memungkinkan, metabolit aktifnya.
• untuk uji BE, pengukuran umumnya hanya pada senyawa induk yang
dilepas dari produk obat. Hal ini didasari alasan bahwa profil kadar-waktu
senyawa induk lebih sensitif terhadap perbedaan formulasi dibandingkan
metabolit.
• FDA merekomendasikan pemeriksaan metabolit dalam uji BE jika
metabolit tersebut memiliki kontribusi tinggi terhadap efikasi dan /atau
keamanan.
• Enansiomer vs rasemat
• Pengukuran rasemat menggunakan metode achiral (non-stereoselective).
Pengukuran enansiomer individual direkomendasikan jika ditemukan
kondisi berikut:
• Enansiomer menunjukkan perbedaan PK
• Enansiomer menunjukkan perbedaan PD
• AUC enansiomer berbeda akibat adanya perbedaan kecepatan penyerapan
masing-masing enansiomer. FDA: adanya penyerapan nonlinear antara
enansiomer.
• Efikasi dan keamanan utamanya ditentukan oleh enansiomer minor.
• Jika satu enansiomer aktif secara farmakologi, sedangkan yang lainnya
tidak atau hanya sedikit aktif, EMA merekomendasikan pemeriksaan
cukup dilakukan untuk enansiomer yang aktif saja
• Campuran kompleks
• Beberapa obat dapat mengandung lebih dari satu senyawa aktif.
• Dalam kasus ini, tidak perlu dilakukan pemeriksaan terhadap semua
senyawa yang ada dalam obat tersebut, melainkan cukup menentukan
marker, yang dapat menunjukkan jumlah dan kecepatan penyerapan.
• pemilihan marker dilakukan berdasarkan kriteria jumlah senyawa tersebut
dalam produk, kadar dalam darah atau plasma, dan aktivitas biologi relatif
terhadap senyawa yang lain dalam campuran.
• Jika pendekatan PK tidak bisa dilakukan dalam penetapan jumlah dan
kecepatan penyerapan, maka pendekatan in vitro dapat diterapkan. Jika
cara in vitro ini pun tidak bisa dilakukan, maka dapat dipertimbangkan
pendekatan PD atau uji klinis.
• Produk obat kombinasi atau diberikan bersamaan
• Dua atau lebih bahan aktif obat dapat diformulasi menjadi produk obat
tunggal, yang disebut sebagai produk obat kombinasi.
• Dalam kasus tertentu, produk obat dapat diberikan bersamaan dengan
produk obat yang lain (bukan diformulasikan bersama dalam satu produk
tunggal), dengan tujuan untuk meningkatkan paparan salah satu obat
(subject drug). Obat kedua tidak ditujukan untuk memberikan efek terapi,
tetapi diperlukan untuk meningkatkan paparan sistemik obat subyek. Jika
uji BE dilakukan untuk produk obat subyek, maka pemberiannya juga
harus dilakukan bersama dengan produk obat kedua, baik untuk produk uji
maupun produk referensi. Penentuan BE hanya dilakukan berdasarkan PK
obat subyek, sedangkan obat kedua tidak perlu diukur kadarnya. Jika
produk obat kedua memerlukan uji BE, maka uji tersebut dilakukan hanya
pada produk obat kedua, tanpa pemberian produk obat subyek
Referensi
• ASEAN (2004) Guidelines for the Conduct of Bioavailability and Bioequivalence Studies.
http://www.hsa.gov.sg/content/dam/HSA/HPRG/Western_Medicine/Overview_Framework_Policies/Guidelines_on_Dr
ug_Registration/ACTR_GuidelinesforConductofBioavailabilityandBioequivalenceStudies_Nov05.pdf
• BPOM (2005) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No HK.00.05.3.1818 Tahun 2005 tentang
Pedoman Uji Bioekivalensi.
• BPOM (2015) Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta: Badan POM
• EMA (2001) Note for Guidance on the Investigation of Bioavailability and Bioequivalence, London, 20 Juli 2001.
CPMP/EWP/QWP/1401/98.
http://www.ema.europa.eu/docs/en_GB/document_library/Scientific_guideline/2009/09/WC500003519.pdf
• FDA (2000) Waiver of In Vivo Bioavailability and Bioequivalence Studies for Immediate-Release Solid Oral Dosage
Forms Based on a Biopharmaceutics Classification System
• FDA (2013a) Draft Guidance for Industry: Bioequivalence Studies with Pharmacokinetic Endpoints for Drugs
Submitted Under an ANDA.
http://www.fda.gov/downloads/Drugs/GuidanceComplianceRegulatoryInformation/Guidances/UCM377465.pdf
• WHO (2006b) Proposal to waive in vivo bioequivalence requirements for WHO Model List of Essential Medicines
immediate-release, solid oral dosage forms. Annex 8, WHO Technical Report Series, No. 937.
http://whqlibdoc.who.int/trs/who_trs_937_eng.pdf

Anda mungkin juga menyukai